Menggali Hikmah Surah Al-Kahf: Tafsir dan Pelajaran dari Ayat 50-110
Surah Al-Kahf adalah salah satu surah yang memiliki kedudukan istimewa dalam Al-Qur'an. Dengan 110 ayat, surah Makkiyah ini dikenal karena mengandung empat kisah utama yang sarat dengan pelajaran dan hikmah mendalam: Ashabul Kahf (Penghuni Gua), pemilik dua kebun, Nabi Musa AS dengan Khidr AS, dan Dzulqarnain. Empat kisah ini sering diinterpretasikan sebagai perumpamaan tentang empat fitnah (ujian) terbesar dalam hidup: fitnah agama, fitnah harta, fitnah ilmu, dan fitnah kekuasaan.
Artikel ini akan mengulas secara mendalam ayat-ayat terakhir dari Surah Al-Kahf, yaitu dari ayat 50 hingga 110. Rentang ayat ini merupakan kelanjutan dari narasi-narasi sebelumnya, yang berpuncak pada kisah Nabi Musa dan Khidr, kisah Dzulqarnain, serta peringatan tentang Hari Kiamat dan pentingnya amal saleh. Ayat-ayat ini tidak hanya memberikan wawasan sejarah dan moral, tetapi juga menanamkan pemahaman yang lebih dalam tentang takdir Ilahi, keterbatasan ilmu manusia, ujian kekuasaan, dan hakikat kehidupan duniawi yang fana.
Mari kita selami makna dan pelajaran yang terkandung dalam setiap bagian dari ayat 50-110, agar kita dapat mengambil ibrah dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
1. Pengingat tentang Kesombongan Iblis dan Hakikat Penciptaan Manusia (Ayat 50-59)
Bagian awal ini mengembalikan fokus pada hakikat penciptaan manusia dan asal mula keangkuhan, serta menyoroti kerasnya penolakan sebagian manusia terhadap kebenaran Ilahi.
Ayat 50: Kisah Iblis dan Kesombongannya
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَٰٓئِكَةِ ٱسْجُدُوا۟ لِءَادَمَ فَسَجَدُوٓا۟ إِلَّآ إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ ٱلْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِۦٓ ۗ أَفَتَتَّخِذُونَهُۥ وَذُرِّيَّتَهُۥٓ أَوْلِيَآءَ مِن دُونِى وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّۢ ۚ بِئْسَ لِلظَّٰلِمِينَ بَدَلًا
"Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, 'Sujudlah kamu kepada Adam!' Maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan keturunannya sebagai pemimpin selain Aku, padahal mereka adalah musuhmu? Amat buruklah Iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim."
Ayat ini membuka rentang diskusi kita dengan mengingatkan kembali kisah penciptaan Adam dan pembangkangan Iblis. Ketika Allah memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepada Adam sebagai bentuk penghormatan atas karunia ilmu yang diberikan Allah kepadanya, mereka semua patuh. Namun, Iblis, yang berasal dari golongan jin (bukan malaikat, meskipun sebelumnya bersama mereka), menolak perintah tersebut karena kesombongan, merasa lebih mulia karena diciptakan dari api, sementara Adam dari tanah.
Pelajaran penting dari ayat ini adalah peringatan keras tentang bahaya kesombongan dan kebutaan hati. Iblis, karena keangkuhannya, memilih untuk mendurhakai Allah dan menjadi musuh abadi bagi manusia. Allah kemudian menanyakan, bagaimana mungkin manusia menjadikan Iblis dan keturunannya sebagai pelindung atau pemimpin, padahal mereka adalah musuh yang nyata? Ini adalah celaan bagi mereka yang mengikuti bisikan setan dan melupakan perintah Allah. Ketaatan kepada Iblis adalah pengganti yang sangat buruk bagi ketaatan kepada Allah, dan hanya orang-orang zalim yang akan memilih jalan tersebut.
Ayat 51-53: Penegasan Tauhid dan Penyesalan di Akhirat
مَّآ أَشْهَدتُّهُمْ خَلْقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَلَا خَلْقَ أَنفُسِهِمْ وَمَا كُنتُ مُتَّخِذَ ٱلْمُضِلِّينَ عَضُدًا
"Aku tidak menghadirkan mereka (Iblis dan keturunannya) untuk menyaksikan penciptaan langit dan bumi, dan tidak (pula) penciptaan diri mereka sendiri; dan Aku tidak menjadikan orang-orang yang menyesatkan itu sebagai pembantu."
وَيَوْمَ يَقُولُ نَادُوا۟ شُرَكَآءِىَ ٱلَّذِينَ زَعَمْتُمْ فَدَعَوْهُمْ فَلَمْ يَسْتَجِيبُوا۟ لَهُمْ وَجَعَلْنَا بَيْنَهُم مَّوْبِقًا
"Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Dia berfirman, 'Panggillah olehmu sekutu-sekutu-Ku yang kamu sangka itu.' Lalu mereka memanggilnya, tetapi sekutu-sekutu itu tidak menyahut seruan mereka, dan Kami adakan di antara mereka tempat kebinasaan (neraka)."
وَرَءَا ٱلْمُجْرِمُونَ ٱلنَّارَ فَظَنُّوٓا۟ أَنَّهُم مُّوَاقِعُوهَا وَلَمْ يَجِدُوا۟ عَنْهَا مَصْرِفًا
"Dan orang-orang yang berdosa melihat neraka, maka mereka yakin bahwa mereka akan jatuh ke dalamnya, dan mereka tidak menemukan tempat untuk berpaling daripadanya."
Ayat-ayat ini melanjutkan argumen tentang keesaan Allah dan kebodohan orang-orang yang menyekutukan-Nya. Allah menegaskan bahwa Iblis dan keturunannya tidak memiliki peran dalam penciptaan alam semesta, bahkan dalam penciptaan diri mereka sendiri. Mereka bukanlah sekutu Allah, melainkan pembangkang. Allah tidak akan menjadikan penyesat sebagai penolong atau pembantu-Nya.
Kemudian, ayat 52-53 menggambarkan kengerian Hari Kiamat. Allah akan memerintahkan para penyekutu untuk memanggil sesembahan mereka yang dulu disembah selain Allah. Namun, tidak ada satupun yang akan menyahut panggilan mereka. Sebaliknya, antara penyembah dan yang disembah akan ada jurang kehancuran yang tak teratasi, yaitu neraka. Para pendosa akan melihat neraka, menyadari bahwa mereka pasti akan memasukinya, dan tidak ada jalan keluar atau tempat berlindung bagi mereka. Ini adalah gambaran jelas tentang kehampaan syirik dan keadilan Ilahi.
