Ilustrasi simbolis burung Ababil menjatuhkan batu sijjil ke pasukan gajah, peristiwa yang dijelaskan dalam Surat Al-Fil.
Surat Al-Fil adalah salah satu surat pendek dalam Al-Qur'an yang sarat akan makna dan pelajaran berharga. Dinamakan "Al-Fil" yang berarti "Gajah", surat ini mengisahkan tentang peristiwa luar biasa yang terjadi sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW, dikenal sebagai Tahun Gajah. Peristiwa ini bukan sekadar narasi sejarah, melainkan manifestasi nyata kekuasaan Allah SWT dalam melindungi Baitullah dari segala bentuk kesombongan dan kezaliman. Fokus utama artikel ini akan mengupas tuntas mengenai ayat terakhir surat Al-Fil, menggali tafsirnya, memahami maknanya yang mendalam, serta menarik pelajaran-pelajaran penting bagi kehidupan umat manusia.
Dalam rentang lima ayatnya yang ringkas, Surat Al-Fil menggambarkan bagaimana Allah menghancurkan pasukan gajah yang dipimpin oleh Abrahah, seorang penguasa Yaman yang berambisi menghancurkan Ka'bah di Mekah. Kekuasaan ilahi ditunjukkan melalui pengiriman burung-burung Ababil yang melempari pasukan tersebut dengan batu-batu dari tanah liat yang terbakar (sijjil), mengubah mereka menjadi seperti daun-daun yang dimakan ulat. Puncak dari narasi ini terletak pada ayat terakhir, yang secara gamblang menjelaskan nasib akhir pasukan tersebut. Memahami ayat terakhir surat Al-Fil bukan hanya tentang mengetahui terjemahan harfiahnya, tetapi juga meresapi pesan tauhid, keadilan, dan janji perlindungan dari Allah SWT.
Surat Al-Fil merupakan surat ke-105 dalam susunan mushaf Al-Qur'an dan termasuk golongan surat Makkiyah, yang berarti diturunkan di Mekah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Penempatannya setelah Surat Al-Humazah dan sebelum Surat Quraisy menunjukkan kesinambungan tema perlindungan Allah terhadap Ka'bah dan kaum Quraisy. Nama "Al-Fil" diambil dari kata pada ayat pertama yang secara harfiah berarti "gajah", merujuk pada pasukan bergajah yang menjadi tokoh sentral dalam kisah ini.
Surat ini menjadi pengingat yang kuat bagi penduduk Mekah pada masa itu, yang sebagian besar telah menyaksikan atau mendengar kisah ini secara turun-temurun dari para tetua mereka. Penempatan surat ini juga strategis dalam Al-Qur'an, menjadi jembatan antara peringatan tentang orang-orang yang mencela (Al-Humazah) dan nikmat yang diberikan kepada kaum Quraisy (Quraisy), menyoroti bahwa nikmat dan perlindungan ini bukan tanpa alasan, melainkan karena keagungan Baitullah yang dijaga Allah.
Penyebab turunnya (Asbabun Nuzul) Surat Al-Fil adalah peristiwa yang sangat terkenal dalam sejarah Arab pra-Islam, yaitu penyerangan Ka'bah oleh Abrahah Al-Asyram, seorang wakil Raja Najasyi dari Habasyah (Ethiopia) yang berkuasa di Yaman. Abrahah melihat bahwa Ka'bah menjadi pusat perhatian dan tujuan ziarah bagi bangsa Arab, sehingga ia membangun gereja besar yang megah di San'a, Yaman, yang dinamai "Al-Qullais", dengan harapan dapat mengalihkan perhatian orang-orang dari Ka'bah. Namun, usahanya tidak berhasil. Justru, gerejanya dihina dan dikotori oleh seorang Arab, yang membuat Abrahah sangat murka dan bersumpah akan membalas dendam dengan menghancurkan Ka'bah.
Dengan kemarahan yang membara dan ambisi yang membabi buta, Abrahah menyiapkan pasukan besar yang dilengkapi dengan gajah-gajah perkasa, termasuk seekor gajah raksasa bernama Mahmud, yang dianggap tak terkalahkan. Tujuannya jelas: meratakan Baitullah dengan tanah dan mengalihkan kiblat bangsa Arab ke gerejanya di Yaman. Peristiwa ini terjadi pada tahun yang sama dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW, sekitar 570 Masehi, sehingga tahun tersebut dikenal sebagai "Tahun Gajah" (Amul Fil). Ini adalah tahun yang sangat penting dalam sejarah karena menandai awal sebuah era baru.
Ketika pasukan Abrahah mendekati Mekah, penduduk Mekah, termasuk kakek Nabi Muhammad SAW, Abdul Muththalib (pemimpin kaum Quraisy kala itu), merasa sangat ketakutan dan tidak berdaya untuk melawan kekuatan militer yang begitu besar. Abdul Muththalib sempat menemui Abrahah untuk meminta kembali unta-untanya yang dirampas, bukan untuk meminta perlindungan Ka'bah. Ketika Abrahah heran mengapa ia lebih mengkhawatirkan untanya daripada rumah sucinya, Abdul Muththalib menjawab dengan penuh keyakinan, "Aku adalah pemilik unta-unta itu, dan Ka'bah memiliki Pemilik yang akan melindunginya." Ini menunjukkan tingkat keimanan dan tawakal kepada Allah SWT, meskipun pada masa itu masih banyak praktik penyembahan berhala di kalangan suku Quraisy.
Pada hari penyerangan yang direncanakan, ketika Abrahah dan pasukannya mencoba masuk ke Mekah, sesuatu yang aneh terjadi. Gajah-gajah mereka menolak bergerak maju ke arah Ka'bah, terutama gajah Mahmud. Setiap kali dihadapkan ke arah Ka'bah, gajah itu berlutut dan tidak mau bangkit. Namun, jika diarahkan ke selatan, utara, atau timur, ia bergerak dengan cepat. Di tengah kebingungan dan keputusasaan pasukan Abrahah yang tidak memahami fenomena ini, Allah SWT menunjukkan kekuasaan-Nya yang mutlak. Langit tiba-tiba dipenuhi dengan kawanan burung Ababil yang datang dari arah laut, sebuah pemandangan yang belum pernah mereka saksikan sebelumnya.
