Dalam hiruk pikuk kehidupan yang serba cepat, pandangan seringkali tertuju pada mereka yang tampil gemilang, bergelimang harta, dan memiliki pengaruh. Namun, di sisi lain, tersembunyi banyak kisah tentang individu yang hidup dalam keterbatasan, yang tak jarang dipandang sebelah mata. Kondisi ekonomi yang sulit seringkali menjadi stigma, yang membatasi ruang gerak dan mematikan potensi sebelum sempat berkembang. Lebih dari sekadar kekurangan materi, mereka yang hidup dalam kemiskinan seringkali dibebani dengan penilaian dari luar yang dangkal, mengabaikan kompleksitas diri dan perjuangan mereka.
Kata-kata yang terucap, baik oleh mereka yang dipandang remeh maupun yang melontarkan pandangan sinis, seringkali mencerminkan kesenjangan sosial yang mendalam. Ada ungkapan-ungkapan yang lahir dari rasa frustrasi, kepedihan yang terpendam, namun juga keteguhan hati yang luar biasa. Kata-kata orang miskin yang dipandang sebelah mata bukanlah sekadar keluhan, melainkan serpihan pengalaman hidup yang sarat makna. Ia bisa berupa gumaman lirih tentang ketidakadilan, bisikan doa yang memohon pertolongan, atau bahkan pekikan semangat untuk bangkit di tengah keputusasaan.
Seringkali, ketika seseorang berada dalam situasi ekonomi yang sulit, orang lain cenderung berasumsi bahwa mereka kurang berprestasi, malas, atau tidak punya kemampuan. Asumsi-asumsi ini menjadi belenggu yang lebih berat daripada kemiskinan itu sendiri. Maka, tak heran jika kita mendengar ungkapan seperti, "Sudahlah, kamu kan dari keluarga tidak mampu, jangan bermimpi terlalu tinggi." Kalimat sederhana ini mengandung luka yang dalam, mengebiri harapan, dan mematikan semangat seseorang untuk mencoba.
"Kami memang tidak punya apa-apa, tapi bukan berarti kami tidak punya hati atau pikiran. Hanya saja, pintu kesempatan itu lebih sulit kami tembus."
Kata-kata lain yang sering terdengar adalah tentang bagaimana mereka harus bekerja keras dua kali lipat hanya untuk mendapatkan pengakuan yang sama dengan orang lain. "Mau melamar kerja, ditanya pengalaman, tapi mau dapat pengalaman bagaimana kalau tidak diberi kesempatan? Ujung-ujungnya, 'Maaf, kamu belum sesuai kriteria'," keluh seorang pencari kerja. Kritikan tentang penampilan, latar belakang, atau bahkan cara berbicara seringkali menjadi senjata untuk menjauhkan mereka dari peluang. Kesannya, penampilanlah yang menentukan nilai seseorang, bukan kompetensi atau karakter.
Ada pula ungkapan yang menunjukkan ketidakpercayaan diri yang muncul akibat terus-menerus dipandang sebelah mata. "Mungkin memang begini nasib saya. Berusaha pun sepertinya sia-sia karena orang lain sudah lebih dulu melihat saya sebagai 'orang yang tidak mampu'." Perasaan ini sangat berbahaya karena dapat menciptakan siklus kemiskinan yang sulit diputus, bukan hanya secara materi, tetapi juga secara mental.
"Bukan tak bersyukur, tapi terkadang rasanya lelah dihantui prasangka. Inginnya dihargai sebagai manusia, bukan sekadar 'si miskin' yang butuh belas kasihan."
Namun, di balik segala keterbatasan dan pandangan sinis, tersimpan kekuatan dan kebijaksanaan yang seringkali terabaikan. Ada ungkapan yang penuh kesabaran dan keikhlasan, seperti, "Yang penting kami bisa hidup hari ini, besok urusan besok." Ini bukan berarti pasrah total, melainkan sebuah bentuk penerimaan terhadap realitas sambil tetap berusaha sekuat tenaga. Ada pula yang berkata, "Kami belajar banyak dari kekurangan. Kami tahu arti perjuangan dan pentingnya saling membantu sesama yang senasib." Pengalaman pahit seringkali mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang tak ternilai harganya.
Kata-kata orang miskin yang dipandang sebelah mata juga bisa menjadi pengingat bagi kita semua. Mereka mengingatkan bahwa setiap manusia berhak mendapatkan kesempatan yang sama, dihargai martabatnya, dan dinilai berdasarkan apa yang mereka lakukan, bukan dari mana mereka berasal atau berapa banyak harta yang mereka miliki. Ketika kita berhenti memandang sebelah mata dan mulai melihat dengan hati, kita akan menemukan bahwa di balik setiap kondisi, selalu ada potensi, cerita, dan nilai kemanusiaan yang patut dihargai.
Perubahan perspektif ini krusial. Ketika masyarakat mampu memberikan kesempatan, dukungan, dan penghargaan yang tulus, kata-kata yang terucap dari mereka yang pernah terpinggirkan akan berubah. Dari keluh kesah, menjadi ungkapan terima kasih; dari rasa frustrasi, menjadi semangat berkarya; dan dari keputusasaan, menjadi harapan yang membara. Inilah kekuatan empati dan inklusivitas yang mampu mengubah pandangan, meruntuhkan prasangka, dan pada akhirnya, membangun masyarakat yang lebih adil dan beradab.