Surat Al-Fil adalah salah satu surat pendek yang penuh makna dalam Al-Qur'an. Terdiri dari lima ayat, surat ini mengisahkan peristiwa luar biasa yang terjadi di Mekah sebelum kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang dikenal sebagai Tahun Gajah. Kisah ini tidak hanya menjadi penanda historis, tetapi juga mengandung pelajaran mendalam tentang kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala, perlindungan-Nya terhadap rumah suci Ka'bah, dan nasib kesombongan serta kezaliman.
Fokus utama surat ini adalah kehancuran pasukan bergajah yang dipimpin oleh Abrahah, seorang raja dari Yaman, yang berencana untuk menghancurkan Ka'bah. Seluruh narasi dibangun untuk menunjukkan bagaimana Allah dengan mudah menggagalkan rencana jahat tersebut, menggunakan makhluk-makhluk kecil untuk menaklukkan kekuatan yang tampaknya tak terkalahkan. Puncak dari narasi ini, dan sekaligus penutupnya, adalah ayat terakhir yang menggambarkan hasil akhir dari kehancuran tersebut. Oleh karena itu, memahami makna mendalam dari ayat terakhir Surat Al-Fil adalah kunci untuk menguak hikmah yang terkandung dalam keseluruhan surat.
Surat Al-Fil (bahasa Arab: الفيل) berarti "Gajah". Surat ini termasuk dalam golongan surat Makkiyah, yaitu surat-surat yang diturunkan di Mekah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad ke Madinah. Penempatannya dalam mushaf berada di juz 30, setelah Surat Al-Humazah dan sebelum Surat Quraisy. Meskipun pendek, pengaruh historis dan spiritualnya sangat besar. Surat ini berfungsi sebagai pengingat akan keagungan Allah dan kemahakuasaan-Nya yang tak terbatas, serta menjadi bukti nyata perlindungan ilahi terhadap agama-Nya.
Nama "Al-Fil" diambil dari kata pada ayat pertama yang mengacu pada pasukan bergajah Abrahah. Peristiwa yang diabadikan dalam surat ini begitu monumental sehingga tahun terjadinya disebut "Tahun Gajah," yang bertepatan dengan tahun kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ini menunjukkan bahwa sejak awal kehidupan beliau, Allah telah menunjukkan tanda-tanda kebesaran dan perlindungan-Nya terhadap tempat di mana Nabi akan tumbuh dan menyebarkan risalah.
Pentingnya Surat Al-Fil tidak hanya terletak pada kisah heroik perlindungan Ka'bah, tetapi juga pada dampaknya terhadap kepercayaan dan pandangan hidup masyarakat Arab saat itu. Kisah ini menjadi penegasan bahwa Ka'bah bukanlah sekadar bangunan batu, melainkan memiliki pemilik dan pelindung yang Mahakuasa. Kejadian ini meninggalkan kesan mendalam yang membentuk dasar keyakinan akan kebesaran Allah, bahkan di kalangan masyarakat yang masih bergelut dengan praktik penyembahan berhala. Ini adalah fondasi penting yang mempersiapkan mentalitas masyarakat untuk menerima ajaran tauhid yang akan dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Peristiwa yang diceritakan dalam Surat Al-Fil adalah fakta sejarah yang diakui secara luas. Mekah, sebagai pusat keagamaan bangsa Arab pra-Islam, dan Ka'bah, sebagai rumah ibadah pertama yang dibangun untuk menyembah Allah, memiliki posisi yang sangat sakral. Abrahah, Gubernur Yaman di bawah kekuasaan Raja Najasyi dari Habasyah (Etiopia), merasa iri dengan popularitas Ka'bah. Ia membangun gereja megah di Sana'a, ibu kota Yaman, dengan harapan dapat mengalihkan perhatian jemaah haji dari Ka'bah. Namun, usahanya sia-sia. Kemarahan Abrahah memuncak ketika gerejanya dinodai oleh beberapa orang Arab, dan ia bersumpah untuk menghancurkan Ka'bah.