Kisah ini menjadi fondasi penting untuk memahami mengapa ayat terakhir surat Al-Fil memiliki dampak yang begitu mendalam, karena ia merangkum konsekuensi dari kesombongan yang menantang kekuatan Ilahi.
Untuk memahami sepenuhnya makna ayat terakhir surat Al-Fil, penting untuk meninjau kembali ayat-ayat sebelumnya yang membentuk narasi utuh dari peristiwa ini. Surat ini dengan indahnya merangkai gambaran tentang intervensi ilahi yang luar biasa, menjelaskan langkah demi langkah bagaimana Allah menghancurkan pasukan gajah.
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ
Terjemahan: "Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?"
Ayat pembuka ini menggunakan bentuk pertanyaan retoris, "Tidakkah engkau melihat?", yang berfungsi untuk menarik perhatian pendengar atau pembaca dan menegaskan bahwa peristiwa tersebut adalah sesuatu yang sangat jelas dan diketahui secara luas, tidak perlu diragukan lagi. Pertanyaan ini ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW, namun juga untuk seluruh umat manusia yang hidup sezaman dengan peristiwa itu atau yang akan datang setelahnya. Ini bukan pertanyaan yang mencari jawaban "ya" atau "tidak", melainkan sebuah penegasan tentang keajaiban yang terjadi, seolah-olah mengatakan, "Tentunya kamu tahu, ini adalah fakta yang tak terbantahkan, sebuah tanda kekuasaan Tuhan yang luar biasa." Kata "Tuhanmu" (Rabbuka) menekankan hubungan khusus antara Allah dan Nabi, serta menunjukkan bahwa tindakan ini adalah manifestasi langsung dari kekuasaan ilahi untuk melindungi kebenaran dan rumah-Nya.
Penggunaan kata kerja "فَعَلَ" (fa'ala - telah bertindak) juga menunjukkan bahwa peristiwa ini adalah sebuah tindakan yang disengaja dan penuh hikmah dari Allah, bukan kebetulan semata. Ini mengatur panggung untuk sisa surat, menjanjikan penjelasan tentang bagaimana kekuatan yang tak terduga datang untuk mengalahkan yang tampaknya tak terkalahkan.
أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ
Terjemahan: "Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) sia-sia?"
Ayat kedua melanjutkan pertanyaan retoris, menegaskan bahwa Allah telah menggagalkan rencana jahat Abrahah. Kata "كَيْدَهُمْ" (kaidahum - tipu daya mereka) merujuk pada strategi militer yang matang, persiapan logistik yang cermat, dan kekuatan besar yang dimiliki pasukan Abrahah, yang semuanya dirancang untuk menghancurkan Ka'bah. Namun, di hadapan kekuasaan Allah, semua upaya itu menjadi "تَضْلِيلٍ" (tadhlil - sia-sia, tersesat, atau gagal total, kehilangan arah dan tujuan). Ini menunjukkan bahwa sebesar apa pun kekuatan dan kecerdikan manusia, jika bertentangan dengan kehendak Allah, pasti akan hancur dan tidak mencapai tujuannya. Rencana mereka yang ambisius untuk merobohkan Baitullah justru berbalik menjadi kehancuran bagi diri mereka sendiri. Ayat ini menekankan konsep bahwa tidak ada strategi atau kekuatan manusia yang dapat mengalahkan rencana Allah, terutama ketika rencana tersebut bertentangan dengan kehendak-Nya yang maha bijaksana. Segala upaya mereka menjadi sia-sia dan tersesat dari tujuan aslinya.
وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ
Terjemahan: "Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung-burung yang berbondong-bondong (Ababil)."
Ayat ini menjelaskan bagaimana Allah melaksanakan penghancuran terhadap pasukan gajah. Dengan tegas dinyatakan, "Dan Dia mengirimkan kepada mereka...". Penggunaan kata "أَرْسَلَ" (Arsala - mengirimkan) menunjukkan bahwa ini adalah tindakan langsung dari Allah SWT, bukan kebetulan alamiah. "طَيْرًا أَبَابِيلَ" (Thairan Ababil - burung-burung Ababil) menjadi titik fokus keajaiban ini. Kata "Ababil" sendiri memiliki beberapa penafsiran dari para ahli bahasa dan mufasir, namun umumnya diartikan sebagai "berkelompok-kelompok", "berbondong-bondong", "datang dari berbagai arah", atau "bermacam-macam". Deskripsi ini menekankan jumlah burung yang sangat banyak dan beragam, bukan satu atau dua, melainkan kawanan besar yang memenuhi langit, sebuah pemandangan yang pasti sangat menakutkan dan di luar dugaan bagi pasukan Abrahah. Jumlahnya yang luar biasa banyak menunjukkan bahwa itu adalah bala tentara Allah yang datang secara massal dan terorganisir, bukan sekadar kawanan burung biasa. Ini adalah permulaan dari hukuman ilahi yang akan segera menimpa mereka.
تَرْمِيهِم بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ
Terjemahan: "Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah liat yang terbakar."
Ayat keempat menjelaskan tindakan burung-burung Ababil dan sifat senjata mereka. Mereka "تَرْمِيهِم" (tarmīhim - melempari mereka) dengan "بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ" (bi hijāratim min Sijjīl - batu-batu dari sijjil). Kata "Sijjil" juga memiliki beberapa penafsiran di kalangan ulama. Sebagian ulama berpendapat itu adalah batu dari neraka, sebagian lain mengatakan tanah liat yang mengeras dan terbakar (seperti keramik atau tembikar), atau batu yang bertuliskan nama-nama korban yang akan terkena. Yang jelas, batu-batu ini bukanlah batu biasa. Mereka memiliki kekuatan destruktif yang dahsyat. Setiap batu yang dijatuhkan mengenai kepala atau bagian tubuh pasukan gajah akan menembus dan menghancurkan mereka, menyebabkan luka bakar yang mengerikan, daging yang meleleh, dan kematian yang instan. Batu-batu tersebut dikatakan berukuran kecil, seukuran kacang arab atau kerikil, namun daya hancurnya luar biasa. Ini adalah manifestasi mukjizat yang tidak dapat dijelaskan dengan logika atau ilmu pengetahuan manusia semata, sebuah bukti kekuasaan Allah yang mutlak dan tak terbatas, yang mampu menghancurkan kekuatan terbesar sekalipun dengan sarana yang paling tidak terduga dan paling sederhana.
