Surat Al-Kahfi adalah salah satu surat yang kaya akan hikmah dan pelajaran dalam Al-Qur'an. Terletak di juz ke-15, surat ini sering dibaca pada hari Jumat karena kandungan pesannya yang mendalam, yang mencakup ujian keimanan, godaan dunia, dan keagungan kekuasaan Allah SWT. Salah satu kisah sentral dalam surat ini adalah kisah Dzulqarnain, seorang raja atau pemimpin yang saleh, adil, dan diberi kekuasaan yang luar biasa oleh Allah SWT.
Kisah Dzulqarnain diceritakan dalam ayat 83 hingga 98. Kisah ini bukan sekadar narasi petualangan, melainkan sebuah metafora tentang kepemimpinan yang berlandaskan tauhid, keadilan, dan kebijaksanaan. Allah mengaruniakan kepadanya "sebab-sebab" (jalan dan sarana) untuk mencapai apa yang diinginkannya, yang kemudian ia manfaatkan untuk berbuat kebaikan di muka bumi. Perjalanannya melintasi timur dan barat, bertemu dengan berbagai kaum, menunjukkan betapa luasnya kekuasaan dan pengaruh yang diberikan kepadanya.
Dalam rentetan perjalanannya, Al-Qur'an secara spesifik menyoroti tiga ekspedisi utama Dzulqarnain: ke arah barat, ke arah timur, dan kemudian ke suatu tempat di antara dua gunung. Setiap perjalanan ini membawa pelajaran tersendiri mengenai bagaimana seorang pemimpin seharusnya berinteraksi dengan rakyatnya, bagaimana menghadapi kezaliman, dan bagaimana membangun peradaban yang berlandaskan nilai-nilai ilahi.
Artikel ini akan secara khusus menyelami makna dan implikasi dari Al-Kahfi ayat 89. Ayat ini, meskipun singkat, merupakan titik transisi penting dalam narasi Dzulqarnain, menandai perpindahan dari satu fase perjalanannya ke fase berikutnya. Memahami ayat ini memerlukan pemahaman konteks dari ayat-ayat sebelumnya, terutama ayat 86 yang menggambarkan perjalanannya ke tempat matahari terbenam, serta kaitan dengan perjalanan-perjalanan berikutnya.
Dengan menggali tafsir, konteks historis, dan pesan moral dari Al-Kahfi ayat 89, kita berharap dapat memetik pelajaran berharga yang relevan dengan kehidupan kita di era modern, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat yang lebih besar. Kisah Dzulqarnain bukan hanya warisan masa lalu, melainkan cerminan prinsip-prinsip universal tentang kekuatan, keadilan, dan ketaatan kepada Sang Pencipta.
Al-Kahfi ayat 89 berbunyi:
ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبًا
"Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain)."
Secara harfiah, ayat ini sangat singkat namun padat makna. Kata kunci di sini adalah "ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبًا" (tsumma atba'a sababan), yang secara harfiah berarti "kemudian dia mengikuti suatu sebab" atau "kemudian dia menempuh suatu jalan". Frasa ini mengindikasikan kelanjutan dari perjalanan atau misi Dzulqarnain, tetapi dengan arah atau tujuan yang berbeda dari sebelumnya. Ayat ini menjadi jembatan antara perjalanannya ke barat (yang dijelaskan dalam ayat 86) dan perjalanannya ke timur (yang akan dijelaskan dalam ayat 90).
Untuk memahami sepenuhnya ayat 89, kita perlu melihat konteksnya dalam rangkaian kisah Dzulqarnain. Ayat-ayat sebelumnya (83-88) menceritakan bagaimana Allah memberikan kekuasaan dan sarana kepada Dzulqarnain, kemudian menceritakan perjalanan pertamanya ke arah barat:
Ayat 86: "Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan dia mendapati di situ segolongan umat. Kami berfirman: 'Hai Dzulqarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka.'"