Dengan pasukan besar, termasuk gajah-gajah yang perkasa, Abrahah bergerak menuju Mekah. Gajah-gajah ini merupakan simbol kekuatan militer yang tak tertandingi pada masa itu, menciptakan ketakutan di hati siapa pun yang berani melawannya. Namun, Allah memiliki rencana-Nya sendiri, yang jauh melampaui perhitungan manusia. Kehancuran pasukan gajah ini bukan hanya menjadi kemenangan bagi kaum Quraisy dan Mekah, tetapi juga menjadi tanda besar yang mempersiapkan jalan bagi kenabian Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Secara geografis, perjalanan Abrahah dari Yaman ke Mekah adalah perjalanan yang jauh dan menantang, menunjukkan tekadnya yang kuat untuk mencapai tujuannya. Keberaniannya untuk membawa pasukan gajah melintasi gurun yang luas dan keras menandakan betapa yakinnya ia akan kemenangannya. Namun, justru di puncak keyakinan dan kesombongannya itulah Allah menunjukkan kekuasaan-Nya. Ka'bah, yang terletak di lembah tandus tanpa pertahanan militer yang berarti, menjadi saksi bisu keajaiban ilahi yang tak terduga.
Untuk memahami sepenuhnya Surat Al-Fil dan khususnya ayat terakhirnya, kita perlu menyelami lebih dalam detail latar belakang peristiwa yang dikenal sebagai Tahun Gajah. Ini adalah kisah yang kaya akan pelajaran dan keajaiban.
Abrahah al-Ashram adalah seorang jenderal dan kemudian menjadi penguasa Abyssinian (Ethiopia) di Yaman. Dia adalah seorang penganut Kristen yang taat dan sangat ingin menyebarkan agamanya. Melihat Ka'bah di Mekah sebagai pusat ziarah utama bagi bangsa Arab, ia berambisi untuk menggeser dominasi Ka'bah dengan membangun gereja megah di Sana'a, Yaman, yang ia beri nama al-Qullais. Ia berharap gerejanya akan menjadi pusat ibadah dan perdagangan baru, mengalihkan perhatian dan kekayaan dari Mekah.
Namun, usahanya sia-sia. Popularitas Ka'bah tetap tak tergoyahkan. Bahkan, ketika beberapa orang Arab dari Bani Kinanah, sebagai bentuk protes dan penghinaan terhadap gereja Abrahah, buang hajat di dalamnya, kemarahan Abrahah mencapai puncaknya. Ia bersumpah untuk menghancurkan Ka'bah sebagai balasan atas penghinaan tersebut dan untuk memastikan dominasi gerejanya.
Dengan tekad bulat, Abrahah mengumpulkan pasukan besar. Puncak kekuatan pasukannya adalah kehadiran gajah-gajah perang, yang merupakan simbol kemegahan dan kekuatan militer yang luar biasa di zaman itu. Konon, ada satu gajah putih yang sangat besar dan perkasa bernama Mahmud, yang memimpin rombongan gajah-gajah lainnya. Kehadiran gajah ini sendiri sudah cukup untuk membuat gentar musuh-musuhnya. Pasukan ini bergerak dengan gemuruh, meninggalkan jejak kehancuran di sepanjang jalan, mengintimidasi suku-suku Arab yang mereka lewati.
Perjalanan mereka dari Yaman ke Mekah memakan waktu, dan di sepanjang jalan, beberapa suku Arab mencoba melawan, tetapi selalu dikalahkan. Abrahah terus maju, yakin bahwa tidak ada kekuatan di Semenanjung Arab yang mampu menghalangi niatnya untuk menghancurkan Ka'bah. Ia melihat dirinya sebagai utusan Tuhan yang akan "memurnikan" daerah tersebut dari penyembahan berhala.
Ketika pasukan Abrahah tiba di pinggir Mekah, mereka merampas harta benda penduduk, termasuk ternak unta milik Abdul Muthalib, kakek Nabi Muhammad SAW, yang saat itu adalah pemimpin kaum Quraisy. Penduduk Mekah yang miskin dan tidak memiliki kekuatan militer yang sebanding, hanya bisa melihat dengan ketakutan. Mereka mengetahui bahwa menghadapi pasukan sebesar itu adalah bunuh diri.
Abdul Muthalib kemudian pergi menemui Abrahah. Ketika Abrahah melihatnya, ia terkesan dengan ketenangan dan wibawa Abdul Muthalib. Abrahah bertanya apa yang diinginkannya. Abdul Muthalib meminta agar unta-untanya dikembalikan. Abrahah terkejut dan sedikit mencemooh, "Saya datang untuk menghancurkan rumah yang menjadi tempat ibadahmu dan nenek moyangmu, dan engkau hanya bicara tentang unta-untamu?"
Dengan keyakinan yang luar biasa, Abdul Muthalib menjawab, "Aku adalah pemilik unta-unta ini, dan Ka'bah memiliki pemilik yang akan melindunginya." Ini adalah kalimat yang sangat kuat, menunjukkan bahwa meskipun ia tidak memiliki kekuatan fisik untuk melindungi Ka'bah, ia memiliki keyakinan penuh akan adanya kekuatan yang lebih besar yang akan mengurusnya. Setelah mendapatkan unta-untanya kembali, Abdul Muthalib menyuruh penduduk Mekah untuk mengungsi ke bukit-bukit di sekitar kota, meninggalkan Ka'bah dalam perlindungan Pemiliknya.
