Al-Quran, kitab suci umat Islam, adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ sebagai petunjuk dan rahmat bagi seluruh alam. Di dalamnya terkandung hikmah mendalam, ajaran moral, hukum-hukum kehidupan, serta kisah-kisah penuh pelajaran. Setiap surah dalam Al-Quran memiliki kekhasan dan pesan tersendiri yang mengundang refleksi dan perenungan. Salah satu surah yang memiliki keunikan dan pesan fundamental tentang dualitas kehidupan, kebaikan, dan keburukan, adalah Surah Al-Lail.
Surah Al-Lail, yang berarti "Malam", adalah surah ke-92 dalam mushaf Al-Quran, terdiri dari 21 ayat. Surah ini tergolong surah Makkiyah, yang berarti diturunkan sebelum hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Ciri khas surah Makkiyah adalah fokus pada penegasan tauhid (keesaan Allah), hari kebangkitan, dan akhlak mulia, seringkali dengan gaya bahasa yang pendek, padat, dan puitis, serta sumpah-sumpah yang mengagumkan. Surah Al-Lail adalah contoh sempurna dari ciri-ciri tersebut, di mana Allah SWT bersumpah dengan malam, siang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan untuk menegaskan perbedaan antara dua golongan manusia: mereka yang berbuat kebaikan dan mereka yang enggan berbuat baik.
Malam dan siang adalah dua fenomena alam yang silih berganti secara teratur, menjadi tanda kekuasaan Allah SWT dan pelajaran bagi manusia. Dalam banyak ayat Al-Quran, Allah SWT seringkali bersumpah dengan malam dan siang, atau menyebutkan keduanya sebagai tanda-tanda kebesaran-Nya. Malam identik dengan ketenangan, istirahat, dan kegelapan, sedangkan siang identik dengan aktivitas, pencarian rezeki, dan terang benderang. Kontras ini bukan hanya sekadar fenomena fisik, melainkan juga simbolik, menggambarkan dualitas dalam kehidupan: kebaikan dan keburukan, petunjuk dan kesesatan, kemudahan dan kesulitan, serta ganjaran dan siksaan. Surah Al-Lail secara spesifik mengangkat dualitas ini untuk menjelaskan dua jalan yang berbeda yang dipilih manusia, serta konsekuensi dari setiap pilihan tersebut.
Surah ini mengajak kita merenungkan nilai-nilai yang paling fundamental dalam Islam: keikhlasan dalam memberi, ketakwaan, keyakinan pada kebenaran, dan penolakan terhadap kesombongan serta kekikiran. Dengan memahami setiap ayat dalam surah ini, diharapkan kita dapat meneladani sifat-sifat orang yang bertakwa dan menjauhi sifat-sifat orang yang celaka, sehingga kita termasuk golongan yang dimudahkan jalannya menuju kebahagiaan abadi. Perenungan terhadap surah ini juga memperkaya pemahaman kita tentang bagaimana alam semesta, dengan segala keteraturannya, selalu menjadi saksi atas kebenaran janji-janji Allah dan konsekuensi dari pilihan-pilihan manusia. Ini adalah undangan untuk senantiasa introspeksi dan memperbaiki diri.
وَالَّيْلِ إِذَا يَغْشَىٰ
Wa Al-Layli Idhā Yaghshā
Demi malam apabila menutupi (cahaya siang).
Allah SWT memulai surah ini dengan sumpah atas "malam apabila menutupi (cahaya siang)". Sumpah ini menggarisbawahi keagungan dan misteri malam. Malam adalah waktu di mana segala sesuatu ditutupi oleh kegelapan, aktivitas duniawi mereda, dan sebagian besar makhluk beristirahat. Penutupannya tidak hanya fisik, tetapi juga psikologis; kegelapan malam seringkali membawa ketenangan dan introspeksi. Dalam konteks Al-Quran, sumpah Allah dengan makhluk-Nya adalah untuk menarik perhatian pada kebesaran ciptaan tersebut dan hikmah di baliknya. Malam adalah periode penting bagi manusia, baik untuk istirahat fisik maupun untuk kontemplasi spiritual. Ia adalah simbol dari sisi kehidupan yang tidak terlihat, tersembunyi, dan seringkali menjadi waktu bagi ibadah-ibadah yang lebih pribadi dan mendalam, seperti shalat malam dan zikir. Sumpah ini mengisyaratkan bahwa di balik kegelapan ada hikmah dan pelajaran yang mendalam, mempersiapkan jiwa untuk menerima pesan-pesan selanjutnya yang akan disampaikan.
وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ
Wa An-Nahāri Idhā Tajallā
Dan demi siang apabila terang benderang.
Setelah bersumpah dengan malam, Allah SWT melanjutkan dengan bersumpah atas "siang apabila terang benderang". Siang adalah kebalikan dari malam; ia membawa cahaya, aktivitas, dan keterbukaan. Di siang hari, manusia mencari nafkah, berinteraksi sosial, dan melaksanakan berbagai kegiatan duniawi. Kata "tajallā" (terang benderang) menunjukkan manifestasi yang jelas dan nyata. Sumpah dengan siang ini menekankan kontras antara terang dan gelap, antara apa yang terlihat dan apa yang tersembunyi. Siang melambangkan kejelasan, kebenaran yang terungkap, dan periode untuk beramal saleh secara terang-benderang. Kedua fenomena ini, malam dan siang, adalah tanda-tanda kekuasaan Allah yang sempurna dalam mengatur alam semesta dan memberikan ritme kehidupan bagi seluruh makhluk. Keteraturan pergantian malam dan siang juga menunjukkan adanya sistem yang sempurna, yang menjadi bukti adanya Pencipta yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana. Dualitas ini juga merefleksikan dua sisi kehidupan manusia: sisi tersembunyi (niat, hati) dan sisi terang (amal perbuatan yang terlihat).
وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالْأُنثَىٰ
Wa Mā Khalaqa Adh-Dhakara Wa Al-'Unthā
Dan demi penciptaan laki-laki dan perempuan.
Sumpah ketiga dalam surah ini adalah dengan "penciptaan laki-laki dan perempuan". Ini adalah sumpah yang sangat penting karena menyentuh inti eksistensi manusia dan dualitas dalam penciptaan. Laki-laki dan perempuan adalah dua kutub yang saling melengkapi dalam kelangsungan hidup manusia, menunjukkan keseimbangan dan harmoni dalam ciptaan Allah. Penciptaan mereka yang berbeda namun saling membutuhkan adalah bukti kekuasaan dan kebijaksanaan Allah. Seperti malam dan siang, laki-laki dan perempuan juga memiliki peran dan karakteristik yang berbeda, namun keduanya adalah ciptaan yang mulia di hadapan Allah. Sumpah ini juga bisa dimaknai lebih luas sebagai segala sesuatu yang diciptakan berpasang-pasangan, menunjukkan keseimbangan dan harmoni dalam ciptaan Allah. Adanya perbedaan ini adalah bagian dari sunnatullah (ketetapan Allah) yang menunjukkan keagungan-Nya. Dengan bersumpah atas ketiga hal ini (malam, siang, dan penciptaan berpasangan), Allah sedang mempersiapkan kita untuk menerima sebuah kebenaran fundamental yang akan diungkapkan selanjutnya, yaitu perbedaan amal dan tujuan manusia, serta konsekuensi yang mengikuti dari perbedaan tersebut.
إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ
Inna Sa`yakum Lashattā
Sesungguhnya usaha kamu memang berlain-lainan.
Setelah tiga sumpah agung, Allah SWT menyatakan kebenaran inti surah ini: "Sesungguhnya usaha kamu memang berlain-lainan." Ayat ini adalah jawaban dari sumpah-sumpah sebelumnya. Sama seperti malam dan siang yang berbeda dalam fungsi dan karakteristiknya, dan laki-laki serta perempuan yang berbeda dalam penciptaan namun saling melengkapi, begitu pula usaha dan tujuan hidup manusia juga sangat berlainan. Ada yang berusaha untuk kebaikan, ada pula yang berusaha untuk keburukan. Ada yang mengejar keuntungan dunia semata, ada pula yang mengejar kebahagiaan akhirat. Perbedaan ini mencakup niat, cara, dan hasil dari setiap perbuatan manusia. Ayat ini menegaskan bahwa tidak semua upaya manusia sama nilainya di sisi Allah. Perbedaan ini akan mengarah pada konsekuensi yang berbeda pula di dunia dan di akhirat. Ini adalah pengantar bagi penjelasan tentang dua golongan manusia yang akan dibahas secara rinci pada ayat-ayat berikutnya, menekankan bahwa kebebasan memilih yang diberikan kepada manusia membawa tanggung jawab atas setiap pilihan yang diambil.
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ
Fa 'Ammā Man 'A`ţā Wa Attaqá
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,
Ayat ini mulai menjelaskan golongan pertama dari manusia, yaitu mereka yang berbuat kebaikan dan menempuh jalan kemudahan. Sifat pertama yang disebutkan adalah "memberikan (hartanya di jalan Allah)". Ini menunjukkan kemurahan hati, kepedulian sosial, dan pengorbanan harta benda demi keridaan Allah. Memberi di sini tidak hanya terbatas pada zakat atau sedekah wajib, tetapi juga meliputi infak, wakaf, dan segala bentuk sumbangan yang bermanfaat bagi sesama dan kemajuan Islam, yang dilakukan dengan sukarela. Sifat kedua adalah "bertakwa". Takwa adalah puncak dari keimanan, yaitu melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, serta selalu merasa diawasi oleh-Nya dalam setiap tindakan dan pikiran. Orang yang bertakwa memiliki kesadaran spiritual yang tinggi, yang mendorongnya untuk berbuat kebaikan dan menjauhi keburukan. Mereka tidak hanya menjalankan ibadah ritual (`hablum minallah`) tetapi juga memiliki kepedulian sosial (`hablum minannas`), mencerminkan kesempurnaan seorang mukmin yang sejati. Ini adalah fondasi dari karakter yang mulia di hadapan Allah.
وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَىٰ
Wa Şaddaqa Bil-Ĥusná
Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga),
Sifat ketiga dari golongan orang yang berbuat baik adalah "membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga)". 'Al-Husna' di sini merujuk pada kebaikan yang paling agung, yaitu janji Allah akan surga dan segala kenikmatannya sebagai balasan bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Membenarkan `al-husna` berarti memiliki keyakinan yang teguh terhadap akhirat, hari pembalasan, dan janji-janji Allah. Keyakinan inilah yang menjadi motivasi utama bagi seseorang untuk memberi di jalan Allah dan bertakwa, karena ia tahu bahwa setiap amal baiknya tidak akan sia-sia, melainkan akan dibalas dengan ganjaran yang jauh lebih besar dan abadi di sisi-Nya. Tanpa keyakinan ini, motivasi untuk berkorban dan bertakwa akan sangat lemah, karena manusia cenderung mencari keuntungan yang instan dan terlihat. Jadi, tiga sifat ini—memberi, bertakwa, dan membenarkan janji Allah—adalah pilar-pilar utama bagi jalan kebaikan, membentuk integritas spiritual yang kokoh.
فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ
Fasanuyassiruhu Lil-Yusrá
Maka kelak Kami akan memudahkan baginya jalan kemudahan (kesenangan).
Inilah janji Allah bagi golongan pertama: "Maka kelak Kami akan memudahkan baginya jalan kemudahan (kesenangan)." Ini adalah balasan langsung dari tiga sifat sebelumnya. Allah akan mempermudah segala urusannya, baik di dunia maupun di akhirat. "Jalan kemudahan" (`al-yusrá`) bisa berarti dimudahkannya melakukan amal saleh, dimudahkan rezekinya, dimudahkan dalam menghadapi cobaan, dan pada akhirnya dimudahkan jalannya menuju surga. Ini menunjukkan bahwa ketaatan kepada Allah dan berbuat kebaikan bukanlah beban, melainkan justru kunci menuju kemudahan dan kebahagiaan sejati. Orang yang memilih jalan takwa dan memberi akan merasakan ketenangan hati, keberkahan hidup, dan kebahagiaan sejati yang tidak bisa diukur dengan materi. Ayat ini memberikan harapan dan motivasi besar bagi setiap mukmin untuk terus berpegang pada jalan kebaikan, karena janji Allah adalah pasti dan tidak akan pernah diingkari. Kemudahan ini adalah hasil dari ketaatan, bukan berarti terbebas dari ujian, melainkan dimampukan untuk menghadapinya dengan tawakal dan kesabaran.
وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَىٰ
Wa 'Ammā Man Bakhila Wa Astaghná
Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak memerlukan pertolongan Allah),
Setelah menjelaskan golongan pertama, Allah SWT beralih pada golongan kedua, yaitu mereka yang menempuh jalan keburukan. Sifat pertama yang disebutkan adalah "kikir" (`bakhila`). Kekikiran adalah sifat tercela yang menghalangi seseorang untuk berbagi harta atau kemampuannya dengan orang lain, meskipun ia mampu. Ini menunjukkan egoisme dan cinta dunia yang berlebihan, yang menguasai hati dan menghalangi kebaikan. Sifat kedua adalah "merasa dirinya cukup (tidak memerlukan pertolongan Allah)" (`astaghná`). Ini adalah manifestasi dari kesombongan dan keengganan untuk mengakui ketergantungan pada Allah. Orang yang merasa kaya, berkuasa, atau memiliki segalanya seringkali merasa tidak membutuhkan Allah atau bantuan dari sesama. Perasaan cukup ini menutup hati mereka dari menerima petunjuk dan berbuat kebaikan, karena mereka merasa superior dan mandiri. Kekikiran dan kesombongan ini adalah akar dari banyak keburukan lainnya, yang pada akhirnya menjauhkan mereka dari rahmat Allah dan menempatkan mereka pada jalur kehancuran diri sendiri.
وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَىٰ
Wa Kadhab Bil-Ĥusná
Serta mendustakan adanya pahala yang terbaik,
Sifat ketiga dari golongan orang yang celaka adalah "mendustakan adanya pahala yang terbaik". Mereka tidak percaya pada hari kiamat, surga, neraka, atau janji-janji Allah SWT tentang balasan bagi amal perbuatan. Ketidakpercayaan ini adalah konsekuensi logis dari kekikiran dan kesombongan mereka. Jika seseorang tidak percaya pada balasan akhirat, maka tidak ada motivasi baginya untuk memberi atau bertakwa, karena ia tidak melihat nilai jangka panjang dari amal tersebut. Baginya, kehidupan hanya terbatas pada dunia ini, dan kebahagiaan hanya diukur dari harta dan kekuasaan yang dimilikinya. Mendustakan `al-husna` adalah penolakan terhadap kebenaran mutlak yang datang dari Allah. Ini menunjukkan kekufuran dan kegelapan hati yang mendalam, yang akan membawa mereka pada jalan kesesatan. Jadi, tiga sifat ini—kikir, merasa cukup tanpa Allah, dan mendustakan janji Allah—adalah ciri-ciri utama bagi jalan keburukan, yang saling terkait dan memperkuat satu sama lain dalam menjauhkan seseorang dari hidayah.
فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ
Fasanuyassiruhu Lil-`Usrá
Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar (kesengsaraan).
Sebagai balasan atas sifat-sifat buruk di atas, Allah SWT berfirman: "Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar (kesengsaraan)." Ini adalah kebalikan dari janji kepada golongan pertama. Allah akan mempersulit segala urusan mereka, baik di dunia maupun di akhirat. "Jalan yang sukar" (`al-`usrá`) berarti mereka akan kesulitan dalam hidup, terhalang dari hidayah, sulit melakukan amal kebaikan, dan pada akhirnya akan menghadapi kesulitan besar di hari kiamat dan dimasukkan ke dalam neraka. Ini adalah peringatan keras bahwa kekikiran, kesombongan, dan pendustaan terhadap kebenaran tidak akan membawa kebahagiaan, melainkan hanya kesengsaraan dan penyesalan. Jalan yang mereka pilih sendiri akan menjadi jalan yang penuh duri dan kesukaran, karena mereka telah memilih untuk menolak petunjuk dan rahmat Allah. Allah tidak menzalimi mereka, tetapi mereka sendiri yang menzalimi diri mereka dengan pilihan-pilihan yang salah, sehingga konsekuensi yang mereka terima adalah adil.
وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّىٰ
Wa Mā Yughnī `Anhu Māluhu 'Idhā Taraddá
Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah jatuh ke dalam neraka.
Ayat ini menegaskan bahwa segala harta yang dikumpulkan dengan kekikiran dan kesombongan tidak akan sedikit pun memberikan manfaat ketika seseorang menghadapi azab Allah di akhirat. "Apabila ia telah jatuh ke dalam neraka" menunjukkan keadaan putus asa dan penyesalan yang mendalam, di mana tidak ada lagi jalan kembali atau kesempatan untuk memperbaiki. Harta yang selama ini dibanggakan dan menjadi sumber kesombongan akan menjadi sia-sia dan tidak mampu menyelamatkannya dari siksa api neraka. Ayat ini mengingatkan kita tentang hakikat harta benda yang fana dan tidak kekal. Hanya harta yang digunakan di jalan Allah, yang didasari ketakwaan, yang akan menjadi bekal di akhirat. Bagi orang yang kikir, hartanya hanya akan menjadi beban, sumber hisab yang berat, dan saksi atas dosa-dosanya di hari kiamat. Ini adalah peringatan keras agar manusia tidak terperdaya oleh gemerlap dunia dan melupakan tujuan akhir dari penciptaan.
إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَىٰ
Inna `Alaynā Lal-Hudá
Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk.
Ayat ini adalah penegasan dari Allah SWT bahwa tugas-Nya adalah menunjukkan jalan yang benar (petunjuk). Allah telah memberikan akal, fitrah, dan menurunkan kitab-kitab serta mengutus para nabi dan rasul untuk membimbing manusia kepada kebenaran. Pilihan untuk mengikuti petunjuk atau menolaknya diserahkan kepada manusia sebagai ujian. Allah tidak memaksa, tetapi Dia telah menyediakan segala sarana dan informasi agar manusia dapat menemukan jalan yang lurus. Ayat ini juga menunjukkan kemaharahiman Allah, bahwa Dia tidak akan membiarkan manusia dalam kegelapan tanpa petunjuk yang jelas. Adanya dua jalan yang dijelaskan sebelumnya (kemudahan dan kesukaran) adalah bagian dari petunjuk ini, agar manusia mengetahui konsekuensi dari setiap pilihan mereka. Ini menekankan bahwa petunjuk adalah hak Allah untuk diberikan, dan Dia telah menunaikannya; terserah manusia untuk memilih menerimanya atau tidak.
وَإِنَّ لَنَا لَلْآخِرَةَ وَالْأُولَىٰ
Wa 'Inna Lanā Lal-'Ākhirata Wa Al-'Ūlá
Dan sesungguhnya kepunyaan Kamilah akhirat dan dunia.
Ayat ini menegaskan kekuasaan mutlak Allah SWT atas segala sesuatu, baik di dunia ini (`al-ūlá`) maupun di akhirat (`al-ākhirah`). Artinya, Dialah yang memiliki, menguasai, dan mengatur seluruh alam semesta beserta isinya, dari awal hingga akhir. Tidak ada satu pun makhluk yang dapat mengklaim kepemilikan mutlak atas sesuatu. Penegasan ini sangat penting karena mengingatkan manusia bahwa segala kekayaan, kekuasaan, dan kenikmatan di dunia hanyalah pinjaman dari Allah, bersifat sementara, dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Begitu pula, balasan di akhirat sepenuhnya berada di tangan-Nya. Dengan demikian, manusia tidak sepatutnya sombong dengan apa yang mereka miliki di dunia, karena semuanya akan kembali kepada pemilik asalnya. Ini juga menjadi motivasi bagi orang-orang beriman untuk beramal saleh, karena mereka tahu bahwa Allah-lah yang akan membalas amal mereka di kedua alam tersebut, dan balasan-Nya adalah yang paling adil dan kekal.
فَأَنذَرْتُكُمْ نَارًا تَلَظَّىٰ
Fa 'Andhartukum Nārāan Tālažžá
Maka Aku memperingatkan kamu dengan api yang menyala-nyala (neraka),
Setelah menjelaskan dua jalan dan kepemilikan-Nya atas dunia dan akhirat, Allah SWT memberikan peringatan keras. "Maka Aku memperingatkan kamu dengan api yang menyala-nyala (neraka)." Ini adalah peringatan akan azab neraka yang sangat dahsyat bagi mereka yang memilih jalan kesukaran, yaitu orang-orang yang kikir, sombong, dan mendustakan kebenaran. Kata "talažžá" (menyala-nyala) menggambarkan intensitas api neraka yang membakar dengan sangat dahsyat, panasnya yang luar biasa, dan nyalanya yang tidak pernah padam. Peringatan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa takut kepada Allah dan mendorong manusia untuk segera bertaubat dan kembali ke jalan yang lurus sebelum terlambat. Ini adalah salah satu bentuk kasih sayang Allah agar manusia terhindar dari siksa-Nya, karena Dia tidak ingin ada hamba-Nya yang celaka. Peringatan ini bersifat universal, disampaikan kepada seluruh umat manusia.
لَا يَصْلَاهَا إِلَّا الْأَشْقَى
Lā Yaşlāhā 'Illā Al-'Ashqá
Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka,
Ayat ini menjelaskan siapa saja yang akan merasakan pedihnya api neraka: "Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka." Siapakah "orang yang paling celaka" (`al-ashqá`) ini? Ayat selanjutnya akan memberikan penjelasannya. Secara umum, `al-ashqá` adalah orang yang berpaling dari kebenaran setelah petunjuk datang kepadanya, orang yang memilih jalan kesesatan secara sadar, dan orang yang senantiasa berbuat kerusakan serta menentang perintah Allah. Ini merujuk pada mereka yang telah memiliki ciri-ciri seperti yang disebutkan di ayat 8 dan 9, yaitu kikir, merasa cukup tanpa Allah, dan mendustakan janji-Nya. Mereka adalah orang-orang yang mencapai puncak keburukan dalam diri mereka, yang telah diberikan kesempatan berulang kali untuk bertaubat tetapi tetap memilih kesesatan. Ungkapan "yang paling celaka" menunjukkan bahwa mereka adalah individu yang benar-benar telah menutup hati dari hidayah, sehingga tidak ada lagi harapan bagi mereka.
الَّذِي كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ
Al-Ladhī Kadhab Wa Tawallá
Yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman).
Ayat ini memperjelas identitas "orang yang paling celaka" yang disebutkan di ayat sebelumnya. Mereka adalah orang "yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman)". Mendustakan kebenaran berarti menolak ajaran Allah SWT, baik itu Al-Quran, kenabian, hari kiamat, maupun perintah dan larangan-Nya, padahal bukti-bukti kebenarannya telah nyata. Ini adalah tindakan ingkar dan tidak percaya yang disengaja. Sedangkan "berpaling (dari iman)" berarti menolak untuk menerima petunjuk, enggan untuk beramal saleh, dan terus-menerus mengikuti hawa nafsunya serta kesenangan duniawi. Mereka tidak hanya tidak percaya, tetapi juga tidak mau berinteraksi dengan kebenaran tersebut, bahkan menjauhinya. Sifat mendustakan dan berpaling ini menunjukkan puncak dari kesesatan dan menjadi penyebab utama bagi mereka untuk menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala. Ini adalah cerminan dari hati yang telah mengeras, yang menolak kebaikan dan memilih jalan keburukan secara sadar dan persisten.
وَسَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى
Wa Sayujannabuhā Al-'Atqá
Dan akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa,
Setelah ancaman bagi yang celaka, Allah SWT memberikan kabar gembira bagi golongan yang berlawanan: "Dan akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa." Orang yang paling bertakwa (`al-atqá`) adalah mereka yang mencapai tingkat tertinggi dalam takwa, yang dengan sungguh-sungguh melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, dengan harapan akan balasan baik dari-Nya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki ciri-ciri seperti yang disebutkan di ayat 5 dan 6, yaitu memberi dengan ikhlas, selalu merasa diawasi Allah, dan membenarkan janji Allah akan hari pembalasan dan surga. Ayat ini menegaskan bahwa ketakwaan adalah perisai dari api neraka. Semakin tinggi tingkat ketakwaan seseorang, semakin jauh ia dari siksa api neraka dan semakin dekat ia dengan rahmat Allah dan surga-Nya. Ini adalah hadiah dari Allah bagi mereka yang telah berjuang di jalan-Nya, sebuah jaminan keselamatan dari azab yang pedih.
الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّىٰ
Al-Ladhī Yu'utī Mālahu Yatazakká
Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan dirinya,
Ayat ini menjelaskan lebih lanjut tentang karakteristik "orang yang paling bertakwa" tersebut. Mereka adalah orang "yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan dirinya." 'Yatazakká' berarti membersihkan diri atau menyucikan diri. Ini menunjukkan bahwa tujuan mereka memberi bukanlah untuk pamer, mencari pujian dari manusia, atau mendapatkan keuntungan duniawi yang instan, melainkan semata-mata untuk membersihkan jiwa mereka dari sifat-sifat tercela seperti kekikiran, cinta dunia yang berlebihan, dan kesombongan. Memberi di jalan Allah dengan niat yang tulus adalah sarana untuk menyucikan harta dan jiwa, meningkatkan ketakwaan, dan mendekatkan diri kepada Allah. Ini adalah investasi spiritual yang nilainya jauh melampaui segala harta duniawi, karena ia menghasilkan pahala yang kekal dan keridaan Ilahi. Ini juga menunjukkan bahwa zakat dan infak bukan hanya kewajiban finansial, tetapi juga proses spiritual untuk pemurnian diri.
وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُ مِن نِّعْمَةٍ تُجْزَىٰ
Wa Mā Li'aĥadin `Indahu Min Ni`matin Tujzá
Padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya,
Ayat ini menekankan keikhlasan luar biasa dari orang yang paling bertakwa dalam berinfak. Mereka tidak memberi karena ada "nikmat yang harus dibalas" atau karena mengharapkan imbalan dari manusia. Ini mengindikasikan bahwa perbuatan baik mereka tidak didasari oleh rasa berhutang budi, kewajiban sosial yang memaksa, atau keinginan untuk membalas kebaikan seseorang yang pernah berbuat baik kepadanya. Mereka memberi murni karena Allah, tanpa pamrih kepada manusia. Ini adalah tingkat keikhlasan yang sangat tinggi, di mana motivasi tunggal adalah mencari keridaan Allah semata. Hal ini membedakan mereka dari orang yang memberi karena kepentingan pribadi, politik, sosial, atau untuk mendapatkan sanjungan. Ini adalah ciri khas dari hamba Allah yang sejati, yang memahami bahwa segala pemberiannya adalah untuk Tuhannya, bukan untuk makhluk.
إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَىٰ
Illā Abtighā'a Wajhi Rabbihī Al-'A`lá
Melainkan hanyalah mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi.
Ayat ini adalah penegas tujuan hakiki dari amal kebaikan orang yang paling bertakwa. Mereka melakukan segala sesuatu, termasuk menafkahkan harta, "melainkan hanyalah mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi." Inilah esensi dari `ihsan` (berbuat baik seolah melihat Allah, atau jika tidak bisa, yakin bahwa Allah melihat kita) dan `ikhlas` (kemurnian niat). Seluruh amal perbuatan mereka didasari oleh keinginan untuk mendapatkan perhatian, cinta, dan keridaan dari Allah SWT, satu-satunya zat yang Mahatinggi dan Mahakuasa, yang tidak ada tandingannya. Ayat ini mengajarkan kita tentang pentingnya niat dalam setiap perbuatan, bahwa amal tanpa keikhlasan tidak akan diterima di sisi Allah, seberapa pun besar atau banyaknya amal tersebut. Niat yang tulus mencari wajah Allah adalah kunci untuk membuka pintu keberkahan dan kebahagiaan abadi, karena hanya Dia-lah yang mampu memberikan balasan yang tak terhingga dan kekal.
وَلَسَوْF يَزْدَادُ
Wa Lasawfa Yarđá
Dan kelak dia benar-benar akan puas.
Ayat terakhir Surah Al-Lail ini adalah janji agung dari Allah SWT bagi orang-orang yang paling bertakwa dan ikhlas dalam beramal. "Dan kelak dia benar-benar akan puas." Kepuasan di sini bukan hanya kepuasan duniawi yang sementara, melainkan kepuasan abadi di akhirat, di surga, di mana mereka akan mendapatkan segala kenikmatan yang tidak pernah terbayangkan, serta keridaan dari Allah yang merupakan puncak dari segala kenikmatan. Kata "lasawfa" (pasti kelak) menegaskan janji yang pasti akan terpenuhi, tanpa keraguan sedikit pun. Ini adalah puncak kebahagiaan dan keberuntungan: mencapai keridaan Allah dan mendapatkan balasan yang akan membuat jiwa benar-benar puas, bahagia, dan tidak menginginkan apa pun lagi. Janji ini menjadi motivasi terbesar bagi setiap Muslim untuk menempuh jalan takwa dan kebaikan, dengan penuh keyakinan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan sedikit pun amal mereka, bahkan sekecil zarah. Kepuasan ini adalah manifestasi dari janji Allah untuk memudahkan jalan bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa.
Surah Al-Lail, meskipun pendek, mengandung pesan-pesan yang sangat dalam dan relevan untuk kehidupan sehari-hari umat manusia. Beberapa pelajaran kunci yang dapat kita petik adalah:
Surah ini secara eksplisit menggambarkan dua jalan yang sangat berbeda: jalan kemudahan (bagi orang yang bertakwa dan memberi) dan jalan kesukaran (bagi orang yang kikir dan mendustakan kebenaran). Ini menegaskan bahwa hidup adalah serangkaian pilihan yang harus diambil setiap individu. Setiap tindakan, setiap niat, dan setiap sikap kita akan mengarahkan kita pada salah satu dari dua jalan ini. Tidak ada jalan tengah yang ambigu atau netral; setiap manusia pada akhirnya akan memilih salah satu. Allah telah menjelaskan dengan gamblang konsekuensi dari setiap pilihan, sehingga manusia tidak memiliki alasan untuk berdalih di hari kiamat. Pemahaman ini menumbuhkan kesadaran akan tanggung jawab pribadi atas nasib di akhirat dan mendorong untuk membuat pilihan yang bijak sejak di dunia.
Salah satu sifat utama yang membedakan orang yang beruntung adalah kemauan untuk "memberikan (hartanya di jalan Allah)". Islam sangat menekankan pentingnya berinfak, zakat, dan sedekah. Ini bukan hanya kewajiban sosial untuk membantu sesama, tetapi juga sarana untuk membersihkan diri dari kekotoran jiwa, mengurangi kecintaan pada dunia yang berlebihan, dan meningkatkan ketakwaan kepada Allah. Kekikiran, sebaliknya, adalah sifat yang sangat dicela dan menjadi salah satu penyebab utama kesengsaraan, karena ia mengikat hati pada materi dan menghalangi rahmat Allah. Surah ini mengajarkan bahwa memberi bukan mengurangi harta, melainkan membersihkannya dan melipatgandakan berkahnya.
Surah ini mengaitkan ketakwaan dengan keikhlasan dalam beramal dan keyakinan pada janji Allah. Takwa bukanlah sekadar ritual ibadah, melainkan sebuah kondisi hati yang memotivasi seluruh tindakan seseorang, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Orang yang bertakwa sejati tidak hanya menjauhi larangan Allah, tetapi juga proaktif dalam berbuat kebaikan, dengan keyakinan penuh akan balasan dari-Nya. Mereka melihat harta bukan sebagai tujuan, melainkan sebagai sarana untuk mencapai keridaan Allah. Takwa adalah perisai yang melindungi dari keburukan dan pendorong untuk selalu mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dalam segala keadaan.
Sifat "membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga)" dan "mendustakan adanya pahala yang terbaik" adalah pembeda krusial antara dua golongan. Keyakinan pada hari akhir dan adanya balasan (surga dan neraka) adalah fondasi moralitas dan motivasi spiritual dalam Islam. Tanpa keyakinan ini, banyak orang akan cenderung mengutamakan keuntungan duniawi semata, bahkan jika harus mengorbankan nilai-nilai moral dan spiritual. Kehidupan di dunia akan terasa tanpa tujuan dan tidak ada pertanggungjawaban. Keyakinan pada akhirat memberikan perspektif jangka panjang dan motivasi abadi untuk beramal saleh.
Ayat 19 dan 20 secara eksplisit mengajarkan bahwa motivasi di balik pemberian harta (atau amal kebaikan lainnya) sangat penting. Memberi tanpa mengharapkan balasan dari manusia, melainkan semata-mata "mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi", adalah puncak dari keikhlasan. Amal yang tidak didasari keikhlasan, meskipun terlihat baik di mata manusia dan mendatangkan pujian, mungkin tidak bernilai di sisi Allah. Ini adalah pengingat bahwa Allah melihat apa yang ada di dalam hati, bukan hanya tindakan lahiriah. Keikhlasan adalah ruh dari setiap ibadah dan perbuatan baik.
Janji Allah bahwa Dia akan "memudahkan baginya jalan kemudahan" adalah kabar gembira dan motivasi besar. Ini bukan berarti hidup tanpa cobaan, melainkan bahwa Allah akan meringankan beban, memberikan petunjuk dalam kesulitan, dan membukakan pintu-pintu kebaikan bagi mereka yang memilih jalan takwa. Sebaliknya, orang yang memilih jalan kesukaran akan menghadapi kesulitan demi kesulitan, baik di dunia maupun di akhirat. Ini adalah hukum kausalitas ilahi yang adil, di mana setiap pilihan memiliki konsekuensi yang tak terhindarkan. Pemahaman ini memperkuat urgensi untuk senantiasa berada di jalan kebenaran.
Surah Al-Lail, seperti surah-surah pendek Makkiyah lainnya, memiliki tempat yang penting dalam struktur dan pesan Al-Quran. Surah-surah ini seringkali datang untuk membangun pondasi keimanan dan akhlak bagi para sahabat di awal kenabian, ketika kaum Muslimin masih minoritas dan menghadapi tantangan berat dari kaum Quraisy. Surah ini datang setelah Surah Asy-Syams dan sebelum Surah Ad-Dhuha. Ada kesinambungan tema yang menarik antara ketiga surah ini yang memperkaya pemahaman kita tentang pesan-pesan fundamental Al-Quran.
Kesinambungan ini menunjukkan pola penekanan pada dualitas alam (siang-malam) sebagai cerminan dualitas pilihan dan takdir manusia (baik-buruk, beruntung-celaka), serta pentingnya penyucian jiwa dan berbuat baik kepada sesama. Surah Al-Lail secara khusus memberikan kerangka jelas tentang bagaimana amal perbuatan (memberi, bertakwa, membenarkan) dan sifat-sifat jiwa (kikir, sombong, mendustakan) menentukan arah hidup dan balasan akhirat seseorang. Ini adalah pesan fundamental yang menjadi inti ajaran Islam: setiap individu bertanggung jawab atas pilihannya dan akan memetik hasilnya. Pesan-pesan ini saling melengkapi, membentuk pemahaman holistik tentang bagaimana seorang Muslim seharusnya menjalani kehidupannya.
Meskipun Surah Al-Lail diturunkan lebih dari seribu empat ratus tahun yang lalu, pesan-pesannya tetap sangat relevan dan mendesak dalam kehidupan modern yang kompleks ini. Di tengah hiruk pikuk dunia yang materialistis, surah ini menawarkan kompas moral yang jelas:
Surah Al-Lail dimulai dengan sumpah atas malam, dan ini bukanlah tanpa makna yang mendalam. Malam dalam tradisi Islam memiliki peran spiritual yang sangat istimewa. Ini adalah waktu di mana dunia beristirahat, kebisingan mereda, dan kesempatan untuk berdialog dengan Sang Pencipta menjadi lebih intim, tenang, dan mendalam. Suasana hening malam memberikan kesempatan bagi jiwa untuk fokus dan merenung tanpa gangguan. Beberapa contoh peran malam dalam ibadah dan kontemplasi:
Dengan demikian, sumpah Allah dengan malam di awal surah Al-Lail tidak hanya sebagai penarik perhatian, tetapi juga sebagai isyarat akan pentingnya memanfaatkan waktu malam untuk introspeksi, penyucian diri, dan berinteraksi dengan Allah, yang pada akhirnya akan membimbing manusia menuju jalan kemudahan dan kebahagiaan abadi. Malam adalah karunia yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk meningkatkan kualitas diri dan kedekatan dengan Sang Pencipta.
Surah Al-Lail secara tidak langsung membandingkan dua jenis 'kekayaan' yang seringkali menjadi fokus manusia: kekayaan material yang disimpan dan kekayaan spiritual yang dibagikan. Orang yang kikir (ayat 8) terobsesi dengan menimbun harta, merasa cukup dengan kekayaan duniawinya, dan mendustakan balasan akhirat. Bagi mereka, harta adalah tujuan akhir, sumber kebanggaan dan keamanan, dan mereka merasa aman dengan jumlah yang mereka miliki. Namun, Allah menegaskan bahwa harta ini "tidak bermanfaat baginya apabila ia telah jatuh ke dalam neraka" (ayat 11), menunjukkan kefanaan dan ketidakberdayaan materi di hadapan azab Ilahi.
Sebaliknya, orang yang paling bertakwa (ayat 17-20) adalah mereka yang menafkahkan hartanya untuk membersihkan diri, bukan karena mengharapkan balasan dari manusia, melainkan semata-mata mencari keridaan Allah. Bagi mereka, harta adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, untuk menyucikan jiwa, dan untuk menanam investasi di akhirat yang akan kekal. Kekayaan sejati bagi mereka adalah ketakwaan, keikhlasan, dan keridaan Allah. Dengan membagikan hartanya, mereka justru merasa "puas" (ayat 21) karena mengetahui bahwa mereka telah menunaikan hak Allah dan sesama, serta menabung untuk kebahagiaan abadi. Mereka memahami bahwa keberkahan harta terletak pada kemampuannya untuk memberi manfaat, bukan hanya pada jumlahnya.
Pelajaran penting di sini adalah bahwa perspektif terhadap harta menentukan nilai seseorang. Apakah kita memandang harta sebagai sumber kekuasaan dan kebanggaan pribadi semata, atau sebagai amanah dari Allah yang harus digunakan di jalan-Nya untuk kebaikan dan kemaslahatan? Surah Al-Lail dengan tegas memilih opsi kedua, menunjukkan bahwa kekayaan spiritual yang diwujudkan melalui kemurahan hati dan keikhlasan jauh lebih berharga, abadi, dan membawa kebahagiaan sejati daripada kekayaan material yang fana dan sementara.
Ajaran tentang memberi dalam Surah Al-Lail adalah panggilan untuk setiap Muslim agar menumbuhkan sifat kemurahan hati, sebuah pilar penting dalam Islam. Infak dan sedekah bukan hanya tentang memberi uang atau harta, tetapi juga tentang berbagi waktu, tenaga, ilmu, keahlian, atau bahkan senyuman dan kata-kata baik. Ini adalah manifestasi dari kepedulian dan cinta terhadap sesama. Berikut adalah beberapa cara untuk menumbuhkan sifat memberi yang dicontohkan dalam surah ini dan dalam ajaran Islam secara umum:
Dengan mempraktikkan hal-hal ini, kita dapat meneladani sifat orang yang paling bertakwa, yang dengan ikhlas menafkahkan hartanya untuk membersihkan diri dan mencari keridaan Allah, sehingga kita pun dimudahkan jalannya menuju kebahagiaan sejati, baik di dunia maupun di akhirat.
Sebaliknya, Surah Al-Lail memberikan peringatan keras tentang konsekuensi dari mendustakan kebenaran dan kesombongan yang terwujud dalam sifat kikir. Dua sifat ini adalah penyakit hati yang serius dan dapat membawa seseorang pada kehancuran.
Mendustakan kebenaran (ayat 9 dan 16) adalah menolak ayat-ayat Allah, ajaran Nabi Muhammad ﷺ, dan segala sesuatu yang Allah turunkan sebagai petunjuk, padahal bukti-bukti kebenarannya telah nyata dan jelas. Ini adalah bentuk kekufuran dan keengganan untuk menerima hidayah, bukan karena tidak mampu memahami, tetapi karena kesombongan atau hawa nafsu. Konsekuensinya adalah dijauhkannya seseorang dari rahmat Allah, ditutupnya pintu hidayah baginya, dan dijebloskannya ke dalam api neraka yang menyala-nyala, di mana ia akan merasakan siksa yang pedih dan abadi. Pendustaan ini bukan hanya verbal, tetapi juga tercermin dalam tindakan dan perilaku yang menentang kebenaran.
Kesombongan yang tercermin dalam "merasa dirinya cukup (tidak memerlukan pertolongan Allah)" (ayat 8) adalah sikap mental yang sangat berbahaya. Orang yang sombong merasa bahwa keberhasilan, kekayaan, atau kekuatan yang dimilikinya adalah murni hasil usahanya sendiri, tanpa campur tangan dan karunia dari Allah. Mereka tidak merasa perlu bersyukur, apalagi berbagi. Sikap ini menutup pintu hati mereka dari petunjuk dan kasih sayang Allah, karena mereka menganggap diri lebih tinggi dan tidak membutuhkan siapa pun. Akibatnya, mereka akan disiapkan untuk "jalan yang sukar (kesengsaraan)" (ayat 10), di mana hidup mereka akan dipenuhi dengan kesulitan, kesempitan, dan pada akhirnya, azab di akhirat. Kesombongan menghalangi mereka untuk melihat kebenaran dan mengakui kelemahan diri.
Pelajaran yang bisa diambil adalah pentingnya kerendahan hati (`tawadhu'`) dan selalu mengakui kekuasaan Allah dalam setiap aspek kehidupan. Meskipun kita memiliki kemampuan, harta, atau kedudukan, semuanya berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Mendustakan kebenaran dan kesombongan adalah jalan menuju kehancuran diri sendiri, baik di dunia maupun di akhirat, karena ia memutuskan hubungan dengan Sang Pencipta dan menjauhkan dari segala kebaikan.
Surah Al-Lail adalah surah yang penuh dengan harapan bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa, sekaligus peringatan tegas bagi mereka yang ingkar dan durhaka. Ia menggambarkan peta jalan yang jelas menuju kebahagiaan abadi atau kesengsaraan yang tiada akhir, memberikan pilihan yang gamblang kepada setiap individu.
Di satu sisi, Allah menjanjikan kemudahan dan kepuasan (`yarḍá`) yang hakiki dan kekal bagi mereka yang mengutamakan Allah dalam segala hal, memberi dengan ikhlas, dan berpegang teguh pada ketakwaan. Ini adalah janji yang menghibur dan memotivasi, bahwa setiap kebaikan, sekecil apapun, akan diperhitungkan dan dibalas dengan yang terbaik dari sisi-Nya. Ini menunjukkan kemurahan Allah yang tak terbatas kepada hamba-hamba-Nya yang saleh, yang memilih jalan petunjuk dan ketaatan.
Di sisi lain, surah ini memperingatkan akan api neraka yang menyala-nyala bagi mereka yang kikir, sombong, dan mendustakan kebenaran. Ini adalah seruan untuk berhati-hati, untuk merenungkan setiap pilihan, dan untuk tidak menunda-nunda bertaubat dan kembali ke jalan yang lurus. Karena pada akhirnya, harta dan kekuasaan dunia tidak akan mampu menyelamatkan seseorang dari azab Allah, melainkan hanya amal dan keikhlasan yang akan menjadi penolong. Peringatan ini adalah bentuk kasih sayang Allah agar manusia sadar dan kembali kepada-Nya sebelum terlambat.
Dengan merenungkan Surah Al-Lail secara mendalam, kita diharapkan dapat semakin memahami hakikat kehidupan, peran kita sebagai hamba Allah, dan pentingnya memilih jalan kebaikan dengan penuh keikhlasan. Semoga kita semua termasuk golongan yang dimudahkan jalannya menuju surga dan mendapatkan keridaan Allah Yang Mahatinggi, serta dijauhkan dari jalan kesukaran dan kesengsaraan.