Ayat 86 ini menggambarkan puncak dari perjalanan barat Dzulqarnain, di mana ia tiba di suatu tempat yang ekstrem di barat, seolah-olah matahari terbenam di dalam air yang keruh. Di sana, ia berhadapan dengan suatu kaum dan diberi wewenang oleh Allah untuk bertindak adil atau menghukum mereka. Ayat 87 dan 88 kemudian menjelaskan bagaimana Dzulqarnain menggunakan wewenang itu: ia menghukum orang-orang yang zalim dan memberikan kebaikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh.
Setelah keputusan dan tindakan Dzulqarnain di barat ini, barulah muncul ayat 89: "Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain)." Ayat ini menandai berakhirnya fase pertama perjalanannya dan dimulainya fase baru. Jalan yang lain ini, sebagaimana akan dijelaskan dalam ayat 90, adalah perjalanan menuju timur:
Ayat 90: "Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah timur) dia mendapati matahari itu menyinari segolongan rakyat yang Kami tidak menjadikan bagi mereka suatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari itu."
Dengan demikian, Al-Kahfi ayat 89 berfungsi sebagai sebuah transisi naratif yang krusial. Ia tidak hanya memberitahu kita bahwa Dzulqarnain melanjutkan perjalanannya, tetapi juga secara implisit mengisyaratkan bahwa setiap perjalanan memiliki tujuan dan konsekuensi yang berbeda, dan bahwa ia selalu bergerak sesuai dengan "sebab-sebab" yang Allah karuniakan kepadanya.
Frasa "ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبًا" (tsumma atba'a sababan) memiliki beberapa nuansa:
Para mufasir sepakat bahwa ayat ini menandai awal perjalanan kedua Dzulqarnain, yaitu perjalanan ke timur, setelah ia menyelesaikan urusannya di barat. Ini menunjukkan bahwa Dzulqarnain adalah seorang pemimpin yang tidak statis. Ia selalu bergerak, mencari, dan menerapkan keadilan di berbagai penjuru bumi yang Allah limpahkan kekuasaannya kepadanya.
Untuk memahami sepenuhnya transisi yang terjadi pada ayat 89, kita harus menyelam lebih dalam ke ayat yang mendahuluinya, yaitu ayat 86, yang seringkali menjadi bahan diskusi dan perdebatan, terutama dalam kaitannya dengan pemahaman modern tentang geografi dan astronomi.
Ayat 86: "Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan dia mendapati di situ segolongan umat. Kami berfirman: 'Hai Dzulqarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka.'"
حَتَّى إِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِي عَيْنٍ حَمِئَةٍ وَوَجَدَ عِنْدَهَا قَوْمًا قُلْنَا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِمَّا أَن تُعَذِّبَ وَإِمَّا أَن تَتَّخِذَ فِيهِمْ حُسْنًا
Frasa ini merujuk pada wilayah paling barat yang bisa dicapai Dzulqarnain. Secara umum, dalam pandangan manusia, matahari tampaknya "terbit" dan "terbenam" dari cakrawala. Konsep "tempat terbenam matahari" adalah deskripsi fenomena alam dari sudut pandang pengamat di permukaan bumi. Ini bukan berarti ada titik geografis spesifik di mana matahari secara fisik masuk ke dalam bumi, melainkan batas terjauh ke arah barat yang dicapai oleh penjelajah.
Penting untuk diingat bahwa Al-Qur'an berbicara dengan bahasa yang dapat dipahami oleh audiens pertamanya dan menggambarkan fenomena alam sebagaimana ia terlihat oleh mata manusia. Banyak ayat Al-Qur'an menggunakan bahasa deskriptif semacam ini (misalnya, "langit tanpa tiang", "bumi dihamparkan"), yang tidak bertentangan dengan sains modern ketika dipahami dalam konteksnya.
