Al-Qur'an adalah kalamullah, pedoman hidup bagi seluruh umat manusia, yang setiap ayatnya mengandung hikmah, pelajaran, dan kebenaran yang tak lekang oleh waktu. Memahami Al-Qur'an, baik secara tekstual maupun kontekstual, merupakan salah satu jalan untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan meraih kebahagiaan hakiki. Di antara sekian banyak surat dalam Al-Qur'an, Surat Al-Fil menempati posisi yang istimewa karena kisah historisnya yang luar biasa, penuh dengan mukjizat dan peringatan.
Pertanyaan yang sering muncul di benak kita ketika membaca atau mempelajari surat ini adalah, "berikut ayat kedua Surat Al-Fil yang benar adalah..." Pertanyaan ini mengindikasikan keinginan untuk memahami secara spesifik salah satu bagian krusial dari surat tersebut. Artikel ini akan mengupas tuntas ayat kedua Surat Al-Fil, mulai dari lafaz aslinya, transliterasi, berbagai terjemahan, analisis kata per kata, tafsir mendalam, hingga relevansinya dalam kehidupan modern. Dengan pemahaman yang komprehensif, kita diharapkan dapat mengambil ibrah dan menguatkan keimanan.
Mengenal Surat Al-Fil: Sebuah Gambaran Umum
Surat Al-Fil, yang berarti "Gajah", adalah surat ke-105 dalam susunan mushaf Al-Qur'an. Terdiri dari lima ayat, surat ini digolongkan sebagai surat Makkiyah, yaitu surat yang diturunkan di Mekah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Ciri khas surat Makkiyah adalah penekanannya pada tauhid (keesaan Allah), hari kiamat, kisah-kisah umat terdahulu sebagai pelajaran, serta penegasan tentang kenabian.
Nama "Al-Fil" diambil dari kisah utama yang diceritakan dalam surat ini, yaitu peristiwa penyerangan Ka'bah oleh pasukan gajah di bawah pimpinan Abrahah, seorang raja dari Yaman. Peristiwa ini dikenal sebagai "Tahun Gajah" (Amul Fil) dan terjadi pada tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW. Kisah ini tidak hanya sekadar narasi sejarah, tetapi sebuah mukjizat besar yang menegaskan kekuasaan dan perlindungan Allah SWT terhadap rumah-Nya dan, secara tidak langsung, terhadap agama yang akan dibawa oleh Nabi terakhir.
Latar Belakang Peristiwa Tahun Gajah
Untuk memahami Surat Al-Fil secara mendalam, penting untuk mengetahui latar belakang peristiwa yang melahirkannya. Abrahah Al-Asyram adalah seorang gubernur atau raja dari negeri Yaman yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Aksum (Ethiopia). Ia adalah seorang Kristen yang taat dan merasa geram melihat orang-orang Arab di Semenanjung Arab berbondong-bondong pergi berhaji ke Ka'bah di Mekah. Menurutnya, popularitas Ka'bah ini mengurangi keagungan gereja besar yang ia bangun di San'a, Yaman, yang diberi nama Al-Qullais.
Dengan ambisi yang besar dan niat untuk mengalihkan pusat ibadah haji dari Mekah ke San'a, Abrahah bersumpah untuk menghancurkan Ka'bah. Ia pun menyiapkan pasukan besar, termasuk beberapa gajah perang yang kuat, yang pada masa itu merupakan simbol kekuatan militer yang tak tertandingi. Pasukan gajah ini dipimpin oleh gajah terbesar bernama Mahmud. Dengan sombongnya, Abrahah memimpin pasukannya menuju Mekah, yakin bahwa tidak ada satu pun kekuatan yang dapat menghentikannya.
Ketika pasukan Abrahah tiba di dekat Mekah, mereka merampas harta benda penduduk Mekah, termasuk unta-unta milik Abdul Muththalib, kakek Nabi Muhammad SAW. Abdul Muththalib kemudian menemui Abrahah, bukan untuk meminta perlindungan Ka'bah, melainkan untuk meminta unta-untanya dikembalikan. Sikap Abdul Muththalib ini sempat membuat Abrahah heran dan meremehkan. Namun, Abdul Muththalib dengan tegas menjawab, "Aku adalah pemilik unta-unta ini, sedangkan Ka'bah memiliki pemilik yang akan melindunginya." Jawaban ini menunjukkan keyakinan teguh penduduk Mekah (yang saat itu masih menyembah berhala, namun menghormati Ka'bah sebagai rumah Ibrahim) bahwa ada kekuatan yang lebih besar yang akan membela Baitullah.
Meskipun ada beberapa upaya negosiasi atau perlawanan kecil dari suku-suku Arab yang mereka lewati, tidak ada yang mampu menghentikan laju pasukan Abrahah yang perkasa. Namun, saat mereka telah mendekat ke Ka'bah dan siap untuk menghancurkannya, sesuatu yang luar biasa terjadi. Gajah-gajah Abrahah, termasuk Mahmud, menolak untuk bergerak maju menuju Ka'bah. Setiap kali diarahkan ke Ka'bah, mereka akan duduk atau berbalik arah, tetapi jika diarahkan ke arah lain, mereka akan bergerak.