Setelah menggambarkan bagaimana Allah menghancurkan pasukan Abrahah melalui burung Ababil yang melempari mereka dengan batu sijjil, Al-Qur'an kemudian menyimpulkan peristiwa dahsyat ini dengan ayat terakhir surat Al-Fil. Ayat ini bukan hanya sebuah penutup, melainkan klimaks yang merangkum hasil akhir dari campur tangan ilahi tersebut, meninggalkan kesan mendalam tentang kekuasaan, keadilan, dan murka Allah SWT terhadap kesombongan dan kezaliman.
Terjemahan: "Lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat)."
Transliterasi: Fa ja'alahum ka'asfin ma'kul.
Untuk memahami kedalaman makna ayat terakhir surat Al-Fil, kita perlu menguraikan setiap kata yang terkandung di dalamnya, melihat keindahan struktur bahasa Arabnya dan implikasi semantik yang kaya:
Bagian pertama dari ayat terakhir surat Al-Fil ini menekankan bahwa perubahan kondisi pasukan Abrahah adalah tindakan ilahi yang disengaja, langsung, dan tak terhindarkan. Bukan kebetulan, bukan kecelakaan, melainkan sebuah keputusan dari Yang Maha Kuasa untuk menghinakan mereka dan menunjukkan kekuasaan-Nya yang tak terbatas. Penggunaan "Ja'ala" juga bisa diartikan sebagai "menetapkan" atau "menentukan", menunjukkan bahwa nasib ini telah ditetapkan bagi mereka akibat kesombongan dan niat jahat mereka.
Perumpamaan "ka'asfin" dalam ayat terakhir surat Al-Fil ini sangat kuat. Ini menggambarkan kehancuran total dan penghinaan yang ekstrem. Pasukan yang tadinya gagah perkasa, dengan gajah-gajah raksasa dan persenjataan lengkap, kini direduksi menjadi sesuatu yang tidak berharga, rapuh, dan mudah hancur, seperti sisa-sisa tanaman yang tidak berguna atau dedaunan yang telah kehilangan vitalitasnya.
Penambahan sifat "ma'kul" pada "asf" semakin mempertegas gambaran kehancuran yang ekstrem. Bukan hanya daun kering biasa, tetapi daun kering yang sudah dimakan, yang menunjukkan tingkat kerusakan, kerapuhan, dan ketiadaan struktur yang paling parah. Ini adalah gambaran tentang sesuatu yang telah kehilangan semua kekuatannya, strukturnya, dan nilainya. Mereka menjadi seperti ampas yang tidak berguna, remuk redam, berserakan, dan tidak lagi memiliki bentuk atau kehormatan. Gambaran ini efektif menunjukkan bahwa mereka benar-benar hancur, bukan hanya kalah, tetapi musnah secara fisik dan moral.
Para mufasir (ahli tafsir) klasik dan kontemporer telah memberikan penjelasan yang kaya mengenai ayat terakhir surat Al-Fil. Meskipun terdapat sedikit perbedaan nuansa dalam penekanan, esensi maknanya tetap sama: kehancuran total pasukan Abrahah yang menghinakan.
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa firman Allah, "fa ja'alahum ka'asfin ma'kul" berarti bahwa Allah menghancurkan mereka dan membinasakan mereka secara menyeluruh, serta menggagalkan semua tipu daya mereka yang ambisius. Mereka menjadi seperti daun-daun tanaman yang kering yang telah dimakan oleh ternak atau ulat, kemudian diinjak-injak dan dihamburkan. Ini menunjukkan betapa hancurnya mereka, tidak ada lagi bentuk aslinya, tercerai-berai, dan tidak berdaya. Ibnu Katsir juga mengutip riwayat dari sahabat dan tabi'in yang menjelaskan bahwa batu-batu tersebut menembus tubuh mereka, menyebabkan daging mereka hancur, meleleh, dan berjatuhan, sehingga mereka mati dalam kondisi yang mengenaskan. Beliau juga merujuk pada ucapan Ibnu Abbas yang mengartikan 'asf sebagai kulit biji-bijian yang telah dijemur dan kemudian dihancurkan. Intinya, gambaran tentang sisa-sisa yang tidak berguna.
"Maksudnya adalah Dia (Allah) menjadikan tubuh mereka hancur lebur seperti daun-daun kering yang sudah dimakan (ulat atau ternak), tidak ada lagi kekokohan dan kekuatan di dalamnya, tercerai-berai dan binasa. Ini adalah perumpamaan tentang kehancuran yang sangat keji." (Tafsir Ibnu Katsir)
Imam Al-Qurtubi mengemukakan beberapa pandangan mengenai makna "asfin ma'kul" yang semuanya menunjukkan kehancuran. Beliau menyebutkan bahwa 'asf adalah daun-daun tanaman yang dimakan ulat, atau sisa makanan ternak yang telah dikunyah dan dikeluarkan lagi, atau kulit gandum yang sudah tidak ada isinya, atau dedaunan yang hancur dimakan serangga. Intinya, semua tafsiran mengarah pada kehancuran total dan ketiadaan nilai. Al-Qurtubi juga menyoroti bagaimana Allah melindungi Ka'bah dengan cara yang paling tidak terduga, menunjukkan kelemahan manusia di hadapan kekuasaan ilahi. Beliau menegaskan bahwa penghancuran ini adalah peringatan keras bagi siapa pun yang berani menentang Allah dan syiar-Nya. Kehancuran tersebut bersifat fisik, moral, dan spiritual, meninggalkan mereka tanpa kehormatan dan tanpa kehidupan.
Imam At-Tabari, dengan gaya tafsir yang mengumpulkan berbagai riwayat, juga menjelaskan bahwa 'asf yang dimakan adalah sisa-sisa tanaman seperti gandum atau padi yang telah dikunyah oleh hewan ternak dan kemudian dikeluarkan sebagai kotoran, atau sisa-sisa yang ditinggalkan oleh ulat. Gambaran ini sangat efektif dalam menunjukkan betapa hancurnya tubuh pasukan Abrahah; mereka remuk redam seperti ampas yang sudah tidak berguna, tergeletak di tanah tanpa daya. Ini adalah metafora yang kuat untuk menggambarkan bagaimana kekuatan fisik yang besar pun dapat dihancurkan menjadi sesuatu yang sangat rapuh dan tidak berdaya oleh kehendak Allah SWT, menunjukkan betapa hina dan lemahnya mereka di mata Allah.