Bagian inilah yang seringkali menjadi sorotan dan disalahpahami. Mari kita uraikan:
Para ulama tafsir klasik telah memberikan berbagai interpretasi mengenai frasa "mata air yang berlumpur hitam":
Dengan demikian, ayat 86 adalah deskripsi tentang pengalaman visual Dzulqarnain yang mencapai batas paling barat dari perjalanannya. Di sana, ia melihat pemandangan matahari terbenam yang spektakuler dan mungkin sedikit menakutkan, di mana cakrawala menyatu dengan air yang gelap dan luas. Ini menandai akhir dari satu fase perjalanannya dan persiapan untuk apa yang akan terjadi selanjutnya.
Ayat 86 juga melanjutkan dengan menyatakan bahwa Dzulqarnain mendapati di tempat itu "segolongan umat". Allah kemudian memberikan kepadanya pilihan: "Kami berfirman: 'Hai Dzulqarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka.'" Ini adalah ujian kekuasaan. Bagaimana seorang pemimpin yang diberi otoritas tak terbatas akan bertindak?
Ayat 87 dan 88 menjawab pertanyaan ini:
Ayat 87: "Berkata Dzulqarnain: 'Adapun orang yang zalim, maka kami kelak akan menyiksanya dengan siksa yang pedih, kemudian dia dikembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan menyiksanya dengan siksa yang tidak terhingga.'"
Ayat 88: "Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami perintahkan kepadanya perkataan yang mudah dari perintah-perintah kami."
Dari ayat-ayat ini, kita melihat bahwa Dzulqarnain menggunakan kekuasaannya dengan adil dan bijaksana. Ia menghukum yang zalim dan memberi balasan baik serta kemudahan bagi yang beriman dan beramal saleh. Ini adalah teladan kepemimpinan yang menerapkan hukum Allah di muka bumi, membedakan antara yang baik dan yang buruk, dan memberikan konsekuensi yang sesuai. Setelah menuntaskan urusannya di wilayah barat ini, barulah narasi berlanjut ke Al-Kahfi ayat 89.
Transisi ini sangat penting karena menunjukkan bahwa Dzulqarnain bukan hanya seorang penjelajah, tetapi juga seorang pembangun peradaban dan penegak keadilan. Setiap perhentian dalam perjalanannya memiliki tujuan dan implikasi moral yang mendalam. Maka, ketika ayat 89 mengatakan "Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain)", ini bukan sekadar perubahan arah, melainkan kelanjutan dari misi yang sama: menegakkan kebenaran dan keadilan di muka bumi, dengan memanfaatkan "sebab-sebab" yang Allah karuniakan kepadanya.
Setelah Dzulqarnain menyelesaikan tugasnya di ujung barat, menerapkan keadilan dan kebijaksanaan dalam menghadapi kaum yang ditemuinya, Al-Qur'an melanjutkan kisahnya dengan ayat 89 yang menjadi fokus utama kita:
ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبًا
"Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain)."
Frasa "سَبَبًا" (sababan) di sini secara eksplisit merujuk pada jalan atau arah yang berbeda dari perjalanannya yang pertama. Jika perjalanan pertama adalah ke barat, maka "jalan yang lain" ini adalah ke timur, sebagaimana dijelaskan dalam ayat 90. Namun, makna "sebab" ini lebih dalam dari sekadar arah geografis.
Penggunaan partikel "ثُمَّ" (tsumma) -- "kemudian" -- sangat penting di sini. Ia menunjukkan adanya jeda waktu dan urutan setelah tindakan sebelumnya selesai. Ini bukan tindakan yang dilakukan secara serentak atau terburu-buru. Dzulqarnain tidak langsung beralih ke perjalanan berikutnya tanpa menyelesaikan urusan di barat. Ini mengandung beberapa implikasi:
Ayat 89 ini, dalam kesederhanaannya, menguatkan gambaran Dzulqarnain sebagai model pemimpin yang ideal:
Al-Kahfi ayat 89, dengan demikian, bukan sekadar kalimat penghubung. Ia adalah penegasan tentang karakter, misi, dan metodologi Dzulqarnain. Ia menggambarkan seorang pemimpin yang konsisten dalam menjalankan amanahnya, gigih dalam perjalanannya, dan selalu siap untuk menempuh "jalan lain" demi mencapai tujuan yang lebih besar yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Ini adalah pelajaran penting tentang kepemimpinan yang berkesinambungan dan memiliki visi jangka panjang.