Di tengah kebingungan dan keputusasaan Abrahah dan pasukannya, Allah SWT menunjukkan kekuasaan-Nya. Inilah klimaks dari kisah ini, yang menjadi inti dari Surat Al-Fil. Kisah ini menegaskan bahwa tidak ada kekuatan di muka bumi yang dapat menentang kehendak Allah SWT, dan bahwa segala rencana jahat yang ditujukan untuk menghancurkan kebenaran atau rumah-Nya akan berakhir dengan kegagalan yang menyedihkan.
Fokus Utama: Ayat Kedua Surat Al-Fil
Setelah memahami konteks historis dan pesan umum Surat Al-Fil, mari kita selami lebih dalam ayat kedua, yang menjadi titik fokus pembahasan kita. Ayat ini merupakan bagian integral dari narasi besar yang menunjukkan betapa Allah SWT menggagalkan makar para musuh-Nya dengan cara yang tak terduga.
Konteks Ayat Pertama: Mengajak Merenung
Sebelum membahas ayat kedua, penting untuk melihat kembali ayat pertama sebagai pembuka dan konteks. Ayat pertama berbunyi:
Alam tara kayfa fa'ala rabbuka bi-aṣḥābil-fīl(i).
"Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?" (QS. Al-Fil: 1, Kemenag RI)
Ayat ini dimulai dengan pertanyaan retoris, "Alam tara", yang secara harfiah berarti "Tidakkah kamu melihat?". Namun, dalam konteks ini, ia bermakna "Tidakkah kamu mengetahui?" atau "Tidakkah kamu merenungkan?". Pertanyaan ini ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW, dan melalui beliau, kepada seluruh umat manusia. Tujuannya adalah untuk menarik perhatian pada peristiwa besar yang telah terjadi, sebuah peristiwa yang begitu terkenal dan dahsyat sehingga tidak ada yang bisa membantah keberadaannya atau melupakan dampaknya.
Frasa "kayfa fa'ala rabbuka", "bagaimana Tuhanmu telah bertindak", menekankan pada cara Allah bertindak, yaitu dengan cara yang luar biasa, tidak terduga, dan melampaui kemampuan manusia. Ini bukan sekadar tindakan, melainkan sebuah intervensi ilahi yang menakjubkan. Kata "rabbuka" (Tuhanmu) menunjukkan kedekatan dan perhatian Allah kepada Nabi Muhammad dan umatnya, serta tanggung jawab-Nya dalam melindungi kebenaran. Sedangkan "bi-aṣḥābil-fīl", "terhadap pasukan bergajah", secara jelas menunjuk pada target tindakan ilahi tersebut, yaitu pasukan Abrahah yang angkuh.
Ayat pertama ini adalah sebuah pengantar yang kuat, yang menyiapkan pikiran pembaca atau pendengar untuk menerima kisah selanjutnya. Ini adalah undangan untuk merenungkan kekuasaan Allah yang tak terbatas, yang mampu mengubah takdir dan menggagalkan rencana sebesar apa pun, asalkan rencana itu bertentangan dengan kehendak-Nya.
Ayat Kedua: Lafaz, Terjemah, dan Maknanya
Setelah pengantar yang menakjubkan di ayat pertama, Surat Al-Fil melanjutkan dengan ayat kedua yang menjadi inti dari pembahasan kita. Ayat ini secara eksplisit menjelaskan hasil dari tindakan Allah terhadap pasukan gajah. Mari kita perhatikan lafaz aslinya:
Alam yaj'al kaydahum fī taḍlīl(in).
"Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) sia-sia?" (QS. Al-Fil: 2, Kemenag RI)
Berbagai Terjemahan dan Nuansanya
Terjemahan dari Al-Qur'an dapat bervariasi dalam nuansa dan pilihan kata, meskipun inti maknanya tetap sama. Perbedaan ini seringkali memperkaya pemahaman kita terhadap keluasan makna bahasa Arab Al-Qur'an.
- Kemenag RI: "Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) sia-sia?" Terjemahan ini sangat langsung, fokus pada hasil akhir yaitu kesia-siaan rencana.
- Terjemahan lain (misalnya, versi lama atau tafsir): "Bukankah Dia telah menjadikan rencana jahat mereka dalam kesesatan?" atau "Tidakkah Dia menjadikan makar mereka itu tersesat?" Nuansa "kesesatan" atau "tersesat" di sini lebih menekankan pada arah yang salah dan kegagalan total, bukan hanya sekadar sia-sia, tetapi juga tidak mencapai tujuan yang diinginkan dan bahkan berbalik merugikan mereka.
Apapun terjemahannya, pesan utamanya jelas: Allah menggagalkan rencana pasukan gajah. Namun, untuk benar-benar memahami kedalaman ayat ini, kita perlu melakukan analisis kata per kata.
