Puisi Kerusakan Alam: Bumi Menangis

Langit yang dulu biru cerah, kini kelabu terbungkus debu. Matahari bersinar redup, tak lagi menghangatkan jiwa. Jejak-jejak peradaban terbentang, membawa serta luka dan nestapa. Hutan yang hijau rimbun, kini hanya menyisakan tunggul-tunggul bisu. Air yang jernih mengalir, kini keruh tercemar racun. Inilah potret kepedihan, sebuah elegi untuk bumi yang tergores.

Bumi, ibunda kita, tak pernah lelah memberi. Memberi kehidupan, memberi sumber daya, memberi keindahan yang memanjakan mata. Namun, kita lupa akan baktinya. Kita serakah, kita egois, kita hanya memikirkan keuntungan sesaat. Kita tebang hutan tanpa henti, merampas rumah para penghuni. Kita buang sampah sembarangan, mencemari sungai dan lautan. Kita bakar fosil, menghirup udara beracun.

Dampaknya terasa nyata. Bencana alam silih berganti, seolah bumi membalas perlakuan kita. Banjir bandang merendam perkampungan, tanah longsor menelan desa. Gempa bumi mengguncang, tsunami menyapu pantai. Kenaikan suhu global membuat es di kutub mencair, mengancam pulau-pulau kecil tenggelam. Satwa langka perlahan punah, ekosistem rapuh terganggu.

Dahulu, suara gemericik air sungai terdengar merdu. Kini, suara deru mesin pabrik dan klakson kendaraan lebih mendominasi. Dahulu, aroma bunga dan kesegaran tanah menyeruak di udara. Kini, bau asap dan polusi menyesakkan dada. Keindahan alam yang dulu bisa dinikmati, kini semakin sulit ditemukan. Ganti rugi yang harus dibayar sangatlah mahal, tak ternilai harganya.

O, Bumi, permata biru nan agung,

Mengapa tangismu kini bergemuruh?

Pepohon tumbang, sungai keruh,

Udara pengap, hutan merintih sedih.


Tangan-tangan rakus memahat luka,

Menggerogoti dagingmu tanpa jeda.

Nafsu semata, hilangkan nurani,

Meninggalkan jejak duka mendalam.


Dulu pelukanmu hangat dan teduh,

Kini goresanmu pedih menusuk.

Anak-cucumu meratap pilu,

Menghirup sesal dalam napas sempit.


Sampai kapan kita menutup mata?

Menenggelamkan diri dalam angkara?

Sebelum semuanya sirna tak bersisa,

Bangkitlah jiwa, selamatkan semesta!

Puisi ini hanyalah sepenggal ungkapan hati, cermin keprihatinan atas kondisi alam yang semakin memburuk. Ini adalah panggilan untuk menyadari, bahwa setiap tindakan kita memiliki konsekuensi. Kehancuran alam bukan hanya merusak lingkungan, tetapi juga mengancam eksistensi kita sendiri.

Mari kita renungkan kembali hubungan kita dengan alam. Alam bukan sekadar sumber daya yang bisa dieksploitasi semata. Alam adalah rumah kita, sumber kehidupan, dan warisan berharga yang harus kita jaga. Tindakan kecil seperti membuang sampah pada tempatnya, mengurangi penggunaan plastik, menanam pohon, dan menghemat energi, jika dilakukan bersama-sama, akan menciptakan dampak yang besar.

Sudah saatnya kita beralih dari peradaban yang merusak menuju peradaban yang harmonis dengan alam. Sudah saatnya kita mendengar rintihan bumi dan meresponnya dengan tindakan nyata. Demi generasi mendatang, demi kelangsungan hidup planet ini, marilah kita rawat bumi dengan penuh cinta dan tanggung jawab. Jangan sampai tangisan bumi menjadi ratapan terakhir kita.

Bumi Menangis, Kita Beraksi!
🏠 Homepage