Surat Adh-Dhuha adalah surat penenang hati bagi Nabi Muhammad SAW dan umatnya ketika menghadapi masa-masa sulit, kegelisahan, atau rasa ditinggalkan. Setelah dihadapkan pada kondisi di mana wahyu seolah terhenti, Allah SWT menurunkan surat yang penuh kehangatan ini.
Inti dari surat ini adalah penegasan rahmat dan janji Allah. Salah satu ayat yang paling menyentuh dan sering menjadi titik balik dalam pemahaman kita akan kasih sayang ilahi adalah ayat ketujuh.
Ayat ini secara spesifik merujuk pada kondisi psikologis yang dialami oleh Rasulullah SAW. Periode jeda turunnya wahyu (fathrah al-wahyu) setelah turunnya Surah Al-Alaq ayat 1-5 sempat menimbulkan kegelisahan mendalam. Rasulullah khawatir jika Allah telah meninggalkan beliau, atau murka kepadanya. Dalam kondisi kebingungan (dha'in) inilah, Allah mengingatkan beliau melalui ayat ini.
Kata 'dha'in' (ضَاۤىِٕنًا) sangat kuat maknanya. Ini bukan sekadar bingung biasa, melainkan keadaan hati yang dipenuhi keraguan, ketidakpastian, dan kehilangan arah sementara. Allah tidak hanya menghilangkan kebingungan itu, tetapi juga langsung memberikan solusinya: 'Fahada' (فَهَدٰى) — Dia memberikan petunjuk.
Relevansi QS Adh-Dhuha ayat 7 tidak pernah lekang oleh waktu. Banyak dari kita, termasuk kaum Muslimin, mengalami 'dha'in' versi modern: kegagalan bisnis, krisis kesehatan, rasa kesepian, atau ketidakmampuan menentukan pilihan hidup. Ketika kita merasa sendirian dan gelap, ayat ini mengingatkan bahwa Allah selalu hadir dan melihat kondisi kita, bahkan saat kita merasa paling rapuh.
Petunjuk ('Hada') yang diberikan Allah tidak selalu berupa wahyu tertulis atau suara gaib. Dalam konteks kita saat ini, petunjuk itu bisa termanifestasi melalui:
Ayat ini menegaskan bahwa sebelum kenabian yang mulia dan sebelum kesuksesan dakwah, Nabi SAW adalah manusia biasa yang membutuhkan bimbingan. Ini adalah jaminan universal bahwa tidak ada seorang pun yang terlalu besar atau terlalu mulia untuk membutuhkan petunjuk Allah, dan sebaliknya, tidak ada seorang pun yang terlalu tersesat sehingga tidak dapat ditemukan kembali oleh rahmat-Nya.
Ketika Allah menyebutkan bahwa Dia 'mendapati' Rasulullah dalam keadaan bingung, ini menunjukkan pengawasan yang sangat personal. Ayat ini seharusnya menjadi fondasi ketenangan. Jika Allah yang Maha Pengatur alam semesta saja meluangkan waktu untuk 'menemukan' dan 'membimbing' hamba-Nya yang paling dicintai dari kondisi kebingungan, maka sudah pasti Dia juga melihat dan akan memberikan jalan keluar bagi kebingungan yang kita hadapi hari ini.
Oleh karena itu, saat menghadapi kegelapan atau keraguan, amalan terbaik adalah membaca kembali ayat ini, mengakui kebingungan kita di hadapan Allah, dan kemudian bersabar menanti petunjuk-Nya, sama seperti yang dilakukan Rasulullah SAW.