Pendahuluan: Surah Al-Kahfi dan Kisah Dzulqarnain
Surah Al-Kahfi adalah salah satu surah yang memiliki keutamaan besar dalam Al-Qur'an. Ia dikenal sebagai "penyelamat" dari fitnah Dajjal, serta mengandung empat kisah utama yang sarat hikmah: kisah Ashabul Kahfi (Para Penghuni Gua), kisah pemilik dua kebun, kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir, serta kisah Dzulqarnain. Keempat kisah ini saling berkaitan, menggambarkan berbagai bentuk ujian dan cara menghadapinya, mulai dari ujian keimanan, harta, ilmu, hingga kekuasaan.
Kisah Dzulqarnain, yang terbentang dari ayat 83 hingga 101, adalah salah satu narasi paling menarik dan misterius. Ia mengisahkan seorang raja perkasa yang menjelajahi bumi dari timur ke barat, menghadapi berbagai kaum, dan meninggalkan jejak keadilan serta kebijaksanaan. Ayat 87, khususnya, menjadi titik penting yang menyoroti aspek keadilan Dzulqarnain dan bagaimana ia memperlakukan orang-orang yang berbuat zalim.
Dalam artikel ini, kita akan menyelami makna dan konteks Surah Al-Kahfi ayat 87 secara mendalam. Kita akan membahas teks ayat tersebut, tafsirnya, relevansinya dalam kisah Dzulqarnain, serta hubungannya dengan Ya'juj dan Ma'juj. Pembahasan ini tidak hanya akan menyoroti aspek historis atau naratif, tetapi juga pelajaran moral, spiritual, dan eskatologis yang dapat kita petik untuk kehidupan modern.
Al-Qur'an bukanlah sekadar buku sejarah, melainkan petunjuk hidup yang abadi. Kisah-kisah di dalamnya, termasuk kisah Dzulqarnain, mengandung prinsip-prinsip universal tentang kepemimpinan, keadilan, kekuasaan, dan pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Ayat 87 secara spesifik menegaskan prinsip keadilan ilahi yang tidak pernah salah sasaran, memberikan peringatan bagi para penguasa dan pelajaran bagi setiap individu.
Ayat 87: Teks, Transliterasi, dan Terjemahan
Untuk memahami inti dari ayat ini, mari kita perhatikan teks aslinya dalam bahasa Arab, transliterasinya, dan terjemahan maknanya:
Transliterasi: Qāla ammā man ẓalama fasawfa nu'aḏḏibuhū thumma yuraddu ilā rabbihī fayu'aḏḏibuhū 'aḏāban nukrā.
Terjemahan Makna: Dia (Dzulqarnain) berkata, "Adapun orang yang berbuat zalim, maka kami akan menyiksanya, kemudian dia akan dikembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan akan menyiksanya dengan siksaan yang sangat mengerikan."
Ayat ini adalah bagian dari jawaban Dzulqarnain kepada suatu kaum yang meminta perlindungannya dari gangguan Ya'juj dan Ma'juj. Namun, sebelum kita membahas konteks yang lebih luas, mari kita cermati setiap bagian dari ayat ini untuk mengungkap kedalaman maknanya.
Tafsir Ayat 87 Menurut Para Mufassir
Ayat 87 ini merupakan manifestasi dari keadilan dan kebijaksanaan Dzulqarnain sebagai seorang pemimpin yang beriman. Ia tidak bertindak semena-mena, melainkan dengan prinsip-prinsip ilahi.
1. "Qāla" (Dia berkata)
Kata "Qāla" merujuk kepada Dzulqarnain. Ini adalah responsnya setelah ia diberitahu tentang keberadaan Ya'juj dan Ma'juj serta permintaan bantuan dari kaum di antara dua gunung. Respons ini menunjukkan otoritas, kebijaksanaan, dan ketegasan Dzulqarnain dalam menjalankan kepemimpinannya.
2. "Ammā man ẓalama" (Adapun orang yang berbuat zalim)
Frasa ini merupakan inti dari pernyataan Dzulqarnain mengenai kebijakannya terhadap orang-orang yang berbuat kejahatan. Kata "ẓalama" (ظلم) berasal dari akar kata yang berarti menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya, melampaui batas, atau berbuat aniaya. Dalam konteks ini, "zalim" mencakup berbagai bentuk kejahatan, penindasan, ketidakadilan, dan kerusakan yang dilakukan di muka bumi. Dzulqarnain tidak menggeneralisir seluruh kaum sebagai penjahat, tetapi ia secara spesifik menargetkan individu atau kelompok yang memang terbukti melakukan kezaliman.
Ini menunjukkan bahwa Dzulqarnain adalah seorang pemimpin yang cerdas dan adil. Ia tidak menghukum tanpa dasar atau membinasakan seluruh masyarakat karena ulah sebagian kecil. Pendekatan ini selaras dengan ajaran Islam yang menekankan keadilan individu dan penegakan hukum yang tepat sasaran.
3. "Fasawfa nu'aḏḏibuhū" (Maka kami akan menyiksanya)
Kata "nu'aḏḏibuhū" (kami akan menyiksanya) adalah janji Dzulqarnain untuk menegakkan keadilan di dunia. Siksaan di sini merujuk pada hukuman fisik, penahanan, pengasingan, atau tindakan lain yang dianggap setimpal dengan kezaliman yang dilakukan. Penting untuk dicatat bahwa Dzulqarnain menggunakan kata ganti orang pertama jamak ("kami"), yang bisa diartikan sebagai "kami (sebagai penguasa)" atau "kami (sebagai utusan Allah)", menunjukkan kewenangan dan dukungan ilahi dalam tindakannya.
Penyiksaan ini bukan atas dasar dendam pribadi, melainkan bagian dari tugas seorang penguasa untuk menjaga ketertiban, keamanan, dan keadilan di wilayah kekuasaannya. Ini adalah bentuk pencegahan dan penegakan hukum duniawi agar kezaliman tidak merajalela dan kaum yang baik dapat hidup dengan tenang.
4. "Thumma yuraddu ilā rabbihī" (Kemudian dia akan dikembalikan kepada Tuhannya)
Frasa ini adalah pernyataan yang sangat powerful. Dzulqarnain tidak berhenti pada hukuman duniawi yang ia berikan. Ia mengingatkan bahwa hukuman duniawi hanyalah permulaan. Setiap jiwa akan kembali kepada penciptanya, yaitu Allah SWT. Ini adalah pengingat akan adanya kehidupan setelah mati dan pertanggungjawaban akhirat yang lebih besar.
Pernyataan ini menunjukkan kesadaran Dzulqarnain yang mendalam akan keimanan dan hari pembalasan. Meskipun ia adalah raja yang perkasa, ia tidak lupa bahwa kekuasaan sejatinya ada di tangan Allah dan setiap perbuatan akan dihisab. Pengingat ini berfungsi sebagai dakwah tersirat bagi mereka yang mendengarnya, bahwa keadilan sejati dan paripurna hanya ada di sisi Allah.
5. "Fayu'aḏḏibuhū 'aḏāban nukrā" (Lalu Tuhan akan menyiksanya dengan siksaan yang sangat mengerikan)
Bagian terakhir ayat ini menegaskan kembali prinsip keadilan ilahi. Siksaan yang "nukrā" (نكرًا) berarti siksaan yang sangat dahsyat, mengerikan, tidak terbayangkan, dan belum pernah terjadi sebelumnya. Ini adalah siksaan yang akan diberikan oleh Allah SWT di akhirat bagi mereka yang berbuat zalim dan tidak bertaubat.
Perbedaan antara "nu'aḏḏibuhū" (kami akan menyiksanya) dan "yu'aḏḏibuhū 'aḏāban nukrā" (Tuhan akan menyiksanya dengan siksaan yang sangat mengerikan) sangatlah signifikan. Siksaan duniawi yang dilakukan oleh Dzulqarnain, seberat apapun, tidak akan sebanding dengan siksaan akhirat dari Allah. Hukuman Dzulqarnain bersifat terbatas dan sementara, sedangkan siksaan Allah bersifat abadi dan tak terhingga.
Pernyataan ini melengkapi gambaran keadilan Dzulqarnain. Ia tidak hanya menegakkan keadilan di dunia, tetapi juga mengingatkan bahwa ada pengadilan yang lebih tinggi dan hukuman yang lebih berat menunggu bagi para pelaku kezaliman yang tidak bertaubat. Ini adalah puncak dari prinsip keadilan yang universal dan komprehensif.
Konteks Kisah Dzulqarnain dan Permintaan Bantuan Kaum
Untuk memahami ayat 87 sepenuhnya, kita perlu melihatnya dalam konteks keseluruhan kisah Dzulqarnain di Surah Al-Kahfi. Allah SWT memberinya kekuasaan dan cara untuk mencapai segala sesuatu ("wa ātaynāhu min kulli syai`in sababā"). Dengan kekuasaan ini, ia menjelajahi bumi dalam tiga perjalanan utama:
1. Perjalanan ke Barat (Ayat 86)
Dzulqarnain tiba di tempat terbenamnya matahari, yang digambarkan seperti terbenam di laut berlumpur hitam. Di sana, ia menemukan suatu kaum. Allah memberinya pilihan: apakah ia akan menyiksa mereka atau berbuat baik kepada mereka. Dzulqarnain memilih jalan keadilan, seperti yang termaktub dalam ayat 87, membedakan antara yang zalim dan yang berbuat baik.
2. Perjalanan ke Timur (Ayat 90)
Setelah itu, Dzulqarnain melanjutkan perjalanannya ke timur, tempat terbitnya matahari. Di sana, ia menemukan suatu kaum yang tidak memiliki penutup dari sengatan matahari. Ia berinteraksi dengan mereka dan kembali menunjukkan kebijaksanaannya.
3. Perjalanan ke Antara Dua Gunung (Ayat 92-98)
Perjalanan ketiga inilah yang paling relevan dengan ayat 87. Dzulqarnain sampai di suatu tempat di antara dua gunung. Di sana, ia menemukan suatu kaum yang bahasanya hampir tidak dapat dipahami. Mereka mengeluhkan tentang Ya'juj dan Ma'juj yang selalu membuat kerusakan di bumi dan meminta Dzulqarnain untuk membangunkan dinding (sadd) sebagai pembatas antara mereka dengan Ya'juj dan Ma'juj, dengan imbalan upah.
Pada titik inilah, Dzulqarnain memberikan respons yang mencerminkan kebijaksanaannya. Ia menolak upah, menyatakan bahwa karunia Allah kepadanya sudah lebih baik, namun ia setuju untuk membangun dinding dengan syarat mereka membantunya. Dan di tengah kesepakatan inilah, ia mengucapkan perkataan di ayat 87, yang bukan hanya janji hukuman, tetapi juga sebuah pernyataan prinsipil tentang keadilan dan pertanggungjawaban.
Ayat 87 adalah fondasi moral dari tindakan Dzulqarnain dalam membangun dinding tersebut. Ia tidak membangunnya hanya karena diminta, tetapi karena ia melihat adanya kezaliman (yakni kerusakan yang ditimbulkan Ya'juj dan Ma'juj) dan ia bertekad untuk menegakkan keadilan serta melindungi kaum yang lemah dari kezaliman tersebut. Ia membedakan perlakuan antara orang yang berbuat zalim dan orang yang beriman dan berbuat baik.
Kisah ini menegaskan bahwa kekuasaan yang sesungguhnya adalah amanah dari Allah, yang harus digunakan untuk menegakkan keadilan, melindungi yang tertindas, dan menyebarkan kebaikan, bukan untuk menumpuk kekayaan atau menindas. Dzulqarnain adalah contoh pemimpin ideal yang menggabungkan kekuatan duniawi dengan kebijaksanaan spiritual.
Ya'juj dan Ma'juj: Ancaman dan Dinding Pembatas
Ayat 87 adalah bagian integral dari narasi yang mengarah pada pembangunan dinding yang monumental untuk menahan Ya'juj dan Ma'juj. Siapakah mereka ini, dan mengapa begitu penting bagi Dzulqarnain untuk bertindak melindungi kaum yang lemah dari mereka?
1. Siapakah Ya'juj dan Ma'juj?
Ya'juj dan Ma'juj (Gog dan Magog dalam tradisi Barat) adalah dua suku atau bangsa yang dikenal suka membuat kerusakan di bumi. Dalam Al-Qur'an dan Hadis, mereka digambarkan sebagai makhluk yang memiliki kekuatan besar, jumlah yang sangat banyak, dan tabiat yang agresif serta merusak. Identitas pasti mereka dalam sejarah masih menjadi perdebatan di kalangan ulama dan sejarawan, namun yang jelas adalah karakter destruktif mereka.
Beberapa pandangan menyebut mereka sebagai keturunan Nuh AS, dari Yafits, yang merupakan nenek moyang bangsa-bangsa di timur. Mereka disebutkan dalam konteks akhir zaman, di mana kemunculan mereka akan menjadi salah satu tanda besar Hari Kiamat. Mereka akan keluar dari balik dinding yang menahan mereka, menyebar ke seluruh penjuru bumi, dan membawa kerusakan besar.
2. Kerusakan yang Mereka Timbulkan
Kaum yang ditemui Dzulqarnain di antara dua gunung mengeluh bahwa Ya'juj dan Ma'juj "mufsiduna fil ardhi" (membuat kerusakan di bumi). Kerusakan ini dapat meliputi:
- Penjarahan dan Perampasan: Mengambil harta benda orang lain dengan paksa.
- Pembunuhan dan Kekejaman: Menyebabkan pertumpahan darah dan ketakutan.
- Perusakan Lingkungan: Menghancurkan pertanian, bangunan, dan sumber daya alam.
- Penyebaran Kekacauan: Menciptakan kondisi anarki dan ketidakamanan di mana-mana.
Kezaliman yang mereka lakukan inilah yang mendorong Dzulqarnain untuk bertindak. Ayat 87, dengan pernyataannya tentang hukuman bagi "orang yang berbuat zalim", secara tidak langsung juga berlaku untuk Ya'juj dan Ma'juj itu sendiri. Mereka adalah simbol kezaliman yang memerlukan penanganan tegas.
3. Pembangunan Dinding: Simbol Perlindungan dan Keadilan
Dinding yang dibangun Dzulqarnain bukanlah dinding biasa. Ia dibangun dari campuran besi dan tembaga cair, yang menjadikannya sangat kokoh dan tidak mudah ditembus. Proses pembangunannya melibatkan upaya kolosal dari Dzulqarnain dan kaum yang meminta perlindungan, dengan Dzulqarnain memberikan arahan dan sumber daya.
Dinding ini memiliki beberapa makna penting:
- Perlindungan Ilahi: Meskipun dibangun dengan usaha manusia, Dzulqarnain menegaskan bahwa kekuatan dan kemampuan untuk membangunnya berasal dari Allah. Ini adalah manifestasi pertolongan Allah kepada kaum yang lemah.
- Simbol Keadilan: Dinding ini adalah bentuk konkret dari penegakan keadilan Dzulqarnain, memisahkan kaum yang baik dari pelaku kezaliman.
- Batas antara Kebaikan dan Kejahatan: Dinding ini secara harfiah dan simbolis menjadi batas yang memisahkan dunia yang relatif aman dari ancaman kehancuran.
- Ujian Kesabaran: Dinding tersebut menahan Ya'juj dan Ma'juj selama ribuan tahun, dan akan terus menahan mereka hingga waktu yang ditentukan Allah. Ini juga menjadi ujian bagi mereka yang terkurung untuk terus berusaha meloloskan diri, dan bagi kita untuk mengambil pelajaran.
Ayat 87 menjadi dasar filosofis bagi tindakan Dzulqarnain ini. Ia tidak hanya menyiksa orang-orang zalim yang ia temui secara langsung, tetapi ia juga membangun sebuah penghalang permanen untuk mencegah kezaliman yang lebih besar dari Ya'juj dan Ma'juj. Ini adalah kebijakan keadilan yang komprehensif, mencakup hukuman langsung dan pencegahan jangka panjang.
Pelajaran dan Hikmah dari Al-Kahfi Ayat 87
Ayat 87 Surah Al-Kahfi, meskipun singkat, mengandung banyak pelajaran dan hikmah yang relevan bagi kehidupan individu, masyarakat, dan para pemimpin:
1. Pentingnya Keadilan dalam Kepemimpinan
Dzulqarnain adalah teladan pemimpin yang adil. Ia tidak menggunakan kekuasaannya untuk menindas atau memperkaya diri, melainkan untuk menegakkan keadilan dan melindungi yang lemah. Ayat ini menunjukkan bahwa pemimpin harus:
- Membedakan antara yang baik dan yang jahat: Tidak menghukum semua orang tanpa pandang bulu.
- Menegakkan hukum secara tegas: Memberikan sanksi yang setimpal bagi pelaku kezaliman di dunia.
- Berlandaskan nilai-nilai ilahi: Menyadari bahwa kekuasaan adalah amanah dan ada pertanggungjawaban di akhirat.
2. Dua Tingkat Hukuman: Dunia dan Akhirat
Ayat ini secara jelas membedakan antara hukuman duniawi yang diberikan oleh penguasa manusia ("fasawfa nu'aḏḏibuhū") dan hukuman akhirat yang diberikan oleh Allah SWT ("fayu'aḏḏibuhū 'aḏāban nukrā").
- Hukuman Duniawi: Bersifat sementara, bertujuan untuk menjaga ketertiban sosial, memberi efek jera, dan memberi kesempatan bertaubat.
- Hukuman Akhirat: Bersifat kekal, lebih dahsyat, dan merupakan keadilan mutlak dari Allah yang Maha Adil.
3. Konsep Kezaliman yang Komprehensif
Kezaliman dalam Islam memiliki cakupan yang luas:
- Zalim kepada Allah: Syirik, meninggalkan kewajiban agama.
- Zalim kepada diri sendiri: Berbuat dosa, merusak diri.
- Zalim kepada orang lain: Penindasan, pencurian, fitnah, ghibah, pelanggaran hak.
4. Kekuasaan adalah Amanah, Bukan Hak Absolut
Dzulqarnain, meskipun memiliki kekuasaan yang luar biasa, selalu mengembalikan segala kekuatan dan kemampuannya kepada Allah. Ia tidak sombong dengan kekuasaannya dan tidak menganggapnya sebagai hak yang melekat pada dirinya. Sikap ini tergambar jelas dalam ayat-ayat selanjutnya ketika ia berkata, "Ini adalah rahmat dari Tuhanku" (Al-Kahfi: 98).
Ini adalah pelajaran vital bagi setiap individu yang diberi kekuasaan, baik di ranah publik maupun pribadi, bahwa semua itu adalah pinjaman dan amanah dari Allah yang harus dipertanggungjawabkan.
5. Pentingnya Membangun Perlindungan dari Kejahatan
Tindakan Dzulqarnain membangun dinding adalah simbol perlindungan aktif dari kejahatan dan kerusakan. Ini mengajarkan kita bahwa dalam menghadapi ancaman, baik yang bersifat fisik (seperti kejahatan) maupun non-fisik (seperti ideologi sesat), kita perlu membangun "dinding" perlindungan. Dinding ini bisa berupa sistem hukum yang kuat, pendidikan moral yang kokoh, benteng keimanan, atau komunitas yang saling mendukung dalam kebaikan.
6. Peringatan akan Akhir Zaman dan Fitnah
Kisah Ya'juj dan Ma'juj, yang terkait erat dengan ayat 87, adalah bagian dari narasi akhir zaman dalam Islam. Kemunculan mereka adalah salah satu tanda besar Hari Kiamat. Ayat ini mengingatkan kita untuk selalu waspada terhadap fitnah dan kerusakan yang akan terjadi di akhir zaman, serta mempersiapkan diri dengan iman dan amal saleh.
Pembangunan dinding oleh Dzulqarnain memberi kita gambaran bahwa Allah SWT akan menunda terjadinya kezaliman Ya'juj dan Ma'juj sampai waktu yang tepat, sebagai ujian bagi umat manusia. Ini mengajarkan pentingnya kesabaran dan keyakinan akan ketetapan ilahi.
7. Keseimbangan antara Usaha Manusia dan Kehendak Ilahi
Dzulqarnain tidak hanya berdoa, tetapi ia juga mengerahkan segala sumber daya dan pengetahuannya untuk membangun dinding. Ia meminta bantuan dari kaum tersebut ("fa'ainuni bi quwwah" - bantulah aku dengan kekuatan). Ini menunjukkan pentingnya usaha maksimal dari pihak manusia. Namun, setelah selesai, ia tidak membanggakan hasil karyanya, melainkan mengembalikannya kepada Allah, "Ini adalah rahmat dari Tuhanku."
Pelajaran ini adalah tentang tawaqal (berserah diri kepada Allah) setelah berikhtiar semaksimal mungkin. Kita dituntut untuk bekerja keras, merencanakan, dan bertindak, namun hasilnya tetap di tangan Allah.
8. Menegaskan Sifat Ar-Rabb (Rabb/Tuhan)
Frasa "yuraddu ilā rabbihī" (dikembalikan kepada Tuhannya) menekankan sifat Allah sebagai Ar-Rabb, Sang Pemelihara, Pengatur, dan Pemilik. Semua makhluk pada akhirnya akan kembali kepada-Nya untuk dihisab. Ini mengukuhkan konsep tauhid rububiyah, bahwa hanya Allah yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu, termasuk hidup dan mati serta hari pembalasan.
9. Kata "Nukrā" dan Kedahsyatan Siksaan Akhirat
Penggunaan kata "nukrā" (نكرًا) yang berarti "sangat mengerikan" atau "tidak terbayangkan" memberi penekanan kuat pada betapa dahsyatnya siksaan di neraka. Ini bukan sekadar ancaman, melainkan peringatan serius bagi siapa pun yang berani melampaui batas keadilan dan melakukan kezaliman. Ini seharusnya mendorong manusia untuk menjauhi dosa dan selalu mencari ampunan Allah.
Relevansi Ayat 87 di Era Modern
Meskipun kisah Dzulqarnain terjadi ribuan tahun yang lalu, pelajaran dari ayat 87 dan keseluruhan narasinya tetap sangat relevan bagi kita di era modern ini.
1. Tantangan Kezaliman Global
Di dunia kontemporer, kezaliman masih merajalela dalam berbagai bentuk: perang, penindasan ekonomi, korupsi sistemik, diskriminasi, hingga perusakan lingkungan. Ayat 87 mengingatkan para pemimpin dunia akan tanggung jawab mereka untuk menegakkan keadilan, bukan hanya di negaranya sendiri, tetapi juga dalam konteks hubungan internasional. Konsep "hukuman duniawi" oleh Dzulqarnain dapat dimaknai sebagai upaya penegakan hukum dan keadilan internasional, sementara "hukuman akhirat" adalah pengingat bahwa setiap tindakan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan semesta alam.
2. Etika Kepemimpinan dalam Politik dan Bisnis
Dzulqarnain adalah contoh pemimpin yang saleh dan adil. Di tengah krisis kepemimpinan yang sering kita saksikan, kisah ini memberikan inspirasi untuk memimpin dengan integritas, transparansi, dan fokus pada kesejahteraan rakyat. Kekuasaan harus digunakan untuk melayani, bukan untuk memperkaya diri atau kelompok. Prinsip membedakan antara yang zalim dan yang berbuat baik sangat relevan dalam pembentukan kebijakan publik dan pengambilan keputusan bisnis yang etis.
3. Perlindungan terhadap Kelompok Rentan
Kaum yang meminta perlindungan dari Ya'juj dan Ma'juj adalah simbol kelompok rentan di masyarakat. Ayat 87 dan pembangunan dinding adalah pelajaran tentang kewajiban kita untuk melindungi yang lemah, yang tertindas, dan yang tidak berdaya. Ini berlaku untuk perlindungan terhadap minoritas, anak-anak, perempuan, atau siapa pun yang menjadi korban ketidakadilan.
4. Peran Individu dalam Menegakkan Keadilan
Meskipun Dzulqarnain adalah seorang raja, ayat ini juga berbicara kepada setiap individu. Kita semua memiliki lingkup pengaruh di mana kita dapat menegakkan keadilan dan menghindari kezaliman, baik dalam keluarga, pekerjaan, maupun komunitas. Mengingat adanya hukuman akhirat, setiap individu didorong untuk melakukan introspeksi diri dan menjauhi perbuatan dosa yang masuk kategori kezaliman.
5. Menghadapi Ancaman Modern
Ya'juj dan Ma'juj adalah metafora untuk segala bentuk kekuatan destruktif yang mengancam peradaban. Di era modern, ancaman ini bisa berupa terorisme, ekstremisme, disinformasi, pandemi, atau krisis iklim. Pelajaran dari Dzulqarnain adalah bahwa kita harus bekerja sama, menggunakan ilmu pengetahuan dan sumber daya yang ada, serta memohon pertolongan Allah untuk membangun "dinding-dinding" perlindungan dari ancaman-ancaman ini.
6. Pendidikan dan Penanaman Nilai
Pendidikan yang kuat tentang nilai-nilai keadilan, tanggung jawab, dan keimanan adalah "dinding" terbaik untuk mencegah kezaliman di masa depan. Mengajarkan generasi muda tentang kisah Dzulqarnain dan pelajaran dari ayat 87 dapat membentuk karakter yang kuat dan pemimpin yang adil di masa mendatang.
Dengan demikian, Surah Al-Kahfi ayat 87 bukan hanya catatan sejarah kuno, melainkan sebuah panduan etis dan moral yang relevan untuk setiap zaman dan tempat, mendorong manusia menuju kehidupan yang lebih adil, bertanggung jawab, dan beriman.
Kesimpulan
Surah Al-Kahfi ayat 87 adalah permata hikmah yang terpancar dari kisah Dzulqarnain, seorang pemimpin yang diberkahi Allah dengan kekuasaan dan kebijaksanaan. Ayat ini secara ringkas, namun padat makna, menyampaikan prinsip fundamental tentang keadilan ilahi dan pertanggungjawaban ganda—duniawi dan ukhrawi—bagi setiap individu yang berani melakukan kezaliman.
Pernyataan Dzulqarnain, "Adapun orang yang berbuat zalim, maka kami akan menyiksanya, kemudian dia akan dikembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan akan menyiksanya dengan siksaan yang sangat mengerikan," adalah manifestasi ketegasan seorang penguasa yang tunduk pada hukum Allah. Ini bukan sekadar ancaman, melainkan penegasan akan adanya konsekuensi yang pasti bagi setiap tindakan aniaya. Hukuman di dunia oleh tangan penguasa yang adil adalah pelajaran dan pencegahan, sementara hukuman di akhirat oleh Allah SWT adalah puncak dari keadilan mutlak, yang tidak dapat dihindari atau diringankan.
Kisah ini, terutama yang berkaitan dengan pembangunan dinding untuk menghalau Ya'juj dan Ma'juj, semakin menegaskan komitmen Dzulqarnain terhadap keadilan dan perlindungan kaum yang tertindas. Ia menggunakan kekuasaan, sumber daya, dan ilmunya untuk membangun benteng yang kokoh, bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan demi kemaslahatan umat. Ini adalah teladan sempurna bagi setiap pemimpin, bahwa amanah kekuasaan harus diemban dengan penuh tanggung jawab, mengutamakan keadilan, dan senantiasa bersandar kepada pertolongan Allah.
Pelajaran dari Al-Kahfi ayat 87 menjangkau lebih dari sekadar konteks historis. Ia berbicara kepada hati nurani setiap manusia, mengingatkan akan pentingnya menjauhi kezaliman dalam segala bentuknya, baik terhadap diri sendiri, sesama manusia, maupun lingkungan. Ayat ini mendorong kita untuk menjadi pribadi yang adil, baik dalam ucapan maupun perbuatan, serta selalu mengingat Hari Pembalasan di mana setiap jiwa akan dihisab atas apa yang telah dilakukannya.
Di tengah kompleksitas dan tantangan kehidupan modern, prinsip-prinsip yang terkandung dalam ayat ini menjadi mercusuar yang menerangi jalan menuju masyarakat yang lebih baik. Ia mendorong kita untuk membangun sistem yang adil, melawan penindasan, melindungi yang rentan, dan senantiasa memupuk kesadaran akan kehadiran Ilahi dalam setiap aspek kehidupan. Semoga kita termasuk golongan yang mengambil pelajaran dari ayat-ayat-Nya dan senantiasa berada dalam naungan keadilan dan rahmat-Nya.