Dalam Tafsir Al-Jalalain yang lebih ringkas dan padat, disebutkan bahwa Allah menjadikan mereka (pasukan gajah) seperti daun-daun tanaman (padi atau gandum) yang dimakan ulat atau binatang, sehingga hancur lebur dan berantakan. Ini menunjukkan kehancuran yang menyeluruh dan kemusnahan yang sempurna, tanpa meninggalkan jejak kekuatan, kemuliaan, atau bentuk aslinya yang pernah mereka miliki. Tafsir ini menekankan bahwa hasil akhir mereka adalah kehinaan dan kefanaan total.
Mufasir kontemporer juga menekankan bahwa ayat terakhir surat Al-Fil menggambarkan kehancuran yang tidak hanya fisik tetapi juga moral dan psikologis. Pasukan yang datang dengan arogansi dan niat jahat, pulang dengan kehinaan, kematian massal, dan kegagalan total. Peristiwa ini menjadi pelajaran abadi tentang batas-batas kekuasaan manusia dan kemutlakan kekuasaan Allah. Selain itu, ada juga penafsiran yang mencoba mengaitkan efek batu sijjil dengan penyakit menular mematikan yang menyebar cepat, seperti cacar air atau wabah sampar, yang mengubah tubuh menjadi hancur seperti daun yang dimakan ulat, namun tafsiran klasik yang merujuk pada kehancuran fisik langsung dari dampak batu tetap menjadi yang utama dan paling diterima. Intinya, ayat ini adalah deskripsi visual tentang kehancuran yang begitu ekstrem sehingga melampaui kemampuan manusia untuk mengatasinya.
Dari berbagai tafsir di atas, dapat disimpulkan bahwa ayat terakhir surat Al-Fil secara konsisten menggambarkan kehancuran total, remuk redam, dan ketiadaan daya dari pasukan Abrahah. Mereka yang tadinya gagah perkasa dengan gajah-gajah besar dan senjata lengkap, kini menjadi tak lebih dari ampas yang tidak berguna, hancur lebur, dan berserakan tanpa bentuk, sebuah simbol kehinaan yang tiada tara.
Ayat terakhir surat Al-Fil tidak hanya mengisahkan akhir tragis sebuah pasukan, tetapi juga mengandung makna dan pelajaran yang sangat dalam bagi umat Islam dan seluruh manusia sepanjang masa. Ayat ini adalah puncak pesan dari seluruh surat, yang menegaskan beberapa prinsip fundamental dalam Islam dan keberadaan Tuhan.
Makna utama dan paling fundamental dari ayat terakhir surat Al-Fil adalah penegasan mutlak kekuasaan Allah SWT. Manusia, dengan segala kekuatan, teknologi, strategi militernya, atau jumlah pasukannya yang besar, tidak ada apa-apanya di hadapan kehendak Ilahi. Allah mampu menghancurkan pasukan yang sangat besar dan kuat dengan cara yang paling tak terduga dan paling kecil, yaitu melalui burung-burung kecil yang membawa batu-batu. Ini mengajarkan bahwa Allah tidak membutuhkan kekuatan fisik yang sebanding untuk mengalahkan musuh-Nya; Dia dapat menggunakan makhluk-Nya yang paling lemah sekalipun untuk menunjukkan keagungan-Nya. Kekuatan Allah melampaui segala batas pemahaman dan perhitungan manusia. Hal ini mengokohkan tauhid, bahwa hanya Allah yang Maha Kuasa.
Peristiwa ini menjadi bukti nyata bahwa Allah SWT akan selalu melindungi rumah-Nya (Ka'bah) dan syiar-syiar agama-Nya dari setiap upaya perusakan dan penistaan. Ka'bah adalah kiblat umat Islam dan simbol tauhid yang didirikan oleh Nabi Ibrahim AS. Upaya Abrahah untuk menghancurkannya adalah upaya untuk menghancurkan inti dari keyakinan monoteistik dan pusat spiritual bangsa Arab. Dengan menghancurkan pasukan gajah, Allah menunjukkan bahwa Dia adalah Penjaga sejati Baitullah, dan tidak ada kekuatan di bumi yang dapat merobohkan apa yang telah Dia tegakkan atau menodai apa yang telah Dia muliakan. Ini memberikan keyakinan dan rasa aman bagi umat beriman.
Kisah Abrahah adalah pelajaran tentang konsekuensi pahit dari kesombongan, keangkuhan, dan kezaliman. Abrahah yang merasa berkuasa dengan pasukan dan gajahnya, ingin memaksakan kehendaknya dan menghancurkan apa yang dianggap suci oleh orang lain karena rasa cemburu dan ambisinya. Allah menghukum kesombongan ini dengan cara yang paling menghinakan dan merendahkan, mengubah mereka yang gagah perkasa menjadi seperti "daun-daun yang dimakan ulat". Ini adalah peringatan keras bahwa kekuasaan duniawi bersifat sementara dan rapuh, dan hanya Allah yang Maha Kuasa dan Maha Adil. Mereka yang zhalim dan menindas akan menerima balasan yang setimpal, baik di dunia maupun di akhirat.
Respons Abdul Muththalib yang menyerahkan urusan Ka'bah kepada Pemiliknya adalah contoh tawakal (berserah diri) yang sempurna kepada Allah. Meskipun secara fisik tidak berdaya untuk melawan pasukan Abrahah, ia yakin bahwa Allah tidak akan membiarkan rumah-Nya dihancurkan. Keimanan dan tawakal seperti inilah yang menjadi sumber kekuatan sejati bagi seorang Muslim. Ayat terakhir surat Al-Fil menguatkan keyakinan bahwa jika kita bertawakal kepada Allah setelah berusaha sekuat tenaga, Dia akan membuka jalan keluar dari kesulitan dan melindungi kita dari ancaman yang tampaknya mustahil dihadapi oleh akal manusia.
