Pengantar Surah Al-Kahfi dan Signifikansinya
Surah Al-Kahfi adalah salah satu surah yang memiliki kedudukan istimewa dalam Al-Qur'an. Terletak di juz ke-15 dan ke-16, surah Makkiyah ini terdiri dari 110 ayat dan secara konsisten dibaca oleh umat Islam setiap hari Jumat, sebagaimana anjuran Nabi Muhammad SAW. Keistimewaan Surah Al-Kahfi tidak hanya terletak pada pahala membacanya, tetapi juga pada kandungan maknanya yang mendalam, terutama dalam menghadapi berbagai 'fitnah' atau ujian kehidupan.
Secara garis besar, Surah Al-Kahfi mengisahkan empat cerita utama yang menjadi inti dari ujian-ujian tersebut:
- Kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua): Ujian keimanan dalam menghadapi kekuasaan zalim.
- Kisah Dua Pemilik Kebun: Ujian harta dan kesombongan.
- Kisah Nabi Musa dan Khidir: Ujian ilmu dan kesabaran.
- Kisah Dzulkarnain: Ujian kekuasaan dan kepemimpinan.
Artikel ini akan berfokus pada salah satu kisah paling menonjol dalam surah ini, yaitu kisah dua pemilik kebun, yang bermula dari ayat ke-32. Kisah ini secara gamblang menggambarkan bahaya kesombongan yang timbul akibat harta benda dunia, serta pentingnya selalu mengaitkan segala nikmat kepada Allah SWT. Melalui perbandingan antara dua karakter yang sangat berbeda, kita diajak untuk merenungkan makna kekayaan sejati dan kebahagiaan hakiki. Ini adalah salah satu bentuk teguran ilahi yang penuh hikmah, mengingatkan manusia akan sifat fana dunia dan keagungan Sang Pencipta.
Kisah ini merupakan inti dari ‘fitnah al-mal’ atau ujian harta, yang merupakan salah satu ujian paling berat bagi manusia. Bagaimana seseorang menyikapi kekayaan yang diberikan kepadanya akan menjadi penentu apakah ia termasuk golongan yang bersyukur atau ingkar. Al-Qur'an menyajikan kisah ini dengan detail yang mendalam, agar setiap pembacanya dapat memetik pelajaran dan mengambil ibrah untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kisah Dua Pemilik Kebun: Ayat 32-44 Surah Al-Kahfi
Kisah ini dimulai dengan gambaran yang kontras antara dua orang laki-laki. Allah SWT memberikan satu di antara mereka kekayaan yang melimpah ruah, dalam bentuk dua kebun anggur yang subur, dikelilingi oleh pohon kurma, dan di antara keduanya mengalir sungai. Sementara itu, kawan yang satunya digambarkan sebagai seseorang yang hidup dalam kesederhanaan. Kisah ini bukan sekadar perbandingan harta, melainkan tentang bagaimana kedua individu ini menyikapi nikmat Allah dan ujian kehidupan. Perumpamaan ini adalah cermin bagi manusia untuk melihat dampak kesombongan dan kekufuran nikmat, serta keutamaan tawadhu (rendah hati) dan syukur.
Ayat 32: Gambaran Kebun yang Makmur
"Dan berikanlah kepada mereka (manusia) suatu perumpamaan, dua orang laki-laki, yang Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya dua buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan di antara keduanya (kebun itu) Kami buatkan ladang."
Ayat ini membuka kisah dengan instruksi kepada Nabi Muhammad SAW untuk memberikan perumpamaan tentang dua orang laki-laki. Kata "اضْرِبْ لَهُم مَّثَلًا" (Dan berikanlah kepada mereka suatu perumpamaan) menunjukkan bahwa kisah ini memiliki hikmah dan pelajaran yang sangat penting bagi umat manusia. Allah ingin agar manusia mengambil ibrah dari narasi ini, bukan sekadar cerita belaka, melainkan untuk direnungkan dan dipetik intisarinya dalam konteks kehidupan mereka sendiri.
Fokus pertama adalah pada salah satu dari dua laki-laki tersebut, yang dianugerahi "جَنَّتَيْنِ مِنْ أَعْنَابٍ" (dua kebun anggur). Anggur adalah buah yang sangat berharga dan menjadi komoditas penting di Jazirah Arab, melambangkan kemakmuran, kenikmatan, dan kekayaan yang substansial. Penyebutan "dua kebun" (جَنَّتَيْنِ) bukan hanya sekadar penggambaran kuantitas, tetapi juga kualitas dan kesempurnaan. Dua kebun menunjukkan tingkat kekayaan yang luar biasa, mungkin terpisah namun saling melengkapi atau berdekatan, menjadikannya sebuah entitas pertanian yang sangat besar dan produktif.
Kemudian, disebutkan bahwa kebun-kebun itu "وَحَفَفْنَاهُمَا بِنَخْلٍ" (dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma). Pohon kurma juga merupakan simbol kemakmuran, ketahanan, dan sumber pangan utama di daerah gurun yang tandus. Kehadiran pohon kurma sebagai pagar atau pelindung kebun anggur tidak hanya menambah nilai estetika tetapi juga menunjukkan perencanaan yang matang dan kemewahan yang sempurna. Pohon kurma dikenal memiliki akar yang dalam dan batang yang kokoh, sehingga berfungsi sebagai benteng alami yang melindungi kebun anggur dari angin kencang, erosi, dan bahkan sebagai batas kepemilikan. Ini adalah sebuah sistem pertanian yang terintegrasi dan berkelanjutan, menjamin produktivitas yang maksimal.
Yang membuat kebun ini semakin istimewa adalah "وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمَا زَرْعًا" (dan di antara keduanya Kami buatkan ladang). Beberapa mufasir menafsirkan 'zar'an' sebagai lahan pertanian atau tanaman lain, sementara yang lain menafsirkan bahwa di antara kebun-kebun itu terdapat sungai yang mengalir, atau setidaknya lahan yang subur untuk ditanami. Tafsiran umum yang populer adalah adanya aliran air atau sungai kecil yang mengairi kedua kebun tersebut, menjadikan ekosistem kebun itu sempurna dan menjamin kesuburannya tanpa henti. Ini adalah gambaran kekayaan yang ideal, sebuah oasis di tengah gurun, yang menjanjikan hasil panen yang berlimpah dan keberlangsungan yang terjamin. Ini menunjukkan bahwa pemiliknya tidak perlu khawatir akan pasokan air, yang merupakan elemen vital bagi keberlangsungan pertanian di wilayah tersebut.
