Gunung, entitas megah yang menjulang tinggi ke angkasa, selalu menjadi sumber inspirasi tak berujung bagi para penyair. Keberadaannya yang kokoh, ketenangannya yang syahdu, serta pemandangan menakjubkan yang ditawarkannya, memanggil jiwa untuk merangkai kata menjadi untaian puisi. Melalui bait-bait berikut, mari kita tenggelam dalam keagungan gunung, merasakan bisikan alam yang begitu mendalam.
Di ufuk timur, mentari mengintip malu,
Menyentuh puncak yang diselimuti kelabu.
Kokoh berdiri, gagah perkasa tiada tara,
Menyaksi sunyi, menyimpan sejuta pesona.
Batu dan tanah, berpadu dalam diam,
Menjulang tinggi, bagai istana malam.
Awan berarak, membelai lerengnya nan hijau,
Menyisakan takjub, pada pemandangan yang syahdu.
Hening tercipta, tak terdengar suara bising,
Hanya angin berdesir, membawa cerita terping.
Keindahan murni, anugerah Sang Pencipta,
Mengajak jiwa merenung, akan makna semesta.
Oh, gunung perkasa, lambang keteguhan hati,
Dalam diammu, pelajaran hidup terselip rapi.
Kau saksi bisu, perubahan musim berganti,
Menjadi inspirasi abadi, di setiap sanubari.
Puisi tentang gunung, seperti yang terangkum di atas, bukan sekadar deskripsi visual. Ia adalah jembatan antara manusia dan alam, sebuah upaya untuk menangkap esensi dari sesuatu yang lebih besar dari diri kita. Keempat bait ini mencoba menggali berbagai dimensi gunung: kemegahan fisiknya, ketenangan spiritualnya, keindahannya yang natural, serta makna filosofis yang bisa kita petik darinya.
Bait pertama menggambarkan momen matahari terbit, sebuah permulaan hari yang juga bisa diartikan sebagai permulaan sesuatu yang baru. Keanggunan gunung yang terpapar cahaya pagi menjadi simbol kekuatan dan harapan. Kesunyian yang menyelimuti puncaknya menawarkan sebuah kontemplasi, sebuah jeda dari hiruk pikuk kehidupan.
Bait kedua melanjutkan eksplorasi fisik gunung. Perpaduan batu dan tanah yang kokoh, serta lereng yang ditumbuhi vegetasi, menciptakan gambaran alam yang kaya. Awan yang menyentuh lereng memberikan sentuhan mistis, seolah gunung adalah penghubung antara bumi dan langit. Pemandangan yang disajikan bukan hanya memanjakan mata, tetapi juga menenangkan jiwa.
Di bait ketiga, fokus bergeser ke aspek suara dan suasana. Hening yang tercipta di gunung menjadi kontras dengan kebisingan dunia modern. Bisikan angin yang membawa "cerita terping" adalah metafora bagi kearifan alam yang halus namun mendalam. Keindahan murni yang tak tersentuh polesan manusia menawarkan pengingat akan nilai-nilai fundamental kehidupan.
Terakhir, bait keempat merangkum gunung sebagai simbol keteguhan dan pelajaran hidup. Ketahanannya terhadap perubahan cuaca dan waktu menjadikannya lambang kekuatan karakter. Ia mengajarkan kita tentang pentingnya tetap teguh dalam menghadapi tantangan, serta bagaimana belajar dari setiap perubahan yang terjadi. Gunung menjadi sumber inspirasi yang tak pernah padam, mendorong kita untuk terus tumbuh dan berkembang.
Lebih dari sekadar pemandangan, gunung adalah sebuah kehadiran. Keberadaannya yang monumental mengingatkan kita akan keterbatasan diri namun juga potensi yang tak terhingga. Mendaki gunung, baik secara harfiah maupun metaforis, adalah perjalanan penemuan diri. Setiap langkah adalah pelajaran, setiap puncak adalah pencapaian, dan setiap pemandangan adalah hadiah. Puisi tentang gunung adalah cara kita merefleksikan pengalaman-pengalaman ini, mengabadikannya dalam kata, dan berbagi keajaiban yang ditawarkannya kepada dunia.