Simbolisasi pemikiran filosofis dan era Pencerahan.
Paul Henri Thiry, Baron d'Holbach, adalah salah satu tokoh paling provokatif dan berpengaruh dalam gerakan Pencerahan Prancis. Lahir di Palembang, Jerman, ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Paris dan menjadi pusat intelektual yang penting, terutama di kalangan para *philosophes*. Dikenal karena pandangan materialisnya yang tanpa kompromi, ateisme yang terang-terangan, dan kritik tajam terhadap agama serta metafisika, d'Holbach meninggalkan jejak mendalam dalam sejarah filsafat.
Meskipun berasal dari Jerman, d'Holbach menempuh pendidikan di Leiden, Belanda, sebuah pusat studi yang terkenal pada masanya. Ia kemudian pindah ke Prancis dan dengan cepat membaur dalam lingkaran para pemikir terkemuka abad ke-18, termasuk Denis Diderot, Jean-Jacques Rousseau, Voltaire, dan Baron de Montesquieu. Salonnya di Paris menjadi tempat berkumpul yang ramai, di mana ide-ide revolusioner didiskusikan dan dikembangkan. Keterlibatan aktifnya dalam proyek monumental *Encyclopédie* melalui kontribusinya pada artikel-artikel ilmiah dan filsafat menunjukkan komitmennya terhadap penyebaran pengetahuan dan rasionalitas.
Inti dari filsafat d'Holbach adalah materialisme radikal. Ia berpendapat bahwa alam semesta, termasuk semua fenomena, pikiran, dan kesadaran, pada dasarnya bersifat material. Tidak ada entitas spiritual, jiwa yang terpisah dari tubuh, atau kekuatan supernatural yang bekerja di alam. Baginya, segala sesuatu dapat dijelaskan melalui hukum-hukum alam yang bersifat mekanistik dan deterministik. Konsep Tuhan, jiwa, dan kehidupan setelah kematian dianggapnya sebagai ilusi yang diciptakan oleh ketakutan manusia dan kepentingan institusi agama.
Dalam karyanya yang paling terkenal, Système de la Nature (Sistem Alam), d'Holbach menyajikan argumennya secara sistematis. Ia menyatakan bahwa manusia adalah bagian integral dari alam dan tunduk pada hukum-hukum yang sama. Tindakan manusia, pilihan, dan bahkan moralitas tidak lain adalah hasil dari interaksi sebab-akibat material yang tak terhindarkan. Pandangan ini sangat menantang pandangan dunia tradisional yang didominasi oleh teologi dan pandangan dualistik tentang tubuh dan jiwa.
Ateisme d'Holbach bukanlah sikap acuh tak acuh, melainkan hasil dari penalaran filosofis yang mendalam. Ia melihat agama sebagai sumber utama ketidaktahuan, takhayul, dan penindasan. Menurutnya, konsep Tuhan hanya melayani untuk menenangkan ketakutan manusia terhadap kematian dan ketidakpastian, sekaligus memberikan alat kontrol bagi para pemimpin agama dan penguasa. Ia berargumen bahwa moralitas sejati tidak bergantung pada imbalan atau hukuman ilahi, melainkan pada pemahaman rasional tentang bagaimana mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia ini.
"Agama adalah rantai yang mengikat orang-orang bodoh dan penakut, dan yang diperkuat oleh para tiran yang menindas mereka."
Pernyataan ini merangkum pandangannya yang keras terhadap agama sebagai hambatan bagi kemajuan manusia dan kebebasan individu. Ia menganjurkan agar manusia membebaskan diri dari belenggu takhayul dan berpaling pada akal budi serta ilmu pengetahuan sebagai panduan utama dalam hidup.
Konsekuensi logis dari materialisme d'Holbach adalah pandangan deterministik. Jika segala sesuatu di alam semesta adalah hasil dari rantai sebab-akibat yang tak terputus, maka kehendak bebas yang sering dibanggakan manusia menjadi sebuah ilusi. Semua tindakan kita, dari pikiran terdalam hingga perbuatan lahiriah, telah ditentukan sebelumnya oleh kondisi fisik dan lingkungan kita. Meskipun pandangan ini dapat terasa mengkhawatirkan, d'Holbach melihatnya sebagai pembebasan dari beban moral yang sering kali dilemparkan oleh agama. Ia percaya bahwa pemahaman tentang determinisme dapat mendorong welas asih dan pemahaman terhadap orang lain, karena kesalahan dan kejahatan dilihat bukan sebagai pilihan bebas yang jahat, melainkan sebagai hasil dari sebab-musabab yang kompleks.
Paul Henri Thiry d'Holbach adalah suara yang kuat dan radikal dalam Pencerahan. Meskipun pandangannya sering kali kontroversial dan ditentang keras, ia memainkan peran penting dalam mendorong pemikiran kritis dan menantang dogma-dogma yang sudah mapan. Materialisme dan ateismenya menjadi pijakan bagi banyak pemikir ateis dan materialis di kemudian hari. Ia mengingatkan kita akan pentingnya menggunakan akal budi, ilmu pengetahuan, dan observasi empiris dalam memahami dunia dan tempat kita di dalamnya. Warisannya adalah dorongan tak kenal lelah untuk mencari kebenaran melalui nalar, terlepas dari prasangka atau otoritas yang tidak berdasar.