Peristiwa Tahun Gajah sangat dikenal di kalangan bangsa Arab saat itu, bahkan diabadikan dalam syair dan cerita rakyat mereka. Dengan menceritakan kisah ini dalam Al-Qur'an melalui Surat Al-Fil, Allah memberikan bukti nyata atas kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW. Al-Qur'an bukanlah karangan Nabi, melainkan wahyu dari Allah yang Maha Mengetahui sejarah dan masa depan. Surat ini mengingatkan kaum Quraisy yang hidup sezaman dengan Nabi tentang keajaiban yang mereka saksikan sendiri atau dengar dari para leluhur mereka, sehingga semakin menguatkan argumentasi kenabian. Ini adalah mukjizat lain dari Al-Qur'an, yang menceritakan kembali peristiwa masa lalu dengan detail dan hikmah.
Sepanjang sejarah, banyak penguasa yang berambisi dan menggunakan kekuasaannya untuk menindas atau menghancurkan simbol-simbol kebenaran, atau bahkan untuk menindas rakyatnya sendiri. Kisah Abrahah dan ayat terakhir surat Al-Fil adalah peringatan universal bahwa setiap kekuasaan ada batasnya. Penguasa yang lupa diri dan berlaku zhalim akan menghadapi konsekuensi dari kekuasaan yang lebih besar, yaitu kekuasaan Allah SWT. Ini mendorong para pemimpin untuk senantiasa berlaku adil, menyadari bahwa mereka hanyalah hamba Allah, dan tidak melampaui batas dalam kekuasaan mereka.
Bagi mereka yang merasa lemah, tertindas, atau tidak berdaya di hadapan kekuatan zhalim, kisah ini dan khususnya ayat terakhir surat Al-Fil, memberikan harapan yang besar. Allah SWT selalu bersama orang-orang yang beriman dan akan membela mereka dari kezaliman. Tidak peduli seberapa besar atau kuat musuh yang dihadapi, pertolongan Allah bisa datang dari arah yang tidak disangka-sangka dan dengan cara yang paling tidak terpikirkan oleh manusia. Ini adalah janji bahwa kesabaran dan keimanan akan selalu berbuah kemenangan di sisi Allah.
Secara keseluruhan, ayat terakhir surat Al-Fil adalah klimaks dari sebuah kisah yang mengukir sejarah dan mengandung pesan abadi. Ini adalah pengingat bahwa di balik setiap kesombongan manusia, ada kekuatan yang jauh lebih besar yang mampu meruntuhkan segalanya, mengubah yang perkasa menjadi tak berdaya, dan yang kokoh menjadi hancur lebur seperti "daun-daun yang dimakan ulat." Ini menguatkan keyakinan akan keesaan dan kemahakuasaan Allah SWT.
Meskipun peristiwa ini terjadi ribuan tahun yang lalu, pesan dan hikmah dari ayat terakhir surat Al-Fil tetap relevan dan penting untuk direnungkan dalam kehidupan modern kita. Kisah ini bukan hanya sejarah masa lalu, tetapi cerminan prinsip-prinsip ilahi yang berlaku di setiap zaman dan tempat, memberikan pelajaran bagi tantangan yang kita hadapi saat ini.
Di era modern, di mana negara-negara dan individu seringkali mengandalkan kekuatan militer, superioritas ekonomi, atau kemajuan teknologi yang canggih untuk mendominasi, ayat terakhir surat Al-Fil berfungsi sebagai pengingat tajam. Sebesar apa pun kekuatan yang dimiliki manusia, ia tetap rapuh di hadapan kehendak Allah. Ambisi berlebihan, kesombongan teknologi yang menganggap manusia bisa mengendalikan segalanya, atau arogansi kekuasaan yang merasa tak terkalahkan seringkali berujung pada kehancuran yang tak terduga, serupa dengan pasukan gajah Abrahah yang gagah perkasa namun berakhir menjadi "daun-daun yang dimakan ulat". Ini mengajarkan bahwa ada batas yang tidak boleh dilampaui dalam penggunaan kekuatan.
Peristiwa pasukan gajah menunjukkan bagaimana alam (dalam hal ini burung Ababil dan batu sijjil) dapat menjadi alat Allah untuk menghukum dan melindungi. Di zaman sekarang, kita sering menyaksikan bagaimana bencana alam global seperti gempa bumi dahsyat, tsunami yang meluluhlantakkan kota, pandemi penyakit yang menyebar cepat, atau badai dahsyat dapat dengan mudah melumpuhkan teknologi dan kekuatan manusia modern. Ini adalah pengingat bahwa manusia, dengan segala kemajuannya, tetap tidak berdaya di hadapan kekuasaan alam yang merupakan ciptaan dan alat Allah. Ini senada dengan pesan ayat terakhir surat Al-Fil yang menunjukkan bagaimana kekuatan besar bisa remuk redam oleh hal yang tak terduga dan seolah-olah kecil.
Dalam konteks globalisasi dan konflik antar peradaban yang kadang kala memicu intoleransi, seringkali terjadi upaya untuk menodai atau menghancurkan simbol-simbol agama dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Kisah Ka'bah dan pasukan gajah menegaskan bahwa Allah akan selalu menjaga apa yang Dia muliakan dan apa yang merepresentasikan kebenaran. Ini memberikan inspirasi dan harapan bagi umat beriman untuk terus membela nilai-nilai kebenaran, keadilan, martabat kemanusiaan, dan simbol-simbol agama mereka, yakin bahwa pada akhirnya, kebenaran akan menang dan kezaliman akan hancur oleh kuasa ilahi. Hal ini relevan dalam menghadapi segala bentuk penistaan atau penyerangan terhadap agama atau nilai-nilai luhur.
Kisah Abrahah adalah pelajaran abadi tentang pentingnya kerendahan hati. Ketika manusia merasa diri paling kuat, paling pintar, atau paling berhak atas segalanya, ia berpotensi besar untuk jatuh dalam kesombongan dan egoisme yang akan mengundang murka Ilahi. Ayat terakhir surat Al-Fil mengajarkan kita untuk selalu bersyukur dan menyadari bahwa setiap kekuatan, kemampuan, dan keberhasilan yang kita miliki berasal dari Allah semata. Dengan kerendahan hati, kita dapat menghindari kesalahan fatal Abrahah dan menjalani hidup dengan lebih bijaksana, harmonis, dan dekat dengan Tuhan.