Ayat 54-56: Hikmah Perumpamaan dan Penolakan Manusia
وَلَقَدْ صَرَّفْنَا فِى هَٰذَا ٱلْقُرْءَانِ لِلنَّاسِ مِن كُلِّ مَثَلٍ ۚ وَكَانَ ٱلْإِنسَٰنُ أَكْثَرَ شَىْءٍ جَدَلًا
"Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi dalam Al-Qur'an ini bermacam-macam perumpamaan bagi manusia. Tetapi manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah."
وَمَا مَنَعَ ٱلنَّاسَ أَن يُؤْمِنُوٓا۟ إِذْ جَآءَهُمُ ٱلْهُدَىٰ وَيَسْتَغْفِرُوا۟ رَبَّهُمْ إِلَّآ أَن تَأْتِيَهُمْ سُنَّةُ ٱلْأَوَّلِينَ أَوْ يَأْتِيَهُمُ ٱلْعَذَابُ قُبُلًا
"Dan tidak ada yang menghalangi manusia untuk beriman ketika petunjuk datang kepada mereka, dan memohon ampun kepada Tuhan mereka, kecuali (keinginan menanti) datangnya ketentuan (sunnah) orang-orang yang telah lalu, atau datangnya azab atas mereka secara langsung (berhadapan)."
وَمَا نُرْسِلُ ٱلْمُرْسَلِينَ إِلَّا مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ ۚ وَيُجَٰدِلُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ بِٱلْبَٰطِلِ لِيُدْحِضُوا۟ بِهِ ٱلْحَقَّ ۖ وَٱتَّخَذُوٓا۟ ءَايَٰتِى وَمَآ أُنذِرُوا۟ هُزُوًا
"Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul melainkan sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Tetapi orang-orang yang kafir membantah dengan (cara) yang batil agar mereka dapat melenyapkan kebenaran dengan bantahan itu, dan mereka menganggap ayat-ayat-Ku dan peringatan-peringatan terhadap mereka sebagai olok-olokan."
Ayat-ayat ini menyoroti karakteristik manusia yang unik dalam menghadapi kebenaran. Allah menjelaskan bahwa Dia telah menyajikan berbagai perumpamaan dan pelajaran dalam Al-Qur'an agar manusia memahami. Namun, manusia seringkali menjadi makhluk yang paling banyak membantah, berdebat tanpa dasar, dan menolak kebenaran meskipun telah jelas.
Penolakan iman ini bukan karena kurangnya bukti, melainkan karena kesombongan atau keinginan untuk menunda hingga mereka menyaksikan azab yang sama yang menimpa umat-umat terdahulu. Allah mengutus para rasul bukan untuk memaksa, melainkan untuk memberikan kabar gembira bagi yang beriman dan peringatan bagi yang ingkar. Namun, orang-orang kafir justru menggunakan argumentasi batil untuk melawan kebenaran, bahkan mengolok-olok ayat-ayat Allah dan peringatan-Nya. Ini menunjukkan betapa kerasnya hati dan pikiran mereka yang menolak petunjuk.
Ayat 57-59: Konsekuensi Penolakan dan Hikmah Penundaan Azab
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن ذُكِّرَ بِـَٔايَٰتِ رَبِّهِۦ فَأَعْرَضَ عَنْهَا وَنَسِىَ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ ۚ إِنَّا جَعَلْنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ أَكِنَّةً أَن يَفْقَهُوهُ وَفِىٓ ءَاذَانِهِمْ وَقْرًا ۖ وَإِن تَدْعُهُمْ إِلَى ٱلْهُدَىٰ فَلَن يَهْتَدُوٓا۟ إِذًا أَبَدًا
"Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya lalu dia berpaling daripadanya dan melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya? Sesungguhnya Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka agar mereka tidak memahaminya, dan (meletakkan) sumbatan di telinga mereka. Dan kendatipun kamu menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk selama-lamanya."
وَرَبُّكَ ٱلْغَفُورُ ذُو ٱلرَّحْمَةِ ۖ لَوْ يُؤَاخِذُهُم بِمَا كَسَبُوا۟ لَعَجَّلَ لَهُمُ ٱلْعَذَابَ ۚ بَل لَّهُم مَّوْعِدٌ لَّن يَجِدُوا۟ مِن دُونِهِۦ مَوْئِلًا
"Dan Tuhanmulah Yang Maha Pengampun lagi mempunyai rahmat. Jika Dia mengazab mereka karena perbuatan yang telah mereka kerjakan, tentu Dia akan menyegerakan azab bagi mereka. Tetapi bagi mereka ada waktu yang dijanjikan (untuk azab) yang sekali-kali mereka tidak akan menemukan tempat berlindung dari-Nya."
وَتِلْكَ ٱلْقُرَىٰٓ أَهْلَكْنَٰهُمْ لَمَّا ظَلَمُوا۟ وَجَعَلْنَا لِمَهْلِكِهِم مَّوْعِدًا
"Dan (penduduk) negeri-negeri itu telah Kami binasakan ketika mereka berbuat zalim, dan telah Kami tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka."
Ayat-ayat ini menggambarkan akibat fatal dari penolakan terhadap kebenaran. Orang yang paling zalim adalah mereka yang telah diingatkan dengan ayat-ayat Allah, tetapi berpaling dan melupakan perbuatan buruk yang telah mereka lakukan. Sebagai akibat dari penolakan terus-menerus ini, hati mereka tertutup dan telinga mereka tersumbat, sehingga mereka tidak akan pernah bisa memahami petunjuk, meskipun telah diseru berulang kali.
Namun, Allah juga Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Jika Allah langsung mengazab mereka atas setiap dosa yang mereka perbuat, niscaya azab itu akan datang dengan cepat. Akan tetapi, Allah memberi mereka waktu, menunda azab hingga batas yang telah ditentukan, agar mereka memiliki kesempatan untuk bertaubat. Jika batas waktu itu tiba, tidak ada tempat berlindung bagi mereka dari azab Allah. Ini adalah sunnatullah (ketentuan Allah) yang juga telah menimpa negeri-negeri terdahulu yang berbuat zalim, mereka dibinasakan pada waktu yang telah ditentukan.
2. Kisah Nabi Musa dan Khidr: Pelajaran tentang Ilmu dan Kesabaran (Ayat 60-82)
Bagian ini adalah salah satu narasi paling terkenal dan penuh hikmah dalam Al-Qur'an, mengajarkan tentang kedalaman ilmu Allah, keterbatasan akal manusia, pentingnya kesabaran, dan hikmah di balik peristiwa yang tampak aneh atau tidak adil.
Ayat 60-61: Permulaan Perjalanan Nabi Musa Mencari Ilmu
وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِفَتَىٰهُ لَآ أَبْرَحُ حَتَّىٰٓ أَبْلُغَ مَجْمَعَ ٱلْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِىَ حُقُبًا
"Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya, 'Aku tidak akan berhenti berjalan sebelum sampai ke pertemuan dua laut; atau aku akan berjalan terus sampai bertahun-tahun.'"
فَلَمَّا بَلَغَا مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا نَسِيَا حُوتَهُمَا فَٱتَّخَذَ سَبِيلَهُۥ فِى ٱلْبَحْرِ سَرَبًا
"Maka ketika mereka sampai ke pertemuan dua laut itu, mereka lupa akan ikan mereka, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu dengan cara yang aneh sekali."
Kisah ini dimulai dengan Nabi Musa AS, salah seorang rasul Allah yang memiliki ilmu yang luas, merasa ada seseorang yang memiliki ilmu yang lebih mendalam darinya. Melalui wahyu, Allah mengutus Musa untuk menemui hamba-Nya yang saleh, Khidr (yang diyakini sebagai seorang nabi atau wali Allah), di tempat pertemuan dua laut (Majma’ al-Bahrain). Dengan tekad yang kuat, Musa berkata kepada muridnya (Yusya' bin Nun) bahwa ia tidak akan berhenti sampai menemukan tempat itu, meskipun harus berjalan sangat lama.
Dalam perjalanan mereka, Musa membawa bekal seekor ikan yang telah dipanggang. Ketika mereka mencapai tempat pertemuan dua laut, keduanya lupa akan ikan tersebut. Ikan itu, secara mukjizat, hidup kembali dan melompat ke laut, meninggalkan jejak seperti lorong di dalam air. Peristiwa ini menjadi tanda penting bagi Musa bahwa mereka telah tiba di tujuan.
Ayat 62-64: Tanda yang Terlupakan dan Pertemuan yang Dinanti
فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَىٰهُ ءَاتِنَا غَدَآءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِن سَفَرِنَا هَٰذَا نَصَبًا
"Maka setelah mereka berjalan jauh, berkatalah Musa kepada muridnya, 'Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.'"
قَالَ أَرَءَيْتَ إِذْ أَوَيْنَآ إِلَى ٱلصَّخْرَةِ فَإِنِّى نَسِيتُ ٱلْحُوتَ وَمَآ أَنسَٰنِيهُ إِلَّا ٱلشَّيْطَٰنُ أَنْ أَذْكُرَهُۥ ۚ وَٱتَّخَذَ سَبِيلَهُۥ فِى ٱلْبَحْرِ عَجَبًا
"Muridnya menjawab, 'Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu itu, sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak ada yang membuat aku lupa untuk mengingatnya kecuali setan, dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.'"
قَالَ ذَٰلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ ۚ فَٱرْتَدَّا عَلَىٰٓ ءَاثَارِهِمَا قَصَصًا
"Musa berkata, 'Itulah tempat yang kita cari.' Lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula."
Setelah melanjutkan perjalanan yang cukup jauh dan merasakan kelelahan, Musa meminta muridnya untuk membawa bekal makanan. Saat itulah muridnya teringat dan menjelaskan bahwa dia lupa menceritakan tentang ikan yang hidup kembali di batu besar tempat mereka beristirahat sebelumnya. Dia menyalahkan setan atas kelalaiannya itu, dan menambahkan bahwa ikan itu bergerak ke laut dengan cara yang sangat menakjubkan.
Mendengar hal ini, Musa segera menyadari bahwa itulah tanda yang diberikan Allah untuk menemukan Khidr. Tanpa membuang waktu, mereka berdua segera kembali menyusuri jejak kaki mereka, dengan penuh harap untuk bertemu dengan hamba Allah yang istimewa itu.
Ayat 65-70: Pertemuan dengan Khidr dan Syarat Kesabaran
فَوَجَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَآ ءَاتَيْنَٰهُ رَحْمَةً مِّنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَٰهُ مِن لَّدُنَّا عِلْمًا
"Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami."
قَالَ لَهُۥ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰٓ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
"Musa berkata kepadanya, 'Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu) petunjuk yang telah diajarkan kepadamu?'"
قَالَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِىَ صَبْرًا
"Dia menjawab, 'Sungguh, engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku.'"
وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَىٰ مَا لَمْ تُحِطْ بِهِۦ خُبْرًا
"Bagaimana engkau akan dapat bersabar atas sesuatu yang engkau belum mengetahuinya secara sempurna?"
قَالَ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ صَابِرًا وَلَآ أَعْصِى لَكَ أَمْرًا
"Musa berkata, 'Insya Allah engkau akan mendapati aku orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.'"
قَالَ فَإِنِ ٱتَّبَعْتَنِى فَلَا تَسْـَٔلْنِى عَن شَىْءٍ حَتَّىٰٓ أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا
"Dia berkata, 'Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri yang menerangkannya kepadamu.'"
Setibanya di sana, Musa dan muridnya bertemu dengan Khidr, yang digambarkan sebagai hamba yang telah Allah karuniai rahmat dan ilmu khusus dari sisi-Nya. Musa, dengan kerendahan hati seorang pencari ilmu, langsung memohon izin untuk mengikutinya agar bisa belajar darinya.
Khidr, yang mengetahui sifat ilmu yang akan dia ajarkan, segera mengingatkan Musa bahwa dia tidak akan sanggup bersabar. Ilmu yang dimiliki Khidr adalah ilmu ladunni (langsung dari Allah) yang melibatkan hikmah di balik peristiwa yang di mata manusia tampak tidak masuk akal atau bahkan salah secara syariat yang zhahir. Bagaimana Musa bisa bersabar jika dia tidak memahami keseluruhan gambaran dari setiap tindakan Khidr?
Musa, dengan keyakinan dan tawakal kepada Allah, berjanji akan bersabar dan tidak akan menentang perintah Khidr. Sebagai syarat, Khidr menetapkan bahwa Musa tidak boleh menanyakan apa pun tentang tindakannya sampai Khidr sendiri yang menjelaskannya. Ini adalah ujian kesabaran dan kepercayaan yang luar biasa bagi seorang Nabi seperti Musa, yang terbiasa memahami kebenaran melalui wahyu dan hukum syariat yang jelas.
Ayat 71-73: Peristiwa Pertama — Melubangi Perahu
فَٱنطَلَقَا حَتَّىٰٓ إِذَا رَكِبَا فِى ٱلسَّفِينَةِ خَرَقَهَا ۖ قَالَ أَلْخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ أَهْلَهَا لَقَدْ جِئْتَ شَيْـًٔا إِمْرًا
"Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidr melubanginya. Musa berkata, 'Mengapa engkau melubangi perahu itu akibatnya engkau menenggelamkan penumpangnya?' Sungguh, engkau telah berbuat sesuatu kesalahan besar."
قَالَ أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِىَ صَبْرًا
"Dia berkata, 'Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?'"
قَالَ لَا تُؤَاخِذْنِى بِمَا نَسِيتُ وَلَا تُرْهِقْنِى مِنْ أَمْرِى عُسْرًا
"Musa berkata, 'Janganlah engkau menghukumku karena kelupaanku dan janganlah engkau membebaniku dengan kesulitan dalam urusanku.'"
Perjalanan mereka dimulai. Ketika mereka naik sebuah perahu (milik nelayan miskin yang mengangkut mereka secara gratis), Khidr tanpa ragu melubangi perahu tersebut. Musa, yang terbiasa dengan hukum dan keadilan, tidak dapat menahan diri. Ia langsung protes keras, "Mengapa engkau melubangi perahu ini? Engkau akan menenggelamkan penumpangnya! Sungguh, engkau telah melakukan perbuatan yang sangat mungkar!"
Khidr, dengan tenang, mengingatkan Musa akan janjinya, "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa engkau tidak akan dapat sabar bersamaku?" Musa segera menyadari kesalahannya, memohon maaf dan berjanji tidak akan mengulangi lagi, meminta agar tidak dipersulit dalam perjalanannya mencari ilmu.
Pelajaran di sini adalah tentang bagaimana kita seringkali menilai sesuatu dari sudut pandang yang terbatas, berdasarkan apa yang tampak di permukaan. Tindakan Khidr tampaknya merusak dan tidak logis, namun ada hikmah yang lebih besar di baliknya yang belum terungkap.
Ayat 74-76: Peristiwa Kedua — Membunuh Anak Muda
فَٱنطَلَقَا حَتَّىٰٓ إِذَا لَقِيَا غُلَٰمًا فَقَتَلَهُۥ قَالَ أَقَتَلْتَ نَفْسًا زَكِيَّةً بِغَيْرِ نَفْسٍ لَّقَدْ جِئْتَ شَيْـًٔا نُّكْرًا
"Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak muda, maka Khidr membunuhnya. Musa berkata, 'Mengapa engkau membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sungguh, engkau telah melakukan perbuatan yang sangat mungkar.'"
قَالَ أَلَمْ أَقُل لَّكَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِىَ صَبْرًا
"Dia berkata, 'Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya engkau tidak akan dapat sabar bersamaku?'"
قَالَ إِن سَأَلْتُكَ عَن شَىْءٍ بَعْدَهَا فَلَا تُصَٰحِبْنِى ۖ قَدْ بَلَغْتَ مِن لَّدُنِّى عُذْرًا
"Musa berkata, 'Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah ini, maka janganlah engkau memperbolehkan aku menyertaimu. Sesungguhnya engkau sudah cukup memberikan alasan (untuk berpisah) dariku.'"
Setelah insiden perahu, mereka melanjutkan perjalanan. Mereka bertemu dengan seorang anak muda, dan tanpa peringatan atau alasan yang jelas bagi Musa, Khidr membunuhnya. Kali ini, Musa lebih terkejut dan marah. Membunuh jiwa yang tidak bersalah adalah dosa besar dalam syariat mana pun. Musa kembali protes keras, "Mengapa engkau membunuh jiwa yang bersih, padahal dia tidak membunuh orang lain? Sungguh, engkau telah melakukan perbuatan yang sangat keji!"
Khidr kembali mengingatkan Musa tentang kurangnya kesabaran. Kali ini, Musa benar-benar merasa bersalah dan malu. Ia menyadari bahwa ia telah melanggar janjinya untuk kedua kalinya. Dengan berat hati, ia berjanji bahwa jika ia bertanya lagi setelah ini, Khidr berhak meninggalkannya. Ini menunjukkan betapa sulitnya bagi manusia untuk menerima sesuatu yang di luar pemahaman logis mereka, terutama jika itu bertentangan dengan prinsip-prinsip moral yang diyakini.
Ayat 77-78: Peristiwa Ketiga — Membangun Dinding Roboh
فَٱنطَلَقَا حَتَّىٰٓ إِذَآ أَتَيَآ أَهْلَ قَرْيَةٍ ٱسْتَطْعَمَآ أَهْلَهَا فَأَبَوْا۟ أَن يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَن يَنقَضَّ فَأَقَامَهُۥ ۖ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا
"Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka meminta dijamu oleh penduduknya, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka. Kemudian mereka mendapati di negeri itu sebuah dinding yang hampir roboh, lalu Khidr menegakkannya. Musa berkata, 'Jikalau engkau mau, niscaya engkau dapat meminta upah untuk itu.'"
قَالَ هَٰذَا فِرَاقُ بَيْنِى وَبَيْنِكَ ۚ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِع عَّلَيْهِ صَبْرًا
"Dia berkata, 'Inilah perpisahan antara aku dan engkau; aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.'"
Peristiwa ketiga terjadi ketika mereka tiba di sebuah desa. Mereka meminta makanan dari penduduknya, tetapi mereka menolak untuk menjamu tamu. Meskipun diperlakukan tidak ramah, Khidr kemudian melihat sebuah dinding yang hampir roboh di desa itu dan dengan sukarela membangunnya kembali. Musa, yang melihat kesempatan untuk mendapatkan upah di tengah kelaparan dan keengganan penduduk desa untuk menolong, protes lagi, "Jikalau engkau mau, niscaya engkau dapat meminta upah untuk itu!"
Protes kali ini, meskipun tidak sekritis sebelumnya, tetap dianggap pelanggaran terhadap janji Musa. Khidr menyatakan bahwa inilah saatnya perpisahan mereka, karena Musa telah melanggar batas yang disepakati. Namun, sebelum berpisah, Khidr berjanji untuk menjelaskan hikmah di balik setiap tindakannya.
Pelajaran yang bisa diambil dari insiden ini adalah tentang amal kebaikan yang dilakukan tanpa mengharapkan balasan, bahkan terhadap mereka yang tidak berterima kasih. Juga, tentang bagaimana kita cenderung menilai segala sesuatu berdasarkan keuntungan duniawi yang tampak.
Ayat 79-82: Penjelasan Khidr atas Setiap Peristiwa
أَمَّا ٱلسَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَٰكِينَ يَعْمَلُونَ فِى ٱلْبَحْرِ فَأَرَدتُّ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَآءَهُم مَّلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا
"Adapun perahu itu adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bermaksud merusaknya, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas setiap perahu (yang baik) secara paksa."
وَأَمَّا ٱلْغُلَٰمُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَآ أَن يُرْهِقَهُمَا طُغْيَٰنًا وَكُفْرًا
"Dan adapun anak muda itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir dia akan memaksa kedua orang tuanya kepada kesesatan dan kekafiran."
فَأَرَدْنَآ أَن يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِّنْهُ زَكَوٰةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا
"Maka kami menghendaki agar Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan (anak lain) yang lebih baik kesuciannya dari (anak) itu dan lebih sayang (kepada ibu bapaknya)."
وَأَمَّا ٱلْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَٰمَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِى ٱلْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُۥ كَنزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَٰلِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن يَبْلُغَآ أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ ۚ وَمَا فَعَلْتُهُۥ عَنْ أَمْرِى ۚ ذَٰلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِع عَّلَيْهِ صَبْرًا
"Dan adapun dinding itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan mengeluarkan simpanan itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Dan bukanlah aku melakukannya menurut kemauanku sendiri. Itulah penjelasan perbuatan-perbuatan yang engkau tidak dapat sabar terhadapnya."
Inilah puncak dari kisah Musa dan Khidr, tempat semua misteri terungkap. Khidr menjelaskan alasan di balik setiap tindakannya yang tampak aneh dan tidak adil:
1. Melubangi Perahu: Perahu itu adalah milik orang-orang miskin yang mencari nafkah di laut. Di depan mereka ada seorang raja zalim yang merampas setiap perahu yang kondisinya baik. Dengan melubangi perahu itu (merusaknya sedikit agar tampak cacat), Khidr menyelamatkan perahu tersebut dari perampasan raja, sehingga pemiliknya masih bisa memperbaikinya dan terus mencari nafkah. Kerugian kecil ini mencegah kerugian yang jauh lebih besar.
2. Membunuh Anak Muda: Anak muda yang dibunuh itu, kedua orang tuanya adalah mukmin yang saleh. Allah mengetahui bahwa anak itu kelak akan tumbuh menjadi seorang yang durhaka, zalim, dan kufur, serta akan menyesatkan dan memaksakan kekafiran kepada kedua orang tuanya. Dengan mengambil nyawanya di usia muda, Allah menggantinya dengan anak lain yang lebih suci dan lebih berbakti kepada orang tuanya. Ini adalah bentuk rahmat Allah untuk menjaga keimanan kedua orang tua.
3. Membangun Dinding: Dinding yang diperbaiki itu adalah milik dua anak yatim di desa yang tidak ramah itu. Di bawah dinding tersebut terdapat harta simpanan untuk mereka. Ayah mereka adalah seorang yang saleh, dan Allah berkehendak agar harta itu tetap aman sampai kedua anak yatim itu dewasa dan cukup kuat untuk mengeluarkannya. Khidr menegaskan bahwa semua perbuatan itu bukanlah atas kehendaknya sendiri, melainkan atas perintah dan ilham dari Allah.
Pelajaran dari Kisah Musa dan Khidr:
Kisah ini adalah sumber pelajaran yang tak terhingga:
- Keterbatasan Ilmu Manusia: Meskipun Nabi Musa adalah seorang Nabi yang agung, ilmu yang dimilikinya terbatas pada syariat dan apa yang tampak. Ada ilmu yang lebih tinggi, yaitu ilmu tentang hakikat dan takdir Ilahi, yang tidak selalu sesuai dengan logika atau pemahaman manusia biasa.
- Pentingnya Kesabaran dan Kepercayaan: Kita seringkali dihadapkan pada peristiwa dalam hidup yang tampak buruk atau tidak adil. Kisah ini mengajarkan kita untuk bersabar, percaya pada hikmah Allah, dan tidak terburu-buru menghakimi. Ada rencana dan kebaikan yang lebih besar di balik setiap ujian.
- Hikmah di Balik Takdir: Banyak peristiwa yang kita anggap musibah, pada hakikatnya adalah rahmat dan kebaikan dari Allah untuk mencegah bahaya yang lebih besar atau untuk mendatangkan manfaat di masa depan.
- Kedalaman Rahmat Allah: Allah berfirman bahwa Khidr diberikan rahmat dari sisi-Nya. Rahmat ini manifestasi dalam bentuk perlindungan bagi orang miskin, penjagaan keimanan orang tua saleh, dan pengamanan harta anak yatim. Rahmat Allah melingkupi segala sesuatu, bahkan dalam peristiwa yang tampak menyakitkan.
- Keteladanan dalam Mencari Ilmu: Sikap rendah hati Nabi Musa yang rela menempuh perjalanan jauh dan bersabar (meskipun tiga kali melanggar) demi mencari ilmu adalah teladan bagi setiap penuntut ilmu.
3. Kisah Dzulkarnain: Kekuasaan, Keadilan, dan Peringatan Hari Kiamat (Ayat 83-101)
Bagian kedua dari ayat-ayat ini mengisahkan tentang Dzulkarnain, seorang penguasa yang adil dan berkuasa, yang melakukan perjalanan ke berbagai penjuru bumi. Kisahnya mengajarkan tentang penggunaan kekuasaan untuk kebaikan, keadilan, dan persiapan menghadapi Hari Kiamat.
Ayat 83-86: Dzulkarnain dan Perjalanan ke Barat
وَيَسْـَٔلُونَكَ عَن ذِى ٱلْقَرْنَيْنِ ۖ قُلْ سَأَتْلُوا۟ عَلَيْكُم مِّنْهُ ذِكْرًا
"Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulqarnain. Katakanlah, 'Aku akan bacakan kepadamu sebagian dari kisahnya.'"
إِنَّا مَكَّنَّا لَهُۥ فِى ٱلْأَرْضِ وَءَاتَيْنَٰهُ مِن كُلِّ شَىْءٍ سَبَبًا
"Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu."
فَأَتْبَعَ سَبَبًا
"Maka ia pun menempuh suatu jalan."
حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ ٱلشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِى عَيْنٍ حَمِئَةٍ وَوَجَدَ عِندَهَا قَوْمًا ۗ قُلْنَا يَٰذَا ٱلْقَرْنَيْنِ إِمَّآ أَن تُعَذِّبَ وَإِمَّآ أَن تَتَّخِذَ فِيهِمْ حُسْنًا
"Hingga apabila ia telah sampai ke tempat terbenam matahari, ia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan ia mendapati di situ segolongan umat. Kami berkata, 'Wahai Dzulqarnain, kamu boleh menyiksa atau kamu boleh berbuat kebaikan terhadap mereka.'"
Kisah ini dibuka dengan pertanyaan kaum Quraisy kepada Nabi Muhammad SAW tentang Dzulkarnain, seorang tokoh misterius yang memiliki dua tanduk (secara harfiah) atau dua zaman/kerajaan (secara metaforis). Allah memerintahkan Nabi untuk membacakan kisahnya sebagai petunjuk. Allah telah memberikan Dzulkarnain kekuasaan yang besar di bumi dan sarana untuk mencapai segala sesuatu yang diinginkannya, baik secara materi maupun strategi.
Dzulkarnain memulai perjalanannya ke arah barat. Ia sampai ke tempat terbenamnya matahari, yang dari sudut pandangnya tampak seolah-olah matahari terbenam di laut yang berlumpur hitam. Ini adalah gambaran visual dari posisi pengamat, bukan deskripsi ilmiah tentang matahari. Di sana, ia menemukan sekelompok orang. Allah memberinya pilihan: apakah akan menghukum mereka atau berbuat baik kepada mereka. Ini menunjukkan bahwa kekuasaan datang dengan tanggung jawab dan kebebasan memilih antara keadilan dan tirani.
Ayat 87-88: Keadilan Dzulkarnain
قَالَ أَمَّا مَن ظَلَمَ فَسَوْفَ نُعَذِّبُهُۥ ثُمَّ يُرَدُّ إِلَىٰ رَبِّهِۦ فَيُعَذِّبُهُۥ عَذَابًا نُّكْرًا
"Ia berkata, 'Adapun orang yang berbuat zalim, maka kami akan menyiksanya, kemudian dia akan dikembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan akan mengazabnya dengan azab yang sangat dahsyat.'"
وَأَمَّا مَنْ ءَامَنَ وَعَمِلَ صَٰلِحًا فَلَهُۥ جَزَآءً ٱلْحُسْنَىٰ ۖ وَسَنَقُولُ لَهُۥ مِنْ أَمْرِنَا يُسْرًا
"Adapun orang yang beriman dan beramal saleh, baginya ada pahala yang terbaik sebagai balasan, dan kami akan mengatakan kepadanya dari perintah kami (sesuatu) yang mudah."
Dzulkarnain memilih jalan keadilan. Ia menyatakan bahwa siapa pun yang berbuat zalim akan dihukum olehnya di dunia ini, dan di akhirat mereka akan menghadapi azab yang lebih pedih dari Allah. Sebaliknya, bagi mereka yang beriman dan beramal saleh, Dzulkarnain akan memberikan balasan yang baik dan kemudahan dalam urusan mereka. Ini menunjukkan karakteristik pemimpin yang adil, yang menegakkan hukum dan memberikan hak kepada setiap orang sesuai perbuatannya.
Ayat 89-91: Perjalanan ke Timur
ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبًا
"Kemudian ia menempuh suatu jalan (yang lain)."
حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ مَطْلِعَ ٱلشَّمْسِ وَجَدَهَا تَطْلُعُ عَلَىٰ قَوْمٍ لَّمْ نَجْعَل لَّهُم مِّن دُونِهَا سِتْرًا
"Hingga apabila ia telah sampai ke tempat terbit matahari, ia mendapatinya (matahari) bersinar di atas suatu kaum yang Kami tidak menjadikan bagi mereka suatu penutup pun dari (teriknya) matahari itu."
كَذَٰلِكَ وَقَدْ أَحَطْنَا بِمَا لَدَيْهِ خُبْرًا
"Demikianlah, dan sesungguhnya ilmu Kami meliputi segala apa yang ada padanya."
Setelah perjalanannya ke barat, Dzulkarnain kemudian melanjutkan perjalanannya ke timur, hingga mencapai tempat terbitnya matahari. Di sana, ia menemukan suatu kaum yang hidup tanpa penutup atau pelindung dari teriknya matahari. Ini mungkin menggambarkan kaum yang hidup primitif, tanpa tempat tinggal yang memadai atau pakaian yang layak. Kisah ini tidak merinci tindakan Dzulkarnain terhadap mereka, tetapi Allah menutup dengan menegaskan bahwa ilmu-Nya meliputi segala sesuatu yang dilakukan Dzulkarnain, menunjukkan bahwa setiap tindakan memiliki tujuan dan pengawasan Ilahi.
Ayat 92-96: Perjalanan ke Dua Gunung dan Pembangunan Dinding
ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبًا
"Kemudian ia menempuh suatu jalan (yang lain lagi)."
حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ بَيْنَ ٱلسَّدَّيْنِ وَجَدَ مِن دُونِهِمَا قَوْمًا لَّا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ قَوْلًا
"Hingga apabila ia telah sampai di antara dua gunung, ia mendapati di belakang kedua gunung itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan."
قَالُوا۟ يَٰذَا ٱلْقَرْنَيْنِ إِنَّ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مُفْسِدُونَ فِى ٱلْأَرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا عَلَىٰٓ أَن تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا
"Mereka berkata, 'Wahai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di bumi, maka dapatkah kami memberimu upah agar engkau membuatkan dinding antara kami dan mereka?'"
قَالَ مَا مَكَّنِّى فِيهِ رَبِّى خَيْرٌ فَأَعِينُونِى بِقُوَّةٍ أَجْعَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ رَدْمًا
"Dzulkarnain berkata, 'Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku adalah lebih baik (daripada upahmu), maka bantulah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding penghalang antara kamu dan mereka.'"
ءَاتُونِى زُبَرَ ٱلْحَدِيدِ ۖ حَتَّىٰٓ إِذَا سَاوَىٰ بَيْنَ ٱلصَّدَفَيْنِ قَالَ ٱنفُخُوا۟ ۖ حَتَّىٰٓ إِذَا جَعَلَهُۥ نَارًا قَالَ ءَاتُونِىٓ أُفْرِغْ عَلَيْهِ قِطْرًا
"Berilah aku potongan-potongan besi!' Hingga apabila (potongan besi) itu telah (bertumpuk) sama tinggi dengan kedua puncak gunung, dia (Dzulkarnain) berkata, 'Tiuplah (api itu)!' Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, dia pun berkata, 'Berilah aku tembaga (cair) agar aku tuangkan ke atas besi panas itu.'"
فَمَا ٱسْطَٰعُوٓا۟ أَن يَظْهَرُوهُ وَمَا ٱسْتَطَٰعُوا۟ لَهُۥ نَقْبًا
"Maka mereka (Ya'juj dan Ma'juj) tidak dapat mendakinya dan tidak dapat (pula) melubanginya."
Perjalanan ketiga Dzulkarnain membawanya ke suatu tempat di antara dua gunung, di mana ia bertemu dengan kaum yang bahasanya sulit dimengerti. Kaum ini mengeluh kepada Dzulkarnain tentang kerusakan yang ditimbulkan oleh Ya'juj dan Ma'juj di bumi, dan menawarkan upah jika Dzulkarnain bersedia membangun penghalang antara mereka dan makhluk perusak itu.
Dzulkarnain menolak upah, menyatakan bahwa kekuasaan yang telah Allah berikan kepadanya lebih dari cukup. Ia hanya meminta bantuan berupa tenaga dan alat untuk membangun dinding tersebut. Dengan menggunakan potongan-potongan besi yang ditumpuk hingga setinggi kedua gunung, kemudian dibakar hingga merah membara, dan di atasnya dituangkan tembaga cair, ia berhasil membangun dinding yang sangat kokoh. Dinding ini begitu kuat sehingga Ya'juj dan Ma'juj tidak mampu mendakinya atau melubanginya.
Ayat 97-101: Dinding Ya'juj Ma'juj dan Tanda Hari Kiamat
قَالَ هَٰذَا رَحْمَةٌ مِّن رَّبِّى ۖ فَإِذَا جَآءَ وَعْدُ رَبِّى جَعَلَهُۥ دَكَّآءَ ۖ وَكَانَ وَعْدُ رَبِّى حَقًّا
"Dzulkarnain berkata, 'Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila janji Tuhanku datang, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar.'"
وَتَرَكْنَا بَعْضَهُمْ يَوْمَئِذٍ يَمُوجُ فِى بَعْضٍ ۖ وَنُفِخَ فِى ٱلصُّورِ فَجَمَعْنَٰهُمْ جَمْعًا
"Kami biarkan mereka pada hari itu bergelombang antara satu dengan yang lain, dan ditiuplah sangkakala, lalu Kami kumpulkan mereka semuanya."
وَعَرَضْنَا جَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ لِّلْكَٰفِرِينَ عَرْضًا
"Dan Kami perlihatkan Jahannam pada hari itu dengan jelas kepada orang-orang kafir."
ٱلَّذِينَ كَانَتْ أَعْيُنُهُمْ فِى غِطَآءٍ عَن ذِكْرِى وَكَانُوا۟ لَا يَسْتَطِيعُونَ سَمْعًا
"(Yaitu) orang-orang yang mata mereka (tertutup) dari peringatan-Ku, dan mereka tidak dapat mendengar."
Setelah pembangunan dinding selesai, Dzulkarnain tidak merasa sombong. Ia justru bersyukur dan mengakui bahwa dinding itu adalah rahmat dari Allah. Ia juga memberikan peringatan bahwa pada saatnya nanti, ketika janji Allah (tentang Hari Kiamat) tiba, dinding itu akan hancur luluh. Janji Allah itu pasti akan terwujud.
Ayat-ayat berikutnya (99-101) menggambarkan adegan Hari Kiamat. Ketika dinding Ya'juj dan Ma'juj runtuh, mereka akan keluar dan menyebar ke seluruh bumi seperti gelombang yang membanjiri. Kemudian, sangkakala akan ditiup, dan semua makhluk akan dikumpulkan untuk dihisab. Neraka Jahannam akan diperlihatkan dengan jelas kepada orang-orang kafir – mereka yang selama hidupnya buta terhadap tanda-tanda kebesaran Allah dan tuli terhadap peringatan-Nya. Mereka adalah orang-orang yang menolak untuk mendengar dan melihat kebenaran.
Pelajaran dari Kisah Dzulkarnain:
- Kekuasaan untuk Kebaikan: Kisah ini mengajarkan bahwa kekuasaan sejati adalah yang digunakan untuk menegakkan keadilan, melindungi yang lemah, dan mencegah kerusakan, bukan untuk menindas atau mencari keuntungan pribadi.
- Kerendahan Hati dan Tawakal: Meskipun memiliki kekuasaan dan kecerdasan, Dzulkarnain tetap rendah hati, menyandarkan setiap keberhasilannya kepada rahmat Allah, dan menolak upah.
- Perencanaan dan Kerja Keras: Pembangunan dinding menunjukkan pentingnya perencanaan matang, memanfaatkan sumber daya (besi, tembaga), dan kerja sama dengan masyarakat.
- Tanda-tanda Hari Kiamat: Dinding Ya'juj dan Ma'juj adalah salah satu tanda besar kiamat. Kisah ini mengingatkan kita akan akhir dunia dan pentingnya persiapan melalui amal saleh.
- Keadilan Ilahi: Allah akan memperlihatkan konsekuensi dari amal perbuatan di Hari Kiamat. Bagi yang ingkar, neraka akan terhampar jelas.
4. Peringatan Hari Kiamat dan Pentingnya Amal Saleh (Ayat 102-110)
Bagian penutup Surah Al-Kahf ini merangkum pelajaran-pelajaran utama dari seluruh surah, kembali pada tema Hari Kiamat, balasan atas amal perbuatan, dan pentingnya tauhid serta amal saleh sebagai kunci keselamatan.
Ayat 102-103: Kerugian Orang-orang yang Mengira Berbuat Baik
أَفَحَسِبَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ أَن يَتَّخِذُوا۟ عِبَادِى مِن دُونِىٓ أَوْلِيَآءَ ۚ إِنَّآ أَعْتَدْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَٰفِرِينَ نُزُلًا
"Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku? Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Jahannam sebagai tempat tinggal bagi orang-orang kafir."
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِٱلْأَخْسَرِينَ أَعْمَٰلًا
"Katakanlah (Muhammad), 'Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?'"
Ayat-ayat ini adalah peringatan tegas bagi mereka yang menyekutukan Allah. Allah bertanya, apakah orang-orang kafir mengira mereka bisa mengambil hamba-hamba Allah (seperti malaikat, nabi, atau orang saleh) sebagai pelindung atau sesembahan selain Allah? Tidak sama sekali. Bagi mereka, Allah telah menyiapkan neraka Jahannam sebagai tempat kembali. Ini adalah penegasan kembali tauhid dan celaan terhadap syirik.
Kemudian, Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk menanyakan, "Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Pertanyaan retoris ini menarik perhatian pada kategori manusia yang paling tragis nasibnya di akhirat.
Ayat 104-106: Sia-sianya Amal Orang Kafir dan Balasan Bagi Mereka
ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
"(Yaitu) orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya."
أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِ رَبِّهِمْ وَلِقَآئِهِۦ فَحَبِطَتْ أَعْمَٰلُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ وَزْنًا
"Mereka itu adalah orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Tuhan mereka dan (mengingkari) pertemuan dengan-Nya. Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak akan mengadakan timbangan bagi (amal) mereka pada hari Kiamat."
ذَٰلِكَ جَزَآؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوا۟ وَٱتَّخَذُوٓا۟ ءَايَٰتِى وَرُسُلِى هُزُوًا
"Demikianlah balasan mereka, yaitu Jahannam, disebabkan mereka kafir dan menjadikan ayat-ayat-Ku serta rasul-rasul-Ku sebagai olok-olokan."
Ayat-ayat ini menjawab pertanyaan sebelumnya: orang-orang yang paling merugi adalah mereka yang usahanya sia-sia di dunia, padahal mereka yakin telah berbuat sebaik-baiknya. Mereka adalah orang-orang yang mengingkari tanda-tanda kebesaran Allah dan mengingkari Hari Pertemuan dengan-Nya. Oleh karena kekafiran dan penolakan mereka, semua amal baik yang mungkin mereka lakukan di dunia akan musnah dan tidak memiliki bobot di hari kiamat.
Balasan bagi mereka adalah neraka Jahannam, karena mereka kafir dan mengolok-olok ayat-ayat Allah serta rasul-rasul-Nya. Ini adalah peringatan keras bahwa niat yang baik tidak cukup jika dasar keimanan salah. Amal perbuatan hanya akan diterima jika dibangun di atas tauhid yang murni dan mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Ayat 107-108: Balasan Bagi Orang Beriman — Surga Firdaus
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّٰتُ ٱلْفِرْدَوْسِ نُزُلًا
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus sebagai tempat tinggal."
خَٰلِدِينَ فِيهَا لَا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلًا
"Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah darinya."
Kontras dengan nasib orang-orang kafir, ayat-ayat ini memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Bagi mereka, Allah telah menyiapkan surga Firdaus, tingkatan surga tertinggi, sebagai tempat tinggal abadi. Di sana, mereka akan kekal selamanya, tanpa keinginan sedikitpun untuk berpindah atau mencari tempat lain. Ini adalah janji kebahagiaan dan ketenangan yang tak terbatas bagi mereka yang memilih jalan keimanan dan ketaatan.
Ayat 109-110: Keagungan Ilmu Allah dan Kesimpulan Surah
قُل لَّوْ كَانَ ٱلْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمَٰتِ رَبِّى لَنَفِدَ ٱلْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَٰتُ رَبِّى وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِۦ مَدَدًا
"Katakanlah (Muhammad), 'Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).'"
قُلْ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰٓ إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا
"Katakanlah (Muhammad), 'Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Esa.' Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya."
Ayat 109 adalah penegasan luar biasa tentang keagungan ilmu dan hikmah Allah yang tak terbatas. Bahkan jika seluruh lautan dijadikan tinta untuk menuliskan "kalimat-kalimat" (yaitu ilmu, hikmah, kekuasaan, dan rahasia ciptaan) Allah, niscaya lautan itu akan habis sebelum kalimat-kalimat Allah selesai ditulis, meskipun ditambahkan lautan sebanyak itu lagi. Ini adalah perumpamaan yang menggambarkan betapa kecilnya ilmu manusia dibandingkan dengan luasnya ilmu Ilahi, dan betapa agungnya penciptaan-Nya.
Ayat 110 adalah penutup agung Surah Al-Kahf, merangkum inti pesan seluruh Al-Qur'an. Nabi Muhammad diperintahkan untuk menyatakan bahwa ia hanyalah seorang manusia biasa seperti umatnya, namun dengan satu perbedaan fundamental: ia menerima wahyu bahwa Tuhan mereka adalah Tuhan Yang Esa (Allah). Ini adalah deklarasi tauhid yang jelas.
Kemudian, ayat ini memberikan panduan terakhir bagi setiap Muslim: "Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya." Ini adalah dua pilar utama Islam: keimanan yang murni (tauhid) dan perbuatan baik yang sesuai syariat (amal saleh). Pertemuan dengan Allah di akhirat adalah tujuan akhir setiap mukmin, dan untuk mencapainya, haruslah dengan ibadah yang tulus hanya kepada Allah dan amal yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
Kesimpulan: Hikmah Abadi dari Ayat 50-110 Surah Al-Kahf
Ayat 50-110 dari Surah Al-Kahf adalah mozaik pelajaran yang kaya, mengintegrasikan narasi-narasi mendalam dengan prinsip-prinsip fundamental Islam. Dari kisah Iblis yang sombong hingga perjalanan Nabi Musa dan Khidr, lalu petualangan Dzulkarnain, hingga akhirnya peringatan tentang Hari Kiamat, setiap segmen ayat ini menyajikan hikmah yang relevan untuk setiap individu Muslim.
Pelajaran utama yang dapat kita petik adalah pentingnya kerendahan hati dalam mencari ilmu dan menghadapi takdir. Kita diajarkan bahwa di balik setiap kejadian yang tampak buruk atau tidak adil, seringkali tersimpan hikmah dan kebaikan yang lebih besar dari Allah SWT. Ilmu manusia sangat terbatas dibandingkan dengan ilmu Allah, dan kesabaran adalah kunci untuk memahami atau setidaknya menerima kehendak Ilahi.
Kisah Dzulkarnain mengingatkan kita tentang tanggung jawab kekuasaan dan kepemimpinan. Kekuasaan adalah amanah yang harus digunakan untuk menegakkan keadilan, melindungi yang lemah, dan mencegah kerusakan, bukan untuk menindas atau mencari kemuliaan pribadi. Sikap tawakal dan penolakan terhadap imbalan duniawi demi ridha Allah adalah cerminan kepemimpinan yang benar.
Akhirnya, ayat-ayat penutup menegaskan kembali inti ajaran Islam: tauhid (mengesakan Allah) dan amal saleh. Semua usaha manusia di dunia akan sia-sia jika tidak dibangun di atas fondasi tauhid yang murni. Hanya dengan beriman kepada Allah Yang Maha Esa dan beramal saleh dengan ikhlas, kita dapat berharap untuk meraih pertemuan yang mulia dengan Tuhan kita di akhirat dan mendapatkan Surga Firdaus.
Surah Al-Kahf secara keseluruhan, dan khususnya rentang ayat 50-110, adalah pengingat yang kuat akan kerapuhan kehidupan dunia dan urgensi untuk mempersiapkan diri menghadapi Hari Penghisaban. Dengan merenungi ayat-ayat ini, semoga kita semakin kokoh dalam iman, lebih bijaksana dalam menghadapi ujian, dan senantiasa bersemangat dalam melakukan amal kebaikan, menjauhi syirik dan kesombongan, demi meraih kebahagiaan abadi di sisi Allah SWT.