Surat Al-Fatihah adalah permata Al-Quran, sebuah mukadimah agung yang menjadi kunci pembuka bagi keseluruhan kitab suci umat Islam. Kedudukannya yang istimewa terbukti dari penempatannya sebagai surat pertama dalam mushaf, serta kewajiban membacanya dalam setiap rakaat salat. Tanpa Al-Fatihah, salat seorang Muslim tidak dianggap sah. Ini menunjukkan betapa fundamentalnya pemahaman dan penghayatan terhadap setiap ayatnya. Artikel ini akan mengupas tuntas arti, makna, dan hikmah di balik setiap kalimat dalam Surat Al-Fatihah, membawa kita pada perjalanan spiritual untuk lebih memahami hakikat ibadah dan hubungan kita dengan Sang Pencipta.
Dikenal dengan berbagai nama, seperti Ummul Quran (Induk Al-Quran), As-Sab'ul Matsani (Tujuh Ayat yang Diulang-ulang), Ash-Shifa (Penyembuh), dan Ar-Ruqyah (Pengobatan), Al-Fatihah bukan hanya sekadar bacaan ritual. Ia adalah sebuah doa komprehensif, deklarasi tauhid, dan panduan hidup yang merangkum inti ajaran Islam. Setiap Muslim, dari anak-anak hingga orang dewasa, mengulanginya berkali-kali setiap hari, namun seringkali kita luput dari kedalaman maknanya. Mari kita selami lebih dalam lautan hikmah yang terkandung dalam tujuh ayat agung ini.
Al-Fatihah memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadis riwayat Bukhari, "Tidak sah salat seseorang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (pembuka Kitab, yaitu Al-Fatihah)." Ini menunjukkan bahwa Al-Fatihah adalah rukun salat yang tidak bisa ditinggalkan. Keagungannya juga tergambar dalam banyak penamaan yang disematkan kepadanya.
Keutamaan-keutamaan ini menegaskan bahwa Al-Fatihah bukan sekadar rangkaian kata, melainkan sebuah manifestasi kekuatan ilahi, panduan spiritual, dan jembatan penghubung antara hamba dengan Sang Pencipta. Memahami setiap ayatnya adalah langkah pertama menuju pengamalan yang lebih mendalam dan ibadah yang lebih khusyuk.
Meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama apakah Basmalah merupakan bagian dari ayat pertama Al-Fatihah atau bukan, namun mayoritas ulama sepakat untuk selalu membacanya di awal setiap surat (kecuali surat At-Taubah) dan sebelum memulai setiap perbuatan baik. Basmalah adalah kunci pembuka, sebuah deklarasi awal yang mengandung makna dan tujuan mendalam.
Kata "Bismillah" berarti "Dengan nama Allah". Ini adalah sebuah pernyataan penyerahan diri dan permohonan pertolongan. Ketika seseorang memulai sesuatu dengan "Bismillah", ia seolah berkata, "Saya memulai ini dengan menyebut nama Allah, memohon pertolongan-Nya, dan mencari keberkahan dari-Nya." Ini adalah pengakuan bahwa segala kekuatan, kemampuan, dan kesuksesan datang dari Allah semata. Tanpa izin dan pertolongan-Nya, tidak ada yang dapat tercapai.
Mengucapkan "Bismillah" bukan hanya ritual lisan, tetapi harus disertai dengan kesadaran hati. Ia mengingatkan kita untuk selalu mengaitkan setiap tindakan dengan tujuan yang lebih tinggi, yaitu mencari ridha Allah, dan menjauhkan diri dari kesombongan yang mengira bahwa keberhasilan berasal dari usaha sendiri semata. Dengan "Bismillah", kita menempatkan Allah sebagai pusat dari segala aktivitas, menjadikan-Nya sebagai poros dan tujuan utama.
Dua nama Allah ini, Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih) dan Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang), adalah dua nama yang paling sering disebutkan dalam Al-Quran dan selalu bersanding dalam Basmalah. Meskipun keduanya berasal dari akar kata yang sama, rahmah (kasih sayang), namun memiliki nuansa makna yang berbeda dan saling melengkapi:
Penyebutan kedua nama ini secara bersamaan di awal setiap surat dan setiap perbuatan baik mengajarkan kita tentang sifat Allah yang dominan: kasih sayang. Allah ingin hamba-Nya tahu bahwa Dia adalah Tuhan yang penuh kasih, yang mengasihi semua makhluk-Nya di dunia dan secara khusus mengasihi orang-orang beriman di akhirat. Ini menumbuhkan harapan dan optimisme, sekaligus menjadi motivasi untuk senantiasa berbuat kebaikan agar layak mendapatkan rahmat khusus-Nya.