Penting untuk dicatat bahwa ayat ini secara eksplisit menggunakan kata "جَعَلْنَا" (Kami jadikan) dan "حَفَفْنَاهُمَا" (Kami kelilingi keduanya) serta "جَعَلْنَا" (Kami buatkan) – semua dalam bentuk jamak penghormatan, merujuk kepada Allah SWT. Ini adalah penekanan awal bahwa semua kekayaan dan keberlimpahan itu adalah anugerah langsung dari Allah, bukan semata-mata hasil usaha, kepintaran, atau hak mutlak si pemilik. Pesan ini akan menjadi sangat kontras dengan sikap sombong yang akan ditunjukkan oleh pemilik kebun tersebut, yang mengklaim semua itu sebagai miliknya dan hasil jerih payahnya.
Gambaran awal ini penting untuk membangun fondasi kisah. Allah menunjukkan kemurahan-Nya yang luar biasa dalam memberikan nikmat duniawi, tetapi pada saat yang sama, Ia juga menguji bagaimana hamba-Nya menyikapi nikmat tersebut. Apakah nikmat itu akan menjadi jembatan menuju syukur dan ketaatan, ataukah justru menjadi jurang kesombongan dan kekufuran?
Ayat 33: Kesuburan dan Sumber Air yang Abadi
"Kedua kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tidak kurang (buahnya) sedikit pun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu."
Ayat ini melengkapi gambaran kemakmuran kebun tersebut, menekankan pada produktivitas yang sempurna dan sumber daya yang tak terbatas. "كِلْتَا الْجَنَّتَيْنِ آتَتْ أُكُلَهَا" (Kedua kebun itu menghasilkan buahnya) menunjukkan bahwa produksi buah dari kedua kebun tersebut sangat melimpah dan tidak pernah berhenti. Kata "أُكُلَهَا" (buahnya/hasilnya) mencakup segala macam hasil panen yang bisa diperoleh dari kebun tersebut, baik anggur, kurma, maupun tanaman lainnya yang ada di ladang. Ini mengisyaratkan keberkahan yang menyeluruh, bukan hanya panen yang banyak, tetapi juga kualitas buah yang prima.
Ungkapan "وَلَمْ تَظْلِم مِّنْهُ شَيْئًا" (dan kebun itu tidak kurang sedikit pun) memiliki makna ganda. Pertama, hasil panennya selalu sempurna, tidak ada yang berkurang, rusak, atau cacat. Ini menggambarkan keberlanjutan dan keberkahan yang luar biasa pada kebun tersebut, seolah-olah tidak ada musim paceklik atau kegagalan panen. Setiap musim selalu menghasilkan yang terbaik tanpa cacat sedikit pun. Kedua, "tidak kurang sedikit pun" juga bisa diartikan bahwa kebun itu memberikan haknya secara penuh, yaitu hasil yang maksimal sesuai dengan potensi yang diberikan Allah. Ini adalah puncak dari anugerah duniawi, yang diidamkan oleh setiap petani atau pemilik tanah: sumber penghidupan yang stabil, melimpah, dan bebas dari kerugian.
Dan sebagai penegas dari keberlanjutan serta kesempurnaan tersebut, Allah berfirman, "وَفَجَّرْنَا خِلَالَهُمَا نَهَرًا" (dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu). Ayat ini mengonfirmasi tafsiran sebelumnya bahwa 'zar'an' di ayat 32 kemungkinan merujuk pada adanya sumber air. Kata "فَجَّرْنَا" (Kami alirkan/pancarkan) menunjukkan bahwa aliran air itu bukan sekadar genangan, melainkan sungai yang terus-menerus mengalir, sumber kehidupan bagi seluruh tanaman di kebun itu. Air adalah inti dari kesuburan, dan dengan adanya sungai yang mengalir di antara kebun-kebun tersebut, dipastikan bahwa kekayaan itu akan terus berkembang dan tidak akan pernah mengering. Air yang mengalir ini tidak hanya berfungsi sebagai irigasi, tetapi juga menambah keindahan dan kesejukan, menjadikan kebun tersebut surga duniawi.
Ayat ini kembali menekankan peran Allah SWT sebagai Pemberi segala nikmat, dengan penggunaan "Kami alirkan" (فَجَّرْنَا). Ini adalah peringatan halus bagi pemilik kebun dan bagi kita semua bahwa semua kemudahan, kelimpahan, dan kesempurnaan di dunia ini berasal dari Dzat Yang Maha Kuasa. Tanpa kehendak dan kekuasaan-Nya, tidak ada satu pun dari nikmat itu yang dapat terwujud atau bertahan. Keberkahan ini seharusnya memicu rasa syukur dan pengakuan akan keagungan Allah, namun sayangnya, bagi si pemilik kebun yang angkuh, hal itu justru menjadi pemicu kesombongan.
Ayat 34: Kesombongan dan Perbandingan Diri
"Dan dia mempunyai kekayaan besar, maka dia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia: 'Hartaku lebih banyak dari hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat'."
Inilah puncak dari gambaran kekayaan si pemilik kebun yang berujung pada sifat tercela yang sangat dibenci oleh Allah, yaitu kesombongan dan keangkuhan. "وَكَانَ لَهُ ثَمَرٌ" (Dan dia mempunyai kekayaan besar). Kata "ثَمَرٌ" secara harfiah berarti "buah" atau "hasil", tetapi dalam konteks ini, secara luas diartikan sebagai "kekayaan" atau "harta benda" secara umum, yang mencakup hasil pertanian yang melimpah, uang, perhiasan, properti, dan segala bentuk aset berharga. Ini menunjukkan bahwa kekayaan yang dimilikinya tidak hanya terbatas pada kebunnya, melainkan juga meluas ke aset-aset lain yang tak terhingga, menjadikannya seorang yang sangat makmur di zamannya.
Dengan kekayaan sebesar itu, si pemilik kebun mulai menunjukkan watak aslinya yang telah terpedaya oleh dunia. "فَقَالَ لِصَاحِبِهِ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ" (maka dia berkata kepada kawannya ketika bercakap-cakap dengan dia). Percakapan ini terjadi dalam suasana 'muhawarah', yaitu dialog atau diskusi, namun alih-alih menjadi ajang tukar pikiran yang konstruktif, ia justru menjadi panggung bagi si kaya untuk menunjukkan kesombongan dan keangkuhannya. Ini adalah momen krusial di mana karakternya yang sesungguhnya terungkap.
Inti dari kesombongannya adalah perkataannya yang terang-terangan menunjukkan superioritas diri dan merendahkan orang lain: "أَنَا أَكْثَرُ مِنكَ مَالًا وَأَعَزُّ نَفَرًا" (Hartaku lebih banyak dari hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat). Ini adalah pernyataan yang sangat angkuh dan mencerminkan mentalitas materialistis yang memuja harta dan kekuatan duniawi. Ia membandingkan dirinya dengan temannya, bukan dalam rangka bersyukur atau berbagi, melainkan untuk memamerkan keunggulannya dan menegaskan dominasinya.