Keesokan harinya, Abrahah memerintahkan pasukannya untuk maju menuju Ka'bah. Namun, mukjizat pertama terjadi. Gajah Mahmud, gajah putih yang perkasa, menolak untuk bergerak maju ke arah Ka'bah. Setiap kali pawang gajah mengarahkannya ke Ka'bah, ia akan berlutut atau berbalik arah. Namun, jika diarahkan ke arah Yaman atau arah lainnya, ia akan bergerak dengan cepat. Ini adalah tanda pertama dari campur tangan ilahi yang membingungkan pasukan Abrahah.
Pasukan Abrahah mencoba segala cara, memukul dan menyiksa Mahmud, namun gajah itu tetap tidak mau maju. Di tengah kebingungan dan kelelahan mereka, itulah saatnya intervensi ilahi berikutnya datang, seperti yang dijelaskan dalam ayat-ayat selanjutnya dari Surat Al-Fil.
Untuk memahami sepenuhnya makna ayat terakhir, kita perlu menelusuri setiap ayat dalam Surat Al-Fil secara berurutan. Setiap ayat merupakan bagian integral dari narasi yang saling terkait, membangun gambaran lengkap tentang kekuasaan Allah dan nasib para penindas.
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ (1)
Terjemahan: Tidakkah engkau (Muhammad) perhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?
Ayat pembuka ini adalah pertanyaan retoris yang kuat. "Alam tara" (tidakkah engkau perhatikan/lihat) bukan berarti Nabi Muhammad harus melihat peristiwa itu secara langsung, melainkan bermakna 'tidakkah engkau mengetahui' atau 'tidakkah engkau menyadari'. Peristiwa ini begitu terkenal dan baru terjadi beberapa tahun sebelum kelahiran beliau, sehingga menjadi bagian dari pengetahuan umum masyarakat Mekah. Allah mengingatkan Nabi dan umatnya tentang peristiwa besar ini sebagai bukti nyata kekuasaan-Nya. Kata "Rabbuka" (Tuhanmu) menunjukkan hubungan khusus antara Allah dan Nabi, serta menegaskan bahwa tindakan ini adalah manifestasi langsung dari keesaan dan kekuasaan Allah.
Penggunaan pertanyaan retoris ini sangat efektif dalam menarik perhatian dan menegaskan fakta sejarah yang tidak terbantahkan. Ia mengundang pendengar atau pembaca untuk merenung dan mengakui kebenaran yang sudah ada di depan mata. Frasa "fa'ala Rabbuka" (bagaimana Tuhanmu telah bertindak) menekankan bahwa ini adalah tindakan langsung dari Sang Pencipta, bukan kebetulan atau kekuatan alam semata. Ini adalah pertanda awal dari sebuah mukjizat.
أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ (2)
Terjemahan: Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) itu sia-sia?
Ayat kedua ini melanjutkan pertanyaan retoris, menyoroti hasil dari upaya Abrahah. "Kaidahum" (tipu daya mereka) merujuk pada rencana jahat Abrahah dan pasukannya untuk menghancurkan Ka'bah. "Fi tadhlil" (sia-sia) berarti rencana mereka dibelokkan, disesatkan, dan akhirnya gagal total. Meskipun mereka datang dengan kekuatan militer yang luar biasa dan niat jahat yang jelas, Allah dengan mudah membatalkan semua upaya mereka. Ayat ini menekankan bahwa sebesar apa pun kekuatan atau tipu daya manusia, ia tidak akan mampu melawan kehendak Allah.
Kata "kaidahum" bukan hanya berarti rencana biasa, melainkan mengandung konotasi licik, jahat, dan merugikan. Abrahah tidak hanya ingin menghancurkan Ka'bah, tetapi juga ingin menghancurkan moral dan spiritual bangsa Arab, serta mengalihkan pusat ibadah ke gerejanya. Ini adalah "tipu daya" yang memiliki motif tersembunyi. Namun, Allah menjadikan semua upaya itu "fi tadhlil," yang bisa berarti "dalam kesesatan," "dalam kegagalan," atau "dalam kerugian." Ini menegaskan bahwa tidak hanya rencana mereka tidak berhasil, tetapi mereka sendiri juga tersesat dalam ambisi dan kesombongan mereka.
وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ (3)
Terjemahan: Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong?