Bagi komunitas, bangsa, atau individu yang menghadapi tantangan besar dan merasa tidak berdaya, Surat Al-Fil dan ayat terakhir surat Al-Fil memberikan dorongan moral yang kuat. Ketika musuh terlihat tak terkalahkan, atau masalah terasa terlalu besar, kisah ini mengingatkan bahwa pertolongan Allah bisa datang dari arah yang paling tidak disangka-sangka. Kita hanya perlu terus berpegang teguh pada iman, berusaha semaksimal mungkin, dan bertawakal sepenuhnya kepada Allah SWT, karena Dialah sebaik-baik Penolong. Ini adalah sumber optimisme yang tak terbatas dalam menghadapi segala rintangan.
Dengan demikian, ayat terakhir surat Al-Fil bukan sekadar penutup sebuah kisah kuno, melainkan sebuah prinsip universal yang terus bergema hingga hari ini. Ia mengingatkan kita tentang batas-batas kekuatan manusia, kemutlakan kekuasaan Ilahi, dan pentingnya menjaga kerendahan hati serta keyakinan teguh di setiap aspek kehidupan, di tengah segala kemajuan dan kompleksitas dunia modern.
Selain makna teologis, historis, dan spiritualnya, ayat terakhir surat Al-Fil juga memiliki keindahan estetika bahasa yang luar biasa, menunjukkan keagungan gaya bahasa Al-Qur'an. Penggunaan perumpamaan (tasybih) dalam ayat ini sangatlah efektif dan memukau, menjadi salah satu bukti kemukjizatan Al-Qur'an.
Allah SWT menggunakan perumpamaan "ka'asfin ma'kul" (seperti daun-daun yang dimakan ulat) untuk menggambarkan kondisi pasukan Abrahah. Perumpamaan ini sangat kuat, hidup, dan visual. Pembaca atau pendengar dapat dengan mudah membayangkan daun kering yang rapuh, kemudian dibayangkan lagi telah dimakan ulat, menjadikannya semakin hancur, keropos, berlubang-lubang, dan tidak berdaya. Ini adalah gambaran tentang kehancuran total, remuk redam, dan ketiadaan nilai yang ekstrem.
Keindahan perumpamaan ini terletak pada kemampuannya untuk menyampaikan dampak yang sangat dahsyat dengan menggunakan citra yang sangat sederhana, familiar, dan dikenal dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Arab kala itu. Mereka terbiasa dengan pemandangan dedaunan kering atau sisa tanaman yang dimakan ulat atau ternak. Penggunaan citra yang konkret ini membuat pesan kehancuran menjadi sangat mudah dibayangkan dan dirasakan.
Ayat terakhir surat Al-Fil ini sangat ringkas, hanya terdiri dari tiga kata inti dalam bahasa Arab, namun mampu memadatkan makna kehancuran yang menyeluruh, memalukan, dan total. Ini adalah salah satu aspek I'jaz Al-Qur'an (kemukjizatan Al-Qur'an), yaitu kemampuannya menyampaikan pesan yang kompleks dan mendalam dengan kata-kata yang sedikit namun sangat efektif dan mengena. Ayat ini adalah puncak dramatis dari seluruh narasi, memberikan kesimpulan yang tegas dan tidak menyisakan keraguan tentang nasib akhir pasukan zhalim tersebut, dengan efisiensi bahasa yang luar biasa.
Kekuatan perumpamaan ini juga terletak pada kontras yang tajam dan dramatis. Di awal surat, pasukan Abrahah digambarkan sebagai kekuatan yang menggentarkan, dilengkapi dengan gajah-gajah perkasa yang menjadi simbol kekuatan, keperkasaan, dan keangkuhan. Mereka datang dengan niat besar untuk merobohkan Ka'bah. Namun, di ayat terakhir surat Al-Fil, mereka direduksi menjadi sesuatu yang paling rendah, paling tidak berdaya, dan paling hina, "seperti daun-daun yang dimakan ulat." Kontras ini sangat efektif dalam menunjukkan betapa rapuhnya kekuatan duniawi di hadapan kekuasaan Ilahi, dan bagaimana keangkuhan bisa berujung pada kehinaan yang ekstrim. Ini adalah pelajaran visual tentang transisi dari kebesaran palsu menuju kehancuran total.
Gaya bahasa Al-Qur'an dalam ayat terakhir surat Al-Fil juga berfungsi sebagai peringatan abadi dan universal. Dengan menggunakan perumpamaan yang begitu jelas dan mudah dipahami, pesan tentang konsekuensi kesombongan, kezaliman, dan penentangan terhadap kehendak Allah menjadi timeless (abadi) dan relevan untuk setiap zaman dan tempat. Setiap kali ayat ini dibaca, citra kehancuran total itu akan muncul, mengingatkan setiap individu dan kelompok tentang batas-batas kekuatan mereka dan kemutlakan kekuasaan Allah. Pesan ini melampaui batas budaya dan sejarah.
Dengan demikian, ayat terakhir surat Al-Fil tidak hanya penting dari segi isi, tetapi juga dari segi bentuk dan gaya bahasa. Ia adalah contoh sempurna bagaimana Al-Qur'an menggunakan perumpamaan yang puitis, ringkas, namun mendalam untuk menyampaikan pesan yang fundamental, abadi, dan universal, mengukir kesan yang tak terlupakan di hati dan pikiran pembacanya.
Selain tafsir, makna, dan relevansi kontemporer, ayat terakhir surat Al-Fil juga sarat dengan pelajaran moral dan spiritual yang dapat membimbing setiap Muslim dalam menjalani kehidupannya dengan lebih baik dan sesuai tuntunan Ilahi.
Pasukan Abrahah datang dengan niat buruk dan kesombongan untuk menghancurkan rumah Allah. Niat yang kotor inilah yang mengundang kemurkaan Ilahi. Pelajaran spiritualnya adalah bahwa setiap tindakan, baik besar maupun kecil, harus dimulai dengan niat yang suci, karena Allah menilai setiap perbuatan berdasarkan niatnya. Menjaga kesucian hati dan ikhlas dalam setiap amal adalah fondasi dari setiap ibadah dan amal shaleh yang diterima di sisi Allah. Ayat terakhir surat Al-Fil mengingatkan kita bahwa niat jahat, sekecil apa pun, dapat berujung pada kehancuran yang tak terduga dan kehinaan di dunia dan akhirat.