Dengan Basmalah, seorang Muslim memulai setiap tindakan dengan mengingat Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini bukan hanya doa, tetapi juga pengingat konstan akan hakikat keberadaan, tujuan hidup, dan sumber segala kebaikan.
Setelah mengawali dengan Basmalah yang penuh rahmat, Al-Fatihah segera melanjutkan dengan deklarasi pujian mutlak kepada Allah. Ayat ini adalah fondasi dari seluruh ibadah dan keyakinan dalam Islam. Ia mengandung pengakuan akan keesaan Allah dalam segala kesempurnaan-Nya dan kekuasaan-Nya atas seluruh alam.
Kata "Alhamdulillah" mengandung makna yang jauh lebih luas daripada sekadar "terima kasih". Ia adalah gabungan dari dua konsep penting:
Jadi, "Alhamdulillah" berarti segala bentuk pujian, sanjungan, dan pengagungan yang sempurna itu hanyalah milik Allah semata. Pujian ini timbul dari rasa takjub, kekaguman, cinta, dan pengakuan akan kebesaran-Nya yang tak terbatas. Berbeda dengan syukr (terima kasih), yang umumnya diberikan karena suatu kebaikan atau nikmat yang diterima, hamd lebih bersifat umum dan mencakup pujian atas Dzat Allah, bahkan tanpa adanya sebab kenikmatan langsung. Seorang Muslim memuji Allah dalam suka dan duka, dalam keadaan lapang maupun sempit, karena Allah tetaplah Tuhan yang Maha Sempurna dan Maha Terpuji.
Pernyataan "Alhamdulillah" ini adalah sebuah penegasan tauhid (keesaan Allah) dalam rububiyyah (ketuhanan) dan uluhiyyah (peribadahan). Segala pujian dan sanjungan tidak boleh ditujukan kepada selain Allah, karena Dialah satu-satunya Dzat yang memiliki segala kesempurnaan mutlak.
Frasa "Rabbil 'Alamin" adalah penegasan kedua setelah pujian. "Rabb" adalah salah satu nama dan sifat Allah yang sangat kaya makna, mencakup:
Singkatnya, "Rabb" adalah Dzat yang menciptakan, memiliki, mengatur, memelihara, dan mendidik seluruh alam semesta. Ini adalah konsep tauhid rububiyyah, yaitu pengakuan bahwa hanya Allah satu-satunya yang Maha Kuasa dalam mengatur dan mengelola alam semesta.
Kata "'Alamin" (semesta alam) adalah bentuk jamak dari 'alam, yang merujuk pada segala sesuatu selain Allah. Ini mencakup manusia, jin, malaikat, hewan, tumbuhan, planet, bintang, galaksi, dan semua dimensi alam semesta yang kita ketahui maupun tidak kita ketahui. Dengan menyebut "Rabbil 'Alamin", kita mengakui bahwa kekuasaan Allah tidak terbatas pada satu makhluk atau satu alam saja, melainkan meliputi seluruh ciptaan-Nya. Ini adalah visi yang luas tentang kebesaran Allah, yang menumbuhkan rasa rendah diri dan kekaguman dalam diri hamba.
Ayat pertama ini menanamkan kesadaran mendalam bahwa semua kebaikan, keindahan, dan kesempurnaan berasal dari Allah, Tuhan seluruh alam yang Maha Berkuasa. Ini menjadi dasar bagi pengamalan ibadah dan ketaatan selanjutnya, karena siapa yang patut disembah dan dipatuhi selain Dzat yang Maha Terpuji dan Penguasa Semesta?
Ayat kedua Al-Fatihah adalah pengulangan dari dua nama Allah yang agung yang telah disebutkan dalam Basmalah. Pengulangan ini bukan tanpa makna, melainkan menegaskan kembali betapa dominannya sifat kasih sayang Allah dalam interaksi-Nya dengan makhluk. Setelah memuji-Nya sebagai Rabbul 'Alamin, Tuhan yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, Allah segera mengingatkan kita tentang rahmat-Nya yang luas.