Kisah Dzulqarnain dalam Al-Kahfi bukan hanya narasi sejarah, tetapi sebuah paradigma abadi tentang kepemimpinan yang dianugerahkan dan dibimbing oleh Allah. Ayat 89, yang menunjukkan transisi Dzulqarnain ke "jalan yang lain", adalah bagian integral dari gambaran ini, menyoroti beberapa aspek fundamental dari kepemimpinan sejati.
Sejak awal (ayat 84), Allah menegaskan bahwa Dia-lah yang memberikan kekuasaan kepada Dzulqarnain: "Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu." Ini adalah pengingat bahwa kekuasaan, dalam bentuk apa pun, adalah amanah dari Allah. Dzulqarnain memahami ini, sehingga setiap tindakannya adalah dalam rangka menunaikan amanah tersebut.
Ayat 89, "Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain)", menunjukkan bahwa Dzulqarnain tidak menggunakan kekuasaannya untuk berdiam diri dan menikmati hasil dari penaklukannya di barat. Sebaliknya, ia terus bergerak, menyadari bahwa amanah itu bersifat dinamis dan memerlukan tindakan berkelanjutan. Kekuasaannya digunakan untuk menjelajah, menemukan, dan menegakkan keadilan, bukan untuk menumpuk harta atau kemewahan pribadi.
Ketika Dzulqarnain sampai di tempat terbenam matahari, Allah memberinya pilihan untuk menyiksa atau berbuat kebaikan. Jawaban Dzulqarnain menunjukkan komitmennya terhadap keadilan:
Prinsip keadilan ini dibawa serta dalam setiap perjalanannya. "Jalan yang lain" yang ditempuh Dzulqarnain pada ayat 89, dan perjalanan ke timur yang akan dijelaskan kemudian, pasti juga dilandasi oleh prinsip keadilan yang sama. Tidak ada indikasi bahwa ia mengubah kebijakannya dalam menghadapi kaum lain; keadilan adalah kompas moral yang tak tergoyahkan.
Ini mengajarkan bahwa seorang pemimpin sejati harus memiliki standar moral yang jelas, tidak memihak, dan konsisten dalam menegakkan keadilan, tanpa memandang ras, warna kulit, atau lokasi geografis. Keadilan universal adalah tanda kepemimpinan ilahi.
Perjalanan Dzulqarnain bukan tanpa tujuan. Setiap "jalan" yang ia tempuh memiliki misi yang jelas: untuk menunaikan perintah Allah, menegakkan kebaikan, dan mencegah kezaliman. Ayat 89 menggambarkan kelanjutan visi ini. Ia tidak terhenti oleh kesuksesan sebelumnya, melainkan terus melangkah maju untuk mewujudkan visi yang lebih besar.
Seorang pemimpin yang efektif memiliki visi yang melampaui kepentingan pribadi dan jangka pendek. Visi Dzulqarnain adalah menegakkan tauhid dan keadilan di muka bumi, yang merupakan misi yang berkelanjutan dan tanpa batas geografis atau waktu.
"Sebab-sebab" (sarana) yang diberikan kepada Dzulqarnain adalah berbagai bentuk kemampuan dan sumber daya. Ayat 89, dengan frasa "menempuh suatu jalan (yang lain)", mengimplikasikan bahwa Dzulqarnain secara bijaksana mengelola dan menggunakan sumber dayanya untuk setiap ekspedisi. Ini mencakup:
Kisah ini mengajarkan bahwa pemimpin harus menjadi manajer sumber daya yang ulung, memanfaatkan setiap anugerah untuk tujuan yang benar dan menghindari pemborosan atau penyalahgunaan.