Analisis Kata per Kata (Lughawi Tafsir)
1. أَلَمْ (Alam)
Seperti pada ayat pertama, أَلَمْ (Alam) adalah gabungan dari partikel tanya أَ (a) yang berarti "apakah", dan partikel negasi لَمْ (lam) yang berarti "tidak" atau "belum". Ketika digabungkan, ia membentuk pertanyaan retoris yang kuat dengan makna penegasan. Jadi, "Alam" bukan lagi pertanyaan murni yang menuntut jawaban ya atau tidak, melainkan sebuah pernyataan yang ditegaskan, seolah-olah mengatakan, "Sungguh, Dia telah..." atau "Tentu saja, Dia telah...". Penggunaan ini menekankan bahwa fakta yang disampaikan selanjutnya adalah suatu kebenaran yang tak terbantahkan, yang seharusnya sudah diketahui atau jelas bagi siapa pun yang merenung.
Dalam retorika Al-Qur'an, pertanyaan retoris ini sangat efektif untuk menarik perhatian dan membangun konsensus pada kebenaran yang disampaikan. Ini mengingatkan kita pada peristiwa yang begitu monumental sehingga dampaknya tidak mungkin diabaikan. Ini juga berfungsi sebagai bentuk celaan halus terhadap orang-orang yang mungkin meragukan kekuasaan Allah atau yang lupa akan pelajaran dari sejarah.
2. يَجْعَلْ (yaj'al)
Kata يَجْعَلْ (yaj'al) berasal dari akar kata جَعَلَ (ja'ala), yang berarti "menjadikan", "membuat", "menempatkan", atau "mengubah". Ini adalah bentuk kata kerja mudhari' (masa sekarang atau masa depan) yang dijazamkan oleh لَمْ (lam). Penjazaman ini menunjukkan bahwa tindakan tersebut telah terjadi di masa lalu, sebagai respons langsung terhadap "Alam" yang mengacu pada masa lampau.
Pilihan kata "yaj'al" sangat penting. Ini menunjukkan bahwa Allah secara aktif dan langsung yang bertindak. Bukan sekadar rencana mereka gagal dengan sendirinya atau karena faktor kebetulan. Allah adalah "pelaku" yang menjadikan tipu daya mereka sia-sia. Ini adalah manifestasi kekuasaan Allah yang mutlak, di mana Dia tidak memerlukan perantara atau sebab-sebab alami yang lazim untuk mewujudkan kehendak-Nya. Kehendak-Nya saja sudah cukup untuk menjadikan sesuatu terjadi atau tidak terjadi.
Kata ini menggarisbawahi bahwa Allah tidak pasif dalam menghadapi kezaliman atau makar. Dia adalah pelindung yang aktif, yang siap membela kebenaran dan menghancurkan kebatilan. Ini memberikan ketenangan bagi orang-orang beriman bahwa Allah senantiasa mengawasi dan akan bertindak pada saat yang tepat.
3. كَيْدَهُمْ (kaydahum)
كَيْدَهُمْ (kaydahum) adalah gabungan dari kata كَيْد (kaid) yang berarti "tipu daya", "rencana jahat", "muslihat", atau "makar", dan sufiks هُمْ (hum) yang merupakan kata ganti kepemilikan orang ketiga jamak, "mereka" (yaitu, Ashabul Fil atau pasukan gajah).
Kata "kaid" dalam Al-Qur'an sering digunakan untuk merujuk pada rencana atau siasat yang direncanakan dengan licik untuk tujuan jahat atau merugikan orang lain, khususnya yang bertentangan dengan kebenaran ilahi. Dalam konteks Surat Al-Fil, "kaid" Abrahah adalah rencana besarnya untuk menghancurkan Ka'bah, pusat ibadah yang diagungkan oleh seluruh bangsa Arab dan yang akan menjadi kiblat umat Islam.
Karakteristik "kaid" adalah bahwa ia seringkali tampak kuat dan tak terkalahkan di permukaan, karena didukung oleh sumber daya, kekuatan, dan kecerdikan. Abrahah memiliki pasukan yang besar, gajah-gajah perang, dan dukungan politik. Namun, Al-Qur'an menunjukkan bahwa sekalipun tipu daya itu tampak sempurna dan tak dapat ditembus oleh manusia, di hadapan kekuasaan Allah, ia hanyalah sesuatu yang rapuh dan mudah digagalkan.
Ayat ini mengajarkan bahwa niat jahat, betapapun canggihnya perencanaan atau besarnya kekuatan yang mendukungnya, akan selalu menghadapi batas ketika berhadapan dengan kehendak Allah. Ini adalah peringatan bagi siapa pun yang merencanakan kejahatan atau penindasan.
4. فِي تَضْلِيلٍ (fī taḍlīl)
فِي (fī) adalah preposisi yang berarti "di dalam", "pada", "dalam hal", atau "menuju". Ini menunjukkan kondisi atau keadaan. Kata تَضْلِيلٍ (taḍlīl) berasal dari akar kata ضَلَّ (ḍalla), yang berarti "sesat", "menyimpang", atau "tersesat". Bentuk تَضْلِيلٍ (taḍlīl) adalah mashdar (kata benda verbal) dari أَضَلَّ (aḍalla), yang berarti "menyesatkan", "menjadikan sia-sia", "menggagalkan", atau "menghancurkan tanpa hasil".
