Ayat Ke-4 Surat Al-Fiil: Makna Mendalam, Pelajaran Abadi, dan Konteks Sejarah yang Mengubah Dunia

Surat Al-Fiil, surat ke-105 dalam Al-Qur'an, adalah salah satu surat Makkiyah yang pendek namun padat makna, terdiri dari lima ayat. Meskipun singkat, pesan yang disampaikannya sangatlah monumental, mengabadikan sebuah peristiwa sejarah yang luar biasa, yaitu "Tahun Gajah" (Amul Fiil). Peristiwa ini bukan sekadar catatan sejarah, melainkan sebuah manifestasi nyata dari kekuasaan ilahi, perlindungan-Nya terhadap rumah suci-Nya, dan petunjuk bagi umat manusia sepanjang masa. Di tengah-tengah narasi keajaiban ini, ayat keempat menempati posisi sentral, mengungkap detail krusial tentang cara Allah SWT menghancurkan pasukan gajah yang sombong.

Dalam artikel yang komprehensif ini, kita akan menyelami lautan makna yang terkandung dalam ayat ke-4 Surat Al-Fiil. Kita akan mengkaji lafaz-lafaznya yang ringkas namun sarat makna, menelusuri penafsirannya dari berbagai ulama terkemuka, menempatkannya dalam konteks sejarah yang lebih luas, dan menggali pelajaran-pelajaran berharga yang bisa kita petik untuk kehidupan modern. Lebih dari sekadar menafsirkan teks, kita akan mencoba memahami esensi peristiwa ini sebagai bukti nyata keagungan Allah dan sebagai landasan keyakinan bagi setiap muslim.

Pengantar Surat Al-Fiil dan Konteks Awal

Sebelum masuk lebih dalam ke ayat keempat, penting untuk memahami latar belakang dan tujuan keseluruhan dari Surat Al-Fiil. Surat ini diwahyukan di Mekah, pada periode awal dakwah Nabi Muhammad ﷺ, ketika kaum Muslimin masih minoritas dan menghadapi penindasan yang hebat dari kaum Quraisy. Namun, surat ini bukanlah tentang perjuangan Nabi di Mekah secara langsung, melainkan tentang sebuah peristiwa yang terjadi kira-kira lima puluh tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad ﷺ.

Peristiwa "Tahun Gajah" adalah titik balik penting dalam sejarah Jazirah Arab. Kala itu, orang-orang Arab secara turun-temurun menghormati Ka'bah sebagai Baitullah (Rumah Allah) dan pusat peribadatan. Keamanan dan kesucian Ka'bah adalah harga mati bagi mereka, terlepas dari praktik penyembahan berhala yang mereka lakukan. Kejadian ini diceritakan kembali oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad ﷺ dan para pengikutnya untuk menegaskan bahwa Allah adalah pelindung sejati rumah-Nya dan bahwa tiada kekuatan, betapapun besar dan sombongnya, yang dapat menandingi kehendak-Nya.

Surat Al-Fiil dimulai dengan pertanyaan retoris yang menggugah: "Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap Ashabul Fiil (pasukan bergajah)?" (QS. Al-Fiil: 1). Ayat ini segera menarik perhatian pembaca atau pendengar pada sebuah peristiwa yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Arab kala itu. Pertanyaan ini bukan untuk mencari jawaban, melainkan untuk menegaskan bahwa peristiwa itu adalah sesuatu yang tidak mungkin terlupakan, sebuah tanda kebesaran Allah yang terukir jelas dalam ingatan kolektif.

Ayat kedua dan ketiga melanjutkan narasi dengan menggambarkan upaya Allah menggagalkan rencana jahat Abraha dan pasukannya: "Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung-burung yang berbondong-bondong (Ababil)." (QS. Al-Fiil: 2-3). Ini adalah pengantar langsung menuju inti cerita. Allah tidak hanya menggagalkan tipu daya mereka, tetapi juga menyiapkan balasan yang tak terduga dan luar biasa, melalui makhluk-Nya yang paling kecil dan tak disangka: burung.

Fokus Utama: Ayat Ke-4 Surat Al-Fiil

Inilah inti pembahasan kita, ayat yang secara spesifik menjelaskan bagaimana kehancuran itu terjadi. Ayat ke-4 berbunyi:

تَرْمِيهِم بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ
Tarmeehim bihijaaratim min sijjeel
"Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar."