Meskipun Dzulqarnain diberi kekuasaan yang luar biasa, tidak ada tanda-tanda kesombongan dalam dirinya. Ia selalu menyandarkan kekuasaannya kepada Allah. Ketika ia menghukum yang zalim, ia berkata, "kemudian dia dikembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan menyiksanya dengan siksa yang tidak terhingga." (QS. Al-Kahfi: 87). Ini menunjukkan bahwa ia menganggap dirinya sebagai alat atau perantara kehendak Allah, bukan sumber kekuasaan itu sendiri.
Ayat 89 yang sederhana namun kuat, "Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain)," adalah cerminan dari kerendahan hati ini. Ia tidak mengatakan, "Aku menaklukkan dunia," melainkan "dia menempuh suatu jalan", sebuah tindakan yang didasarkan pada sarana yang telah Allah berikan. Ini menunjukkan bahwa meskipun Dzulqarnain adalah seorang raja atau pemimpin yang perkasa, ia tetap hamba yang tunduk kepada kehendak Ilahi.
Keberhasilan di barat tidak membuat Dzulqarnain beristirahat. Ia "menempuh suatu jalan yang lain." Ini adalah metafora untuk perjuangan yang tidak pernah berakhir dalam hidup seorang Muslim, terutama seorang pemimpin. Tantangan baru selalu muncul, dan seorang pemimpin yang baik harus selalu siap untuk menghadapinya dengan tekad yang sama.
Perjalanan adalah simbol kehidupan, dan "jalan yang lain" adalah simbol dari tantangan dan peluang baru. Dzulqarnain mengajarkan kita untuk tidak pernah berhenti berjuang di jalan Allah, tidak pernah merasa puas dengan pencapaian masa lalu, tetapi selalu mencari cara untuk berbuat lebih baik dan lebih banyak.
Secara keseluruhan, Dzulqarnain, seperti yang digambarkan melalui ayat 89 dan keseluruhan kisahnya, adalah teladan kepemimpinan yang sempurna: seorang yang berkuasa namun rendah hati, adil dan bijaksana, berpandangan jauh, dan tidak pernah berhenti berjuang di jalan Allah. Prinsip-prinsip ini relevan bagi setiap individu dan setiap pemimpin di segala zaman, mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati terletak pada ketaatan kepada Sang Pencipta dan pelayanan kepada sesama.
Kisah Dzulqarnain adalah salah satu dari empat kisah utama dalam Surat Al-Kahfi, yang masing-masing membawa pelajaran penting dan saling melengkapi. Ayat 89, sebagai titik transisi, tidak hanya menggambarkan kelanjutan perjalanan Dzulqarnain, tetapi juga berkontribusi pada tema-tema besar surat ini.
Salah satu tema utama Surat Al-Kahfi adalah ujian. Kisah pemilik dua kebun mengajarkan tentang bahaya kesombongan dan ketergantungan pada harta benda, serta kehancuran yang menimpa orang-orang yang melupakan Allah karena kekayaannya. Di sisi lain, kisah Dzulqarnain menyajikan ujian yang berlawanan: ujian kekuasaan yang tak terbatas. Allah memberinya kekuasaan dan sarana untuk mencapai apa pun.
Dzulqarnain lulus dari ujian ini dengan gemilang. Ayat 89, "Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain)," menunjukkan bahwa ia tidak menggunakan kekuasaannya untuk menumpuk harta pribadi atau membangun kerajaan demi kejayaan diri sendiri. Sebaliknya, ia terus menggunakan kekuasaannya sebagai alat untuk menyebarkan keadilan dan kebaikan. Ini adalah kontras yang tajam dengan kisah pemilik kebun yang menyalahgunakan kekayaannya untuk kesombongan. Dzulqarnain menunjukkan bagaimana kekuasaan dan kekayaan, jika dikelola dengan benar, dapat menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan bermanfaat bagi umat manusia.