Ada dua hal yang disombongkan oleh pemilik kebun ini, yang keduanya merupakan pilar kebanggaan duniawi di banyak masyarakat:
- Harta (مالًا): Ia bangga dengan kuantitas hartanya yang jauh melampaui temannya. Ini adalah kesombongan materialistik yang umum terjadi di mana orang menilai harga diri dari kekayaan yang dimiliki, menganggap harta sebagai tolok ukur kesuksesan dan bahkan kemuliaan di hadapan Allah. Ia melihat harta sebagai kekuasaan mutlak yang bisa memberikan segalanya.
- Pengikut/Keluarga (نَفَرًا): Kata "نَفَرًا" bisa berarti pengikut, keturunan, keluarga, atau pendukung. Dalam budaya Arab, jumlah keluarga, suku, atau kabilah yang kuat menunjukkan kekuatan, pengaruh sosial, dan rasa aman seseorang. Si kaya ini merasa aman dan berkuasa karena memiliki banyak pengikut atau dukungan sosial yang siap melindunginya atau mendukungnya dalam segala situasi. Ini adalah kesombongan sosial dan politik, merasa kuat karena dukungan massa atau koneksi yang luas.
Ayat 35-36: Kekufuran Nikmat dan Pengingkaran Hari Kiamat
"Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri (dengan kesombongan dan kekufuran). Ia berkata: 'Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya,' dan 'Aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan memperoleh tempat kembali yang lebih baik daripada kebun ini'."
Ayat ini menunjukkan sejauh mana kesesatan si pemilik kebun. "وَدَخَلَ جَنَّتَهُ وَهُوَ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ" (Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri). Istilah "ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ" (zalim terhadap dirinya sendiri) adalah kunci di sini. Kezaliman terbesar adalah syirik dan kekufuran nikmat. Dengan kesombongan, mengklaim hak atas apa yang Allah berikan, dan mengaitkan segala kesuksesan kepada dirinya sendiri, ia telah berlaku zalim kepada hak Allah untuk disyukuri dan disembah, serta zalim kepada hak dirinya sendiri untuk mendapatkan petunjuk dan kebahagiaan abadi. Ia telah memilih jalan kehancuran spiritual dan materi.
Dalam keangkuhannya, ia melontarkan dua pernyataan fatal yang mencerminkan kedalaman kesesatannya:
- "مَا أَظُنُّ أَن تَبِيدَ هَٰذِهِ أَبَدًا" (Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya): Ini adalah manifestasi dari kepercayaan buta pada kekekalan duniawi. Ia yakin bahwa kebunnya akan tetap subur, makmur, dan kekayaannya tidak akan pernah lenyap. Ini adalah bentuk kekufuran terhadap sunnatullah (hukum alam dan takdir ilahi) bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah fana, tidak abadi, dan akan mengalami kehancuran pada waktunya. Ia lupa bahwa Allah yang memberikannya, bisa juga mencabutnya.
- "وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً" (Dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang): Ini adalah pengingkaran terhadap hari kebangkitan dan pertanggungjawaban. Seseorang yang mengingkari akhirat cenderung fokus pada kenikmatan dunia semata, tanpa memikirkan konsekuensi perbuatannya, tidak takut akan azab, dan tidak berharap akan pahala abadi. Kesombongan harta seringkali beriringan dengan pengabaian kehidupan setelah mati, karena ia menganggap dunia adalah segalanya dan tidak ada lagi yang perlu dipertanggungjawabkan.
Ayat 37-38: Nasihat Bijak Sang Sahabat
"Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya ketika dia bercakap-cakap dengan dia: 'Apakah kamu kafir kepada Tuhan yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna? Tetapi aku (berkeyakinan): Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Tuhanku'."
Mendengar perkataan angkuh, kufur, dan penuh delusi dari temannya, sahabatnya yang mukmin tidak tinggal diam. Ia berusaha menasihati dengan cara yang bijak, namun tegas, dimulai dengan pertanyaan retoris yang menggugah kesadaran: "أَكَفَرْتَ بِالَّذِي خَلَقَكَ مِن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ سَوَّاكَ رَجُلًا" (Apakah kamu kafir kepada Tuhan yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?). Pertanyaan ini sangat tajam, langsung menyentuh akar permasalahan yaitu pengingkaran terhadap kekuasaan dan keesaan Allah.
Nasihat ini mengandung beberapa poin penting yang dirancang untuk mengembalikan temannya pada realitas dan kebenaran:
- Mengingatkan Asal Usul yang Hina: Sahabatnya mengingatkan si pemilik kebun akan asal usulnya yang hina: dari tanah yang tidak memiliki nilai, kemudian dari setetes mani yang lemah dan tak berdaya. Ini adalah upaya untuk meruntuhkan kesombongannya dengan menunjukkan bahwa ia tidak memiliki apa-apa dari dirinya sendiri; keberadaannya pun adalah ciptaan Allah semata. Bagaimana mungkin seseorang yang diciptakan dari materi yang begitu sederhana bisa menyombongkan diri di hadapan Sang Pencipta Yang Maha Agung?
- Mengingatkan Kekuasaan Allah yang Maha Luar Biasa: Dari asal yang hina itu, Allah menjadikan ia "رَجُلًا" (seorang laki-laki yang sempurna). Ini adalah bukti keagungan dan kekuasaan Allah yang mampu menciptakan dari ketiadaan dan mengembangkan dari yang paling sederhana hingga menjadi manusia yang sempurna, lengkap dengan akal, kekuatan, dan kemampuan. Kekuasaan Allah ini harusnya membuat manusia tunduk dan bersyukur, bukan malah sombong.
- Penegasan Tauhid dan Penolakan Syirik: Setelah itu, sang sahabat menegaskan keimanan dan keyakinannya yang teguh: "لَّٰكِنَّا هُوَ اللَّهُ رَبِّي وَلَا أُشْرِكُ بِرَبِّي أَحَدًا" (Tetapi aku (berkeyakinan): Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Tuhanku). Ini adalah deklarasi tauhid yang jelas dan tegas, kontras dengan sikap syirik (mempersekutukan Allah) yang secara tidak langsung ditunjukkan oleh si kaya yang menganggap kekayaan dan kekuasaannya sebagai miliknya sendiri, bahkan mengaitkannya dengan dirinya sendiri saat bicara tentang hari akhirat. Syirik di sini adalah syirik dalam sifat-sifat Allah, yaitu merasa memiliki kekuatan dan kekuasaan mutlak layaknya Tuhan, bukan syirik menyembah berhala.
Ayat 39-40: Pentingnya `Masha'Allah La Quwwata Illa Billah` dan Peringatan Bencana
"Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu: 'Ma Sya' Allah, La Quwwata Illa Billah (Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).' Sekiranya kamu menganggap aku lebih sedikit dari padamu dalam hal harta dan keturunan, maka mudah-mudahan Tuhanku, akan memberi kepadaku (kebun) yang lebih baik dari kebunmu (milikmu); dan Dia mengirimkan kepada kebunmu balatentara dari langit, lalu kebun itu menjadi tanah yang licin."
