Surah Al-Lahab, atau juga dikenal sebagai Surah Al-Masad, adalah salah satu surah terpendek dalam Al-Qur'an, terdiri dari lima ayat. Meskipun singkat, pesan yang terkandung di dalamnya sangatlah padat dan memiliki signifikansi historis serta spiritual yang mendalam. Surah ini diturunkan di Makkah, pada periode awal dakwah Nabi Muhammad ﷺ, dan secara spesifik ditujukan kepada Abu Lahab, paman Nabi sendiri, serta istrinya, Umm Jamil. Nama "Al-Lahab" sendiri berarti "nyala api" atau "gejolak api," yang secara metaforis merujuk pada takdir Abu Lahab di akhirat dan juga secara harfiah adalah bagian dari namanya.
Keunikan Surah Al-Lahab terletak pada fakta bahwa ia secara langsung menyebutkan nama seorang individu yang merupakan kerabat dekat Nabi Muhammad ﷺ, serta mengutuk perbuatannya dan memprediksi azab yang akan menimpanya di dunia dan akhirat. Ini adalah salah satu dari sedikit surah dalam Al-Qur'an yang secara eksplisit menyebut nama seseorang, menunjukkan betapa seriusnya perlawanan dan permusuhan yang ditunjukkan oleh Abu Lahab terhadap Nabi dan ajaran Islam.
Penting untuk memahami konteks penurunan surah ini, yang dikenal sebagai "Asbabun Nuzul," untuk menangkap sepenuhnya makna dan implikasinya. Surah ini bukan sekadar kutukan pribadi, melainkan sebuah pelajaran universal tentang konsekuensi membangkang kebenaran, menentang risalah ilahi, dan menyakiti pembawa risalah tersebut, bahkan jika yang menentang itu adalah kerabat terdekat. Ia juga merupakan bukti kenabian Muhammad ﷺ, karena prediksinya terbukti benar selama masa hidup Abu Lahab.
Untuk memahami Surah Al-Lahab secara komprehensif, kita harus menelusuri kisah di balik penurunannya. Asbabun Nuzul surah ini sangat terkenal dan dicatat dalam banyak riwayat hadis serta kitab tafsir. Kisah ini berawal dari awal periode dakwah Nabi Muhammad ﷺ di Makkah, ketika beliau diperintahkan oleh Allah untuk memulai dakwah secara terang-terangan setelah periode dakwah sembunyi-sembunyi.
Ketika wahyu turun kepada Nabi Muhammad ﷺ yang memerintahkannya untuk menyampaikan peringatan kepada kaum kerabatnya yang terdekat dan secara terbuka mengumumkan risalahnya kepada seluruh masyarakat Quraisy, beliau memutuskan untuk melaksanakan perintah tersebut dengan cara yang lazim pada masa itu. Ayat yang dimaksud adalah Surah Asy-Syu'ara ayat 214: "Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat."
Nabi Muhammad ﷺ naik ke bukit Safa, salah satu bukit dekat Ka'bah di Makkah, dan mulai berseru memanggil kabilah-kabilah Quraisy. Beliau memanggil mereka satu per satu: "Wahai Bani Fihr! Wahai Bani 'Adiy!" dan seterusnya, hingga seluruh kabilah Quraisy berkumpul di sekelilingnya. Ketika mereka semua telah berkumpul, termasuk pamannya, Abu Lahab, Nabi Muhammad ﷺ memulai pesannya dengan sebuah pertanyaan retoris:
"Bagaimana pendapat kalian, seandainya aku memberitahu kalian bahwa ada sekelompok penunggang kuda di balik bukit ini yang akan menyerang kalian, apakah kalian akan memercayaiku?"
Para hadirin menjawab serempak, "Ya, kami belum pernah mendengar darimu kecuali kebenaran." Mereka mengenal Nabi Muhammad ﷺ sebagai Al-Amin (yang dapat dipercaya) jauh sebelum kenabiannya.
Setelah mendapatkan pengakuan atas kejujurannya, Nabi ﷺ kemudian menyatakan inti dari panggilannya:
"Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan bagi kalian akan datangnya azab yang pedih."
Nabi Muhammad ﷺ menjelaskan bahwa beliau diutus oleh Allah untuk memperingatkan mereka tentang Hari Kiamat dan azab neraka jika mereka tidak beriman kepada Allah Yang Esa dan meninggalkan penyembahan berhala.
Pada saat itulah, muncullah reaksi yang sangat keras dan tidak terduga dari salah satu hadirin, yang tak lain adalah paman Nabi sendiri, Abu Lahab. Nama lengkapnya adalah Abd al-Uzza ibn Abd al-Muttalib, dan ia adalah paman Nabi dari pihak ayah. Namun, karena wajahnya yang kemerahan seperti bara api yang menyala, ia dijuluki "Abu Lahab" (Bapak Api). Ia adalah sosok yang memiliki kedudukan dan pengaruh di kalangan Quraisy.
Mendengar pernyataan Nabi Muhammad ﷺ, Abu Lahab tidak hanya menolak, tetapi juga menunjukkan permusuhan yang ekstrem dan mencolok. Dia dengan lantang berteriak di hadapan khalayak ramai:
"Celakalah engkau! Untuk inikah engkau mengumpulkan kami?"
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ia berkata: "Semoga binasa kamu (Muhammad)! Celakalah kamu! Apakah karena ini kamu mengumpulkan kami?" Dalam riwayat Imam Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa ia mengambil batu untuk melempari Nabi ﷺ.
Tindakan Abu Lahab ini bukan hanya sekadar penolakan, tetapi juga penghinaan dan pembangkangan terang-terangan terhadap Nabi ﷺ di hadapan seluruh kabilah Quraisy. Ini adalah sebuah upaya untuk merusak kredibilitas Nabi dan menggagalkan dakwahnya sejak awal. Ironisnya, Abu Lahab adalah paman Nabi, dan dalam budaya Arab, dukungan keluarga sangatlah penting. Namun, Abu Lahab memilih jalan permusuhan.
Permusuhan terhadap Nabi Muhammad ﷺ tidak hanya datang dari Abu Lahab, tetapi juga dari istrinya, yang bernama Arwa binti Harb ibn Umayyah, yang lebih dikenal dengan julukan Umm Jamil. Ia adalah saudara perempuan Abu Sufyan, salah satu pemimpin Quraisy lainnya yang pada awalnya juga menentang Islam, namun kemudian masuk Islam.
Umm Jamil dikenal sebagai wanita yang sangat memusuhi Nabi dan ajaran Islam. Ia secara aktif ikut serta dalam menyakiti dan menyiksa Nabi ﷺ. Ia seringkali mengumpulkan duri, ranting-ranting berduri, dan sampah, kemudian menaburkannya di jalur yang biasa dilewati Nabi Muhammad ﷺ, terutama di depan pintu rumah beliau, dengan tujuan untuk menyakiti beliau dan menghambat dakwahnya. Tindakannya ini menyebabkan penderitaan fisik bagi Nabi, dan menunjukkan betapa kejam dan piciknya permusuhan yang mereka tunjukkan.
Karena kebiasaan buruknya menaburkan duri dan ranting di jalan Nabi, ia dijuluki "Hammalat al-Hatab" (Pembawa Kayu Bakar), sebuah julukan yang secara profetis juga menjadi bagian dari Surah Al-Lahab. Julukan ini memiliki makna ganda: secara harfiah ia membawa ranting-ranting kayu, dan secara metaforis ia membawa dosa-dosa dan menyalakan api permusuhan serta fitnah.
Melihat permusuhan yang begitu terang-terangan dan keji dari paman serta bibinya sendiri, yang seharusnya menjadi pendukung terdekatnya, Nabi Muhammad ﷺ tentu merasa sangat sedih dan terhina. Sebagai respons langsung terhadap penghinaan dan perbuatan jahat Abu Lahab dan istrinya, Allah SWT menurunkan Surah Al-Lahab. Surah ini merupakan penegasan ilahi terhadap konsekuensi dari perbuatan mereka, dan sebuah jaminan bagi Nabi Muhammad ﷺ bahwa kebenaran akan menang dan para penentangnya akan celaka.
Surah ini tidak hanya mengutuk mereka berdua tetapi juga memprediksi nasib mereka di akhirat, yaitu masuk neraka. Hal yang luar biasa adalah bahwa prediksi ini terbukti benar. Abu Lahab dan istrinya tidak pernah beriman kepada Islam sampai akhir hayat mereka, meskipun mereka hidup bertahun-tahun setelah surah ini diturunkan. Ini menjadi salah satu mukjizat Al-Qur'an dan bukti kenabian Muhammad ﷺ, karena mereka memiliki kesempatan untuk beriman dan dengan demikian menggagalkan prediksi Al-Qur'an, tetapi mereka tidak melakukannya.
Kisah Asbabun Nuzul ini menekankan bahwa permusuhan terhadap kebenaran, bahkan dari kerabat terdekat sekalipun, akan mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah. Ia juga menunjukkan bahwa tidak ada toleransi bagi mereka yang secara aktif menentang dan menyakiti para pembawa risalah Allah.
Berikut adalah teks lengkap Surah Al-Lahab dalam bahasa Arab, transliterasi, dan terjemahan dalam bahasa Indonesia, diikuti dengan tafsir per ayat.
Ayat pertama ini adalah inti dari surah ini dan sekaligus merupakan pernyataan yang sangat kuat. Kata "تَبَّتْ" (tabbat) berasal dari akar kata "tibb" yang berarti merugi, celaka, binasa, atau putus asa. Penggunaan bentuk lampau (madhi) untuk "tabbat" mengindikasikan bahwa kehancuran itu sudah merupakan ketetapan, sebuah kepastian yang tak terhindarkan. Ini bukan sekadar doa, melainkan sebuah pernyataan dari Allah yang Mahamengetahui takdir.
Frasa "يَدَا أَبِي لَهَبٍ" (yadaa Abi Lahabin) secara harfiah berarti "kedua tangan Abu Lahab". Dalam bahasa Arab, penyebutan "tangan" seringkali merupakan metafora untuk keseluruhan pribadi seseorang, atau lebih spesifik lagi, untuk perbuatan dan usaha yang dilakukan oleh seseorang. Tangan adalah organ yang paling aktif dalam melakukan berbagai tindakan, baik kebaikan maupun keburukan. Dalam konteks ini, "kedua tangan Abu Lahab" merujuk pada segala usaha, upaya, kekuasaan, dan perbuatan jahat yang dilakukan Abu Lahab untuk menentang dan menyakiti Nabi Muhammad ﷺ serta ajaran Islam.
Jadi, ketika Allah berfirman "Binasalah kedua tangan Abu Lahab," ini berarti segala usaha, rencana jahat, dan kekuasaan yang digunakan Abu Lahab untuk melawan kebenaran akan sia-sia dan tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali kehancuran baginya sendiri. Kehancuran ini mencakup kehancuran spiritual, kehancuran reputasi, dan akhirnya kehancuran di akhirat.
Kemudian, ayat itu dilanjutkan dengan "وَتَبَّ" (wa tabb), yang artinya "dan dia akan binasa." Kata "tabb" di sini diulang, namun dengan sedikit perbedaan gramatikal. Beberapa ulama tafsir menafsirkan pengulangan ini sebagai penegasan dan penguatan makna. "Tabbat yadaa" (binasalah kedua tangannya) adalah doa atau pernyataan yang bersifat prediktif terhadap perbuatan, sedangkan "wa tabb" (dan dia benar-benar binasa) adalah pernyataan yang lebih umum mengenai dirinya sendiri, kepribadiannya, dan keseluruhan eksistensinya. Ini menegaskan bahwa kehancuran tidak hanya menimpa perbuatannya, tetapi juga menimpa dirinya secara keseluruhan. Ia akan binasa dalam arti ia gagal di dunia dan akan menderita di akhirat.
Ada juga ulama yang menafsirkan bahwa "tabbat yadaa" adalah berita tentang apa yang akan menimpa perbuatan Abu Lahab, yaitu kesia-siaan, sedangkan "wa tabb" adalah berita tentang apa yang akan menimpa dirinya sendiri, yaitu kerugian yang kekal. Ayat ini merupakan sebuah mukjizat karena ia memprediksi kematian Abu Lahab dalam keadaan kafir, padahal saat itu ia masih hidup. Prediksi ini benar-benar terjadi, di mana Abu Lahab meninggal dunia setelah perang Badar dalam keadaan sakit menular yang menjijikkan dan tidak ada yang berani mendekat untuk mengurus jenazahnya.
Ayat kedua ini menguraikan lebih lanjut tentang jenis kehancuran yang akan menimpa Abu Lahab, khususnya mengenai kegunaan harta dan kekuasaannya. "مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ" (Maa aghnaa 'anhu) berarti "tidaklah bermanfaat baginya" atau "tidaklah menolongnya." Ini adalah penegasan bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat melindungi Abu Lahab dari takdir yang telah ditetapkan Allah.
Frasa "مَالُهُ" (maaluhu) berarti "hartanya." Abu Lahab dikenal sebagai seorang yang kaya raya dan memiliki banyak harta benda, yang pada masa itu seringkali menjadi sumber kekuasaan dan pengaruh. Banyak pemimpin Quraisy mengandalkan kekayaan mereka untuk mempertahankan status dan melindungi diri dari musuh. Namun, Al-Qur'an dengan tegas menyatakan bahwa kekayaan Abu Lahab tidak akan sedikit pun berguna baginya untuk menyelamatkannya dari azab Allah atau bahkan untuk menolongnya dalam menentang Nabi Muhammad ﷺ. Kekayaannya tidak dapat membeli keimanan, tidak dapat membeli perlindungan ilahi, dan tidak dapat membatalkan takdir.
Selanjutnya, "وَمَا كَسَبَ" (wa maa kasab) berarti "dan apa yang dia usahakan" atau "apa yang dia peroleh." Kata "kasab" memiliki makna yang lebih luas dari sekadar harta benda. Ia mencakup segala sesuatu yang diperoleh atau diusahakan oleh seseorang, baik itu kedudukan, anak-anak, pengikut, pengaruh, atau hasil dari segala jerih payahnya di dunia. Beberapa ulama menafsirkan "maa kasab" secara spesifik sebagai anak-anaknya, karena anak-anak seringkali dianggap sebagai hasil usaha dan kebanggaan seseorang di masa Arab. Abu Lahab memang memiliki anak-anak, namun mereka juga tidak dapat menyelamatkannya dari takdirnya.
Pesan dari ayat ini sangatlah universal: kekayaan, kekuasaan, keturunan, dan segala pencapaian duniawi tidak akan memiliki nilai atau manfaat sedikitpun di hadapan keadilan ilahi jika seseorang memilih jalan penentangan terhadap kebenaran. Ini adalah peringatan bagi siapa saja yang terlalu mengandalkan harta dan kedudukan duniawi, lupa akan kekuasaan Allah, dan menggunakannya untuk menindas kebenaran. Ayat ini juga menunjukkan kegagalan total Abu Lahab dalam misinya menentang Nabi; segala investasinya dalam permusuhan tidak akan membuahkan hasil, melainkan kerugian abadi.
Ayat ketiga ini secara eksplisit menjelaskan bentuk azab yang akan menimpa Abu Lahab di akhirat. "سَيَصْلَىٰ" (Sayaslaa) adalah bentuk kata kerja masa depan yang berarti "dia akan masuk" atau "dia akan dibakar." Penggunaan huruf "س" (sa) di awal kata kerja menunjukkan kepastian yang akan terjadi di masa depan. Ini bukan lagi sekadar prediksi, melainkan sebuah pernyataan tegas tentang apa yang pasti akan menimpa Abu Lahab.
Frasa "نَارًا" (naaran) berarti "api," yang dalam konteks ini merujuk pada api neraka. Neraka adalah tempat azab bagi mereka yang kafir dan menentang Allah serta Rasul-Nya.
Bagian yang paling menarik dan penuh makna dalam ayat ini adalah "ذَاتَ لَهَبٍ" (zaata lahab), yang berarti "yang memiliki nyala api yang bergejolak" atau "yang penuh dengan jilatan api." Kata "lahab" di sini sangat penting karena memiliki koneksi langsung dengan nama julukan Abu Lahab. Jadi, Allah seolah-olah mengatakan, "Abu Lahab (bapak api) akan masuk ke dalam api (neraka) yang bergejolak." Ini adalah sebuah permainan kata yang mendalam dan ironis, menegaskan bahwa ia akan menerima balasan yang sesuai dengan julukannya, bahkan melebihi yang ia bayangkan.
Penamaan "Abu Lahab" sendiri adalah sebuah takdir. Nama ini seolah menjadi proklamasi awal akan nasibnya di akhirat. Allah menggunakan namanya sendiri untuk menggambarkan azabnya, menekankan bahwa ia tidak hanya dijuluki "bapak api" di dunia ini karena wajahnya yang kemerahan atau kemarahannya yang membara, tetapi ia akan benar-benar menjadi "penghuni api" di akhirat. Ini adalah bentuk balasan yang sempurna, di mana julukannya di dunia berkorespondensi dengan takdirnya di akhirat.
Ayat ini adalah peringatan keras bagi siapa saja yang meremehkan peringatan Allah dan Rasul-Nya. Azab neraka itu nyata dan akan menimpa mereka yang memilih jalan kekafiran dan permusuhan. Bagi Abu Lahab, yang memiliki hubungan darah dengan Nabi Muhammad ﷺ, azab ini bahkan lebih ironis karena ia menolak kebenaran yang datang dari kerabatnya sendiri.
Ayat keempat ini tidak hanya mengutuk Abu Lahab, tetapi juga istrinya, Umm Jamil, yang bernama asli Arwa binti Harb ibn Umayyah. Dia adalah saudara perempuan Abu Sufyan, salah satu tokoh Quraisy yang berpengaruh.
"وَامْرَأَتُهُ" (Wamra'atuhu) berarti "dan istrinya." Ini menunjukkan bahwa azab yang dijanjikan tidak hanya untuk Abu Lahab, tetapi juga untuk pasangannya yang bersekutu dengannya dalam kejahatan dan permusuhan terhadap Islam dan Nabi Muhammad ﷺ. Ini adalah pelajaran penting bahwa pertanggungjawaban di hadapan Allah adalah individual, namun bagi mereka yang bersekongkol dalam kejahatan, azab pun akan menimpa keduanya.
Frasa "حَمَّالَةَ الْحَطَبِ" (Hammalat al-hatab) berarti "pembawa kayu bakar." Julukan ini memiliki dua tafsir utama, keduanya relevan dan menunjukkan kekejian Umm Jamil:
Baik makna harfiah maupun metaforis menunjukkan betapa aktifnya Umm Jamil dalam permusuhan terhadap Islam. Allah SWT menyebutnya dengan julukan ini sebagai bentuk penghinaan dan pengumuman akan balasan yang akan menimpanya. Ini juga mengingatkan bahwa tidak peduli kedudukan sosial seseorang (ia adalah saudari Abu Sufyan, tokoh Quraisy terkemuka), perbuatan jahatnya akan dicatat dan dibalas.
Ayat terakhir ini menggambarkan azab spesifik yang akan menimpa Umm Jamil di akhirat, yang sangat ironis dan sesuai dengan perbuatannya di dunia. "فِي جِيدِهَا" (Fii jeedihaa) berarti "di lehernya." Leher adalah bagian tubuh yang sering dikaitkan dengan beban, kehinaan, atau perbudakan.
Frasa "حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ" (hablum mim masad) berarti "tali dari sabut" atau "tali dari serat pohon kurma." Sabut adalah bahan yang kasar, murah, dan sering digunakan untuk mengikat hewan atau barang bawaan, tidak seperti tali yang terbuat dari bahan mewah. Ini adalah gambaran kehinaan dan penderitaan yang ekstrem.
Ada beberapa tafsir mengenai makna dari tali sabut ini:
Penggambaran azab ini sangat jelas, visual, dan menghinakan. Ia berfungsi sebagai peringatan bagi siapa saja yang bersekongkol dalam kejahatan dan menentang kebenaran. Bahkan wanita yang memiliki kedudukan sekalipun tidak akan luput dari keadilan Allah jika mereka memilih jalan kekafiran dan permusuhan. Surah ini ditutup dengan gambaran azab yang spesifik dan ironis bagi Umm Jamil, menyempurnakan gambaran kehancuran bagi pasangan yang bersekutu dalam kejahatan.
Surah Al-Lahab, meskipun pendek, sarat dengan pelajaran dan hikmah yang mendalam bagi umat manusia, tidak hanya bagi mereka yang hidup di masa Nabi Muhammad ﷺ, tetapi juga bagi generasi-generasi selanjutnya hingga akhir zaman. Berikut adalah beberapa pelajaran penting yang dapat kita petik:
Pelajaran utama adalah bahwa siapa pun yang secara terang-terangan dan keras menentang kebenaran, menindas para pembawa risalah Allah, dan menyebarkan permusuhan terhadap agama-Nya, akan mengalami kehancuran. Ini adalah janji dan ketetapan dari Allah. Tidak peduli seberapa kuat, kaya, atau berpengaruh seseorang di dunia, kekuasaan Allah jauh lebih besar, dan keadilan-Nya pasti akan ditegakkan.
Kisah Abu Lahab menjadi bukti konkret. Dia adalah paman Nabi, kerabat dekat yang seharusnya mendukung, namun ia memilih jalan penentangan yang paling keji. Akhirnya, ia binasa dan dihinakan, baik di dunia maupun di akhirat. Ini menunjukkan bahwa hubungan darah tidak akan menyelamatkan seseorang dari azab Allah jika mereka bersekutu dengan kebatilan.
Penurunan Surah Al-Lahab merupakan penegasan bahwa Allah senantiasa melindungi Nabi Muhammad ﷺ dan para pengikutnya dari segala upaya jahat para penentang. Pada saat itu, Nabi menghadapi tekanan dan permusuhan yang luar biasa. Surah ini datang sebagai penghibur dan penjamin bagi Nabi bahwa Allah akan mengurus musuh-musuhnya dan membinasakan mereka.
Bagi umat Islam, ini adalah pengingat bahwa meskipun mungkin menghadapi kesulitan dan penentangan dalam menegakkan kebenaran, pertolongan Allah itu dekat dan pasti akan datang. Kekuatan musuh, betapapun besar, tidak akan mampu mengalahkan kehendak Allah.
Ayat kedua dengan jelas menyatakan bahwa harta dan apa pun yang diusahakan Abu Lahab tidak akan menyelamatkannya. Ini adalah peringatan keras bagi mereka yang terlalu mengandalkan kekayaan, kekuasaan, atau status sosial untuk mencapai tujuan mereka, terutama jika tujuan itu bertentangan dengan kehendak Allah. Di akhirat, hanya iman dan amal saleh yang akan bermanfaat.
Pelajaran ini relevan sepanjang masa. Banyak orang modern yang terbuai oleh kekayaan dan status, merasa kebal dari pertanggungjawaban ilahi. Surah Al-Lahab mengingatkan bahwa semua itu fana dan tidak akan sedikit pun menolong di hadapan keadilan Allah jika hati dipenuhi dengan kekufuran dan permusuhan.
Surah ini menunjukkan bagaimana Allah memberikan balasan yang sangat spesifik dan ironis, sesuai dengan perbuatan pelaku. Abu Lahab (Bapak Api) akan dibakar dalam api neraka yang bergejolak (lahab). Umm Jamil (Pembawa Kayu Bakar) akan diikat dengan tali sabut di lehernya, membawa kayu bakar (dosa-dosa atau azab) di neraka.
Kesesuaian antara perbuatan di dunia dan azab di akhirat ini disebut sebagai "jaza'an wifaqan" (balasan yang setimpal). Ini mengajarkan kita tentang keadilan mutlak Allah, bahwa setiap perbuatan, sekecil apapun, akan diperhitungkan dan dibalas dengan setimpal. Ini juga berfungsi sebagai motivator untuk berbuat baik dan penangkal untuk berbuat jahat.
Peran Umm Jamil sebagai "pembawa kayu bakar" yang menyebarkan fitnah dan gosip adalah peringatan tentang bahaya lisan dan dampak buruk dari menyulut api kebencian di tengah masyarakat. Fitnah dan adu domba adalah dosa besar dalam Islam karena merusak tatanan sosial, persatuan, dan kedamaian.
Surah ini mengajarkan pentingnya menjaga lisan dan tidak terlibat dalam penyebaran berita bohong atau hasutan yang dapat merugikan orang lain, apalagi jika itu ditujukan untuk merusak kebenaran agama. Balasan bagi penyebar fitnah adalah azab yang pedih.
Surah Al-Lahab adalah salah satu bukti nyata kenabian Muhammad ﷺ. Ayat ketiga dengan tegas menyatakan bahwa Abu Lahab akan masuk neraka, yang secara implisit berarti ia akan meninggal dalam keadaan kafir. Prediksi ini diumumkan saat Abu Lahab masih hidup, dan ia memiliki kesempatan untuk membuktikan Al-Qur'an salah dengan masuk Islam. Namun, ia tidak pernah beriman, dan meninggal dalam keadaan kafir, mengkonfirmasi kebenaran wahyu ini.
Ini adalah mukjizat yang sangat kuat, karena menunjukkan pengetahuan Allah tentang masa depan dan kebenaran mutlak dari firman-Nya. Ini memperkuat iman orang-orang yang beriman dan menjadi hujjah (bukti) bagi mereka yang meragukan kenabian Nabi Muhammad ﷺ.
Surah ini secara tidak langsung mengajarkan pentingnya mendukung kebenaran, bahkan jika itu berarti melawan anggota keluarga sendiri. Nabi Muhammad ﷺ harus menghadapi penentangan dari pamannya sendiri. Ini menunjukkan bahwa loyalitas utama seorang Muslim haruslah kepada Allah dan kebenaran-Nya, di atas segala ikatan duniawi, termasuk ikatan keluarga.
Ini bukan berarti memutuskan tali silaturahmi, tetapi lebih kepada menetapkan prioritas spiritual di atas hubungan duniawi ketika terjadi konflik antara iman dan kekafiran yang aktif menentang.
Meskipun Surah Al-Lahab secara spesifik ditujukan kepada Abu Lahab dan istrinya, pesan yang terkandung di dalamnya bersifat universal. Ia berlaku bagi siapa saja yang menunjukkan permusuhan yang sama terhadap kebenaran dan para pembawanya. Nama "Abu Lahab" di sini bisa menjadi arketipe (contoh) bagi setiap individu yang memilih jalan pembangkangan dan kejahatan.
Surah ini mengingatkan bahwa setiap tindakan akan mendapatkan balasan, dan Allah adalah Hakim yang Mahaadil. Pesan ini relevan di setiap era, di mana masih ada individu atau kelompok yang menentang kebenaran dan menyebarkan kebencian.
Secara keseluruhan, Surah Al-Lahab adalah peringatan yang tajam tentang konsekuensi dari kekafiran, kesombongan, dan permusuhan terhadap kebenaran. Ia menguatkan hati orang-orang beriman dan menegaskan keadilan serta kekuasaan Allah SWT. Keberadaannya dalam Al-Qur'an adalah bukti nyata akan perlindungan ilahi dan janji-Nya terhadap mereka yang berjuang di jalan-Nya.
Untuk lebih menghargai kedalaman Surah Al-Lahab, penting untuk memahami lanskap sosial dan politik Makkah pada masa pra-Islam, khususnya pada awal kemunculan Islam. Makkah adalah pusat perdagangan yang makmur dan juga pusat keagamaan bagi masyarakat Arab. Ka'bah, yang dihormati sebagai rumah suci, telah dipenuhi dengan berhala-berhala yang disembah oleh berbagai suku, menjadikan kota ini tujuan ziarah penting.
Masyarakat Quraisy, suku dominan di Makkah, terstruktur dalam kabilah-kabilah dan keluarga-keluarga yang saling terhubung. Ikatan kekerabatan (nasab) sangat kuat dan menjadi dasar loyalitas, perlindungan, dan status sosial. Suku Quraisy terbagi lagi menjadi beberapa klan, seperti Bani Hasyim (klan Nabi Muhammad ﷺ dan Abu Lahab) dan Bani Umayyah (klan Abu Sufyan dan Umm Jamil). Meskipun ada persaingan, umumnya ikatan kabilah memberikan perlindungan dan dukungan bagi anggotanya.
Abu Lahab, sebagai paman Nabi dan anggota Bani Hasyim, memiliki kedudukan yang terhormat. Namun, fakta bahwa ia secara terbuka menentang keponakannya sendiri adalah pelanggaran serius terhadap norma-norma sosial saat itu, yang seharusnya menuntutnya untuk melindungi anggota klannya, bahkan jika ia tidak setuju dengan ajarannya.
Makkah juga merupakan pusat ekonomi yang penting, dengan jalur perdagangan yang melintasi semenanjung Arab. Kekayaan dan status sosial seringkali saling terkait. Abu Lahab, sebagai seorang yang kaya raya, memiliki pengaruh besar di kalangan pedagang dan elit Makkah. Kekayaannya memberikan kekuatan untuk menekan dan memengaruhi opini publik.
Secara keagamaan, penyembahan berhala adalah praktik yang sudah mendarah daging. Ka'bah, yang seharusnya menjadi rumah ibadah satu Tuhan, telah dikotori dengan ratusan patung dewa-dewi. Nabi Muhammad ﷺ dengan ajarannya tentang Tauhid (keesaan Allah) mengancam status quo keagamaan dan, bagi sebagian orang, juga ekonomi, karena mereka khawatir jika berhala-berhala dihilangkan, daya tarik Makkah sebagai pusat ziarah akan berkurang.
Penentangan Abu Lahab terhadap Nabi Muhammad ﷺ bisa disebabkan oleh beberapa faktor:
Permusuhan Abu Lahab dan Umm Jamil bukan hanya bersifat pasif, tetapi sangat aktif dan agresif. Mereka tidak hanya menolak ajaran Nabi, tetapi juga secara fisik dan verbal menyakiti beliau, menyebarkan fitnah, dan berusaha menghalangi dakwahnya dengan segala cara. Ini adalah konteks di mana Allah menurunkan Surah Al-Lahab, sebuah respons ilahi terhadap permusuhan yang melampaui batas dan menjadi ancaman serius bagi kelangsungan risalah Islam di awal perjuangannya.
Salah satu aspek yang paling menonjol dari Surah Al-Lahab adalah statusnya sebagai mukjizat (ijaz) Al-Qur'an. Mukjizat ini bukan dalam bentuk keindahan bahasa atau retorika semata, melainkan dalam bentuk prediksi masa depan yang terbukti benar, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia.
Ayat ketiga dari Surah Al-Lahab, "سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ" (Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak), secara tersirat namun jelas menyatakan bahwa Abu Lahab akan meninggal dalam keadaan kafir dan akan dihukum di neraka. Pada saat surah ini diturunkan, Abu Lahab masih hidup. Ia hidup selama bertahun-tahun setelah wahyu ini diturunkan.
Logikanya, jika Al-Qur'an ini hanyalah buatan manusia, Abu Lahab bisa saja membantah klaim ini dengan mudah. Ia bisa saja berpura-pura masuk Islam, atau bahkan benar-benar masuk Islam, untuk membuktikan bahwa Nabi Muhammad ﷺ berbohong atau Al-Qur'an itu palsu. Namun, ia tidak pernah melakukannya. Abu Lahab tetap dalam kekafiran dan permusuhan terhadap Islam hingga akhir hayatnya.
Kematian Abu Lahab terjadi tak lama setelah Pertempuran Badar, di mana kaum Quraisy menderita kekalahan telak. Abu Lahab sendiri tidak ikut serta dalam pertempuran tersebut karena sakit, namun ia sangat terpukul mendengar kekalahan itu. Ia kemudian meninggal dunia karena penyakit menular yang mengerikan, yang dikenal sebagai 'Adasah (mirip dengan wabah pes), dan tubuhnya membengkak serta mengeluarkan nanah. Keluarganya pun jijik dan tidak berani mendekat untuk mengurus jenazahnya. Baru setelah tiga hari, jasadnya ditangani secara tidak layak dengan disiram air dan dilempar ke sebuah lubang menggunakan tongkat, tanpa ritual pemakaman yang layak.
Fakta bahwa Abu Lahab meninggal dalam keadaan kafir dan dengan cara yang memalukan adalah bukti nyata kebenaran Al-Qur'an dan kenabian Muhammad ﷺ. Ini adalah sebuah tantangan yang terbuka bagi para penentang, namun tidak ada yang mampu menggagalkannya. Allah SWT, Yang Maha Mengetahui yang gaib, mengungkapkan takdir Abu Lahab jauh sebelum itu terjadi, mengukuhkannya sebagai tanda kekuasaan dan pengetahuan-Nya yang tak terbatas.
Bagi orang-orang beriman, mukjizat ini memperkuat keyakinan mereka terhadap kebenaran risalah Islam. Bagi orang-orang yang ragu atau non-Muslim, ini adalah salah satu argumen terkuat untuk mempertimbangkan keabsahan Al-Qur'an sebagai firman Tuhan. Bagaimana mungkin seorang manusia di abad ke-7 Masehi dapat memprediksi nasib musuhnya dengan akurat, jika bukan karena bimbingan ilahi?
Mukjizat dalam Surah Al-Lahab ini memiliki beberapa implikasi penting:
Dengan demikian, Surah Al-Lahab bukan hanya sebuah teguran keras terhadap individu tertentu, melainkan sebuah manifestasi dari kebijaksanaan dan kekuasaan Allah yang abadi, serta bukti yang tak terbantahkan akan kebenaran agama Islam.
Meskipun Surah Al-Lahab diturunkan lebih dari seribu empat ratus tahun yang lalu dan secara spesifik merujuk pada individu-individu tertentu, pesan-pesan dan pelajarannya tetap sangat relevan bagi umat manusia di era kontemporer. Konteksnya mungkin berubah, tetapi sifat dasar manusia dan prinsip-prinsip ilahi tetap abadi.
Di zaman modern, umat Islam di berbagai belahan dunia seringkali menghadapi kebencian, diskriminasi, dan bahkan penindasan. Surah Al-Lahab memberikan penghiburan dan jaminan bahwa Allah akan melindungi kebenaran dan menghinakan para penentangnya. Ia mengingatkan bahwa meskipun para penindas mungkin memiliki kekuatan, kekayaan, atau pengaruh di dunia, mereka akan menghadapi kehancuran di hadapan keadilan ilahi.
Ini adalah pengingat untuk tetap teguh dalam iman, tidak gentar menghadapi permusuhan, dan yakin bahwa pertolongan Allah itu dekat bagi mereka yang berjuang di jalan-Nya.
Peran Umm Jamil sebagai "pembawa kayu bakar" yang menyebarkan fitnah sangat relevan dengan fenomena media sosial saat ini. Di era informasi digital, penyebaran berita bohong (hoax), fitnah, ujaran kebencian, dan adu domba menjadi sangat mudah dan cepat. Banyak individu atau kelompok yang secara aktif menyulut api permusuhan melalui platform digital, mirip dengan Umm Jamil yang menaburkan duri di jalan Nabi.
Surah ini mengajarkan konsekuensi serius dari tindakan semacam itu. Ini adalah peringatan bagi kita semua untuk bijak dalam menggunakan media sosial, bertanggung jawab atas setiap kata yang ditulis atau disebarkan, dan menjauhi perilaku yang menyulut perpecahan dan kebencian.
Ayat yang menyatakan bahwa harta dan usaha tidak akan bermanfaat bagi Abu Lahab adalah pelajaran penting di era konsumerisme dan materialisme. Banyak orang modern yang mengejar kekayaan dan kesuksesan duniawi sebagai tujuan utama hidup, seringkali dengan mengabaikan nilai-nilai moral dan spiritual. Surah ini mengingatkan bahwa semua pencapaian duniawi ini tidak akan berarti apa-apa jika tidak disertai dengan iman yang benar dan amal saleh.
Ia mendorong refleksi tentang prioritas hidup dan mengingatkan bahwa investasi terbaik adalah investasi di akhirat melalui ketaatan kepada Allah dan kebaikan kepada sesama.
Kisah Nabi Muhammad ﷺ yang berani mengumumkan risalahnya di hadapan kerabatnya yang menentang, bahkan pamannya sendiri, adalah inspirasi untuk berani menegakkan kebenaran di tengah tantangan. Di dunia yang semakin kompleks, seringkali dibutuhkan keberanian untuk berbicara melawan ketidakadilan, korupsi, atau kesalahan, bahkan jika itu berarti melawan orang-orang terdekat atau pihak yang berkuasa.
Surah ini mengajarkan bahwa loyalitas tertinggi adalah kepada kebenaran ilahi, dan seseorang tidak boleh mengorbankan prinsip-prinsip kebenaran demi kenyamanan atau ikatan duniawi.
Dalam sejarah umat manusia, telah banyak muncul figur-figur seperti Abu Lahab yang menggunakan kekuasaan dan kekayaan mereka untuk menindas kebenaran dan menyakiti orang-orang yang beriman. Surah Al-Lahab memberikan harapan bahwa setiap penindas, diktator, atau tiran, pada akhirnya akan menghadapi kehancuran yang telah ditetapkan oleh Allah.
Ini adalah pengingat akan kekuasaan Allah yang Mahaadil, yang tidak akan membiarkan kezaliman berkuasa selamanya, dan bahwa keadilan ilahi akan selalu ditegakkan pada waktunya, baik di dunia maupun di akhirat.
Dengan demikian, Surah Al-Lahab tetap menjadi mercusuar hikmah dan pelajaran, membimbing umat Islam untuk memahami konsekuensi dari tindakan mereka, memperkuat iman mereka dalam menghadapi tantangan, dan mengingatkan mereka akan keadilan Allah yang tidak pernah tidur. Pesannya yang abadi menjadikannya salah satu bagian terpenting dari warisan spiritual dan moral dalam Al-Qur'an.
Surah Al-Lahab adalah sebuah surah yang penuh dengan pelajaran dan peringatan. Ia mengabadikan kisah permusuhan dan pembangkangan yang ekstrem dari Abu Lahab dan istrinya terhadap Nabi Muhammad ﷺ dan ajaran Islam. Lebih dari sekadar kutukan terhadap individu, surah ini adalah manifestasi dari keadilan ilahi yang tidak memandang bulu, bahkan terhadap kerabat terdekat seorang Nabi.
Kita belajar bahwa kekuasaan, kekayaan, dan kedudukan sosial tidak akan menyelamatkan seseorang dari azab Allah jika hati mereka dipenuhi dengan kekafiran, kesombongan, dan permusuhan terhadap kebenaran. Setiap upaya jahat untuk menindas kebenaran akan berakhir dengan kehancuran bagi pelakunya sendiri. Sebaliknya, surah ini memberikan penghiburan dan jaminan bagi para pembela kebenaran bahwa Allah akan selalu berada di sisi mereka, melindungi dan memenangkan mereka atas musuh-musuh.
Kebenaran prediksi dalam Surah Al-Lahab juga berfungsi sebagai salah satu mukjizat Al-Qur'an yang paling jelas, menegaskan bahwa kitab suci ini adalah wahyu dari Allah Yang Mahamengetahui segala sesuatu, termasuk takdir masa depan. Ini memperkuat iman dan menjadi hujjah bagi mereka yang mencari kebenaran.
Sebagai umat Islam, kita diingatkan untuk menjauhi sifat-sifat Abu Lahab dan Umm Jamil: kesombongan, kedengkian, permusuhan terhadap kebenaran, dan penyebaran fitnah. Sebaliknya, kita didorong untuk meneladani kesabaran, keteguhan, dan keberanian Nabi Muhammad ﷺ dalam menghadapi tantangan. Surah Al-Lahab, dengan segala kedalamannya, adalah panggilan untuk merenungkan konsekuensi dari pilihan kita dan untuk selalu memilih jalan keimanan dan kebaikan.
Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dari Surah Al-Lahab ini dan menjadikan kehidupan kita lebih berarti di hadapan Allah SWT.