Ayat yang ringkas ini membawa detail penting dari mukjizat ilahi. Mari kita pecah menjadi beberapa komponen untuk analisis yang lebih mendalam.

Analisis Lafaz dan Makna

1. تَرْمِيهِم (Tarmeehim): "Yang melempari mereka"

Kata kerja تَرْمِي (tarmi) berasal dari akar kata ر م ي (ra-ma-ya) yang berarti melempar, memanah, atau menembak. Bentuknya adalah fi'il mudhari' (kata kerja masa kini/akan datang) yang menunjukkan tindakan yang sedang berlangsung atau terus-menerus. Dhomir (kata ganti) 'hum' (هِم) mengacu pada "mereka," yaitu Ashabul Fiil, pasukan Abraha beserta gajah-gajahnya.

Penggunaan kata 'tarmihim' memberikan gambaran jelas tentang aksi yang dilakukan oleh burung-burung Ababil. Bukan sekadar menjatuhkan, tetapi melempar dengan kekuatan atau akurasi tertentu. Ini menunjukkan kesengajaan dan ketepatan dalam pelaksanaan hukuman ilahi. Burung-burung tersebut bukan semata-mata alat pasif, melainkan agen yang aktif dalam menjalankan perintah Allah.

2. بِحِجَارَةٍ (Bihijaaratin): "Dengan batu-batu"

Kata حِجَارَةٍ (hijaaratun) adalah bentuk jamak dari حَجَرٌ (hajarun) yang berarti batu. Huruf 'bi' (بِ) di awal menunjukkan alat atau sarana yang digunakan. Jadi, secara harfiah berarti "dengan batu-batu."

Penyebutan "batu-batu" mungkin terdengar biasa, namun konteksnya menjadikannya luar biasa. Batu-batu ini bukanlah batu biasa yang dapat ditemukan di jalanan. Ukurannya, kekuatannya, dan asal-usulnya yang akan dijelaskan di bagian selanjutnya, semuanya mengisyaratkan sifat mukjizatnya. Kuantitas "batu-batu" (jamak) juga menunjukkan bahwa setiap burung membawa lebih dari satu, atau bahwa ada begitu banyak batu sehingga kehancuran yang ditimbulkannya bersifat menyeluruh.

3. مِّن سِجِّيلٍ (Min Sijjeel): "Dari Sijjil" (tanah yang terbakar)

Ini adalah bagian yang paling menarik dan memicu banyak penafsiran. Kata سِجِّيلٍ (sijjeel) adalah istilah yang unik dalam Al-Qur'an dan hanya muncul di beberapa tempat, termasuk di sini dan dalam kisah kaum Nabi Luth.

Para ulama tafsir memiliki beberapa pandangan mengenai makna 'sijjil':

  1. Tanah yang Terbakar/Batu Bakar: Tafsir yang paling umum adalah bahwa 'sijjil' berarti tanah liat yang telah dibakar hingga menjadi keras seperti batu, mirip dengan batu bata atau keramik. Ini menunjukkan bahwa batu-batu tersebut bukan berasal dari bumi secara alami, melainkan telah melalui proses panas yang intens, menjadikannya sangat padat dan memiliki kekuatan destruktif yang dahsyat. Ibnu Abbas, seorang sahabat Nabi dan penafsir Al-Qur'an terkemuka, menafsirkannya sebagai 'tinun harrun' (tanah liat panas/terbakar).
  2. Batu dari Neraka: Beberapa ulama menafsirkan 'sijjil' sebagai batu-batu yang berasal dari neraka, atau yang memiliki sifat seperti batu neraka, karena panasnya atau daya hancurnya yang luar biasa. Ini menekankan aspek azab ilahi yang pedih.
  3. Campuran Tanah dan Batu: Ada juga yang berpendapat bahwa 'sijjil' adalah gabungan dari dua kata Persia, 'sing' (batu) dan 'gil' (tanah liat), yang kemudian diarabkan. Ini menunjukkan bahwa batu-batu tersebut memiliki karakteristik keduanya.
  4. Catatan/Dokumen: Penafsiran lain yang kurang populer, tetapi disebutkan oleh beberapa ahli bahasa, mengaitkan 'sijjil' dengan 'sijill' yang berarti catatan atau daftar, seolah-olah batu-batu itu adalah catatan hukuman yang sudah tertulis.