Sang sahabat melanjutkan nasihatnya dengan memberikan solusi spiritual dan peringatan akan konsekuensi yang mungkin terjadi. Ia menyalahkan temannya karena tidak mengucapkan kalimat yang seharusnya diucapkan saat melihat nikmat yang melimpah: "وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ" (Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu: 'Ma Sya' Allah, La Quwwata Illa Billah').
Kalimat yang dianjurkan ini memiliki makna yang sangat dalam dan merupakan inti dari adab bersyukur dan bertauhid:
- مَا شَاءَ اللَّهُ (Ma Sya' Allah): Apa yang dikehendaki Allah, itulah yang terjadi. Mengakui bahwa semua nikmat, kebaikan, dan keberhasilan yang terlihat adalah atas kehendak mutlak Allah. Ini menolak gagasan bahwa keberhasilan itu semata-mata hasil usaha atau kepintaran pribadi.
- لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ (La Quwwata Illa Billah): Tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Mengakui bahwa segala kekuatan, kemampuan, kecerdasan, dan sarana yang dimiliki berasal dari Allah semata, bukan dari diri sendiri. Tanpa izin dan pertolongan-Nya, manusia tidak akan mampu berbuat apa-apa.
Setelah itu, sang sahabat, meskipun mengakui dirinya "أَقَلَّ مِنكَ مَالًا وَوَلَدًا" (lebih sedikit dari padamu dalam hal harta dan keturunan), ia tidak putus asa atau merasa rendah diri. Justru, ia menunjukkan tawakkal (berserah diri) penuh kepada Allah dan optimisme yang lahir dari keimanan: "فَعَسَىٰ رَبِّي أَن يُؤْتِيَنِ خَيْرًا مِّن جَنَّتِكَ" (maka mudah-mudahan Tuhanku, akan memberi kepadaku (kebun) yang lebih baik dari kebunmu). Ia yakin bahwa Allah Maha Pemberi dan bisa memberikan sesuatu yang lebih baik dari apa yang hilang atau yang tidak dimiliki. Kekayaan sejati bukanlah materi, melainkan ridha Allah dan ketenangan hati.
Sebagai peringatan yang serius, sang sahabat kemudian menyebutkan kemungkinan datangnya bencana sebagai balasan atas kekufuran nikmat temannya: "وَيُرْسِلَ عَلَيْهَا حُسْبَانًا مِّنَ السَّمَاءِ فَتُصْبِحَ صَعِيدًا زَلَقًا" (dan Dia mengirimkan kepada kebunmu balatentara dari langit, lalu kebun itu menjadi tanah yang licin). "حُسْبَانًا مِّنَ السَّمَاءِ" bisa berarti bencana dari langit, seperti petir, hujan badai yang merusak, angin topan, atau wabah penyakit yang menimpa tanaman. Hasilnya, kebun yang subur itu akan menjadi "صَعِيدًا زَلَقًا" (tanah yang licin/gersang), yaitu tanah yang tidak bisa ditumbuhi apa-apa lagi, gersang, tandus, dan tidak produktif sama sekali. Ini adalah gambaran kehancuran total yang menghilangkan semua nilai dan manfaat dari kebun tersebut.
Nasihat ini bukan sekadar ancaman, melainkan bentuk kasih sayang seorang sahabat yang ingin menyadarkan temannya dari kesesatan sebelum azab Allah benar-benar menimpanya. Ia menjelaskan secara gamblang konsekuensi dari kesombongan dan kekufuran nikmat.
Ayat 41-42: Kehancuran Kebun dan Penyesalan
"Atau airnya menjadi kering kerontang, maka sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya lagi. Dan (seperti yang telah dikatakan temannya) harta kekayaannya dibinasakan; lalu ia membalik-balikkan kedua telapak tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang telah dia belanjakan untuk itu, sedang pohon-pohon anggur itu roboh bersama para-paranya, lalu dia berkata: 'Aduhai kiranya aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Tuhanku'."
Peringatan sang sahabat benar-benar terwujud, dan kini kita menyaksikan balasan atas kesombongan dan kekufuran nikmat. Ayat 41 memberikan skenario lain kehancuran yang tak kalah mengerikan: "أَوْ يُصْبِحَ مَاؤُهَا غَوْرًا فَلَن تَسْتَطِيعَ لَهُ طَلَبًا" (Atau airnya menjadi kering kerontang, maka sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya lagi). Sumber air yang selama ini diandalkan dan dianggap abadi, yang menjadi nadi kehidupan kebun, tiba-tiba lenyap, kering masuk jauh ke dalam tanah, dan tidak bisa ditemukan lagi. Tanpa air, kebun yang tadinya subur itu akan mati dan tidak akan ada cara apapun bagi si pemilik untuk mengembalikan sumber air tersebut. Ini menunjukkan betapa rapuhnya ketergantungan pada alam tanpa izin Allah.
Dan akhirnya, "وَأُحِيطَ بِثَمَرِهِ" (Dan harta kekayaannya dibinasakan). Bencana menimpa kebun itu secara keseluruhan, menghancurkan semua hasil panen, tanaman, dan infrastrukturnya. Gambaran kehancuran ini sangat puitis dan tragis: "فَأَصْبَحَ يُقَلِّبُ كَفَّيْهِ عَلَىٰ مَا أَنفَقَ فِيهَا وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَىٰ عُرُوشِهَا" (lalu ia membalik-balikkan kedua telapak tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang telah dia belanjakan untuk itu, sedang pohon-pohon anggur itu roboh bersama para-paranya). Membalik-balikkan telapak tangan adalah ekspresi penyesalan yang mendalam, kekecewaan, dan keputusasaan atas hilangnya semua usaha, waktu, dan harta yang telah diinvestasikan. Kebun anggur, yang sebelumnya dipuji karena kesuburannya, kini roboh di atas para-paranya, menunjukkan kehancuran yang total dan tak tersisa. Tidak ada lagi keindahan, tidak ada lagi kemakmuran, hanya puing-puing dan kehampaan.