Oleh karena itu, frasa "fī taḍlīl" berarti "dalam keadaan sia-sia", "dalam kesesatan", "dalam kegagalan total", atau "dijadikan tersesat dari tujuannya". Ini bukan hanya berarti bahwa rencana mereka tidak berhasil, tetapi lebih dari itu, rencana tersebut dibuat agar gagal secara menyeluruh, bahkan mungkin berbalik merugikan mereka sendiri.
Interpretasi "tadlil" sebagai "kesesatan" atau "penyesatan" juga sangat relevan. Rencana Abrahah untuk menghancurkan Ka'bah dan menggantinya dengan gerejanya adalah sebuah kesesatan, sebuah penyimpangan dari jalan kebenaran. Maka, Allah menjadikan rencana itu sendiri tersesat dari tujuannya, tidak mencapai sasaran, dan berakhir dengan kehancuran para pelakunya. Ini adalah keadilan ilahi: makar yang sesat akan berakhir dengan kesesatan dan kehancuran.
Frasa ini secara sempurna merangkum hasil akhir dari invasi Abrahah. Semua upaya, sumber daya, dan keangkuhan mereka berakhir tidak hanya dengan kegagalan, tetapi dengan kehancuran yang memalukan. Ini adalah pelajaran keras tentang kesombongan dan upaya untuk menantang kehendak Ilahi.
Tafsir Kontekstual Ayat Kedua
Secara kontekstual, ayat kedua ini adalah jawaban dan penegasan atas pertanyaan retoris di ayat pertama. Jika ayat pertama bertanya, "Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Tuhanmu bertindak?", maka ayat kedua menjawabnya dengan tegas, "Tentu saja, Dia telah menjadikan tipu daya mereka sia-sia!"
Penting untuk dicatat bahwa ayat ini tidak langsung menyebutkan "bagaimana" tipu daya itu digagalkan, melainkan hanya menegaskan bahwa itu telah digagalkan. Rincian "bagaimana"-nya akan dijelaskan di ayat-ayat selanjutnya. Ini adalah struktur naratif yang efektif, membangun ketegangan dan membuat pembaca ingin tahu lebih lanjut.
Ayat ini juga memberikan gambaran tentang sifat dan karakter Allah SWT. Dia adalah Sang Pelindung, Sang Penjaga, dan Sang Pengatur segala urusan. Ketika ada pihak yang mencoba menghancurkan simbol keagungan-Nya atau menghalangi jalan kebenaran, Dia tidak akan berdiam diri. Intervensi-Nya bisa datang dalam bentuk yang tak terduga, di luar nalar manusia, seperti yang akan kita lihat nanti dengan burung Ababil.
Bagi orang-orang yang hidup di masa Nabi Muhammad SAW, peristiwa ini adalah bukti nyata keberadaan dan kekuasaan Allah. Mereka yang meragukan kenabian atau ajaran Islam diingatkan akan peristiwa dahsyat yang baru saja terjadi beberapa dekade sebelumnya. Ini menjadi hujjah (argumen) yang kuat bagi kebenaran risalah Islam dan perlindungan Allah atas Nabi-Nya yang akan lahir di tahun yang sama dengan peristiwa tersebut.
Pelajaran dan Hikmah dari Ayat Kedua
Ayat kedua Surat Al-Fil, meskipun singkat, mengandung pelajaran dan hikmah yang sangat mendalam bagi umat manusia di setiap zaman. Berikut adalah beberapa di antaranya:
1. Kekuasaan Absolut Allah SWT
Ayat ini dengan sangat jelas menunjukkan bahwa kekuasaan Allah SWT adalah absolut dan tak terbatas. Tidak ada kekuatan di alam semesta ini yang dapat menandingi kehendak-Nya. Pasukan Abrahah adalah simbol kekuatan militer dan logistik pada masanya, dengan gajah-gajah perang yang perkasa. Namun, semua itu menjadi tidak berdaya di hadapan titah Allah. Ini adalah pengingat bahwa sebesar apa pun kekuatan materi, teknologi, atau kekuasaan manusia, semuanya tunduk pada kehendak Ilahi. Pelajaran ini relevan dalam menghadapi segala bentuk tantangan, baik di tingkat personal maupun global, bahwa sumber kekuatan sejati adalah Allah.
2. Perlindungan Ilahi Terhadap Kebenaran dan Rumah-Nya
Kisah ini menegaskan bahwa Allah adalah Pelindung sejati. Dia melindungi Ka'bah, yang merupakan simbol dari rumah ibadah yang benar dan akan menjadi kiblat umat Islam. Ini adalah janji bahwa Allah akan selalu melindungi kebenaran dan agama-Nya dari setiap upaya penghancuran. Meskipun Ka'bah pada saat itu masih dikelilingi oleh berhala, esensinya sebagai rumah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS tetap suci di mata Allah. Perlindungan ini juga dapat diartikan lebih luas sebagai perlindungan terhadap nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang dijunjung tinggi dalam Islam.
3. Kesia-siaan Rencana Jahat dan Keangkuhan
Ayat kedua secara spesifik menyatakan bahwa Allah menjadikan "tipu daya mereka" (kaydahum) sia-sia (fī taḍlīl). Ini adalah peringatan keras bagi siapa pun yang merencanakan kejahatan, kezaliman, atau menentang kebenaran. Betapapun canggihnya perencanaan, besarnya dana yang dikeluarkan, atau banyaknya dukungan yang didapat, jika tujuan akhirnya adalah kezaliman atau penghancuran kebenaran, maka Allah pasti akan menggagalkannya. Keangkuhan dan kesombongan Abrahah yang merasa bisa menghancurkan rumah Allah berakhir dengan kehancuran dirinya dan pasukannya. Ini adalah cermin bagi semua tiran dan orang-orang sombong bahwa akhir dari kezaliman adalah kegagalan dan kehinaan.
4. Pentingnya Tawakkal dan Keimanan
Meskipun penduduk Mekah tidak memiliki kekuatan untuk melawan pasukan Abrahah, Abdul Muththalib menunjukkan sikap tawakkal yang luar biasa dengan menyatakan bahwa Ka'bah memiliki Pemilik yang akan melindunginya. Ayat kedua ini memvalidasi tawakkal tersebut. Ini mengajarkan kita bahwa dalam menghadapi kesulitan atau ancaman yang melebihi kemampuan kita, satu-satunya tempat untuk bergantung adalah Allah SWT. Dengan tawakkal yang benar, Allah akan membuka jalan keluar dari kesulitan yang tidak terduga, bahkan dengan cara-cara yang ajaib.
5. Sumber Harapan Bagi yang Tertindas
Bagi mereka yang berada dalam kondisi tertindas atau terancam oleh kekuatan yang lebih besar, kisah Al-Fil dan khususnya ayat kedua ini adalah sumber harapan dan kekuatan. Ini mengingatkan bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan hamba-hamba-Nya yang beriman dan tertindas. Pertolongan-Nya bisa datang kapan saja dan dari arah yang tidak disangka-sangka, sebagaimana Ia mengirimkan burung-burung Ababil. Ini adalah janji bahwa kezaliman tidak akan pernah bertahan selamanya, dan bahwa keadilan Allah akan selalu ditegakkan.
Melanjutkan Kisah: Ayat 3, 4, 5 dan Kesempurnaan Narasi
Setelah ayat kedua yang menegaskan kegagalan tipu daya Abrahah, Surat Al-Fil melanjutkan dengan menjelaskan bagaimana kegagalan itu diwujudkan oleh Allah SWT. Ayat 3, 4, dan 5 melengkapi narasi ini dengan detail yang menakjubkan, menunjukkan keagungan mukjizat dan kekuatan Ilahi.
Ayat Ketiga: Pengiriman Burung Ababil
Setelah menyatakan bahwa tipu daya mereka telah dijadikan sia-sia, Allah melanjutkan dengan menjelaskan cara-Nya:
Wa arsala 'alayhim ṭayran abābīl(a).
"Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong," (QS. Al-Fil: 3, Kemenag RI)
Kata "wa arsala" berarti "dan Dia mengirimkan", menekankan kembali bahwa tindakan ini berasal langsung dari Allah. "Alayhim", "kepada mereka", merujuk pada pasukan Abrahah. Bagian yang paling menarik adalah "ṭayran abābīl". "Ṭayran" berarti "burung". Sedangkan "Abābīl" adalah kata jamak yang tidak memiliki bentuk tunggal yang jelas dalam bahasa Arab klasik, dan umumnya diartikan sebagai "berbondong-bondong", "berkelompok-kelompok", atau "datang dari berbagai arah secara terus-menerus".
Para mufassir (ahli tafsir) berbeda pendapat mengenai jenis burung ini. Ada yang mengatakan bahwa itu adalah burung-burung kecil yang mirip walet atau sejenisnya, sementara yang lain berpendapat bahwa itu adalah burung-burung yang belum pernah terlihat sebelumnya, diciptakan khusus untuk tujuan ini. Yang jelas, kemunculan burung-burung ini dalam jumlah besar dan secara tiba-tiba adalah bagian dari mukjizat. Ini menunjukkan bahwa Allah dapat menggunakan makhluk sekecil apa pun, bahkan yang paling tidak terduga, untuk melaksanakan kehendak-Nya yang Maha Besar. Ini adalah tamsil nyata bahwa kekuatan tidak selalu terletak pada ukuran atau kekuatan fisik yang tampak.
Ayat Keempat: Batu dari Sijjil
Burung-burung Ababil tidak datang tanpa tujuan. Mereka membawa senjata yang mematikan:
Tarmīhim bi-ḥijāratim min sijīl(in).
"yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar," (QS. Al-Fil: 4, Kemenag RI)
Kata "tarmīhim" berarti "melempari mereka". Ini menggambarkan aksi aktif burung-burung tersebut. Senjata mereka adalah "bi-ḥijāratin min sijīl", "dengan batu dari Sijjil". Kata "ḥijārah" berarti "batu". Adapun "sijjīl", para mufassir juga memiliki beberapa interpretasi. Ada yang mengartikannya sebagai "batu yang mengeras dari lumpur yang terbakar" (tanah liat yang dipanaskan hingga sangat keras), mirip dengan bata. Ada pula yang menafsirkan bahwa Sijjil adalah nama sebuah lembah di neraka, mengisyaratkan bahwa batu-batu itu memiliki sifat panas dan membakar yang dahsyat. Tafsir lain menyebutkan bahwa Sijjil adalah kombinasi dari "sijil" (catatan) dan "jill" (tanah liat), yang berarti batu yang tercatat sebagai azab.
Apapun tafsir pastinya, yang jelas batu-batu ini memiliki sifat yang sangat destruktif dan mematikan. Ukurannya kecil, mungkin seukuran kerikil atau biji-bijian, tetapi dampak yang ditimbulkannya jauh melampaui ukuran fisiknya. Setiap batu yang dilemparkan oleh burung Ababil mengenai pasukan Abrahah, menembus tubuh mereka dan menyebabkan kehancuran internal yang mengerikan.
Kisah ini menggambarkan betapa Allah dapat menggunakan alat yang paling tidak terduga dan paling kecil untuk menghancurkan kekuatan yang paling besar. Ini juga menunjukkan bagaimana azab Allah bisa sangat spesifik dan efektif, menargetkan setiap individu dari pasukan yang sombong tersebut.
Ayat Kelima: Kehancuran Total
Akhirnya, ayat terakhir Surat Al-Fil menyimpulkan nasib tragis pasukan Abrahah:
Fa ja'alahum ka'aṣfim ma'kūl(in).
"Lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat)." (QS. Al-Fil: 5, Kemenag RI)
Frasa "fa ja'alahum" berarti "maka Dia menjadikan mereka", kembali menegaskan peran aktif Allah. Kemudian perumpamaan yang sangat kuat dan gamblang: "ka'aṣfim ma'kūl". "Aṣf" berarti "daun-daun kering" atau "jerami" atau "kulit padi yang telah dimakan (binatang)". "Ma'kūl" berarti "yang dimakan" atau "yang telah hancur oleh gigitan".
Perumpamaan ini menggambarkan kehancuran total yang menimpa pasukan Abrahah. Mereka yang tadinya perkasa dan angkuh, hancur lebur seperti sisa-sisa daun kering yang dimakan ulat atau jerami yang diinjak-injak dan tercerai-berai. Tubuh mereka hancur, bahkan daging mereka disebutkan luruh dari tulang, seperti daun yang telah bolong-bolong dimakan ulat. Ini adalah gambaran kehinaan dan kepunahan yang menyakitkan, sebuah akhir yang sangat kontras dengan kesombongan awal mereka.
Perumpamaan ini juga menunjukkan betapa cepat dan dahsyatnya azab Allah. Hanya dalam waktu singkat, seluruh pasukan yang tidak terkalahkan itu berubah menjadi puing-puing, menjadi pelajaran bagi generasi setelahnya.
Keterkaitan Antar Ayat dan Sisi Mukjizat
Kisah Surat Al-Fil adalah narasi yang sempurna. Ayat pertama menarik perhatian, ayat kedua menyatakan hasil utama (penggagalan makar), dan ayat ketiga hingga kelima menjelaskan detail bagaimana Allah mewujudkan kegagalan itu. Ada logika naratif yang kuat, yang dimulai dengan pertanyaan tentang tindakan Allah, dilanjutkan dengan pernyataan bahwa tindakan itu berhasil menggagalkan makar, dan diakhiri dengan penjelasan rinci tentang cara penggagalan tersebut.
Peristiwa ini adalah mukjizat yang sangat jelas. Kekuatan super yang dilambangkan oleh gajah-gajah Abrahah, dikalahkan bukan oleh kekuatan manusia lain, melainkan oleh makhluk-makhluk kecil (burung) yang menggunakan "senjata" yang aneh (batu dari Sijjil) dengan efek yang luar biasa dahsyat. Ini adalah bukti nyata bahwa Allah SWT adalah Maha Kuasa, dan Dia dapat menciptakan sebab-akibat yang melampaui pemahaman manusia.
Dampak Peristiwa Terhadap Sejarah
Peristiwa Tahun Gajah memiliki dampak yang sangat signifikan bagi sejarah Arab dan, pada akhirnya, bagi sejarah Islam. Pertama, ia menegaskan kembali kesucian dan keistimewaan Ka'bah di mata penduduk Arab. Setelah peristiwa ini, Ka'bah semakin dihormati, dan penduduk Mekah dipandang sebagai "Ahlullah" (keluarga Allah) karena mereka adalah penjaga Baitullah yang telah dilindungi secara ilahi.
Kedua, dan yang paling penting, peristiwa ini terjadi pada tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ini bukan kebetulan belaka, melainkan tanda dari Allah bahwa kelahiran Nabi terakhir ini adalah peristiwa besar yang telah dipersiapkan dengan campur tangan ilahi. Perlindungan Ka'bah dari kehancuran adalah pra-kondisi bagi munculnya agama Islam yang akan mengambil Ka'bah sebagai kiblatnya. Peristiwa ini juga menciptakan kondisi yang lebih aman bagi tumbuh kembang Nabi Muhammad di Mekah, di tengah masyarakat yang sedang menyaksikan bukti kekuasaan Allah.
Keindahan Bahasa dan Retorika Surat Al-Fil
Selain makna historis dan teologisnya yang dalam, Surat Al-Fil juga menunjukkan keindahan bahasa dan retorika Al-Qur'an. Meskipun pendek, surat ini sangat padat makna dan memiliki daya pengaruh yang kuat:
- Pertanyaan Retoris yang Memukau: Dimulai dengan "Alam tara" dan "Alam yaj'al", surat ini langsung menarik perhatian pendengar. Pertanyaan retoris bukan untuk mencari jawaban, melainkan untuk menegaskan kebenaran yang sudah ada dan mengundang perenungan mendalam. Ini menunjukkan kepercayaan penuh pada pengetahuan audiens tentang peristiwa tersebut.
- Kepadatan Makna: Setiap kata dalam surat ini dipilih dengan cermat dan memiliki makna yang kaya. Misalnya, "tadlil" tidak hanya berarti "gagal", tetapi "digagalkan secara menyeluruh dan dibuat tersesat". "Ababil" tidak hanya "burung", tetapi "burung yang berbondong-bondong", menekankan jumlah dan organisasinya yang tidak biasa.
- Penggunaan Perumpamaan yang Kuat: Perumpamaan "ka'asfim ma'kul" (seperti daun-daun yang dimakan ulat) adalah puncaknya. Ia menggambarkan kehancuran total dengan cara yang sangat visual dan mudah dipahami, meninggalkan kesan yang mendalam tentang kehinaan dan kepunahan. Ini adalah contoh keajaiban balaghah (retorika) Al-Qur'an yang mampu menyampaikan pesan besar dengan metafora yang sederhana namun efektif.
- Struktur Naratif yang Efektif: Surat ini menceritakan sebuah kisah yang lengkap, dari pengantar, inti peristiwa, hingga klimaks dan akibatnya, dalam lima ayat saja. Alur ceritanya jelas dan runtut, meski singkat, tetapi tidak menghilangkan detail penting yang dibutuhkan untuk memahami pesan.
Keindahan bahasa ini tidak hanya memukau dari segi sastra, tetapi juga memperkuat pesan-pesan ilahi yang terkandung di dalamnya. Ia membuat kisah ini mudah diingat, direnungkan, dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Relevansi dan Refleksi Kontemporer
Kisah Surat Al-Fil, termasuk ayat keduanya yang sangat fundamental, tidak hanya relevan untuk masa lalu tetapi juga memiliki aplikasi yang mendalam dalam kehidupan kita saat ini. Pelajaran-pelajaran yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan trans-historis.
1. Pelajaran tentang Keangkuhan dan Kekuasaan Materi
Dunia modern seringkali terobsesi dengan kekuasaan, kekayaan, dan teknologi. Ada kecenderungan untuk percaya bahwa dengan sumber daya yang melimpah, manusia dapat mencapai apa pun dan mengatasi setiap tantangan. Namun, kisah Abrahah dan pasukannya adalah pengingat yang tegas bahwa semua kekuatan materi ini fana dan rapuh di hadapan kekuasaan Allah. Ayat kedua, "Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka sia-sia?", adalah peringatan abadi bagi setiap pemimpin, bangsa, atau individu yang menjadi angkuh dengan kekuatannya dan berusaha menentang kebenaran atau menindas sesamanya. Pada akhirnya, semua rencana jahat akan digagalkan.
2. Harapan bagi yang Tertindas dan Terzalimi
Dalam dunia yang penuh konflik dan ketidakadilan, di mana seringkali pihak yang lemah dan tertindas tampak tidak berdaya menghadapi kekuatan yang superior, kisah Al-Fil menawarkan harapan yang tak tergoyahkan. Allah SWT adalah pelindung bagi mereka yang beriman dan dizalimi. Pertolongan-Nya bisa datang dari arah yang tidak disangka-sangka, dengan cara-cara yang di luar nalar manusia. Ini mendorong kita untuk tidak pernah putus asa dalam menghadapi kesulitan, melainkan untuk terus berpegang teguh pada keimanan dan tawakkal kepada Allah. Kisah ini adalah penguat iman bahwa keadilan ilahi pasti akan ditegakkan pada waktunya.
3. Perlindungan Terhadap Kebenaran dan Simbol Agama
Peristiwa Al-Fil adalah demonstrasi perlindungan Allah terhadap Ka'bah, sebagai rumah suci. Secara lebih luas, ini mengajarkan bahwa Allah akan selalu menjaga kebenaran agama-Nya dan simbol-simbol kesucian-Nya. Meskipun mungkin ada upaya-upaya untuk merusak, mencemarkan, atau menghancurkan ajaran Islam atau tempat-tempat sucinya, pada akhirnya semua itu akan sia-sia. Ini adalah jaminan bagi umat Islam bahwa agama mereka akan selalu dijaga dan dilindungi oleh Allah SWT.
4. Pentingnya Memahami Sejarah sebagai Sumber Ibrah
Al-Qur'an seringkali menceritakan kisah-kisah umat terdahulu bukan hanya sebagai cerita belaka, tetapi sebagai sumber ibrah (pelajaran) bagi generasi selanjutnya. Kisah Al-Fil adalah salah satu contoh terbaik dari hal ini. Dengan merenungkan bagaimana Allah bertindak di masa lalu, kita dapat memperoleh kebijaksanaan untuk menghadapi tantangan di masa kini dan masa depan. Sejarah, terutama sejarah yang diceritakan dalam Al-Qur'an, adalah cermin yang menunjukkan pola-pola kekuasaan Allah dan konsekuensi dari tindakan manusia.
5. Mengambil Ibrah dalam Kehidupan Sehari-hari
- Keyakinan Penuh pada Allah: Dalam menghadapi masalah pribadi, karir, atau keluarga yang terasa berat, kita harus ingat bahwa tipu daya sekecil apa pun dari musuh atau tantangan sebesar apa pun, Allah Maha Kuasa untuk menjadikannya sia-sia. Keyakinan ini menumbuhkan ketenangan jiwa.
- Menjauhi Kesombongan: Ayat ini adalah peringatan untuk tidak pernah sombong atas pencapaian atau kekayaan. Semua yang kita miliki adalah titipan dari Allah, dan hanya dengan kerendahan hati kita dapat memanfaatkan anugerah-Nya dengan benar. Kesombongan hanya akan mengundang kehancuran.
- Optimisme dan Harapan: Terlepas dari seberapa gelapnya situasi, seorang Muslim harus selalu memiliki optimisme dan harapan akan pertolongan Allah. Jika Allah mampu menghancurkan pasukan gajah dengan burung kecil, Dia pasti mampu memberikan solusi terbaik untuk masalah kita.
- Menjaga Kesucian Diri dan Lingkungan: Jika Allah melindungi Ka'bah dari kehancuran fisik, maka kita juga bertanggung jawab untuk menjaga kesucian diri kita (hati, pikiran, dan tubuh) serta lingkungan di sekitar kita.
Dengan demikian, Surat Al-Fil, khususnya ayat keduanya, adalah lebih dari sekadar deskripsi peristiwa bersejarah. Ini adalah manifestasi dari sifat-sifat Allah yang Maha Kuasa dan Maha Melindungi, serta pelajaran abadi bagi manusia tentang bahaya keangkuhan dan pentingnya tawakkal.
Kesimpulan
Dari pembahasan yang panjang ini, menjadi jelas bahwa jawaban atas pertanyaan "berikut ayat kedua surat al fil yang benar adalah" adalah "أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ" (Alam yaj'al kaydahum fī taḍlīl(in)), yang berarti "Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) sia-sia?". Ayat ini bukan sekadar urutan kata dalam Al-Qur'an, melainkan sebuah pernyataan yang mengandung kekuatan ilahi, menyingkap kebesaran Allah SWT dalam menggagalkan makar para musuh-Nya.
Ayat kedua ini adalah inti dari pesan Surat Al-Fil: sebuah penegasan bahwa tidak ada satu pun kekuatan, betapapun besar dan angkuhnya, yang dapat menantang atau menandingi kehendak Allah. Ia adalah titik balik dalam narasi, yang menyatakan secara definitif bahwa rencana jahat Abrahah telah digagalkan, sebelum kemudian ayat-ayat berikutnya menjelaskan bagaimana detail kegagalan tersebut terjadi melalui pengiriman burung Ababil dan batu-batu Sijjil.
Hikmah dari ayat ini sangatlah mendalam dan abadi. Ia mengajarkan kita tentang kekuasaan mutlak Allah, perlindungan-Nya terhadap kebenaran, kesia-siaan segala bentuk keangkuhan dan makar kejahatan, serta pentingnya tawakkal bagi orang-orang beriman. Kisah ini adalah mercusuar harapan bagi yang tertindas dan peringatan keras bagi para zalim. Ia mengajak kita untuk senantiasa merenungkan kebesaran Allah, berserah diri kepada-Nya, dan mengambil pelajaran dari setiap peristiwa dalam sejarah.
Semoga dengan pemahaman yang mendalam tentang ayat kedua Surat Al-Fil ini, keimanan kita semakin kokoh, tawakkal kita semakin kuat, dan kita senantiasa berada di jalan kebenaran yang diridhai Allah SWT.