Namun, mayoritas ulama cenderung pada penafsiran pertama, yaitu "tanah yang terbakar" atau "batu bakar". Ini memberikan kesan tentang kekuatan dan keunikan batu-batu tersebut. Mereka bukan batu biasa, melainkan hasil dari kekuatan ilahi yang mengubah materi biasa menjadi senjata penghancur yang efektif.

Makna Keseluruhan Ayat Ke-4

Dengan menggabungkan analisis di atas, ayat ke-4 Surat Al-Fiil mengungkapkan bahwa burung-burung Ababil tidak hanya datang, tetapi secara aktif dan tepat "melempari" pasukan Abraha "dengan batu-batu" yang terbuat dari "tanah yang terbakar" atau memiliki sifat seperti itu. Ini adalah gambaran yang mengerikan tentang azab yang ditimpakan Allah.

Kepadatan dan panas dari batu 'sijjil' ini, meskipun ukurannya mungkin tidak besar, disebutkan memiliki efek yang luar biasa. Tafsir menyebutkan bahwa setiap batu menembus tubuh pasukan atau gajah, keluar dari sisi lain, menyebabkan kerusakan internal yang parah, dan bahkan mencairkan tubuh mereka. Gambaran ini, meskipun metaforis atau hiperbolis, menunjukkan kehancuran total yang tak terbayangkan dari sebuah pasukan yang sebelumnya dianggap tak terkalahkan.

Burung Ababil Melempari Batu Sijjil

Konteks Sejarah "Tahun Gajah"

Untuk memahami sepenuhnya dampak dan signifikansi ayat ke-4, kita perlu merinci kisah di balik "Tahun Gajah" yang luar biasa ini.

Abraha, Raja Yaman dan Ambisinya

Pada pertengahan abad ke-6 Masehi, Yaman berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Aksum (Ethiopia Kristen). Penguasanya saat itu adalah seorang bernama Abraha al-Ashram. Abraha adalah seorang Kristen yang taat dan memiliki ambisi besar. Ia melihat bahwa Ka'bah di Mekah adalah pusat peribadatan dan perdagangan yang sangat ramai di Jazirah Arab, menarik ribuan peziarah setiap tahunnya.

Dalam ambisinya untuk mengalihkan perhatian dan kekayaan ini ke kerajaannya, Abraha membangun sebuah gereja megah di Sana'a, ibu kota Yaman, yang dikenal sebagai 'Al-Qullais'. Gereja ini dirancang untuk menjadi tandingan Ka'bah, dengan harapan orang-orang Arab akan berbondong-bondong datang ke Sana'a alih-alih Mekah. Namun, harapannya tidak terwujud. Orang-orang Arab tetap berduyun-duyun ke Ka'bah.

Sebagai bentuk protes dan penghinaan terhadap ambisi Abraha, seorang Arab dari suku Kinanah dilaporkan pergi ke Sana'a dan buang hajat di dalam atau di dekat Al-Qullais. Tindakan ini membuat Abraha murka besar. Ia bersumpah akan menghancurkan Ka'bah di Mekah sebagai balas dendam dan untuk menegaskan dominasinya.

Ekspedisi Pasukan Gajah

Untuk mewujudkan sumpahnya, Abraha mengumpulkan pasukan besar yang belum pernah terlihat di Jazirah Arab kala itu. Pasukan ini dilengkapi dengan gajah-gajah perang, yang merupakan simbol kekuatan militer yang tak terbantahkan pada masa itu. Gajah adalah makhluk raksasa yang menakutkan, mampu menginjak-injak apapun yang menghalangi jalannya dan menghancurkan bangunan dengan mudah. Sumber-sumber sejarah menyebutkan jumlah gajah bervariasi, dari satu gajah pimpinan bernama Mahmud (yang disebutkan paling terkenal), hingga puluhan bahkan ratusan gajah.

Ketika pasukan Abraha bergerak menuju Mekah, mereka bertemu dengan perlawanan kecil dari suku-suku Arab di sepanjang jalan, tetapi perlawanan ini dengan mudah dipatahkan. Beberapa tokoh Arab, termasuk Nufail bin Habib Al-Khath'ami, ditangkap oleh pasukan Abraha dan kemudian dijadikan pemandu jalan menuju Mekah.

Pertemuan dengan Abdul Muththalib

Sesampainya di pinggiran Mekah, pasukan Abraha merampas unta-unta penduduk Mekah, termasuk dua ratus unta milik Abdul Muththalib, kakek Nabi Muhammad ﷺ dan pemimpin suku Quraisy saat itu. Abdul Muththalib kemudian datang menemui Abraha untuk menuntut pengembalian untanya. Dalam pertemuan itu, Abraha terkejut mendengar bahwa Abdul Muththalib hanya meminta unta-untanya, bukan memohon agar Ka'bah tidak dihancurkan.

Abraha bertanya, "Mengapa engkau tidak memohon agar aku tidak menghancurkan Ka'bah, yang merupakan tempat ibadah nenek moyangmu?" Abdul Muththalib menjawab dengan tenang dan penuh keyakinan, "Aku adalah pemilik unta-unta ini, maka aku menuntutnya kembali. Adapun Ka'bah, ia memiliki pemiliknya sendiri yang akan melindunginya."

Jawaban ini mencerminkan keimanan Abdul Muththalib kepada Allah, meskipun pada masa itu masih banyak penyembahan berhala. Ia percaya bahwa rumah Allah akan dijaga oleh Allah sendiri. Setelah mendapatkan unta-untanya, Abdul Muththalib kembali ke Mekah, memerintahkan penduduk untuk mengungsi ke pegunungan di sekitar Mekah, dan berdoa kepada Allah di dekat Ka'bah, menyerahkan sepenuhnya perlindungan rumah suci itu kepada-Nya.

Mukjizat Allah dan Burung Ababil

Ketika Abraha memerintahkan pasukannya untuk maju dan gajah-gajahnya untuk bergerak menghancurkan Ka'bah, terjadi hal yang luar biasa. Gajah-gajah itu berhenti dan menolak bergerak maju menuju Ka'bah, meskipun dipukul dan dipaksa. Setiap kali dihadapkan ke arah Ka'bah, gajah-gajah itu menolak, tetapi jika dihadapkan ke arah lain, mereka bergerak dengan patuh. Ini adalah tanda pertama dari campur tangan ilahi.

Kemudian, datanglah bala bantuan dari Allah dalam bentuk yang tak terduga, sebagaimana yang dijelaskan dalam Surat Al-Fiil dan secara spesifik dalam ayat ke-4. Burung-burung kecil yang disebut Ababil, yang datang dalam kawanan-kawanan besar, tiba di atas pasukan Abraha. Setiap burung membawa tiga batu 'sijjil': satu di paruhnya dan dua di kedua kakinya.

Dengan ketepatan ilahi, burung-burung ini melemparkan batu-batu itu ke pasukan Abraha. Ayat ke-4 ini menggambarkan tindakan "melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar." Meskipun batu-batu itu kecil, dampaknya sangat mematikan. Dikatakan bahwa setiap batu menimpa kepala salah satu prajurit, menembus tubuhnya, dan keluar dari bagian bawah tubuhnya, atau menyebabkan luka bakar yang mengerikan dan penyakit yang mematikan. Gajah-gajah pun mengalami hal yang sama. Dalam waktu singkat, pasukan yang perkasa itu hancur luluh, bergelimpangan seperti daun-daun yang dimakan ulat.

Abraha sendiri tidak luput dari azab ini. Ia dilaporkan terkena batu 'sijjil' dan tubuhnya mulai membusuk secara perlahan saat ia berusaha melarikan diri kembali ke Yaman. Ia meninggal dalam perjalanan pulang, menderita penyakit yang mengerikan.

Pelajaran dan Hikmah dari Ayat Ke-4 dan Surat Al-Fiil

Peristiwa Tahun Gajah dan detail yang diungkapkan dalam ayat ke-4 bukanlah sekadar cerita lampau, melainkan sumber hikmah yang mendalam bagi umat manusia, khususnya bagi kaum Muslimin. Mari kita telaah beberapa pelajaran penting tersebut.

1. Kekuatan Allah yang Maha Dahsyat dan Tak Terbatas

Pelajaran paling fundamental dari Surat Al-Fiil, dan secara khusus dari ayat ke-4, adalah penegasan tentang kekuasaan mutlak Allah SWT. Pasukan Abraha adalah kekuatan militer yang tak tertandingi pada masanya, dilengkapi dengan gajah-gajah perang yang menakutkan. Di sisi lain, penduduk Mekah adalah kaum yang lemah, tidak memiliki kekuatan militer untuk melawan.

Namun, Allah menunjukkan bahwa kekuatan manusia, betapapun besar dan angkuhnya, tidak berarti apa-apa di hadapan kehendak-Nya. Dia tidak membutuhkan pasukan malaikat atau kekuatan gaib yang menakutkan untuk mengalahkan mereka; Dia hanya mengirimkan burung-burung kecil dengan batu-batu 'sijjil' yang unik. Ini menunjukkan bahwa Allah dapat menggunakan apa saja, bahkan makhluk yang paling remeh, untuk menjalankan kehendak-Nya dan menghancurkan musuh-musuh-Nya.

Ayat ke-4 dengan jelas menggambarkan mekanisme kehancuran ini, menegaskan bahwa itu bukanlah kebetulan, melainkan tindakan yang terencana dan presisi dari Allah. Ini mengukir keyakinan yang kuat dalam hati bahwa tiada yang mustahil bagi-Nya.

2. Perlindungan Allah Terhadap Rumah Suci-Nya dan Nilai-nilai Sakral

Peristiwa ini adalah bukti nyata bahwa Allah melindungi Ka'bah, rumah-Nya yang suci. Ka'bah adalah pusat peribadatan pertama di muka bumi, dan meskipun pada masa itu banyak berhala di sekitarnya, esensinya sebagai Baitullah tetap diakui oleh Allah. Serangan Abraha terhadap Ka'bah adalah serangan terhadap nilai-nilai sakral dan hakikat keberadaan Ka'bah sebagai simbol tauhid (keesaan Allah) yang akan dipulihkan oleh Nabi Muhammad ﷺ.

Pelajaran ini menegaskan pentingnya menjaga kesucian dan kehormatan tempat-tempat ibadah serta nilai-nilai keagamaan. Allah tidak akan membiarkan kesucian ini dinodai oleh keangkuhan dan kezaliman. Ini juga memberikan jaminan bagi umat Islam bahwa Allah senantiasa menjaga syiar-syiar-Nya.

3. Kehancuran Keangkuhan dan Kesombongan

Kisah Abraha adalah kisah tentang kesombongan yang berakhir tragis. Ia merasa dirinya perkasa dengan pasukan dan gajah-gajahnya, berani menantang rumah Allah dan mengabaikan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Arab. Ayat ke-4 menjadi penutup dari kisah keangkuhan ini, menunjukkan bahwa kekuatan duniawi yang digunakan untuk kezaliman dan kesombongan pada akhirnya akan dihancurkan dengan cara yang paling hina.

Pelajaran ini relevan bagi setiap individu dan bangsa. Kekuasaan, kekayaan, atau kekuatan militer tidak akan bertahan jika digunakan untuk menindas, menyombongkan diri, dan menentang kehendak Allah. Akhirnya, setiap tirani akan tumbang, dan keangkuhan akan berujung pada kehinaan.

4. Pentingnya Tawakkal (Berserah Diri) kepada Allah

Sikap Abdul Muththalib yang menyerahkan perlindungan Ka'bah sepenuhnya kepada Allah adalah teladan tawakkal yang luar biasa. Ia melakukan apa yang ia bisa (meminta untanya kembali dan memerintahkan penduduk mengungsi), namun untuk hal yang lebih besar (perlindungan Ka'bah), ia sepenuhnya berserah diri kepada Allah. Hasilnya adalah mukjizat yang tak terbayangkan.

Ayat ke-4 menunjukkan bagaimana Allah menanggapi tawakkal hamba-Nya. Ketika manusia telah berusaha semaksimal mungkin dan kemudian berserah diri kepada-Nya, maka pertolongan Allah akan datang dari arah yang tidak disangka-sangka, bahkan melalui "batu dari tanah yang terbakar" yang dilemparkan oleh "burung-burung kecil". Ini mengajarkan kita untuk selalu menaruh kepercayaan penuh kepada Allah dalam setiap kesulitan.

5. Tanda Kenabian Muhammad ﷺ

Peristiwa Tahun Gajah terjadi hanya beberapa minggu atau bulan sebelum kelahiran Nabi Muhammad ﷺ. Ini adalah salah satu tanda kenabian beliau. Kehancuran pasukan Abraha memastikan bahwa Mekah dan Ka'bah tetap aman dan menjadi tempat yang kondusif bagi lahirnya seorang Nabi terakhir. Jika Ka'bah dihancurkan, mungkin sejarah Islam akan sangat berbeda.

Allah membersihkan Mekah dari ancaman besar ini, seolah-olah menyiapkan panggung untuk kedatangan Rasul-Nya yang agung. Ayat ke-4, dengan deskripsinya tentang kehancuran ilahi, menegaskan bahwa Allah telah memiliki rencana besar yang akan segera terwujud melalui Nabi yang akan datang.

6. Keteraturan dan Ketepatan Hukuman Ilahi

Meskipun mukjizat, kehancuran yang digambarkan dalam ayat ke-4 dilakukan dengan keteraturan dan ketepatan. Burung-burung itu "melempari mereka" (tarmeehim) dengan batu-batu "sijjil" secara efektif. Ini bukan kekacauan acak, melainkan hukuman yang terukur dan terencana. Setiap batu memiliki targetnya, dan efeknya sangat spesifik dan mematikan. Hal ini menunjukkan bahwa azab Allah adalah sebuah keadilan yang presisi, bukan sekadar amukan.

7. Peringatan bagi Setiap Generasi

Kisah ini adalah peringatan abadi bagi setiap generasi dan peradaban. Allah tidak akan pernah membiarkan kezaliman dan keangkuhan merajalela tanpa batas. Ketika manusia melampaui batas dan mencoba merendahkan hal-hal yang sakral atau menindas yang lemah, pertolongan Allah akan datang, seringkali dari arah yang tidak pernah diduga.

Ayat ke-4 menjadi pengingat bahwa meskipun ancaman mungkin terlihat besar dan tak terhentikan, Allah Maha Mampu untuk membalas dan melindungi hamba-hamba-Nya yang beriman serta rumah-Nya yang suci.

Detail Tambahan dari Tafsir Ulama

Para ulama tafsir telah membahas Surat Al-Fiil dan ayat ke-4 secara mendalam. Mari kita lihat beberapa pandangan mereka.

Ibnu Katsir

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa peristiwa ini adalah anugerah Allah kepada penduduk Mekah, meskipun mereka masih menyembah berhala, sebagai bentuk penjagaan terhadap Ka'bah. Ini juga merupakan pertanda kenabian Rasulullah ﷺ yang akan segera lahir di tengah-tengah mereka.

Mengenai 'sijjil', Ibnu Katsir menyebutkan beberapa riwayat yang menafsirkannya sebagai 'batu dari tanah liat yang dibakar'. Ia juga mengutip riwayat dari Ibnu Abbas yang menjelaskan bahwa batu-batu itu tidak besar, seukuran biji kacang atau biji-bijian, namun efeknya sangat dahsyat, menembus kepala hingga keluar dari bagian tubuh lainnya. Ia juga menambahkan bahwa para prajurit Abraha terpapar penyakit yang mengerikan, yaitu cacar dan campak, yang belum pernah dikenal sebelumnya di tanah Arab, menunjukkan sifat mukjizat dari azab tersebut.

At-Thabari

Imam At-Thabari, dalam Jami' al-Bayan-nya, juga memberikan berbagai penafsiran tentang 'sijjil'. Ia mengutip riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa 'sijjil' adalah batu yang terbuat dari tanah liat yang dibakar, seolah-olah ia telah dipanggang. Ia juga mencatat bahwa sebagian ulama mengaitkan 'sijjil' dengan 'sijill' (catatan) dan 'sinjil' (tanah liat yang padat), menunjukkan kekayaan makna bahasa Arab yang terkandung dalam kata ini.

At-Thabari juga menekankan bagaimana Allah mengutus burung-burung Ababil, makhluk yang lemah dan kecil, untuk mengalahkan pasukan besar dan kuat. Ini adalah bukti nyata kekuasaan Allah yang tidak terbatas dan bagaimana Dia dapat menggunakan sebab-sebab yang paling sederhana untuk mencapai tujuan-Nya.

Al-Qurthubi

Imam Al-Qurthubi, dalam tafsirnya Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, membahas secara rinci tentang "Tahun Gajah" dan kejadian-kejadian yang mendahuluinya. Ia mengonfirmasi bahwa peristiwa ini terjadi pada tahun kelahiran Nabi Muhammad ﷺ. Al-Qurthubi juga menyinggung tentang perdebatan mengenai apakah 'sijjil' adalah nama yang berasal dari bahasa Persia (sang-gil) yang diarabkan, atau murni Arab. Namun, ia juga cenderung pada makna "batu dari tanah liat yang dibakar keras."

Ia juga menyoroti aspek 'api' atau 'panas' yang tersirat dalam makna 'sijjil', yang menunjukkan bahwa batu-batu itu memiliki sifat membakar atau merusak yang sangat parah, mirip dengan api neraka. Kehancuran yang ditimbulkan oleh batu-batu ini begitu dahsyat sehingga mengubah tubuh-tubuh yang terkena menjadi seperti daun-daun yang dimakan ulat, sebuah gambaran puitis namun mengerikan tentang kehancuran total.

Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di

Dalam tafsirnya yang ringkas namun mendalam, Taisir Al-Karim Ar-Rahman, Syekh As-Sa'di menjelaskan bahwa Allah menghancurkan mereka dengan mengirimkan burung-burung yang melempari mereka dengan batu 'sijjil' yang panas dan mematikan. Batu-batu itu menghancurkan tubuh mereka dan menyebabkan mereka binasa, menjadi seperti dedaunan yang dimakan ulat. Ini adalah salah satu tanda kekuasaan Allah yang Mahabesar dan perlindungan-Nya terhadap Rumah-Nya.

As-Sa'di juga menekankan bahwa peristiwa ini adalah pertanda jelas bagi kaum Quraisy tentang kebesaran Allah dan perlindungan-Nya terhadap Ka'bah, yang seharusnya membuat mereka merenungkan keesaan Allah dan meninggalkan penyembahan berhala.

Relevansi Ayat Ke-4 di Era Modern

Meskipun peristiwa ini terjadi ribuan tahun yang lalu, pelajaran dari ayat ke-4 Surat Al-Fiil tetap sangat relevan bagi umat manusia di era modern.

1. Mengingat Keterbatasan Kekuatan Manusia

Di zaman modern ini, manusia seringkali terbuai dengan kemajuan teknologi, kekuatan militer yang canggih, dan dominasi ekonomi. Ada kecenderungan untuk merasa tak terkalahkan dan dapat mengatasi segala hal. Kisah Abraha dan kehancurannya yang digambarkan dalam ayat ke-4 adalah pengingat yang kuat bahwa di atas segala kekuatan manusia, ada kekuatan Ilahi yang tak tertandingi.

Bahkan rudal paling canggih atau pasukan terlatih sekalipun tidak akan dapat menandingi kehendak Allah. Ketika manusia melampaui batas dan melakukan kezaliman, Allah dapat mengirimkan "batu-batu dari tanah yang terbakar" dalam bentuk yang berbeda—bencana alam, pandemi, krisis tak terduga—untuk menunjukkan keterbatasan manusia dan menegaskan kembali kekuasaan-Nya.

2. Pembelaan Terhadap Yang Lemah dan Penjagaan Nilai-nilai Sakral

Di dunia yang seringkali didominasi oleh kekuasaan dan ambisi, ayat ke-4 mengajarkan kita untuk tidak meremehkan yang lemah dan untuk selalu membela nilai-nilai keadilan, kebenaran, dan kesucian agama. Allah membela Ka'bah dan penduduk Mekah yang lemah dari pasukan Abraha yang perkasa. Ini adalah inspirasi bagi kita untuk tidak menyerah pada intimidasi dan untuk selalu berdiri di sisi kebenaran.