Inilah titik balik dalam kisah. Setelah menjelaskan kegagalan tipu daya Abrahah, Allah SWT mengungkapkan cara-Nya menggagalkan rencana tersebut. "Wa arsala 'alayhim" (Dan Dia mengirimkan kepada mereka) menunjukkan bahwa tindakan ini adalah intervensi langsung dari Allah. "Tayran ababil" (burung yang berbondong-bondong) adalah frase kunci di sini. Kata "ababil" tidak merujuk pada jenis burung tertentu, melainkan menggambarkan keadaan mereka: berbondong-bondong, berkelompok-kelompok, datang dari berbagai arah dalam jumlah yang sangat banyak. Ini adalah gambaran tentang pasukan Allah yang tak terduga, kecil namun efektif, dikirim untuk menghancurkan kekuatan yang sombong.
Penggunaan "tayran" (burung) adalah kontras yang mencolok dengan "ashab al-fil" (pasukan bergajah). Gajah adalah simbol kekuatan besar, sementara burung adalah makhluk kecil yang rapuh. Perbedaan ini menyoroti betapa mudahnya Allah membalikkan keadaan. Frasa "ababil" juga bisa diartikan sebagai "berbagai jenis" atau "datang secara bergelombang dan berurutan," menunjukkan kekuatan dan ketertiban dalam serangan mereka yang diatur oleh Allah. Ini bukan sekadar kawanan burung biasa; mereka adalah utusan ilahi dengan misi khusus.
تَرْمِيهِم بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ (4)
Terjemahan: Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar?
Ayat ini menjelaskan aksi burung-burung ababil. Mereka tidak menyerang dengan paruh atau cakar, melainkan dengan "hijaratim min sijil" (batu dari tanah yang terbakar). Ada beberapa penafsiran mengenai "sijil":
Kata "tarmihim" (melempar mereka) menunjukkan tindakan yang sengaja dan terarah. Burung-burung itu bukan sekadar menjatuhkan, melainkan melemparkan dengan kekuatan. Detail "min sijil" adalah kunci untuk memahami sifat batu ini. Bukan sekadar kerikil biasa, tetapi batu yang memiliki kualitas destruktif yang unik, jauh melampaui ukuran fisiknya. Inilah inti dari mukjizat: kekuatan yang sangat besar datang dari sumber yang sangat kecil dan tidak terduga.
Setelah pengantar yang menceritakan latar belakang, pengiriman burung ababil, dan aksi pelemparan batu, sampailah kita pada puncak narasi, yaitu ayat terakhir Surat Al-Fil. Ayat ini adalah kesimpulan dari seluruh peristiwa, menggambarkan dengan gamblang nasib akhir pasukan Abrahah yang sombong.
فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُولٍ (5)
Terjemahan: Sehingga Dia menjadikan mereka seperti dedaunan yang dimakan (ulat).
Ini adalah ayat penutup yang sangat puitis dan powerful, yang mengandung perumpamaan yang mendalam untuk menggambarkan kehancuran total. Mari kita bedah makna dari setiap kata dan implikasinya, serta bagaimana perumpamaan ini memberikan gambaran yang jelas tentang kehinaan dan kehancuran yang menimpa pasukan bergajah.
Dengan demikian, ayat terakhir Surat Al-Fil berbunyi, "Fa ja'alahum ka'asfim ma'kul," atau dalam terjemahan bahasa Indonesia, "Sehingga Dia menjadikan mereka seperti dedaunan yang dimakan (ulat)." Ayat ini mengakhiri narasi dengan gambaran yang mengerikan bagi mereka yang menentang kehendak Allah, namun penuh hikmah bagi orang-orang beriman.
Perumpamaan "seperti dedaunan yang dimakan ulat" atau "jerami yang dimakan binatang" adalah kiasan yang luar biasa kuat dan mendalam untuk menggambarkan kondisi pasukan Abrahah setelah dilempari batu. Berikut adalah beberapa poin yang dapat ditarik dari perumpamaan ini, yang secara visual dan emosional menggugah:
Singkatnya, ayat terakhir Surat Al-Fil berbunyi "Fa ja'alahum ka'asfim ma'kul" adalah penutup yang sempurna, merangkum konsekuensi ilahi atas kesombongan dan kezaliman, sekaligus menegaskan kemahakuasaan Allah dalam melindungi rumah-Nya dan menegakkan keadilan.