Kisah Musa dan Khidr menyoroti keterbatasan ilmu manusia dan pentingnya hikmah ilahi yang melampaui pemahaman akal. Musa, seorang Nabi besar, belajar bahwa ada pengetahuan yang hanya dimiliki oleh Allah dan hamba-Nya yang tertentu.
Dalam konteks ini, perjalanan Dzulqarnain yang digambarkan melalui ayat 89 juga dapat dilihat sebagai pencarian ilmu dan pengalaman. Setiap "jalan yang lain" yang ia tempuh memberinya pengetahuan baru tentang berbagai kaum, budaya, dan geografi. Kekuasaan Dzulqarnain tidak hanya tentang kekuatan fisik, tetapi juga tentang kecerdasan dan kemampuan untuk memahami dan menanggapi kondisi yang berbeda. Ia memiliki "sebab-sebab" yang meliputi kebijaksanaan dan strategi.
Perjalanan Dzulqarnain mengajarkan bahwa ilmu harus dicari dan digunakan untuk tujuan yang benar. Ia tidak berpuas diri dengan apa yang sudah ia tahu di barat, tetapi terus mencari "jalan lain" untuk memperluas pemahaman dan pengaruhnya, sejalan dengan misi ilahi.
Kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua) adalah tentang sekelompok pemuda yang melarikan diri dari kezaliman penguasa yang memaksakan kekafiran. Mereka memilih untuk bersembunyi demi menjaga iman mereka.
Di sisi lain, Dzulqarnain adalah seorang pemimpin yang secara aktif melawan kezaliman. Di barat, ia menghukum yang zalim. Di timur, ia bertemu dengan kaum yang tidak memiliki perlindungan dari matahari, dan pada perjalanan ketiganya, ia membangun dinding untuk melindungi kaum yang lemah dari Ya'juj dan Ma'juj. Ayat 89, "Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain)," adalah langkah awal menuju pembangunan dan perlindungan ini. Ia tidak pasif; ia adalah agen perubahan yang membawa kebaikan dan menegakkan kebenaran di mana pun ia pergi.
Kisah Dzulqarnain melengkapi Ashabul Kahfi. Jika Ashabul Kahfi mengajarkan perlindungan iman secara pasif dari ancaman, Dzulqarnain mengajarkan perlindungan iman dan keadilan secara aktif melalui kekuasaan yang diberikan Allah. Keduanya adalah bentuk perjuangan di jalan Allah, masing-masing dalam konteks dan kapasitas yang berbeda.
Kisah Dzulqarnain, khususnya pembangunan dinding untuk menahan Ya'juj dan Ma'juj, memiliki kaitan erat dengan tanda-tanda akhir zaman. Keluarnya Ya'juj dan Ma'juj adalah salah satu tanda besar kiamat.
Ayat 89, sebagai awal dari perjalanan Dzulqarnain yang mengarah pada pembangunan dinding tersebut, secara tidak langsung menghubungkan kita dengan tema eskatologis (akhir zaman) yang ada di Surat Al-Kahfi. Ini mengingatkan kita bahwa segala kekuasaan dan peradaban di dunia ini memiliki batas waktu, dan pada akhirnya, semua akan kembali kepada Allah.
Dalam setiap langkah Dzulqarnain, mulai dari awal perjalanannya hingga "jalan yang lain" yang ia tempuh, tersirat rasa tawakal dan ketergantungan yang kuat kepada Allah. Ia selalu menyandarkan kekuasaannya pada kehendak Allah. Ketika membangun dinding, ia berkata, "Ini adalah rahmat dari Tuhanku." (QS. Al-Kahfi: 98). Hal ini menunjukkan bahwa ia memahami bahwa semua keberhasilannya berasal dari Allah semata.
Ayat 89 yang berbicara tentang "sebab-sebab" yang Allah berikan kepadanya, menekankan bahwa manusia hanya bisa bergerak dan berusaha, tetapi hasil dan kemudahan datang dari Allah. Ini adalah pelajaran fundamental bagi setiap Muslim: berusaha semaksimal mungkin, tetapi selalu menyandarkan hati kepada Allah SWT.
Dengan demikian, Al-Kahfi ayat 89 bukanlah sekadar ayat transisi. Ia adalah benang merah yang mengaitkan berbagai pelajaran dari kisah Dzulqarnain dengan tema-tema besar Surat Al-Kahfi. Ia mengajarkan tentang penggunaan kekuasaan yang benar, pentingnya ilmu dan hikmah, perjuangan melawan kezaliman, kesadaran akan akhir zaman, dan yang terpenting, tawakal serta ketaatan yang tak tergoyahkan kepada Allah SWT.
Meskipun kisah Dzulqarnain terjadi ribuan tahun yang lalu dan diceritakan dalam konteks masyarakat dan pemahaman yang berbeda, pelajaran dari Al-Kahfi ayat 89 dan keseluruhan narasinya tetap memiliki relevansi yang sangat kuat dan abadi bagi kehidupan kita di era modern.
Frasa "Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain)" mengingatkan kita bahwa hidup adalah serangkaian perjalanan. Baik dalam karier, pendidikan, dakwah, atau bahkan kehidupan pribadi, kita seringkali menemukan diri kita di titik transisi, menyelesaikan satu fase dan memulai yang berikutnya. Pelajaran dari Dzulqarnain adalah pentingnya memiliki visi dan misi yang jelas dalam setiap "jalan" yang kita tempuh.
Seorang Muslim harus memiliki tujuan yang lebih tinggi, tidak hanya untuk mencapai kesuksesan duniawi, tetapi juga untuk mendapatkan ridha Allah. Setiap "jalan" harus menjadi sarana untuk berbuat kebaikan, menegakkan keadilan, dan menyebarkan manfaat, sebagaimana Dzulqarnain memanfaatkan "sebab-sebab" yang diberikan Allah untuk kebaikan umat manusia di berbagai penjuru bumi.
Di dunia yang kompleks ini, kita sering mencari model kepemimpinan yang efektif. Kisah Dzulqarnain, yang ditekankan oleh ayat 89 sebagai kelanjutan dari misi kepemimpinannya, menawarkan teladan yang ideal:
Dunia modern dicirikan oleh perubahan yang cepat. Teknologi, sosial, dan geopolitik terus bergeser. Ayat 89, dengan gagasan "menempuh suatu jalan (yang lain)", secara implisit mengajarkan pentingnya adaptasi dan fleksibilitas. Dzulqarnain tidak terjebak dalam satu metode atau satu lokasi; ia berpindah, menyesuaikan diri, dan menghadapi tantangan baru di setiap perjalanan.
Bagi kita, ini berarti kesiapan untuk belajar hal baru, beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, dan mencari solusi kreatif untuk masalah yang berkembang. Kaku dalam menghadapi perubahan dapat menyebabkan stagnasi dan kegagalan.
Debat seputar ayat 86 (matahari terbenam di mata air berlumpur) dan hubungannya dengan ayat 89, menunjukkan pentingnya memahami Al-Qur'an dalam konteks yang benar. Al-Qur'an bukan buku sains dalam artian modern, tetapi kitab petunjuk ilahi. Deskripsinya seringkali fenomenologis (bagaimana sesuatu terlihat) daripada penjelasan ilmiah teknis. Ini mengajarkan kita untuk tidak memaksakan interpretasi yang salah atau dangkal, tetapi untuk menggali makna yang lebih dalam dan pesan moral yang ingin disampaikan.
Ayat 89 yang sederhana namun mendalam menunjukkan bahwa fokus Al-Qur'an adalah pada tindakan, karakter, dan pelajaran, bukan pada detail perjalanan yang bisa diukur secara geografis atau saintifik.
Perjalanan Dzulqarnain ke "tempat terbenam matahari" dan kemudian ke "jalan yang lain" adalah simbol eksplorasi dan pencarian. Ini bisa diartikan sebagai dorongan bagi umat Islam untuk menjelajahi dunia, mencari ilmu, dan memahami berbagai peradaban. Islam senantiasa menganjurkan umatnya untuk bepergian di muka bumi, merenungkan ciptaan Allah, dan mengambil pelajaran dari sejarah.
Di era informasi dan globalisasi, "jalan yang lain" bisa berarti mencari pengetahuan di bidang-bidang baru, memahami budaya yang berbeda, atau berinovasi untuk memecahkan masalah global. Semangat penjelajahan dan pencarian ilmu Dzulqarnain adalah inspirasi bagi kita semua.
Setelah menyelesaikan tugas besar di barat, Dzulqarnain tidak berhenti. Ia melanjutkan misinya ke "jalan yang lain". Ini memberikan pesan optimisme dan harapan bahwa usaha kebaikan tidak pernah berakhir. Tantangan mungkin besar, tetapi dengan pertolongan Allah, kita bisa terus bergerak maju.
Bagi para da'i, pekerja sosial, atau siapa pun yang berjuang di jalan kebaikan, ayat ini adalah pengingat bahwa setiap langkah penting, dan setiap "jalan" baru adalah kesempatan untuk menyebarkan cahaya Islam dan manfaat bagi sesama.
Dengan demikian, Al-Kahfi ayat 89 adalah sebuah seruan untuk tindakan yang berkelanjutan, kepemimpinan yang berprinsip, adaptasi yang bijaksana, dan tawakal yang tak tergoyahkan. Pelajaran-pelajaran ini tidak lekang oleh waktu dan tetap relevan bagi setiap Muslim yang berusaha menjalani hidup yang bermakna dan bermanfaat di hadapan Allah SWT.
Al-Kahfi ayat 89, "Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain)", meskipun singkat, adalah ayat yang mengandung makna mendalam dalam kisah Dzulqarnain. Ia menjadi titik transisi vital yang menghubungkan perjalanan Dzulqarnain ke barat dengan perjalanannya ke timur, serta menggarisbawahi kontinuitas misi dan karakter kepemimpinannya.
Melalui ayat ini dan konteksnya dalam keseluruhan narasi Dzulqarnain, kita mempelajari esensi kepemimpinan yang ideal: kekuasaan sebagai amanah, keadilan sebagai prinsip utama, visi yang jelas, pengelolaan sumber daya yang bijaksana, kerendahan hati, dan ketekunan yang tak tergoyahkan. Dzulqarnain adalah teladan seorang pemimpin yang senantiasa bergerak, memanfaatkan "sebab-sebab" yang Allah karuniakan kepadanya untuk menyebarkan kebaikan dan menegakkan kebenaran di muka bumi.
Kisah ini juga memperkaya pemahaman kita tentang tema-tema besar Surat Al-Kahfi, seperti ujian kekuasaan dan kekayaan, pentingnya ilmu dan hikmah, perjuangan melawan kezaliman, dan tanda-tanda akhir zaman. Yang terpenting, ia menanamkan nilai tawakal dan ketergantungan penuh kepada Allah dalam setiap langkah dan usaha kita.
Di era modern, pesan dari Al-Kahfi ayat 89 tetap relevan. Ia mendorong kita untuk memiliki visi dalam hidup, menjadi pemimpin yang adil dan bertanggung jawab, beradaptasi dengan perubahan, dan tidak pernah berhenti mencari ilmu serta berjuang di jalan Allah. Kisah Dzulqarnain, dengan segala hikmahnya, adalah pengingat abadi bahwa kekuatan sejati dan kesuksesan hakiki terletak pada ketaatan kepada Sang Pencipta dan pelayanan tulus kepada sesama manusia.