Penempatan "Ar-Rahmanir Rahim" tepat setelah "Rabbil 'Alamin" memiliki hikmah yang dalam. Ini menunjukkan bahwa meskipun Allah adalah Penguasa mutlak dan Maha Perkasa, kekuasaan-Nya diiringi dengan rahmat yang tak terbatas. Dia adalah Tuhan yang ditakuti karena kebesaran-Nya, tetapi juga dicintai karena kasih sayang-Nya yang melimpah.
Pengulangan ini berfungsi sebagai penenang bagi hati hamba. Seringkali, gambaran tentang Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Perkasa bisa menimbulkan rasa takut yang berlebihan atau keputusasaan bagi manusia yang merasa kecil dan penuh dosa. Namun, dengan segera menyebutkan Ar-Rahmanir Rahim, Allah menegaskan bahwa rahmat-Nya mendahului murka-Nya. Dia adalah sumber harapan, pemaaf, dan penyayang.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya:
Pengulangan sifat rahmat ini menanamkan keseimbangan yang penting dalam hati seorang Muslim: antara harapan (raja') kepada rahmat Allah dan takut (khauf) akan azab-Nya. Ketika kita mengingat bahwa Allah adalah Ar-Rahmanir Rahim, hati kita dipenuhi harapan akan ampunan dan pertolongan-Nya. Ini mendorong kita untuk tidak berputus asa dari rahmat Allah, bahkan setelah melakukan kesalahan.
Pada saat yang sama, pemahaman tentang rahmat ini juga harus dibarengi dengan rasa takut dan hormat kepada-Nya, karena rahmat Ar-Rahim (yang khusus) hanya diberikan kepada mereka yang berjuang di jalan-Nya. Ini adalah motivasi untuk terus beribadah, menjauhi maksiat, dan mendekatkan diri kepada-Nya.
Ayat ini juga menjadi pengingat bagi kita untuk meniru sifat rahmat Allah dalam interaksi sesama manusia dan makhluk lainnya. Seorang Muslim yang memahami Ar-Rahmanir Rahim akan berusaha menjadi pribadi yang penuh kasih sayang, pemaaf, dan peduli terhadap sesama, karena ia mencerminkan sifat Tuhannya.
Dengan demikian, ayat kedua Al-Fatihah ini memperdalam pemahaman kita tentang Allah, tidak hanya sebagai Penguasa yang perkasa tetapi juga sebagai Dzat yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang selalu membuka pintu ampunan dan kebaikan bagi hamba-hamba-Nya.
Ayat ketiga Al-Fatihah membawa kita pada sebuah dimensi keimanan yang sangat penting: keyakinan pada Hari Akhir. Setelah mengagungkan Allah sebagai Rabbul 'Alamin yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kini Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai Maliki Yaumid Din, Pemilik dan Penguasa Hari Pembalasan. Ayat ini menyeimbangkan antara harapan akan rahmat-Nya dengan kesadaran akan keadilan-Nya yang mutlak.
Ada dua cara baca (qiraat) yang masyhur untuk kata ini:
Kedua bacaan ini memiliki makna yang saling melengkapi dan sama-sama benar. Intinya, baik sebagai Raja (Malik) maupun Pemilik (Maalik), Allah adalah satu-satunya Dzat yang berwenang penuh dan mutlak atas Hari Pembalasan. Di hari itu, tidak ada raja selain Dia, tidak ada pemilik selain Dia, dan tidak ada yang bisa memberi syafaat (pertolongan) tanpa izin-Nya.
Frasa "Yaumid Din" (Hari Pembalasan) merujuk pada Hari Kiamat, hari di mana seluruh amal perbuatan manusia akan dihitung dan dibalas dengan seadil-adilnya. Kata "Din" dalam konteks ini dapat diartikan sebagai:
Hari Pembalasan adalah inti dari keyakinan pada akhirat, salah satu pilar keimanan dalam Islam. Keyakinan ini memiliki dampak besar terhadap perilaku manusia di dunia. Menyadari bahwa ada hari di mana setiap perbuatan, sekecil apa pun, akan dipertanggungjawabkan, mendorong seorang Muslim untuk selalu berhati-hati dalam setiap ucapan dan tindakannya. Ia menumbuhkan rasa tanggung jawab, menjauhkan dari kezaliman, dan memotivasi untuk berbuat kebaikan.
Penyebutan "Maliki Yaumid Din" setelah "Ar-Rahmanir Rahim" adalah sebuah keseimbangan yang sempurna. Setelah menegaskan rahmat-Nya yang tak terbatas, Allah segera mengingatkan tentang keadilan-Nya yang tak terhindarkan. Ini mencegah manusia dari berlebihan dalam berharap pada rahmat Allah tanpa disertai usaha dan ketaatan, atau sebaliknya, putus asa karena dosa-dosa.
Seorang Muslim harus berada di antara rasa takut (khauf) akan azab dan hari pertanggungjawaban, serta harapan (raja') akan rahmat dan ampunan Allah. Keyakinan pada Hari Pembalasan adalah penjaga moral dan etika, memastikan bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi abadi. Ia mengingatkan bahwa kehidupan dunia hanyalah persinggahan sementara, dan ada kehidupan abadi yang menanti di mana keadilan sejati akan ditegakkan.
Dengan demikian, ayat ketiga Al-Fatihah ini menanamkan kesadaran akan pentingnya persiapan untuk akhirat, memperkuat iman pada keadilan Allah, dan mendorong kita untuk menjalani hidup dengan penuh kesadaran akan pertanggungjawaban di hadapan Sang Penguasa Hari Pembalasan.
Ayat keempat ini adalah jantung dari Surat Al-Fatihah dan merupakan inti dari ajaran tauhid dalam Islam. Ia adalah pernyataan tegas tentang keesaan Allah dalam hal peribadatan dan permohonan pertolongan. Ayat ini membagi Al-Fatihah menjadi dua bagian, sebagaimana disebutkan dalam Hadits Qudsi, "Saya membagi salat (Al-Fatihah) antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian: setengah untuk-Ku dan setengah untuk hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta." Bagian pertama (ayat 1-3) adalah pujian kepada Allah, dan bagian kedua (ayat 4-7) adalah permohonan dari hamba.
Kata "Iyyaka" yang diletakkan di awal kalimat memiliki fungsi penekanan dan pembatasan, yang berarti "hanya kepada Engkau saja" atau "tidak kepada selain Engkau". Ini adalah deklarasi tauhid uluhiyyah, yaitu pengakuan bahwa hanya Allah satu-satunya Dzat yang berhak disembah.
"Na'budu" berasal dari kata ibadah, yang maknanya sangat luas dalam Islam. Ibadah bukan hanya terbatas pada ritual salat, puasa, zakat, dan haji, tetapi mencakup setiap perbuatan, perkataan, dan bahkan niat yang dilakukan dengan tujuan mencari ridha Allah dan sesuai dengan tuntunan-Nya. Ibadah adalah:
Pernyataan "Iyyaka Na'budu" adalah janji seorang hamba untuk mengabdikan seluruh hidupnya, jiwa, dan raganya hanya kepada Allah. Ini adalah penolakan tegas terhadap segala bentuk syirik (menyekutukan Allah) dan pengakuan bahwa tidak ada ilah (sembahan) yang hak selain Allah. Ini menuntut konsistensi dalam tindakan, perkataan, dan keyakinan, agar semuanya hanya tertuju kepada Allah.
Frasa "Wa Iyyaka Nasta'in" juga diawali dengan "Iyyaka" untuk menegaskan bahwa permohonan pertolongan hanya layak ditujukan kepada Allah semata. "Nasta'in" berarti "kami memohon pertolongan". Ini adalah deklarasi tauhid asma wa sifat, yaitu pengakuan bahwa Allah adalah satu-satunya sumber pertolongan yang hakiki dan mutlak.
Manusia adalah makhluk yang lemah, penuh keterbatasan, dan selalu membutuhkan pertolongan. Pernyataan ini mengajarkan kita untuk selalu bergantung kepada Allah dalam setiap urusan, baik besar maupun kecil. Ketika kita menghadapi kesulitan, kita memohon pertolongan-Nya. Ketika kita ingin melakukan kebaikan, kita memohon kekuatan dari-Nya. Bahkan dalam ibadah sekalipun, kita membutuhkan pertolongan Allah agar dapat melaksanakannya dengan benar dan ikhlas.
Meskipun Islam mengajarkan kita untuk mengambil sebab (berusaha), namun pada akhirnya, keberhasilan atau kegagalan itu ada di tangan Allah. Memohon pertolongan kepada Allah (isti'anah) tidak berarti pasif dan tidak berusaha, melainkan justru memadukan usaha maksimal dengan penyerahan diri total kepada kehendak Allah. Ini adalah konsep tawakkul yang benar: berusaha sekuat tenaga, lalu berserah diri sepenuhnya kepada Allah.
Penyebutan "Iyyaka Na'budu" terlebih dahulu sebelum "Iyyaka Nasta'in" menunjukkan hubungan yang erat dan logis antara keduanya:
Ayat ini adalah sumpah setia seorang hamba kepada Rabbnya, sebuah ikrar untuk mengesakan Allah dalam segala aspek kehidupan. Ia adalah fondasi akhlak, motivasi amal saleh, dan sumber kekuatan spiritual. Dengan menghayati ayat ini, seorang Muslim akan merasa tenang karena menyandarkan segala urusannya kepada Dzat yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana.
Setelah menyatakan ikrar tauhid dan penyerahan diri secara total dalam ayat sebelumnya, seorang hamba kemudian melontarkan permohonan yang paling mendasar dan terpenting: petunjuk menuju jalan yang lurus. Ayat ini adalah puncak dari doa seorang Muslim kepada Allah, sebuah permohonan yang diulang puluhan kali setiap hari dalam salat, menunjukkan betapa krusialnya hidayah dalam kehidupan.
Kata "Ihdina" berasal dari akar kata hidaya, yang berarti petunjuk atau bimbingan. Namun, dalam konteks Al-Quran, "hidaya" memiliki beberapa tingkatan makna:
Ketika kita memohon "Ihdina", kita meminta Allah bukan hanya untuk menunjukkan kepada kita jalan yang lurus, tetapi juga untuk membimbing kita untuk melangkah di atasnya, menguatkan kita agar tetap teguh, dan membawa kita hingga mencapai tujuan akhir yang diridhai-Nya. Permohonan ini diucapkan dalam bentuk jamak ("kami"), menunjukkan solidaritas umat Muslim dalam mencari petunjuk dan mengakui bahwa kita semua membutuhkan hidayah Allah.
Frasa "As-Siratal Mustaqim" adalah metafora yang indah untuk jalan kebenaran. "Sirat" berarti jalan yang luas, jelas, dan mudah dilalui, sedangkan "Mustaqim" berarti lurus, tidak berliku, dan tidak menyimpang. Jalan yang lurus ini adalah:
Jalan yang lurus ini adalah representasi dari ajaran Islam yang murni, yang dibawa oleh seluruh nabi dan rasul, dan disempurnakan melalui Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ia adalah jalan yang jelas, terang, dan tidak ada keraguan di dalamnya. Namun, meskipun jalannya jelas, manusia tetap membutuhkan bimbingan ilahi untuk bisa menemukannya, melangkah di atasnya, dan tetap teguh hingga akhir hayat.
Mengapa seorang Muslim, yang telah beriman dan shalat, masih harus terus menerus memohon hidayah? Hal ini karena:
Ayat ini mengajarkan kita tentang kerendahan hati dan kesadaran akan keterbatasan diri. Sekaya atau seberilmu apapun seseorang, ia tetaplah faqir (membutuhkan) di hadapan Allah, selalu memerlukan bimbingan-Nya. Permohonan "Ihdinas Siratal Mustaqim" adalah inti dari setiap doa, karena tanpa petunjuk ini, semua upaya kita bisa sia-sia. Ia adalah kompas yang menuntun kita dalam setiap aspek kehidupan, memastikan bahwa setiap langkah kita berada di jalur yang diridhai Allah.
Ayat keenam ini berfungsi sebagai penjelas (tafsir) dari "Siratal Mustaqim". Ia memberikan gambaran konkret tentang siapa saja yang berjalan di atas jalan yang lurus itu, yaitu mereka yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah. Ini adalah cara Allah untuk mengilustrasikan "jalan yang lurus" dengan memberikan contoh-contoh nyata yang bisa kita teladani.
Untuk memahami siapa "orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka", kita dapat merujuk pada penjelasan Allah dalam surat An-Nisa ayat 69:
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا
"Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama dengan orang-orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pencinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sebaik-baik teman."
Dari ayat tersebut, kita dapat mengidentifikasi empat golongan orang yang telah dianugerahi nikmat sempurna oleh Allah:
Nikmat yang dimaksud di sini bukanlah nikmat duniawi seperti harta, kekuasaan, atau ketenaran, melainkan nikmat hidayah (petunjuk) dan taufiq (kemampuan untuk beramal) untuk istiqamah di atas kebenaran. Ini adalah nikmat spiritual yang paling agung, yang akan mengantarkan pada kebahagiaan abadi di akhirat.
Ayat ini mengajarkan kita pentingnya memilih teladan dalam hidup. Dengan memohon jalan orang-orang yang telah diberi nikmat, kita secara tidak langsung juga memohon agar dapat meneladani sifat-sifat mulia mereka, mengikuti jejak langkah mereka, dan pada akhirnya, berkumpul bersama mereka di surga.
Ini juga menanamkan motivasi bagi kita untuk selalu mencari ilmu, memahami Al-Quran dan Sunnah, serta bergaul dengan orang-orang saleh yang dapat membimbing kita ke jalan yang benar. Lingkungan dan teladan memiliki pengaruh besar dalam menjaga kita tetap di atas siratal mustaqim.
Permohonan ini tidak hanya sekadar berharap, tetapi juga sebuah komitmen untuk berusaha meniru dan mengikuti jejak para teladan tersebut. Ini adalah pengakuan bahwa kesuksesan sejati adalah mengikuti jalan yang telah terbukti kebenarannya, jalan yang telah ditempuh oleh hamba-hamba pilihan Allah.
Ayat terakhir dalam Al-Fatihah ini adalah penegasan negatif yang menjelaskan lebih lanjut tentang "Siratal Mustaqim" dengan menyebutkan dua kategori jalan yang harus dihindari. Ini adalah peringatan keras dari Allah agar hamba-Nya tidak jatuh ke dalam kesesatan dan murka-Nya. Setelah memohon jalan yang benar (jalan orang-orang yang diberi nikmat), seorang Muslim juga memohon untuk dijauhkan dari jalan yang menyimpang.
"Al-Maghdubi 'Alaihim" berarti "mereka yang dimurkai". Dalam tafsir, secara umum, golongan ini merujuk kepada mereka yang memiliki ilmu dan mengetahui kebenaran, namun enggan mengamalkannya, bahkan menolaknya karena kesombongan, kedengkian, atau kepentingan duniawi. Mereka tahu apa yang benar, namun memilih untuk mengingkari atau menentangnya. Akibat dari penolakan terhadap kebenaran yang telah diketahui ini adalah murka Allah.
Secara historis, banyak ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan "mereka yang dimurkai" adalah kaum Yahudi. Hal ini didasarkan pada ayat-ayat Al-Quran lain dan hadis yang menyebutkan bahwa mereka mengetahui kebenaran, namun mereka menyembunyikan dan menentangnya, sehingga berhak mendapatkan murka Allah.
Namun, makna ini tidak terbatas hanya pada kaum Yahudi. Setiap orang yang memiliki ilmu tentang kebenaran tetapi tidak mengamalkannya, atau bahkan menentangnya, termasuk dalam kategori ini dan berpotensi mendapatkan murka Allah.
"Ad-Dallin" berarti "mereka yang sesat" atau "mereka yang tersesat". Golongan ini adalah mereka yang beribadah kepada Allah atau berusaha mencari kebenaran, namun melakukannya tanpa ilmu atau petunjuk yang benar, sehingga berakhir pada kesesatan. Mereka mungkin memiliki niat baik, tetapi karena kebodohan atau kelalaian dalam mencari ilmu, mereka menempuh jalan yang salah. Kesesatan ini bukan karena penolakan terhadap kebenaran yang diketahui, melainkan karena ketidaktahuan atau salah paham.
Secara historis, banyak ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan "mereka yang sesat" adalah kaum Nasrani (Kristen). Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa mereka beribadah dan memiliki niat baik, namun melakukan bid'ah dan penyimpangan dalam akidah tanpa ilmu yang benar, seperti konsep trinitas yang menyimpang dari tauhid.
Seperti halnya "mereka yang dimurkai", makna "mereka yang sesat" juga tidak terbatas pada kaum Nasrani. Setiap orang yang beramal tanpa ilmu, atau tersesat karena kebodohan dan kelalaian dalam mempelajari agama yang benar, termasuk dalam kategori ini.
Ayat ini mengajarkan kita tentang dua pilar penting dalam agama: ilmu dan amal.
Oleh karena itu, doa ini adalah permohonan agar Allah membimbing kita menuju jalan yang memiliki ilmu (kebenaran) dan amal (melaksanakan kebenaran itu), serta menjauhkan kita dari jalan orang yang berilmu tapi tidak beramal (dimurkai) dan jalan orang yang beramal tapi tidak berilmu (sesat).
Ketika kita mengucapkan "Aamiin" setelah membaca Al-Fatihah, kita menguatkan permohonan ini kepada Allah: "Ya Allah, kabulkanlah doa kami untuk ditunjuki jalan yang lurus, jalan para nabi, siddiqin, syuhada, dan salihin, serta jauhkanlah kami dari jalan orang-orang yang dimurkai dan tersesat." Ini adalah permohonan yang menyeluruh, mencakup keselamatan dunia dan akhirat.
Tidaklah berlebihan jika Al-Fatihah disebut sebagai "Ummul Quran" atau Induk Al-Quran. Dalam tujuh ayatnya yang ringkas, terkandung inti sari seluruh ajaran, prinsip, dan tujuan Al-Quran. Setiap tema besar yang diuraikan secara mendalam dalam Al-Quran dapat ditemukan akarnya di Al-Fatihah.
Al-Fatihah adalah sebuah cetak biru, sebuah peta jalan kehidupan yang komprehensif. Ia bukan hanya doa, tetapi juga pernyataan akidah, ikrar ibadah, dan panduan moral. Dengan memahami dan menghayati Al-Fatihah, seorang Muslim akan mendapatkan gambaran utuh tentang Islam dan tujuan hidupnya di dunia ini.
Keutamaan dan makna Al-Fatihah yang begitu mendalam tidak berhenti pada tataran teoritis. Ia memiliki implikasi praktis dan manfaat besar dalam kehidupan seorang Muslim:
Mengamalkan Al-Fatihah berarti tidak hanya melafalkannya, tetapi juga merenungkan maknanya, merasakan kehadiran Allah dalam setiap kata, dan berupaya mengaplikasikan pesan-pesannya dalam setiap aspek kehidupan. Ia adalah bekal spiritual yang tak ternilai harganya, mengantar seorang hamba menuju kedekatan dengan Sang Pencipta.
Surat Al-Fatihah adalah sebuah mahakarya ilahi, sebuah mukjizat yang terkandung dalam tujuh ayat. Ia adalah permulaan dan ringkasan dari seluruh Al-Quran, doa yang paling agung, dan fondasi setiap ibadah salat. Setiap kata dan kalimatnya mengandung hikmah, bimbingan, dan pelajaran hidup yang tak ternilai harganya.
Dari pengagungan Allah sebagai Rabbul 'Alamin yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dan Penguasa Hari Pembalasan, hingga ikrar penyerahan diri hanya kepada-Nya, serta permohonan tulus untuk dibimbing di jalan yang lurus dan dijauhkan dari kesesatan, Al-Fatihah merangkum esensi penghambaan seorang Muslim. Ia adalah dialog intim antara hamba dan Penciptanya, jembatan yang menghubungkan manusia dengan sumber segala kebaikan dan petunjuk.
Semoga dengan memahami makna mendalam dari setiap ayat Al-Fatihah ini, kita dapat meningkatkan kualitas ibadah kita, memperkuat iman, dan mengamalkan nilai-nilai luhurnya dalam setiap aspek kehidupan. Biarlah Al-Fatihah tidak hanya menjadi bacaan lisan yang berulang, tetapi menjadi denyut nadi spiritual yang senantiasa membimbing hati dan langkah kita di jalan yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala.