Dalam setiap langkah kehidupan, ada jejak-jejak yang terukir begitu dalam, membentuk siapa diri kita. Salah satu jejak terpenting itu datang dari sosok yang tak pernah lelah mencurahkan tenaga, pikiran, dan hati: sang guru. Mereka adalah pilar fundamental dalam membangun peradaban, pelita yang menerangi kegelapan ketidaktahuan, dan penuntun yang mengantarkan kita menuju gerbang masa depan yang lebih cerah. Pengabdian mereka seringkali tak terukur oleh materi, namun dampaknya meluas melintasi generasi. Di tengah hiruk pikuk dunia yang terus berubah, peran guru tetap tak tergantikan. Mereka bukan sekadar penyampai materi pelajaran, melainkan juga pembentuk karakter, inspirator, dan teman seperjalanan dalam proses penemuan jati diri.
Melalui seni geguritan, kita dapat merangkai kata menjadi untaian rasa, sebagai bentuk penghormatan dan apresiasi yang tulus kepada para guru. Geguritan guru adalah ungkapan jiwa yang menangkap esensi pengabdian, kesabaran, dan cinta tanpa syarat yang mereka berikan. Ini adalah cara untuk mengenang setiap nasihat bijak, setiap senyum hangat, dan setiap dukungan yang tak pernah putus. Dengan geguritan, kita mencoba membingkai kebesaran hati mereka yang telah rela mengorbankan waktu dan tenaga demi mencerdaskan anak bangsa.
Nalika mentari isih durung madhangi jagad,
Kowe wis ngadeg ana ngarep kelas,
Nggawa tumpukan buku lan kawruh kang luhur,
Nggulawentah jiwa lan raga sing durung ngerti.
Tanganmu kang lembut ngelus pundak,
Swaramu kang merdu ngusir rasa gundah.
Prakata sucimu dados obor kang ngener,
Nuntun langkah supaya ora kesasar,
Sabarmu kaya samodra kang jembar,
Tresnamu tanpa pamrih, tansah mekar.
Nuwun sewu, dhuh guru lanang-wadon,
Jejakmu ing ati bakal langgeng ngaton.
Dua bait geguritan di atas hanyalah secuil gambaran rasa terima kasih yang bisa kita sampaikan kepada para guru. Bait pertama mencoba menggambarkan kesiapsiagaan dan dedikasi guru sejak dini hari, lengkap dengan atribut mengajar dan sentuhan personal yang menenangkan siswa yang masih dalam tahap awal pemahaman. Kata-kata seperti "mentari isih durung madhangi jagad" (matahari belum menerangi dunia) mempertegas pengorbanan waktu mereka, sementara "nalika kowe wis ngadeg ana ngarep kelas" (ketika engkau sudah berdiri di depan kelas) menunjukkan kehadiran dan komitmen yang konsisten. Deskripsi "tanganmu kang lembut ngelus pundak" dan "swaramu kang merdu ngusir rasa gundah" menyoroti aspek empati dan kemampuan guru dalam menciptakan suasana belajar yang nyaman dan suportif. Ini bukan hanya tentang transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga tentang sentuhan kemanusiaan yang membuat siswa merasa aman dan dihargai.
Selanjutnya, bait kedua mengangkat makna pengabdian guru yang lebih dalam. "Prakata sucimu dados obor kang ngener" (perkataan sucimu menjadi obor yang menuntun) menggambarkan bagaimana setiap kata dan nasihat guru memiliki kekuatan untuk menerangi jalan, memberikan arahan, dan membimbing siswa agar tidak tersesat dalam kebingungan atau keraguan. Perumpamaan kesabaran mereka "kaya samodra kang jembar" (seperti samudra yang luas) menyimbolkan ketahanan dan ketekunan luar biasa dalam menghadapi berbagai karakter dan tantangan siswa. "Tresnamu tanpa pamrih, tansah mekar" (cintamu tanpa pamrih, selalu mekar) menegaskan bahwa cinta seorang guru kepada muridnya adalah cinta yang murni, tanpa mengharapkan balasan, dan terus berkembang seiring waktu. Penutup geguritan ini, "Nuwun sewu, dhuh guru lanang-wadon, Jejakmu ing ati bakal langgeng ngaton" (Terima kasih, wahai guru laki-laki dan perempuan, Jejakmu di hati akan selamanya terlihat/terasa), merupakan ungkapan syukur yang mendalam, mengakui bahwa pengajaran dan pengaruh mereka akan terpatri abadi dalam ingatan dan hati para murid.
Lebih dari sekadar tugas profesional, menjadi guru adalah panggilan jiwa. Mereka melihat potensi dalam setiap anak didiknya, bahkan ketika anak didik itu sendiri belum menyadarinya. Dengan ketekunan dan kesabaran yang luar biasa, mereka menggali potensi tersebut, mengasahnya, dan membantunya berkembang. Guru adalah arsitek masa depan yang membangun fondasi pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai moral pada generasi penerus. Mereka mengajarkan bukan hanya apa yang tertera dalam buku teks, tetapi juga bagaimana berpikir kritis, bagaimana berinteraksi dengan dunia, dan bagaimana menjadi pribadi yang baik.
Peran guru semakin krusial di era digital ini. Tantangan baru muncul seiring dengan perkembangan teknologi, namun esensi peran guru tetap sama: menjadi fasilitator pembelajaran yang efektif, motivator yang menginspirasi, dan teladan yang patut ditiru. Mereka harus mampu beradaptasi dengan metode pengajaran baru, memanfaatkan teknologi sebagai alat bantu, namun tetap menjaga kedekatan emosional dengan siswa. Geguritan guru ini adalah pengingat bagi kita semua untuk tidak pernah melupakan kontribusi mereka. Mari kita berikan penghargaan yang layak, bukan hanya dalam kata-kata, tetapi juga dalam tindakan nyata, menunjukkan betapa kita menghargai setiap usaha dan dedikasi mereka.