Kisah ini dengan jelas menunjukkan bahwa mengandalkan kekuatan materi, jumlah, atau teknologi semata adalah sebuah kesia-siaan jika tidak disertai dengan ridha Allah. Pasukan gajah memiliki kekuatan militer yang tak tertandingi di masanya, namun semua itu tidak berarti di hadapan kehendak Allah. Pelajaran spiritualnya adalah untuk tidak menggantungkan harapan sepenuhnya pada kekayaan, jabatan, kekuasaan, kecerdasan, atau kekuatan fisik duniawi. Semua itu adalah fana dan dapat hancur kapan saja. Ketergantungan sejati haruslah hanya kepada Allah SWT, Dialah sumber kekuatan dan pertolongan yang abadi. Ayat terakhir surat Al-Fil adalah pengingat bahwa kekuatan hakiki berasal dari Yang Maha Pencipta.
Kesombongan (takabur) adalah sifat tercela yang sangat dibenci Allah dan merupakan salah satu dosa besar. Abrahah adalah contoh nyata dari kesombongan yang berujung pada kehancuran dan kehinaan. Ia merasa superior dan berhak merusak apa yang dianggap suci oleh orang lain. Pelajaran spiritualnya adalah pentingnya bersikap rendah hati (tawadhu') dalam segala hal. Sadarilah bahwa semua yang kita miliki adalah titipan dari Allah dan dapat diambil kembali kapan saja. Dengan rendah hati, kita akan terhindar dari perilaku zhalim, menjaga hati dari penyakit hati, dan mendekatkan diri kepada-Nya. Ayat terakhir surat Al-Fil menjadi cermin bagi setiap individu untuk merenungkan sejauh mana kesombongan mungkin menggerogoti hati mereka.
Al-Qur'an seringkali menceritakan kisah-kisah umat terdahulu sebagai "ibrah" (pelajaran) dan nasihat bagi generasi selanjutnya. Kisah pasukan gajah dan nasib mereka yang digambarkan secara gamblang dalam ayat terakhir surat Al-Fil adalah salah satu ibrah tersebut. Ini mengajarkan kita untuk senantiasa merenungkan sejarah, belajar dari kesalahan dan keberhasilan generasi sebelumnya, agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dan mengambil hikmah dari setiap kejadian. Sejarah adalah guru terbaik, dan Al-Qur'an menyajikannya dengan cara yang paling hikmah dan relevan untuk semua zaman.
Meskipun penduduk Mekah tidak memiliki kemampuan militer untuk melawan pasukan Abrahah, mereka memiliki keyakinan dan doa. Abdul Muththalib menyerahkan urusan Ka'bah kepada Allah, menunjukkan tawakal yang tulus. Ini menunjukkan kekuatan doa dan tawakal yang tulus dalam situasi yang tampaknya mustahil. Ketika manusia telah berusaha semaksimal mungkin, langkah selanjutnya adalah menyerahkan hasilnya kepada Allah, karena Dialah Penentu segala sesuatu dan Pemilik kekuatan sejati. Ayat terakhir surat Al-Fil adalah bukti nyata bahwa doa orang-orang yang ikhlas dan tawakal akan didengar dan dikabulkan oleh Allah dengan cara yang tak terduga dan menakjubkan.
Penduduk Mekah pada waktu itu menghadapi kekuatan yang jauh lebih besar dan kezaliman yang nyata. Mereka tidak mampu melawan secara fisik. Namun, Allah memerintahkan mereka untuk bersabar, dan Dia sendiri yang kemudian turun tangan untuk membela. Pelajaran spiritualnya adalah bahwa dalam menghadapi kezaliman, kesabaran dan keteguhan iman adalah kunci. Allah tidak akan membiarkan kezaliman berlangsung selamanya. Akan tiba saatnya bagi keadilan ilahi untuk ditegakkan, sebagaimana yang ditunjukkan oleh ayat terakhir surat Al-Fil. Ini memberikan harapan bagi mereka yang tertindas untuk tetap sabar dan teguh.
Kisah ini adalah pengingat akan berharganya iman dan perlindungan terhadap simbol-simbolnya. Ka'bah bukan hanya bangunan batu, tetapi simbol tauhid, kesatuan umat, dan warisan Nabi Ibrahim AS. Upaya untuk menghancurkannya adalah serangan terhadap keimanan itu sendiri. Ini mengajarkan kita untuk menghargai warisan keimanan, mempertahankannya dengan segala cara, dan tidak pernah menyerah pada tekanan atau ancaman yang ingin melemahkan keyakinan kita. Ayat terakhir surat Al-Fil adalah kisah heroik tentang bagaimana Allah melindungi keimanan umat-Nya dan syiar-syiar-Nya.
Dengan merenungkan pelajaran-pelajaran moral dan spiritual yang terkandung dalam ayat terakhir surat Al-Fil, seorang Muslim dapat memperkuat hubungannya dengan Allah, memperbaiki akhlaknya, dan menjalani hidup dengan penuh hikmah, ketenangan, dan keyakinan, yakin bahwa keadilan Allah pasti akan ditegakkan pada waktu yang telah ditentukan-Nya.
Peristiwa Pasukan Gajah dan pesan yang terkandung dalam ayat terakhir surat Al-Fil memiliki dampak historis yang sangat signifikan, tidak hanya bagi bangsa Arab pra-Islam tetapi juga bagi seluruh sejarah dan perkembangan peradaban Islam. Peristiwa ini bukan sekadar insiden lokal, melainkan sebuah titik balik yang membentuk lanskap masa depan.
Peristiwa Al-Fil adalah salah satu titik paling penting dalam kalender Arab pra-Islam, yang sebelumnya tidak memiliki sistem kalender yang terstandardisasi. Begitu pentingnya peristiwa ini sehingga tahun terjadinya disebut "Tahun Gajah" (Amul Fil), dan menjadi rujukan utama bagi peristiwa-peristiwa lain. Secara luas disepakati bahwa Nabi Muhammad SAW, pembawa risalah terakhir, dilahirkan pada tahun yang sama dengan peristiwa ini. Ini menunjukkan betapa Allah telah mempersiapkan bumi dan kondisi masyarakat untuk kedatangan Nabi terakhir-Nya. Kehancuran pasukan Abrahah adalah penanda permulaan era baru, sebuah "pembersihan" spiritual dan politik di jazirah Arab, yang akan mendahului kedatangan cahaya Islam yang agung. Kelahiran Nabi pada tahun ini menunjukkan keterkaitan ilahi antara perlindungan Baitullah dan kemunculan pembawa risalah-Nya.
Sebelum peristiwa Al-Fil, Ka'bah memang sudah dihormati sebagai tempat suci, namun intervensi ilahi yang dahsyat ini mengukuhkan statusnya sebagai rumah suci yang dilindungi Allah secara langsung. Orang-orang Arab dari berbagai suku, bahkan yang musyrik sekalipun, menyaksikan langsung bagaimana Allah membela Ka'bah dari serangan yang paling kuat dan mustahil untuk dikalahkan oleh manusia. Ini meningkatkan rasa hormat, kekaguman, dan ketakutan mereka terhadap Ka'bah, meskipun belum sepenuhnya memahami konsep tauhid yang diwakilinya. Dengan demikian, ayat terakhir surat Al-Fil secara tidak langsung membantu menjaga dan meninggikan martabat Ka'bah, memastikan ia tetap menjadi pusat spiritual dan destinasi ziarah sebelum kedatangan Islam, yang kemudian akan menjadikan Ka'bah sebagai kiblat universal bagi seluruh Muslim.
Karena Ka'bah terletak di Mekah dan secara tradisional dijaga serta diurus oleh suku Quraisy, peristiwa Al-Fil secara signifikan meningkatkan kewibawaan dan kehormatan suku Quraisy di mata suku-suku Arab lainnya. Mereka dipandang sebagai "Ahlullah" (keluarga Allah) atau "tetangga Allah" karena Allah telah melindungi rumah-Nya yang mereka jaga. Status istimewa ini memberikan kaum Quraisy keuntungan besar dalam perdagangan, politik, dan diplomasi di seluruh jazirah Arab, menjadikan Mekah sebagai pusat dagang yang aman dan dihormati. Keamanan yang diciptakan oleh peristiwa ini menjadi dasar bagi kemakmuran mereka, sebagaimana nanti akan disinggung dalam Surat Quraisy yang merupakan kelanjutan dari pesan Surat Al-Fil. Kisah yang dikandung dalam ayat terakhir surat Al-Fil menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas kebanggaan dan kehormatan mereka.
Peristiwa ini menjadi sebuah mitos atau legenda hidup yang kuat di kalangan bangsa Arab, yang secara turun-temurun diceritakan dan diingat sebagai bukti nyata adanya kekuatan supranatural yang mengintervensi urusan manusia. Setiap kali Al-Qur'an menyebutkan Surat Al-Fil, ia mengingatkan mereka tentang adanya kekuatan yang jauh lebih besar dari manusia, kekuatan Tuhan Yang Maha Esa. Ini membantu memecah belenggu pemikiran materialistis dan menyadarkan mereka akan keberadaan Tuhan Yang Maha Kuasa, meskipun banyak dari mereka masih menyembah berhala. Efek dari ayat terakhir surat Al-Fil secara kolektif meresap dalam kesadaran spiritual masyarakat, mempersiapkan jiwa-jiwa untuk menerima ajaran tauhid yang murni.
Secara lebih luas, kehancuran pasukan gajah dapat dilihat sebagai bagian dari persiapan ilahi yang cermat untuk kedatangan Islam. Dengan menghilangkan ancaman besar terhadap Ka'bah dan mengukuhkan statusnya, Allah memastikan bahwa pusat spiritual yang akan menjadi kiblat umat Islam tetap utuh dan dihormati. Ini juga menciptakan kondisi di mana masyarakat Arab menjadi lebih terbuka terhadap pesan tauhid yang akan dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, karena mereka telah menyaksikan manifestasi kekuasaan Allah yang satu dan tunggal. Tanpa peristiwa yang diakhiri oleh ayat terakhir surat Al-Fil ini, mungkin jalan dakwah akan lebih terjal dan penerimaan terhadap Islam akan lebih sulit. Peristiwa ini juga memperkuat posisi suku Quraisy sebagai pemimpin yang sah di Mekah, yang pada akhirnya dari suku inilah Nabi Muhammad SAW akan lahir dan memulai dakwahnya.
Dampak historis dari peristiwa Al-Fil, yang puncaknya digambarkan oleh ayat terakhir surat Al-Fil, tidak dapat dipandang remeh. Ia membentuk lanskap politik, sosial, dan spiritual jazirah Arab yang menjadi fondasi bagi munculnya peradaban Islam yang gemilang, dan terus menjadi pelajaran berharga bagi umat manusia hingga akhir zaman.
Setelah menelusuri secara mendalam makna, tafsir, hikmah, dan relevansi ayat terakhir surat Al-Fil, kita dapat menyimpulkan bahwa ayat pendek ini adalah permata hikmah yang tak ternilai harganya, sebuah manifestasi agung dari kekuasaan dan keadilan Ilahi. Firman Allah: فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُولٍ – "Lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat)" – adalah lebih dari sekadar deskripsi akhir sebuah kisah kuno. Ini adalah sebuah pengajaran universal dan abadi.
Ayat ini secara tegas dan lugas menyatakan beberapa prinsip fundamental yang harus selalu dipegang teguh oleh setiap Muslim dan menjadi renungan bagi seluruh umat manusia:
Ayat terakhir surat Al-Fil adalah pengingat yang kuat bahwa segala bentuk kesombongan, kezaliman, dan upaya untuk menghancurkan kebenaran pada akhirnya akan berujung pada kehancuran yang total dan menghinakan. Dari sekelompok burung kecil yang membawa batu sijjil, Allah SWT mampu meremukkan pasukan gajah yang perkasa menjadi "daun-daun yang dimakan ulat", sebuah metafora sempurna untuk kehancuran yang tak berbekas, yang tidak hanya menghapus kekuatan fisik mereka tetapi juga meninggalkan jejak kehinaan dalam sejarah. Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran berharga dari ayat ini dan senantiasa berada dalam lindungan, bimbingan, serta kasih sayang Allah SWT, menjauhi segala bentuk kesombongan dan kezaliman.