Dalam kehancuran dan penyesalan yang mendalam ini, barulah si pemilik kebun menyadari kesalahannya, namun sudah terlambat. Ia berkata: "وَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُشْرِكْ بِرَبِّي أَحَدًا" (lalu dia berkata: 'Aduhai kiranya aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Tuhanku'). Ini adalah pengakuan dosa syiriknya. Syirik di sini bukan berarti menyembah berhala batu, melainkan syirik dalam bentuk mengaitkan kekuasaan dan anugerah kepada selain Allah (yaitu kepada dirinya sendiri, usahanya, kepintarannya), atau mengklaimnya sebagai milik sendiri tanpa mengakui peran Allah sebagai Pemberi Sejati. Ia menyesal karena telah melupakan Allah, Pencipta dan Pemberi Rezeki sejati, dan malah menyombongkan diri dengan apa yang Allah berikan. Penyesalan ini datang pada saat yang paling tidak berguna, yaitu ketika semua sudah lenyap, dan tidak ada lagi kesempatan untuk memperbaiki diri atau mengembalikan apa yang telah hilang. Ini adalah gambaran penyesalan di dunia yang mirip dengan penyesalan orang kafir di akhirat.
Ayat 43-44: Tiada Penolong Selain Allah
"Dan tidak ada bagi dia segolongan pun yang akan menolongnya selain Allah; dan dia pula tidak dapat menolong dirinya sendiri. Di sana (pada hari kiamat) pertolongan itu hanya dari Allah Yang Maha Benar. Dia adalah sebaik-baik Pemberi pahala dan sebaik-baik Pemberi balasan."
Dua ayat terakhir ini menggarisbawahi kebenaran hakiki yang seringkali dilupakan oleh manusia yang sombong dan terpedaya oleh dunia: bahwa tiada penolong sejati selain Allah. "وَلَمْ تَكُن لَّهُ فِئَةٌ يَنصُرُونَهُ مِن دُونِ اللَّهِ" (Dan tidak ada bagi dia segolongan pun yang akan menolongnya selain Allah). Ingatlah bahwa sebelumnya ia menyombongkan diri dengan "أَعَزُّ نَفَرًا" (pengikut-pengikutku lebih kuat). Kini, ketika bencana menimpa, tidak ada satu pun dari pengikutnya, teman-temannya, atau kaum kerabatnya yang bisa menolongnya. Harta dan pengikut yang dibanggakan lenyap dalam sekejap mata, membuktikan bahwa semua kekuatan duniawi itu fana dan rapuh.
"وَمَا كَانَ مُنتَصِرًا" (dan dia pula tidak dapat menolong dirinya sendiri). Tidak hanya tidak ada bantuan dari luar, bahkan kekuatannya sendiri pun tidak mampu berbuat apa-apa untuk mencegah kehancuran atau mengembalikan apa yang telah hilang. Ia tidak berdaya sama sekali di hadapan takdir Allah. Ini adalah gambaran tentang betapa rapuhnya kekuatan manusia tanpa izin dan pertolongan Allah, dan betapa sia-sianya kesombongan yang dibangun di atas fondasi duniawi.
Ayat 44 kemudian menyimpulkan pelajaran fundamental dan hakikat tauhid: "هُنَالِكَ الْوَلَايَةُ لِلَّهِ الْحَقِّ" (Di sana (pada hari kiamat) pertolongan itu hanya dari Allah Yang Maha Benar). Frasa "هُنَالِكَ" (di sana) bisa merujuk pada kondisi saat bencana menimpa di dunia (di saat genting itu), atau lebih luas lagi, pada hari kiamat (saat perhitungan akhir). Pada saat-saat genting, ketika semua kekuatan duniawi lenyap dan manusia menyadari kelemahannya, barulah kebenaran ini terungkap: bahwa kekuasaan, pertolongan, perlindungan, dan segala bentuk kewenangan sejati hanya milik Allah, Yang Maha Benar dan Maha Adil. Hanya kepada-Nya lah manusia dapat berharap dan bertawakkal.
Dan penegasan terakhir menegaskan keadilan Allah: "هُوَ خَيْرٌ ثَوَابًا وَخَيْرٌ عُقْبًا" (Dia adalah sebaik-baik Pemberi pahala dan sebaik-baik Pemberi balasan). Allah adalah yang terbaik dalam memberikan ganjaran bagi orang-orang yang beriman, bersyukur, sabar, dan bertawakkal. Dan Dialah yang terbaik dalam memberikan akibat atau balasan buruk bagi orang-orang yang ingkar, sombong, dan melampaui batas. Janji pahala dan ancaman balasan buruk adalah dua sisi dari keadilan ilahi yang akan ditegakkan pada Hari Pembalasan, mengingatkan manusia untuk memilih jalan yang benar sebelum terlambat.
Pelajaran Utama dari Kisah Dua Kebun
Kisah dua pemilik kebun ini kaya akan hikmah dan pelajaran yang relevan sepanjang masa. Mari kita gali lebih dalam pelajaran-pelajaran tersebut, membedahnya dari berbagai sudut pandang agar pemahaman kita semakin komprehensif:
1. Bahaya Kesombongan (Ujub dan Kibr) dan Kekufuran Nikmat
Ini adalah pelajaran paling sentral dan paling ditekankan dalam kisah ini. Si pemilik kebun tidak hanya sombong dengan kekayaan materialnya, tetapi juga dengan jumlah pengikut dan pengaruh sosialnya. Kesombongannya mencapai puncaknya ketika ia merasa kekayaannya akan kekal abadi dan bahkan meragukan Hari Kebangkitan. Sikap ini adalah bentuk kekufuran nikmat, yaitu melupakan bahwa semua yang dimiliki adalah pemberian Allah, yang bisa dicabut kapan saja, dan seharusnya disyukuri, bukan disombongkan. Kesombongan menutup mata hati dari kebenaran, mencegah seseorang melihat kebesaran Allah, dan menjerumuskan seseorang pada kebinasaan di dunia dan akhirat. Islam sangat mengecam kesombongan, karena ia adalah salah satu sifat Iblis dan merupakan penghalang terbesar menuju surga.
Rasulullah SAW bersabda, "Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun sebesar biji zarah." (HR. Muslim). Ini adalah peringatan keras bahwa kesombongan adalah dosa hati yang sangat besar dan dapat membatalkan amal-amal baik.
Kesombongan tidak hanya merugikan diri sendiri di hadapan Allah, tetapi juga merusak hubungan sosial. Orang yang sombong cenderung merendahkan orang lain, tidak mau menerima nasihat, dan hidup dalam delusi keunggulannya.
2. Pentingnya Mengaitkan Segala Sesuatu kepada Allah (Tauhid dan Tawakkal)
Nasihat sang sahabat, "Masha'Allah La Quwwata Illa Billah," adalah kunci utama untuk menjaga diri dari kesombongan dan kekufuran nikmat. Kalimat ini mengingatkan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak mutlak Allah dan tiada kekuatan yang mampu mengubah takdir atau menciptakan keberhasilan kecuali dengan izin-Nya. Dengan mengucapkan kalimat ini, seorang hamba mengakui keterbatasannya, kelemahan dirinya, dan keagungan Tuhannya yang Maha Kuasa. Ini adalah ekspresi tawakkal (penyerahan diri) dan tauhid (pengesaan Allah) yang murni dan ikhlas.