Dalam konteks modern, ini bisa diartikan sebagai komitmen untuk melindungi hak-hak kelompok minoritas yang tertindas, membela keadilan sosial, dan menjaga kesucian tempat-tempat ibadah dari segala bentuk penodaan, baik fisik maupun ideologis.

3. Sumber Optimisme dan Harapan

Bagi orang-orang yang beriman, kisah ini adalah sumber optimisme dan harapan yang tak terbatas. Ketika menghadapi tantangan yang sangat besar, atau ketika merasa terdesak oleh kekuatan yang tampaknya tak terkalahkan, mengingat bagaimana Allah menghancurkan pasukan gajah dengan "batu dari tanah yang terbakar" yang dilemparkan oleh burung-burung kecil, dapat memberikan kekuatan dan keyakinan bahwa pertolongan Allah selalu ada.

Ini mendorong kita untuk tidak putus asa dalam menghadapi kesulitan, untuk selalu bertawakkal kepada Allah, dan untuk yakin bahwa pada akhirnya, kebenaran akan menang dan kezaliman akan hancur.

4. Pentingnya Refleksi dan Tadabbur

Surat Al-Fiil dan ayat ke-4 secara khusus mengajak kita untuk melakukan refleksi dan tadabbur (perenungan mendalam) terhadap ayat-ayat Allah, baik yang tertulis dalam Al-Qur'an maupun yang terhampar di alam semesta dan sejarah. Peristiwa seperti Tahun Gajah bukanlah sekadar cerita dongeng, melainkan pelajaran nyata yang Allah berikan kepada kita untuk memperkuat keimanan dan membentuk karakter.

Dengan merenungkan bagaimana Allah membalas kesombongan Abraha melalui "batu-batu sijjil", kita diajak untuk selalu rendah hati, mengakui kebesaran Allah, dan tidak pernah merasa diri perkasa atau kebal dari murka-Nya.

Kesimpulan

Ayat ke-4 Surat Al-Fiil, "Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar," adalah puncak dari narasi mukjizat "Tahun Gajah." Ayat ini secara ringkas namun kuat menggambarkan metode ilahi dalam menghancurkan kekuatan zalim yang berani menantang kebesaran Allah dan kesucian rumah-Nya.

Dari lafaz-lafaznya yang padat makna, kita memahami bahwa kehancuran ini bukan kebetulan, melainkan tindakan yang disengaja, tepat, dan berasal dari kekuatan yang melampaui pemahaman manusia. Batu-batu 'sijjil', dengan karakteristiknya yang unik sebagai "tanah yang terbakar," adalah simbol azab ilahi yang dahsyat dan mematikan, yang ditimpakan melalui perantara makhluk paling lemah sekalipun.

Kisah ini, yang berulang kali diulas oleh para mufassir dan sejarawan, tidak hanya menjadi bukti nyata perlindungan Allah terhadap Ka'bah dan kenabian Nabi Muhammad ﷺ, tetapi juga merupakan sumber pelajaran yang tak lekang oleh waktu. Ia mengajarkan kita tentang kekuasaan Allah yang tak terbatas, kehinaan kesombongan manusia, pentingnya tawakkal, dan jaminan perlindungan Allah bagi yang lemah serta nilai-nilai sakral.

Di dunia modern yang kompleks ini, Surat Al-Fiil dan ayat ke-4-nya tetap relevan sebagai pengingat akan batas kekuatan manusia, seruan untuk merendahkan diri di hadapan Sang Pencipta, dan sumber harapan bahwa keadilan Ilahi akan selalu ditegakkan. Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dari setiap ayat Al-Qur'an dan menjadikannya sebagai petunjuk dalam meniti kehidupan.

Merenungkan ayat ini adalah sebuah undangan untuk memperdalam iman, untuk memahami bahwa di setiap sudut alam semesta dan di setiap halaman sejarah, terdapat tanda-tanda kebesaran Allah yang menunggu untuk direnungkan. Kehancuran pasukan Abraha oleh "batu-batu sijjil" adalah salah satu tanda paling terang, sebuah mercusuar yang memancarkan cahaya kebenaran dan keadilan Ilahi bagi setiap hati yang mencari petunjuk.

🏠 Homepage