Ilustrasi keindahan alam yang sering menjadi inspirasi geguritan.
Swara jangkrik ing dalem sepi
Mabur asri ing angkasa kang cumlorot
Surup srengenge tansah nganti
Tresna ing ati, tumancep kaya rinot.
Gedhang raja tuwuh ing pinggir kali
Banyu bening mili alon, nggawa crita
Angin semilir ngelus rambut iki
Ngelingake jaman biyen, nalika sumaia.
Rembulan munggah ing peteng dalu
Lintang gemintang padha mencorong
Atiku ayem, tanpa sambatku
Mung tansah ngaturaken sesembah ing ngarsaning Gusti.
Geguritan merupakan salah satu bentuk puisi tradisional Jawa yang kaya akan makna dan keindahan. Berbeda dengan puisi modern yang lebih bebas, geguritan memiliki struktur dan kaidah tertentu yang membuatnya unik. Artikel ini akan membahas contoh geguritan tiga bait dengan fokus pada penggambaran suasana dan perasaan yang mendalam, memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kekayaan sastra Jawa.
Geguritan, dalam kesederhanaannya, mampu menyampaikan pesan-pesan filosofis, refleksi kehidupan, hingga ekspresi emosi yang luhur. Penggunaan bahasa Jawa yang khas, pemilihan diksi yang tepat, serta rima dan irama yang harmonis menciptakan sebuah karya seni yang menyentuh hati pembacanya. Terutama ketika disajikan dalam beberapa bait, geguritan dapat membangun sebuah narasi emosional atau deskripsi yang bertahap, mengajak pembaca untuk meresapi setiap kalimatnya.
Contoh geguritan tiga bait yang disajikan di atas, berjudul "Senja di Pinggir Desa," berusaha menangkap momen peralihan antara siang dan malam di lingkungan pedesaan. Bait pertama memperkenalkan suara alam yang menenangkan di senja hari, berpadu dengan harapan dan rasa cinta yang mendalam. Suara jangkrik yang "mabur asri" di langit senja yang "cumlorot" menciptakan gambaran visual dan auditori yang kuat. Metafora "tresna ing ati, tumancep kaya rinot" menunjukkan betapa dalamnya perasaan yang dialami.
Bait kedua membawa pembaca ke tepi sungai, sebuah lokasi yang seringkali identik dengan ketenangan dan kenangan. Pohon pisang raja yang tumbuh di pinggir kali dan aliran air yang jernih menjadi latar belakang refleksi masa lalu. Angin semilir yang menyentuh rambut memberikan sensasi fisik yang membangkitkan nostalgia. Frasa "ngelingake jaman biyen, nalika sumaia" mengundang pembaca untuk bernostalgia bersama, merenungi perjalanan waktu dan kenangan.
Bait ketiga melanjutkan narasi ke malam hari. Munculnya rembulan dan gemerlap bintang menandai pergantian suasana. Namun, alih-alih kegelapan yang menakutkan, malam ini justru membawa ketenangan dan kedamaian batin. Ungkapan "Atiku ayem, tanpa sambatku" mencerminkan penerimaan diri dan rasa syukur. Puncak geguritan ini adalah ekspresi spiritualitas, yaitu "Mung tansah ngaturaken sesembah ing ngarsaning Gusti," sebuah penyerahan diri dan pujian kepada Sang Pencipta.
Geguritan ini menggunakan bahasa Jawa yang halus dan puitis. Pemilihan kata seperti "mabur asri," "cumlorot," "sumai," dan "sesembah" memberikan nuansa khas Jawa yang kental.
Setiap bait membangun suasana secara bertahap. Dari suara senja, lalu ke kenangan di tepi sungai, dan ditutup dengan ketenangan malam yang membawa kedamaian spiritual. Penggunaan elemen alam (jangkrik, surup srengenge, gedhang raja, kali, angin, rembulan, lintang) menjadi media untuk menyampaikan perasaan dan refleksi.
Struktur tiga bait memberikan ruang yang cukup untuk pengembangan tema. Bait pertama fokus pada suasana senja dan perasaan awal. Bait kedua menggali nostalgia dan refleksi masa lalu. Bait ketiga mencapai klimaks spiritual dan kedamaian batin. Pendekatan tiga bait ini memungkinkan penyampaian pesan yang utuh dan berkesan.
Geguritan ini menjadi contoh yang baik bagi siapa saja yang ingin mempelajari atau mengapresiasi sastra Jawa. Dengan tiga bait, ia menawarkan pengalaman membaca yang ringkas namun mendalam, menunjukkan kekuatan geguritan dalam merangkai kata menjadi sebuah karya seni yang menyentuh.