Setiap kali kita melihat sesuatu yang menakjubkan, baik pada diri sendiri maupun orang lain, atau meraih kesuksesan, mengucapkan kalimat ini akan melindungi kita dari `ain` (pandangan jahat yang bisa membawa kemudaratan) dan, yang lebih penting, dari penyakit hati berupa kesombongan dan ujub (bangga diri). Ia mengembalikan segala pujian dan rasa syukur kepada Allah, sehingga hati tetap rendah hati dan jiwa tidak terpedaya oleh pujian manusia atau pencapaian dunia.
3. Sifat Fana Harta Benda Dunia dan Kekalnya Akhirat
Kisah ini secara dramatis menunjukkan betapa fana dan tidak kekalnya harta benda dunia. Kebun yang tadinya subur, makmur, dan diyakini akan abadi oleh pemiliknya, hancur dalam sekejap mata. Sumber airnya kering, pohon-pohonnya tumbang, dan semua investasinya lenyap. Ini adalah pengingat keras bahwa kekayaan materi tidak memberikan jaminan keamanan atau kebahagiaan abadi. Ia bisa lenyap kapan saja atas kehendak Allah. Oleh karena itu, hati tidak seharusnya terlalu terikat pada dunia, melainkan harus selalu mengarah kepada Zat Yang Maha Kekal dan mempersiapkan bekal untuk kehidupan abadi di akhirat.
Perbedaan antara kekayaan dunia yang fana dan ganjaran akhirat yang kekal harus selalu menjadi orientasi bagi seorang mukmin. Jika orientasi hanya dunia, maka penyesalan di akhirat akan lebih besar, sebagaimana penyesalan si kaya di dunia ini.
4. Ujian Harta dan Kekuasaan adalah Keniscayaan
Harta dan kekuasaan seringkali menjadi ujian terberat bagi keimanan seseorang. Kisah ini menegaskan bahwa Allah memberikan kekayaan bukan sebagai tanda kasih sayang eksklusif atau jaminan surga, melainkan sebagai ujian. Apakah dengan kekayaan itu seseorang menjadi bersyukur, dermawan, adil, dan bermanfaat bagi sesama, ataukah malah menjadi sombong, pelit, zalim, dan lupa diri? Apakah ia menggunakannya untuk kebaikan atau malah untuk maksiat? Si pemilik kebun memilih jalan yang salah, dan akhirnya merugi besar. Ujian ini adalah bagian dari skenario ilahi untuk memilah hamba-hamba-Nya yang sejati.
5. Pentingnya Persahabatan yang Saleh (Ash-Shadiq al-Amin)
Peran sahabat yang mukmin dalam kisah ini sangatlah penting. Ia adalah sosok yang berani menasihati temannya yang sesat, meskipun ia tahu bahwa temannya jauh lebih kaya dan berkuasa. Nasihatnya bukan berisi celaan yang menyakitkan, melainkan pengingat akan asal-usul manusia, kekuasaan Allah, serta ajakan untuk bertauhid dan bersyukur. Ini menunjukkan pentingnya memiliki sahabat yang mengingatkan kita pada kebenaran, menasihati saat kita khilaf, dan membimbing kita menuju jalan Allah. Sahabat yang baik adalah harta yang tak ternilai harganya, yang akan menuntun kita kepada kebaikan dan menjauhkan dari keburukan.
Rasulullah SAW bersabda, "Seseorang itu menurut agama temannya, maka hendaklah seseorang itu memperhatikan siapakah yang menjadi temannya." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
6. Konsekuensi Mengingkari Hari Kiamat dan Akidah yang Benar
Keraguan si pemilik kebun terhadap Hari Kiamat adalah akar dari kesombongan dan kekufuran nikmatnya. Ketika seseorang tidak meyakini adanya pertanggungjawaban di akhirat, ia cenderung hidup seenaknya, hanya mengejar kenikmatan dunia, dan merasa tidak perlu mengikuti aturan agama. Kisah ini menunjukkan bahwa pengingkaran terhadap akhirat akan berujung pada penyesalan yang tiada guna di dunia, dan azab yang lebih pedih di akhirat. Akidah yang benar, termasuk keyakinan akan hari kebangkitan, surga, dan neraka, adalah fondasi moral dan etika yang kuat.
7. Keadilan Ilahi dan Sunnatullah
Pada akhirnya, keadilan Allah akan selalu tegak. Orang yang sombong dan ingkar akan menuai akibat dari perbuatannya, sedangkan orang yang sabar, bersyukur, dan bertawakkal akan mendapatkan balasan yang terbaik. Allah Maha Adil, dan setiap perbuatan, baik sekecil apapun, akan mendapatkan balasan yang setimpal. Kisah ini adalah bukti nyata dari janji dan ancaman Allah, serta penegasan bahwa tidak ada satu pun yang luput dari pengawasan-Nya.
Ini juga mengajarkan tentang Sunnatullah, yaitu hukum-hukum Allah yang berlaku di alam semesta. Kekayaan datang dan pergi, dan tidak ada yang abadi kecuali Allah. Mengingkari sunnatullah ini akan membawa kerugian, cepat atau lambat.
Kisah Dua Kebun dalam Konteks Surah Al-Kahfi: Ujian Kehidupan yang Komprehensif
Sebagaimana telah disebutkan di awal, Surah Al-Kahfi menghadirkan empat kisah utama yang masing-masing melambangkan empat jenis ujian fundamental yang akan dihadapi manusia dalam hidupnya. Kisah dua pemilik kebun adalah manifestasi dari Ujian Harta (Fitnah al-Mal). Mari kita lihat bagaimana kisah ini saling melengkapi dengan kisah-kisah lain dalam surah ini untuk memberikan gambaran yang komprehensif tentang tantangan keimanan dan bagaimana mengatasinya:
1. Ujian Harta (Kisah Dua Kebun)
Kisah ini secara jelas menggambarkan bagaimana kekayaan dan kemewahan dapat membutakan mata hati seseorang, menjadikannya sombong, ingkar terhadap nikmat Tuhan, dan bahkan meragukan Hari Kiamat. Si pemilik kebun yang kaya raya, dengan segala kemewahannya, lupa bahwa semua itu adalah anugerah dari Allah dan bisa dicabut kapan saja. Ia menganggap bahwa kekayaannya adalah hasil murni dari kecerdasan atau usahanya, dan bahkan mengklaim bahwa ia akan mendapatkan yang lebih baik di akhirat jika memang ada. Pelajaran utamanya adalah agar kita tidak terpedaya oleh gemerlap dunia, senantiasa bersyukur, rendah hati, dan menyadari bahwa kekayaan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Harta adalah alat untuk mencapai keridhaan Allah, bukan tujuan itu sendiri.