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ketika burung-burung itu melempari mereka dengan batu-batu kecil, tidaklah ada satu batu pun yang mengenai seseorang melainkan ia binasa. Batu-batu itu menembus tubuh mereka, keluar dari bagian bawah, merobek isi perut mereka. Mereka jatuh bergelimpangan, hancur, seperti daun yang telah dimakan binatang ternak. Imam Al-Qurtubi menambahkan bahwa batu-batu itu memiliki efek seperti wabah, menyebabkan luka borok dan kematian yang cepat. Ini menguatkan gambaran kehancuran yang mengerikan dan totalitas.
Kisah dalam Surat Al-Fil, yang berpuncak pada kehancuran pasukan gajah sebagaimana digambarkan dalam ayat terakhir, mengandung banyak hikmah dan pelajaran yang relevan sepanjang masa, tidak hanya bagi umat Islam tetapi juga bagi seluruh umat manusia. Pelajaran-pelajaran ini melampaui batas-batas waktu dan geografi, menawarkan panduan moral dan spiritual yang universal.
Pelajaran paling mendasar adalah tentang kemahakuasaan Allah. Dia adalah satu-satunya Zat yang mampu melakukan segala sesuatu tanpa batas, di luar hukum alam yang kita kenal. Pasukan Abrahah memiliki jumlah yang besar, persenjataan lengkap, dan gajah-gajah raksasa sebagai simbol kekuatan militer yang tak terkalahkan di masanya. Namun, Allah hanya perlu mengirimkan makhluk-makhluk kecil (burung) dengan batu-batu kecil untuk menghancurkan mereka secara total dan tanpa ampun. Ini menunjukkan bahwa kekuatan sejati hanya milik Allah, dan tidak ada kekuatan lain yang mampu menandingi-Nya, bahkan kekuatan alam atau teknologi yang paling maju sekalipun. Ini adalah pengingat bahwa kebergantungan kita seharusnya hanya kepada Allah.
Peristiwa ini adalah bukti nyata bagaimana Allah melindungi Ka'bah, rumah-Nya yang suci, dan agama-Nya dari setiap upaya perusakan atau penodaan. Meskipun saat itu penduduk Mekah belum memeluk Islam dalam bentuknya yang sempurna, Ka'bah tetap memiliki kedudukan sebagai rumah ibadah pertama yang dibangun untuk menyembah Allah. Perlindungan ini juga menjadi pertanda akan datangnya seorang Nabi yang akan menyempurnakan agama tauhid di tempat tersebut. Ini menegaskan bahwa nilai-nilai suci dan tempat-tempat ibadah yang murni akan selalu berada di bawah penjagaan ilahi, betapapun besar ancaman yang datang.
Abrahah adalah contoh klasik kesombongan dan kezaliman yang buta akan kekuasaan yang lebih tinggi. Ia tidak hanya berusaha menghancurkan simbol keagamaan, tetapi juga berniat mengalihkan perhatian orang dari ibadah yang benar demi kekuasaan dan ambisinya sendiri. Kisah ini menjadi peringatan keras bahwa kesombongan dan kezaliman, sekuat apa pun bentuknya, pasti akan dihancurkan oleh Allah. Ayat terakhir, "Fa ja'alahum ka'asfim ma'kul," secara visual menggambarkan kehancuran total bagi mereka yang sombong dan menindas. Ini adalah pelajaran abadi bagi setiap penguasa atau individu yang menyalahgunakan kekuasaan mereka untuk menindas atau melakukan kezaliman.
Penduduk Mekah pada waktu itu, meskipun khawatir, tidak mampu melawan pasukan Abrahah. Pemimpin mereka, Abdul Muthalib (kakek Nabi Muhammad), menunjukkan contoh tawakal yang luar biasa. Ia menyerahkan urusan Ka'bah kepada Allah, mengatakan, "Pemilik rumah ini (Ka'bah) akan melindunginya." Kisah ini mengajarkan pentingnya tawakal (berserah diri) kepada Allah saat menghadapi kesulitan yang tampaknya tidak dapat diatasi. Meskipun kita harus berusaha semaksimal mungkin, hasil akhirnya adalah di tangan Allah. Keyakinan penuh pada kekuatan Allah adalah sumber kekuatan sejati bagi seorang mukmin.
Peristiwa Tahun Gajah terjadi pada tahun yang sama dengan kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ini bukan kebetulan semata, melainkan bagian dari rencana ilahi. Allah ingin menunjukkan bahwa sejak awal kehidupan Rasulullah, Dia telah menunjukkan tanda-tanda kebesaran dan mempersiapkan jalan bagi risalah Islam. Kehancuran pasukan gajah juga menghilangkan kekuatan besar di Semenanjung Arab yang berpotensi menjadi penghalang bagi dakwah Nabi di kemudian hari. Peristiwa ini membersihkan Mekah dari ancaman besar, membuka jalan bagi Islam untuk tumbuh dan berkembang di tempat yang aman dan terlindungi oleh Allah.
Surat Al-Fil menegaskan prinsip keadilan ilahi. Allah tidak akan membiarkan kezaliman dan kesombongan merajalela tanpa balasan. Cepat atau lambat, para penindas akan mendapatkan ganjaran setimpal atas perbuatan mereka, bahkan jika balasan itu datang dari cara yang tidak terduga. Ini memberikan harapan dan kekuatan bagi kaum tertindas bahwa pada akhirnya kebenaran akan menang dan keadilan akan ditegakkan oleh Allah yang Mahaadil.
Peristiwa ini adalah cermin bagi setiap individu untuk merenungkan kelemahan diri di hadapan Sang Pencipta. Kesombongan adalah sifat yang sangat dibenci Allah, karena ia menjauhkan manusia dari kebenaran dan kebaikan. Pasukan Abrahah yang sombong dihabisi dengan cara yang paling hina, mengingatkan kita untuk selalu rendah hati dan mengakui bahwa segala kekuatan dan keberhasilan adalah anugerah dari Allah.
Para ulama tafsir dari berbagai mazhab dan generasi telah banyak membahas Surat Al-Fil, memperkaya pemahaman kita tentang peristiwa ini dengan sudut pandang linguistik, sejarah, dan teologis. Penafsiran mereka membantu kita melihat lebih jauh dari sekadar cerita permukaan.
Meskipun Al-Qur'an jelas menyebutkan "burung yang berbondong-bondong" dan "batu dari tanah yang terbakar," detail spesifik mengenai jenis burung atau sifat persis batu tersebut tidak dijelaskan secara rinci dalam Al-Qur'an maupun hadis sahih. Ini membuka ruang untuk beberapa penafsiran di kalangan ulama:
Para sejarawan dan ahli tafsir sepakat bahwa peristiwa ini adalah salah satu mukjizat terbesar yang terjadi sebelum datangnya Islam. Ini menjadi tonggak sejarah yang mengukuhkan posisi Ka'bah dan Mekah sebagai pusat spiritual, dan sekaligus mempersiapkan panggung bagi kemunculan Nabi terakhir. Bahkan bangsa Arab pra-Islam pun sangat mengagumi dan mengenang peristiwa ini, menjadikannya acuan waktu (Tahun Gajah) yang signifikan dalam kalender mereka. Peristiwa ini menunjukkan bahwa Allah telah memilih Mekah sebagai tempat yang dilindungi-Nya untuk risalah terakhir, jauh sebelum risalah itu diwahyukan.
Meskipun peristiwa dalam Surat Al-Fil terjadi ribuan tahun yang lalu, pesan-pesannya tetap relevan dalam kehidupan kita modern. Hikmahnya melampaui batasan waktu dan tempat, menawarkan pelajaran berharga bagi individu, masyarakat, dan bangsa.
Di era modern, manusia sering kali disilaukan oleh kemajuan teknologi, kekuatan militer, dan kekayaan materi. Ada kecenderungan untuk merasa sombong dan merasa dapat mengatasi segala sesuatu dengan akal dan kekuatan sendiri, melupakan peran Tuhan. Kisah Abrahah dengan pasukan gajahnya yang perkasa, namun hancur oleh makhluk kecil, adalah pengingat bahwa sebesar apa pun kemajuan atau kekuatan yang kita miliki, kita tetaplah makhluk yang lemah di hadapan Allah. Kekuatan sejati berasal dari-Nya. Pesan ini relevan di zaman di mana negara-negara berlomba-lomba membangun persenjataan canggih dan teknologi yang dapat menghancurkan, namun seringkali lupa akan kuasa yang lebih besar dari Pencipta semesta.
Dunia modern masih diwarnai oleh konflik, penindasan, dan ketidakadilan. Banyak individu atau kelompok yang merasa tidak berdaya menghadapi kekuatan yang lebih besar, baik itu rezim otoriter, kekuatan militer yang dominan, atau sistem ekonomi yang tidak adil. Surat Al-Fil memberikan harapan bahwa Allah selalu bersama mereka yang tertindas dan akan membela mereka yang dizalimi. Tidak ada kekuatan di bumi yang dapat menghalangi kehendak-Nya untuk menegakkan keadilan. Ini adalah sumber kekuatan spiritual bagi mereka yang merasa lemah dan tertindas, mengingatkan mereka bahwa pertolongan Allah itu nyata dan bisa datang dari arah yang paling tidak terduga.
Peristiwa ini juga menegaskan pentingnya menghormati tempat-tempat ibadah dan nilai-nilai agama. Ka'bah, sebagai rumah Allah, disucikan dan dilindungi. Meskipun konteksnya adalah Ka'bah, pesan yang lebih luas adalah tentang menjaga kesucian tempat-tempat ibadah dan tidak meremehkan atau menodai simbol-simbol keagamaan, baik dalam Islam maupun agama lain. Menghancurkan tempat ibadah adalah tindakan ekstrem yang akan mendatangkan murka ilahi. Di tengah konflik global dan ketegangan antar agama, pesan ini menjadi sangat relevan untuk menyerukan toleransi dan penghormatan.
Bagi umat Islam, kisah ini memperkuat keyakinan akan pertolongan Allah bagi mereka yang beriman dan bertawakal. Bahkan ketika segala jalan tampak tertutup dan musuh terlihat tak terkalahkan, pertolongan Allah bisa datang dari arah yang tidak terduga, melalui cara-cara yang paling sederhana sekalipun. Ini mengajarkan kita untuk tidak pernah putus asa dan selalu mengandalkan Allah dalam setiap situasi, yakin bahwa Dia memiliki rencana terbaik dan kekuasaan untuk mewujudkannya.
Kisah Abrahah juga memberikan pelajaran penting tentang hubungan antara kekuasaan dan tanggung jawab. Abrahah memiliki kekuasaan besar, tetapi ia menyalahgunakannya untuk ambisi pribadi dan tindakan destruktif. Surat Al-Fil mengingatkan bahwa kekuasaan datang dengan tanggung jawab besar, dan mereka yang menyalahgunakannya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Yang Mahakuasa. Ini adalah pesan penting bagi para pemimpin di seluruh dunia untuk menggunakan kekuasaan mereka dengan bijaksana dan adil, bukan untuk menindas atau merusak.
Untuk memperkaya pemahaman kita mengenai Surat Al-Fil dan ayat terakhirnya, ada beberapa detail dan ekstensi kisah yang layak untuk dibahas, yang mungkin tidak disebutkan langsung dalam teks Al-Qur'an tetapi diriwayatkan dalam tafsir dan sejarah Islam.
Beberapa riwayat menyebutkan bahwa sebelum burung-burung ababil datang, ada beberapa kejadian aneh lain yang menimpa pasukan Abrahah. Selain gajah Mahmud yang menolak bergerak, cuaca juga menjadi sangat tidak bersahabat. Ada awan gelap yang tiba-tiba muncul, atau angin kencang yang bertiup, menambah kebingungan dan ketakutan di hati para prajurit. Kejadian-kejadian ini semakin menunjukkan bahwa alam semesta tunduk pada kehendak Allah dan dapat dimobilisasi untuk melaksanakan perintah-Nya.
Saksi mata yang selamat dari peristiwa tersebut, seperti yang diriwayatkan dalam beberapa catatan sejarah dan tafsir, menceritakan bahwa tubuh para prajurit Abrahah hancur lebur seolah-olah ditimpa penyakit yang mengerikan. Kulit mereka rontok, daging mereka membusuk, dan mereka mati dalam keadaan yang sangat mengenaskan. Abrahah sendiri dilaporkan menderita penyakit yang menyebabkan jari-jarinya putus satu per satu, dan ia meninggal dalam perjalanan pulang ke Yaman dalam keadaan yang hina dan membusuk. Ini menguatkan gambaran dari ayat terakhir Surat Al-Fil berbunyi "Fa ja'alahum ka'asfim ma'kul," yakni kehancuran yang total, menjijikkan, dan menghinakan.
Kondisi mayat yang "seperti dedaunan yang dimakan ulat" juga bisa diartikan bahwa penyakit yang menimpa mereka menyebabkan tubuh mereka membusuk dan hancur dari dalam, sehingga terlihat seperti daun yang keropos. Ini adalah bentuk hukuman yang sangat telak, tidak hanya membunuh mereka tetapi juga menghancurkan jasad mereka dan membusukkannya, sebagai pelajaran bagi siapa saja yang berniat jahat terhadap rumah Allah.
Kedua surat ini seringkali dianggap memiliki keterkaitan yang erat dan sering dibaca berurutan dalam shalat. Surat Al-Fil mengisahkan perlindungan Allah terhadap Ka'bah dan kaum Quraisy dari serangan Abrahah, yang menjaga keamanan Mekah. Sementara itu, Surat Quraisy (setelah Al-Fil) menceritakan karunia Allah kepada kaum Quraisy berupa keamanan dan kemudahan dalam perjalanan perdagangan mereka di musim dingin (ke Yaman) dan musim panas (ke Syam). Keamanan ini adalah hasil langsung dari perlindungan Ka'bah yang dijamin oleh Allah dalam peristiwa Al-Fil.
Tanpa kehancuran pasukan gajah, Mekah mungkin tidak akan aman, dan perdagangan Quraisy tidak akan berkembang. Peristiwa Al-Fil menjadikan Ka'bah semakin dihormati dan Mekah sebagai kota yang dilindungi secara ilahi, sehingga kafilah dagang Quraisy merasa aman bepergian. Jadi, kedua surat ini saling melengkapi, menunjukkan rantai karunia Allah kepada kaum Quraisy dan mempersiapkan mereka untuk menerima risalah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang kemudian akan memimpin mereka untuk menyembah Tuhan pemilik Ka'bah yang telah melindungi mereka dari bahaya besar.
Keindahan dan kekuatan Al-Qur'an tidak hanya terletak pada maknanya yang mendalam, tetapi juga pada pilihan kata, struktur kalimat, dan retorika bahasanya yang sangat efektif. Surat Al-Fil adalah contoh sempurna dari bagaimana Al-Qur'an menyampaikan pesan yang kompleks dan besar dalam ayat-ayat yang ringkas namun mendalam.
Surat ini dimulai dengan dua pertanyaan retoris yang kuat: "أَلَمْ تَرَ" (Tidakkah engkau perhatikan?) dan "أَلَمْ يَجْعَلْ" (Bukankah Dia telah menjadikan?). Pertanyaan retoris ini tidak membutuhkan jawaban karena jawabannya sudah sangat jelas dan diketahui umum. Fungsi utamanya adalah:
Setiap kata dalam Surat Al-Fil dipilih dengan sangat cermat untuk menyampaikan makna yang paling kuat:
Surat Al-Fil mengikuti struktur narasi yang sangat efektif, yang membangun cerita secara bertahap menuju klimaks yang memukau:
Dari pembahasan yang panjang dan mendalam ini, menjadi sangat jelas bahwa ayat terakhir Surat Al-Fil berbunyi "Fa ja'alahum ka'asfim ma'kul," merupakan penutup yang paling tepat dan paling kuat untuk kisah pasukan bergajah. Ayat ini bukan sekadar penutup cerita, melainkan inti dari pesan teologis dan moral surat ini. Ia berfungsi sebagai klimaks yang menggambarkan dengan gamblang bagaimana kesombongan dan kezaliman, sebesar apa pun kekuatannya, akan hancur lebur di hadapan kekuasaan Allah yang Maha Dahsyat.
Perumpamaan "seperti dedaunan yang dimakan ulat" adalah mahakarya retorika Al-Qur'an. Ia mengubah gambaran pasukan yang perkasa dan menakutkan, lengkap dengan gajah-gajah raksasa, menjadi sesuatu yang sangat rapuh, hancur, dan tidak berharga. Ini adalah pukulan telak terhadap ego manusia yang seringkali merasa kuat dan tak terkalahkan. Allah menunjukkan bahwa Dia bisa menggunakan hal-hal paling kecil dan tak terduga untuk menghancurkan kekuatan terbesar sekalipun, mengubah mereka dari simbol kekuatan menjadi simbol kehinaan dan kehancuran total.
Hikmah dari surat ini abadi dan melintasi zaman: Allah adalah pelindung rumah-Nya dan orang-orang yang beriman. Dia akan menggagalkan setiap rencana jahat yang ditujukan untuk menghancurkan kebenaran, keadilan, dan nilai-nilai suci. Bagi kita yang hidup di zaman modern, kisah ini adalah pengingat konstan untuk selalu rendah hati, menjauhi kesombongan, tidak menindas, dan selalu bertawakal kepada Allah dalam menghadapi segala tantangan. Kekuatan sejati ada pada iman, tawakal, dan kepasrahan kepada-Nya, bukan pada harta, kekuasaan, teknologi, atau kekuatan militer semata.
Surat Al-Fil, dengan ayat terakhirnya yang penuh makna dan gambaran yang kuat, terus menjadi lentera yang menerangi hati dan pikiran umat manusia. Ia mengajarkan bahwa keadilan ilahi akan selalu tegak, dan bahwa akhir dari setiap kesombongan dan kezaliman adalah kehancuran yang tak terhindarkan, seringkali datang dari arah yang paling tidak disangka-sangka, menjadikan mereka "seperti dedaunan yang dimakan (ulat)." Ini adalah janji sekaligus peringatan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala bagi seluruh alam.