2. Ujian Iman (Kisah Ashabul Kahfi)
Kisah Ashabul Kahfi menceritakan sekelompok pemuda yang melarikan diri dari penguasa zalim yang memaksa mereka untuk meninggalkan iman. Mereka bersembunyi di dalam gua dan ditidurkan oleh Allah selama beratus-ratus tahun sebagai mukjizat. Kisah ini adalah ujian keimanan (Fitnah ad-Din) dalam menghadapi tirani, penganiayaan, dan pengorbanan demi mempertahankan aqidah. Hubungannya dengan kisah dua kebun adalah tentang nilai sejati: apakah kita memilih harta, kekuasaan, dan keamanan dunia dengan mengorbankan iman, ataukah kita rela meninggalkan semua itu demi menjaga tauhid dan keyakinan kepada Allah? Ashabul Kahfi memilih iman di atas dunia yang fana, menunjukkan prioritas yang benar. Mereka berpegang teguh pada tauhid meskipun harus mengasingkan diri, berbeda dengan pemilik kebun yang mengorbankan tauhidnya demi dunia, dan akhirnya kehilangan keduanya.
3. Ujian Ilmu (Kisah Nabi Musa dan Khidir)
Kisah perjalanan Nabi Musa AS dengan seorang hamba Allah yang saleh, Khidir, adalah ujian ilmu (Fitnah al-Ilm) dan kesabaran. Nabi Musa, meskipun seorang Rasul yang agung dan salah satu dari Ulul Azmi, ditunjukkan bahwa ada ilmu yang lebih tinggi (ilmu ladunni) yang hanya diberikan kepada hamba-hamba pilihan Allah. Ia diminta untuk bersabar atas tindakan Khidir yang tampak tidak masuk akal atau tidak adil (melubangi kapal orang miskin, membunuh anak muda yang tidak berdosa, memperbaiki dinding tanpa upah). Kisah ini mengajarkan bahwa ilmu manusia terbatas, dan hikmah Allah meliputi segala sesuatu yang seringkali tidak terjangkau oleh akal kita. Terkadang, apa yang kita anggap buruk atau tidak adil, memiliki maksud baik dan kebijaksanaan ilahi di baliknya.
Dalam konteks dua kebun, ujian ilmu ini mengingatkan kita untuk tidak sombong dengan pengetahuan yang kita miliki, dan untuk selalu mengakui keterbatasan diri di hadapan ilmu Allah. Si pemilik kebun yang kaya tidak memiliki ilmu tentang hakikat dunia dan akhirat, sehingga ia sombong dan membuat keputusan yang salah berdasarkan pandangan yang sempit. Sebaliknya, sahabatnya yang miskin memiliki ilmu dan hikmah yang lebih dalam, yang memungkinkannya melihat melampaui gemerlap duniawi.
4. Ujian Kekuasaan (Kisah Dzulkarnain)
Kisah Dzulkarnain adalah tentang seorang raja yang diberi kekuasaan (Fitnah al-Mulk atau as-Sulthan) yang sangat besar oleh Allah, mampu mencapai ujung timur dan barat bumi. Ia menggunakan kekuasaannya untuk menegakkan keadilan, menolong kaum yang tertindas, dan membangun penghalang dari serangan Ya'juj dan Ma'juj. Kisah ini mengajarkan tentang bagaimana kekuasaan seharusnya digunakan: bukan untuk kesombongan, penindasan, atau memperkaya diri, melainkan untuk menegakkan keadilan, membantu yang lemah, dan berkhidmat kepada Allah. Setiap kali ia menyelesaikan suatu proyek besar, ia selalu mengaitkan keberhasilannya kepada Allah ("Ini adalah rahmat dari Tuhanku").
Kisah Dzulkarnain sangat kontras dengan pemilik kebun yang kaya. Dzulkarnain, dengan kekuasaan globalnya, tetap rendah hati, bersyukur, dan selalu mengaitkan kemenangannya kepada Allah. Sementara itu, pemilik kebun, dengan kekayaan lokalnya yang relatif kecil dibandingkan Dzulkarnain, justru menjadi sombong dan lupa diri. Ini menunjukkan bahwa bukan besarnya anugerah yang menjadi masalah, melainkan bagaimana hati menyikapinya. Kekuasaan, seperti harta, adalah amanah dan ujian berat yang membutuhkan kesadaran tauhid dan kerendahan hati.
Keempat kisah ini, dengan fokus pada ujian iman, harta, ilmu, dan kekuasaan, memberikan gambaran utuh tentang `fitnah ad-Dajjal` yang akan menjadi ujian terbesar umat manusia menjelang akhir zaman. Dajjal akan menguji manusia dengan kekayaan, kekuasaan, dan ilmunya yang menyesatkan. Surah Al-Kahfi adalah bekal spiritual untuk menghadapi ujian-ujian tersebut, mengajarkan kita untuk selalu kembali kepada Allah, bersabar, bersyukur, dan tidak terpedaya oleh gemerlap dunia yang fana. Mempelajari surah ini secara mendalam mempersiapkan jiwa untuk menghadapi berbagai tantangan hidup dengan pondasi keimanan yang kuat.
Implikasi dan Relevansi Kisah Dua Kebun di Era Kontemporer
Meskipun kisah dua pemilik kebun ini terjadi di masa lampau, pelajaran yang terkandung di dalamnya sangat relevan dengan kehidupan kita di era modern ini. Ujian harta dan kesombongan tidak pernah lekang oleh waktu, bahkan mungkin menjadi lebih intensif dengan berbagai perkembangan sosial dan teknologi yang ada saat ini.
1. Konsumerisme dan Materialisme yang Merajalela
Masyarakat modern seringkali terjebak dalam budaya konsumerisme, di mana nilai diri diukur dari seberapa banyak harta yang dimiliki, merek apa yang dikenakan, ukuran rumah, jenis kendaraan, atau seberapa mewah gaya hidup yang ditampilkan. Iklan-iklan gencar mendorong kita untuk terus membeli dan memiliki, menciptakan siklus ketidakpuasan yang tiada henti. Kisah ini mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada akumulasi harta benda, melainkan pada ketenangan jiwa, kepuasan batin (qana'ah), dan kedekatan dengan Allah SWT. Materialisme membutakan manusia dari nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan.
2. Media Sosial sebagai Panggung Kesombongan dan Ujub
Platform media sosial, seperti Instagram, TikTok, atau Facebook, seringkali menjadi panggung bagi sebagian orang untuk memamerkan kekayaan, kesuksesan, dan gaya hidup mewah mereka. Ini mirip dengan apa yang dilakukan si pemilik kebun yang angkuh, membandingkan diri dan merasa lebih unggul dari orang lain. Fenomena ini bisa memicu perasaan iri, ketidakpuasan, dan kesombongan (ujub) di kalangan penggunanya. Kisah ini mengajarkan kita untuk rendah hati, tidak membandingkan diri dengan orang lain dalam hal duniawi, dan senantiasa bersyukur atas apa yang telah Allah karuniakan tanpa perlu validasi dari publik. Mengucapkan "Masha'Allah La Quwwata Illa Billah" saat melihat atau memposting sesuatu yang baik dapat menjadi pengingat yang efektif.
3. Keserakahan Korporasi dan Kesenjangan Ekonomi Global
Di banyak belahan dunia, kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin melebar. Kisah ini menyoroti bahaya keserakahan, monopoli kekuasaan ekonomi, dan ketidakpedulian terhadap sesama. Si pemilik kebun yang kaya tidak ada niatan untuk berbagi atau bersedekah, bahkan ia merendahkan temannya yang miskin. Ini adalah pelajaran penting bagi para pemilik modal, korporasi besar, dan penguasa untuk menggunakan kekayaan mereka secara bertanggung jawab, berbagi dengan yang membutuhkan (melalui zakat, infak, sedekah), dan menghindari eksploitasi yang merugikan masyarakat luas. Keadilan ekonomi adalah bagian integral dari ajaran Islam.
4. Melupakan Akhirat dalam Mengejar Dunia Modern
Tekanan hidup di era modern seringkali membuat kita terlalu sibuk mengejar kesuksesan duniawi, karier yang cemerlang, atau kekayaan materi, hingga melupakan tujuan utama penciptaan kita, yaitu beribadah kepada Allah dan mempersiapkan bekal untuk akhirat. Si pemilik kebun bahkan sampai meragukan keberadaan Hari Kiamat. Ini adalah peringatan bagi kita agar selalu menyeimbangkan antara urusan dunia dan akhirat, tidak melupakan kewajiban agama di tengah kesibukan mencari nafkah, dan menjadikan setiap aktivitas duniawi sebagai jembatan menuju akhirat yang lebih baik.
5. Pentingnya Komunitas dan Nasihat yang Baik di Tengah Individualisme
Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern yang seringkali individualistik dan kompetitif, kisah ini menekankan pentingnya komunitas dan persahabatan yang saleh. Sahabat yang mukmin dalam kisah ini berperan sebagai penasihat yang tulus dan pemberi peringatan. Dalam masyarakat yang semakin kompleks dan penuh godaan, memiliki teman atau mentor yang bisa mengingatkan kita pada nilai-nilai agama, etika, dan kebenaran menjadi sangat krusial untuk menjaga diri dari kesesatan dan penyimpangan. Kita semua membutuhkan seseorang yang dapat berperan sebagai "sahabat mukmin" ini dalam hidup kita.
6. Tawakkal dan Qana'ah (Rasa Cukup) sebagai Penawar Stres Modern
Meskipun sang sahabat lebih miskin secara materi, ia memiliki ketenangan jiwa karena tawakkalnya kepada Allah dan sifat qana'ah-nya. Ia yakin bahwa Allah akan memberikan yang terbaik baginya, entah di dunia atau di akhirat. Pelajaran ini mengajarkan kita untuk senantiasa berserah diri kepada Allah dalam segala keadaan, menerima takdir-Nya dengan lapang dada, dan merasa cukup dengan rezeki yang diberikan, sembari tetap berusaha mencari kebaikan. Qana'ah adalah kekayaan hati yang sesungguhnya, yang melindungi dari stres, kecemasan, dan ketidakpuasan yang sering melanda masyarakat modern.
Relevansi kisah ini membuktikan bahwa ujian terhadap manusia tidak pernah berubah, hanya bentuk dan manifestasinya yang menyesuaikan dengan zaman. Inti dari ujian tersebut tetaplah sama: apakah manusia akan tunduk kepada Penciptanya dengan syukur dan rendah hati, ataukah akan sombong dan mengingkari nikmat-Nya.
Kesimpulan: Membangun Perspektif yang Benar tentang Harta
Kisah dua pemilik kebun dalam Surah Al-Kahfi, yang berawal dari ayat 32, adalah sebuah cermin bagi umat manusia tentang hakikat harta benda dan cara menyikapinya. Ia bukan sekadar cerita masa lalu, melainkan sebuah panduan abadi yang mengingatkan kita akan ujian-ujian yang akan kita hadapi dalam hidup, terutama ujian terkait kekayaan dan kemewahan.
Melalui gambaran kehancuran kebun yang megah, Allah SWT menunjukkan kepada kita betapa fana dan tidak berdayanya kekayaan dunia di hadapan kehendak-Nya. Harta, tahta, dan popularitas hanyalah titipan sementara, yang bisa lenyap dalam sekejap mata. Yang kekal adalah amal saleh dan keimanan yang tulus yang dibangun di atas dasar tauhid dan ketakwaan.
Pelajaran terpenting dari kisah ini adalah perlunya mengaitkan segala nikmat kepada Allah SWT dengan hati yang bersyukur dan lisan yang berzikir. Ucapan "Masha'Allah La Quwwata Illa Billah" bukan hanya sekadar kalimat, tetapi sebuah filosofi hidup yang mengajarkan kita untuk selalu rendah hati, mengakui kebesaran Allah, dan menolak kesombongan yang dapat merusak iman dan amal. Ia adalah benteng pelindung dari berbagai penyakit hati seperti ujub, riya', dan takabur, serta bisikan setan yang ingin menjauhkan kita dari jalan kebenaran.
Kisah ini juga menekankan pentingnya persahabatan yang saleh, yang mampu menjadi pengingat dan penasihat saat kita tergelincir dalam kelalaian. Ia mengingatkan kita untuk selalu meninjau kembali akidah kita tentang hari akhirat, karena keyakinan yang kuat akan pertanggungjawaban di hari kemudian akan menjadi motivasi terbesar untuk beramal saleh dan menjauhi kemungkaran.
Mari kita jadikan kisah ini sebagai pengingat konstan dalam setiap langkah hidup kita. Ketika Allah menganugerahi kita dengan kekayaan, jabatan, atau popularitas, hendaknya kita bersyukur, rendah hati, dan menggunakannya di jalan yang diridhai-Nya, demi kemaslahatan umat dan pahala di akhirat. Dan ketika kita menghadapi kesulitan atau kekurangan, hendaknya kita tetap sabar, bertawakkal, dan yakin bahwa Allah Maha Pemberi dan Maha Bijaksana, serta akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik.
Dengan memahami dan menginternalisasi pelajaran dari Surah Al-Kahfi ayat 32 dan ayat-ayat selanjutnya, semoga kita semua dapat menjadi hamba-hamba Allah yang bersyukur, yang terhindar dari fitnah harta, dan yang senantiasa menempatkan Allah sebagai tujuan utama dalam setiap aspek kehidupan, sehingga kita meraih kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat.