Tafsir Surah Al-Kahf Ayat 90-110: Kisah Dzulqarnain dan Hikmah Penutup

Surah Al-Kahf adalah salah satu surah yang memiliki keutamaan besar dalam Al-Qur'an. Dikenal sebagai pelindung dari fitnah Dajjal, surah ini mengandung empat kisah utama yang sarat dengan pelajaran dan hikmah mendalam: kisah Ashabul Kahf (Pemuda Gua), kisah pemilik dua kebun, kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir, serta kisah Dzulqarnain. Setiap kisah ini menyajikan tantangan keimanan dan petunjuk bagi manusia untuk menghadapi berbagai ujian hidup.

Bagian terakhir dari Surah Al-Kahf, khususnya ayat 90 hingga 110, membawa kita pada puncak kisah Dzulqarnain dan mengakhiri surah ini dengan pesan-pesan universal tentang keesaan Allah (Tauhid), pentingnya amal saleh, dan hari perhitungan. Ayat-ayat ini tidak hanya merangkum hikmah dari kisah-kisah sebelumnya tetapi juga memberikan penekanan kuat pada persiapan menghadapi hari akhirat, keagungan ilmu Allah, dan esensi risalah kenabian.

Dalam artikel ini, kita akan menyelami makna dan tafsir dari ayat-ayat terakhir Surah Al-Kahf ini, mencoba memahami setiap detail dari perjalanan Dzulqarnain hingga pesan penutup yang disampaikan oleh Allah SWT kepada seluruh umat manusia. Mari kita telaah satu per satu, mengambil pelajaran berharga yang terkandung di dalamnya.

Tembok Dzulqarnain Yajuj & Majuj

Kisah Dzulqarnain dan Tembok Besi (Ayat 90-98)

Kisah Dzulqarnain dalam Surah Al-Kahf adalah salah satu narasi yang paling menarik dan penuh teka-teki. Dia adalah seorang penguasa adil yang dianugerahi kekuasaan besar dan sarana untuk mencapai berbagai penjuru bumi. Perjalanannya diceritakan dalam tiga bagian: ke arah Barat, ke arah Timur, dan ke tempat di antara dua gunung. Ayat 90-98 fokus pada perjalanan terakhirnya, di mana ia berinteraksi dengan kaum yang tertindas oleh Ya'juj dan Ma'juj.

Ayat 90: Perjalanan Menuju Timur

حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغَ مَطْلِعَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَطْلُعُ عَلٰى قَوْمٍ لَّمْ نَجْعَلْ لَّهُمْ مِّنْ دُوْنِهَا سِتْرًاۙ

Hingga apabila dia sampai di tempat terbit matahari (Timur), dia mendapatinya (matahari) terbit di atas suatu kaum yang tidak Kami buatkan bagi mereka suatu penutup pun dari (cahaya)nya.

Setelah perjalanannya ke barat (ayat 86) dan bertemu kaum di sana, Dzulqarnain kemudian melanjutkan perjalanannya ke arah timur. Frasa "tempat terbit matahari" secara metaforis merujuk pada batas timur yang ia jangkau, suatu tempat yang sangat jauh dari peradaban yang dikenalnya. Di sana, ia menemukan suatu kaum yang kehidupannya sangat sederhana, bahkan hingga pada titik di mana mereka tidak memiliki penutup atau pelindung dari cahaya matahari yang terbit. Ini dapat diartikan secara harfiah bahwa mereka tidak memiliki tempat berteduh atau pakaian yang memadai. Tafsir lain mengindikasikan bahwa mereka adalah kaum primitif yang tidak memiliki bangunan atau tempat tinggal permanen, hidup terbuka di bawah terik matahari.

Ayat ini menunjukkan bahwa kekuasaan Dzulqarnain meliputi wilayah yang sangat luas, dari ujung barat hingga ujung timur bumi yang dapat dihuni. Pertemuan dengan kaum yang sedemikian rupa ini memperlihatkan keberagaman kondisi manusia di muka bumi dan bahwa Allah SWT mengetahui setiap keadaan hamba-Nya.

Ayat 91: Kekuasaan dan Pengetahuan Allah

كَذٰلِكَۗ وَقَدْ اَحَطْنَا بِمَا لَدَيْهِ خُبْرًا

Demikianlah. Dan sesungguhnya ilmu Kami meliputi segala apa yang ada padanya.

Ayat ini merupakan intervensi ilahi yang menegaskan bahwa Allah SWT sepenuhnya mengetahui semua yang terjadi pada Dzulqarnain dan segala sesuatu yang ada padanya, baik itu kekuasaan, kekayaan, pengetahuan, maupun amal perbuatannya. Ini adalah penegasan atas omnisains Allah (ilmu yang Maha Luas) yang mencakup setiap detail, besar maupun kecil. Tidak ada satu pun kejadian atau pemikiran yang luput dari pengetahuan-Nya.

Pernyataan ini juga berfungsi sebagai pengingat bagi Dzulqarnain—dan bagi kita—bahwa meskipun ia memiliki kekuasaan dan kemampuan luar biasa, semua itu hanyalah karunia dari Allah, dan setiap tindakannya senantiasa berada dalam pengawasan-Nya. Ini menanamkan rasa rendah hati dan tanggung jawab bagi setiap pemimpin dan individu.

Ayat 92-93: Perjalanan ke Antara Dua Gunung dan Kaum yang Terisolasi

ثُمَّ اَتْبَعَ سَبَبًا

Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain lagi).

حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغَ بَيْنَ السَّدَّيْنِ وَجَدَ مِنْ دُوْنِهِمَا قَوْمًا لَّا يَكَادُوْنَ يَفْقَهُوْنَ قَوْلًا

Hingga apabila dia sampai di antara dua gunung, dia mendapati di hadapan kedua gunung itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan.

Setelah perjalanannya ke timur, Dzulqarnain kembali menempuh jalan yang lain lagi, kali ini menuju ke suatu tempat yang terletak di antara dua gunung tinggi. Istilah "As-Saddain" (dua penghalang/gunung) menunjukkan lokasi yang terpencil dan terisolasi secara geografis. Di sana, ia bertemu dengan suatu kaum yang dijelaskan sebagai "hampir tidak mengerti pembicaraan." Ini bisa diartikan dalam beberapa cara:

  1. Mereka berbicara dalam bahasa yang sangat asing dan primitif sehingga sulit dipahami oleh orang luar.
  2. Mereka memiliki tingkat pemahaman atau kecerdasan yang rendah, membuat komunikasi menjadi sulit.
  3. Mereka adalah kaum yang terisolasi dan tidak terbiasa berinteraksi dengan peradaban lain, sehingga kesulitan dalam memahami bahasa atau konsep yang tidak mereka kenal.

Terlepas dari tafsir pastinya, poin utamanya adalah adanya kesenjangan komunikasi yang signifikan antara Dzulqarnain dan kaum tersebut. Namun, meskipun demikian, kaum ini mampu menyampaikan keluhan atau permintaan mereka kepada Dzulqarnain, mungkin melalui isyarat atau beberapa kata yang berhasil ia pahami.

Ayat 94: Permintaan Bantuan dari Kaum yang Tertindas

قَالُوْا يٰذَا الْقَرْنَيْنِ اِنَّ يَأْجُوْجَ وَمَأْجُوْجَ مُفْسِدُوْنَ فِى الْاَرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا عَلٰٓى اَنْ تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا

Mereka berkata, "Wahai Dzulqarnain! Sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu pembuat kerusakan di bumi. Maka bolehkah kami memberimu imbalan (upah) agar engkau membuatkan dinding (penghalang) antara kami dan mereka?"

Meskipun ada kendala komunikasi, kaum tersebut berhasil menyampaikan masalah terbesar mereka: Ya'juj dan Ma'juj (Gog dan Magog) adalah kaum yang selalu membuat kerusakan di bumi mereka. Ya'juj dan Ma'juj digambarkan sebagai entitas yang merusak, baik secara fisik (dengan menghancurkan tanaman, bangunan) maupun moral (dengan menindas dan mengganggu ketenteraman). Mereka meminta bantuan Dzulqarnain untuk membangun penghalang (saddan) sebagai imbalan sejumlah harta (kharjan).

Permintaan ini menunjukkan bahwa kaum tersebut sudah putus asa dan melihat Dzulqarnain sebagai satu-satunya harapan mereka karena kekuasaan dan kemampuan yang ia miliki. Mereka bersedia membayar mahal untuk perlindungan dari kaum perusak tersebut. Ini juga mencerminkan betapa parahnya gangguan yang ditimbulkan oleh Ya'juj dan Ma'juj, yang membuat suatu kaum hidup dalam ketakutan dan penderitaan.

Ayat 95: Kebijaksanaan dan Ketulusan Dzulqarnain

قَالَ مَا مَكَّنِّيْ فِيْهِ رَبِّيْ خَيْرٌ فَاَعِيْنُوْنِيْ بِقُوَّةٍ اَجْعَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ رَدْمًاۙ

Dia (Dzulqarnain) berkata, "Apa yang telah dikaruniakan Rabbku kepadaku lebih baik (dari imbalanmu). Maka bantulah aku dengan kekuatan (tenaga), agar aku membuatkan dinding (penghalang) antara kamu dan mereka."

Dzulqarnain menunjukkan karakter kepemimpinan yang luar biasa. Ia menolak imbalan harta yang ditawarkan. Jawabannya, "Apa yang telah dikaruniakan Rabbku kepadaku lebih baik (dari imbalanmu)," mencerminkan kerendahan hati, ketidakserakahan, dan kesadaran bahwa kekayaan sejati berasal dari Allah SWT, bukan dari harta dunia. Ia tidak mencari keuntungan pribadi dari kekuasaan yang dimilikinya, melainkan menggunakannya untuk kebaikan umat manusia.

Alih-alih uang, Dzulqarnain meminta bantuan dalam bentuk tenaga. Ini menunjukkan kepraktisan dan kepemimpinannya yang partisipatif. Ia tidak hanya memerintah, tetapi juga mengajak kaum tersebut untuk bergotong royong membangun benteng pertahanan mereka sendiri. Dengan cara ini, kaum tersebut tidak hanya mendapatkan perlindungan tetapi juga memiliki rasa kepemilikan dan tanggung jawab terhadap proyek tersebut.

Tindakan Dzulqarnain ini adalah pelajaran penting tentang kepemimpinan yang ideal: tidak tamak harta, mengutamakan kepentingan rakyat, dan melibatkan mereka dalam solusi permasalahan.

Ayat 96-97: Proses Pembangunan Tembok yang Megah

اٰتُوْنِيْ زُبَرَ الْحَدِيْدِۗ حَتّٰىٓ اِذَا سَاوٰى بَيْنَ الصَّدَفَيْنِ قَالَ انْفُخُوْاۗ حَتّٰىٓ اِذَا جَعَلَهٗ نَارًاۙ قَالَ اٰتُوْنِيْٓ اُفْرِغْ عَلَيْهِ قِطْرًاۗ

Berilah aku potongan-potongan besi." Hingga apabila (potongan) besi itu telah (terpasang) sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, dia berkata, "Tiuplah (api itu)." Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, dia pun berkata, "Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atasnya."

فَمَا اسْطَاعُوْٓا اَنْ يَّظْهَرُوْهُ وَمَا اسْتَطَاعُوْا لَهٗ نَقْبًا

Maka mereka (Ya'juj dan Ma'juj) tidak dapat mendakinya dan tidak dapat (pula) melubanginya.

Ayat-ayat ini menjelaskan proses pembangunan tembok (radman) yang sangat kokoh dengan metode yang canggih untuk masanya. Dzulqarnain meminta potongan-potongan besi (zubara al-hadid) yang kemudian disusun mengisi celah antara dua gunung, hingga tingginya sejajar dengan puncak gunung. Setelah itu, ia memerintahkan untuk meniupkan api (semacam alat pembakar raksasa) ke tumpukan besi tersebut hingga besi menjadi merah membara seperti api. Pada tahap ini, ia meminta tembaga yang dilelehkan (qitran) untuk dituang ke atas besi yang panas. Perpaduan besi dan tembaga cair ini menciptakan sebuah dinding yang sangat kuat dan padat, mungkin semacam paduan logam atau beton metalik yang sangat tahan lama.

Hasilnya, tembok tersebut menjadi begitu kokoh dan tinggi sehingga Ya'juj dan Ma'juj tidak mampu mendakinya (yastha'u an yadhharuhu) dan tidak dapat pula melubanginya (ma istaṭa'u lahu naqbā). Ini menunjukkan kejeniusan rekayasa Dzulqarnain dan juga kekuatan material yang digunakannya. Tembok ini menjadi benteng permanen yang melindungi kaum tersebut dari kerusakan Ya'juj dan Ma'juj.

Pelajaran dari Proses Pembangunan:

  1. Penggunaan Ilmu dan Teknologi: Dzulqarnain memanfaatkan pengetahuan dan teknologi yang canggih pada masanya untuk memecahkan masalah besar. Ini mendorong umat Islam untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi demi kemaslahatan umat.
  2. Ketelitian dan Kekuatan: Proses pembangunan yang detail dan penggunaan material yang kuat menunjukkan pentingnya kualitas dan kehati-hatian dalam setiap pekerjaan, terutama dalam membangun sesuatu yang memiliki tujuan strategis.
  3. Solusi Permanen: Dzulqarnain tidak hanya memberikan solusi sementara, melainkan membangun penghalang yang kokoh untuk jangka panjang, mencerminkan visi kepemimpinan yang jauh ke depan.

Ayat 98: Kerendahan Hati Dzulqarnain dan Tanda Kiamat

قَالَ هٰذَا رَحْمَةٌ مِّنْ رَّبِّيْۚ فَاِذَا جَاۤءَ وَعْدُ رَبِّيْ جَعَلَهٗ دَكَّاۤءَ وَكَانَ وَعْدُ رَبِّيْ حَقًّا

Dia (Dzulqarnain) berkata, "Ini (tembok) adalah rahmat dari Rabbku. Maka apabila janji Rabbku telah datang, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Rabbku itu benar."

Setelah berhasil membangun tembok yang luar biasa ini, Dzulqarnain tidak menyombongkan diri atau mengklaim keberhasilan itu sebagai miliknya semata. Dengan penuh kerendahan hati, ia berkata, "Ini adalah rahmat dari Rabbku." Ia menyadari bahwa kemampuan dan sarana untuk membangun tembok itu adalah anugerah dari Allah SWT. Ini adalah puncak dari karakter seorang pemimpin yang saleh, yang mengembalikan segala pujian dan keberhasilan kepada Sang Pemberi karunia.

Kemudian ia menambahkan, "Maka apabila janji Rabbku telah datang, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Rabbku itu benar." Ini adalah pengingat bahwa tidak ada yang kekal kecuali Allah. Tembok yang begitu kokoh sekalipun akan hancur pada waktu yang telah ditentukan oleh Allah. "Janji Rabbku" di sini merujuk pada Hari Kiamat dan peristiwa yang mendahuluinya, salah satunya adalah kemunculan Ya'juj dan Ma'juj yang akan keluar setelah tembok itu runtuh. Ini adalah pengingat akan fana-nya dunia dan kepastian Hari Kiamat.

Pelajaran dari Ayat Ini:

  1. Tawakal dan Kerendahan Hati: Mengembalikan segala keberhasilan kepada Allah SWT adalah sifat orang beriman. Ini menjauhkan dari kesombongan dan keangkuhan.
  2. Kefanaan Dunia: Semua ciptaan, betapa pun kuatnya, akan musnah. Hanya Allah yang kekal. Ini mendorong kita untuk tidak terlalu terpaku pada dunia fana.
  3. Kepastian Hari Kiamat: Runtuhnya tembok Ya'juj dan Ma'juj adalah salah satu tanda besar Hari Kiamat, mengingatkan kita untuk selalu bersiap diri.

Siapa Dzulqarnain dan Ya'juj Ma'juj?

Al-Qur'an tidak secara eksplisit menyebutkan identitas Dzulqarnain. Ada banyak pendapat dari para ulama dan sejarawan mengenai siapa sebenarnya Dzulqarnain. Beberapa pandangan populer antara lain:

Demikian pula dengan Ya'juj dan Ma'juj. Mereka adalah kaum yang akan muncul menjelang Hari Kiamat. Ada dua pandangan utama:

Penting untuk diingat bahwa Al-Qur'an seringkali tidak memberikan detail spesifik yang tidak relevan dengan pelajaran yang ingin disampaikan. Fokus utama bukan pada identitas historis yang pasti, melainkan pada hikmah dan pelajaran yang dapat diambil dari kisah tersebut.

Hari Kiamat dan Kemunculan Ya'juj Ma'juj (Ayat 99-101)

Bagian selanjutnya dari surah ini mengalihkan perhatian dari kisah Dzulqarnain ke gambaran Hari Kiamat dan kebangkitan. Ini merupakan kelanjutan logis dari janji Allah tentang hancurnya tembok Ya'juj dan Ma'juj.

Ayat 99: Tanda Kiamat dan Kebangkitan

وَتَرَكْنَا بَعْضَهُمْ يَوْمَئِذٍ يَّمُوْجُ فِيْ بَعْضٍ وَّنُفِخَ فِى الصُّوْرِ فَجَمَعْنٰهُمْ جَمْعًاۙ

Pada hari itu Kami biarkan mereka (Ya'juj dan Ma'juj) bergelombang antara satu dengan yang lain, dan ditiuplah sangkakala, lalu Kami kumpulkan mereka semuanya.

Ayat ini menggambarkan dua peristiwa besar terkait dengan Hari Kiamat:

  1. Kemunculan Ya'juj dan Ma'juj: Frasa "Kami biarkan mereka bergelombang antara satu dengan yang lain" (yamuju fi ba'din) merujuk pada kondisi Ya'juj dan Ma'juj setelah tembok runtuh. Mereka akan keluar dalam jumlah yang sangat besar, memenuhi bumi, bergerak seperti gelombang yang tak terbendung, menimbulkan kekacauan dan kerusakan. Ini adalah salah satu tanda besar Hari Kiamat yang telah disebutkan dalam banyak hadis Nabi Muhammad SAW.
  2. Tiupan Sangkakala dan Kebangkitan: "Dan ditiuplah sangkakala, lalu Kami kumpulkan mereka semuanya." Tiupan sangkakala (sur) adalah peristiwa dahsyat yang menandai akhir dunia dan awal kebangkitan. Ini adalah tiupan kedua yang membangkitkan semua makhluk dari kematian untuk dikumpulkan di padang Mahsyar, siap untuk dihisab. Semua manusia, dari Adam hingga yang terakhir, akan dikumpulkan di satu tempat.

Ayat ini menghubungkan peristiwa kemunculan Ya'juj dan Ma'juj dengan Hari Kiamat, menegaskan bahwa itu adalah bagian dari rencana ilahi untuk akhir zaman. Ini memperkuat pesan tentang urgensi mempersiapkan diri menghadapi hari perhitungan.

Ayat 100: Padang Mahsyar dan Orang Kafir

وَعَرَضْنَا جَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ لِّلْكٰفِرِيْنَ عَرْضًاۙ

Dan pada hari itu Kami perlihatkan neraka Jahanam kepada orang-orang kafir secara jelas,

Setelah semua makhluk dikumpulkan, neraka Jahanam akan diperlihatkan secara jelas (ardhan) kepada orang-orang kafir. Ini bukan sekadar pandangan, tetapi seolah-olah neraka dibawa mendekat dan ditampilkan di hadapan mereka, membuat kengeriannya menjadi nyata dan tak terhindarkan. Gambaran ini dimaksudkan untuk menanamkan rasa takut dan peringatan akan konsekuensi kekafiran. Orang-orang kafir, yang di dunia mendustakan neraka atau meremehkannya, pada hari itu akan melihatnya dengan mata kepala sendiri, tanpa keraguan sedikit pun.

Ayat 101: Keadaan Orang Kafir di Akhirat

الَّذِيْنَ كَانَتْ اَعْيُنُهُمْ فِيْ غِطَاۤءٍ عَنْ ذِكْرِيْ وَكَانُوْا لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ سَمْعًا

(Yaitu) orang-orang yang mata mereka (dahulu) dalam keadaan tertutup dari memperhatikan tanda-tanda kebesaran-Ku, dan mereka tidak sanggup mendengar (ajaran kebenaran).

Ayat ini menjelaskan mengapa orang-orang kafir berada dalam kondisi yang mengerikan di hari kiamat. Di dunia, mata hati dan telinga spiritual mereka tertutup dari kebenaran dan peringatan Allah:

Sebagai balasan atas penolakan mereka di dunia, di akhirat mereka akan menghadapi konsekuensi yang nyata. Mereka akan melihat neraka dengan jelas, dan mereka tidak akan bisa lari dari takdir buruk tersebut.

Pelajaran dari Ayat 99-101:

  1. Pengingat Hari Kiamat: Ayat-ayat ini berfungsi sebagai peringatan kuat tentang kepastian Hari Kiamat dan peristiwa-peristiwa dahsyat yang akan menyertainya.
  2. Pentingnya Melihat dan Mendengar Kebenaran: Manusia diberikan panca indra dan akal untuk mencari kebenaran. Menolaknya adalah bentuk kekafiran yang akan berujung pada penyesalan.
  3. Akuntabilitas Individu: Setiap orang akan mempertanggungjawabkan pilihan dan perbuatannya di hadapan Allah. Tidak ada yang bisa bersembunyi atau melarikan diri.

Kesia-siaan Amal Orang Kafir dan Balasannya (Ayat 102-106)

Bagian ini memberikan gambaran kontras antara orang-orang yang mengira telah berbuat baik namun sesat, dengan kebenaran yang sesungguhnya. Ini adalah peringatan keras bagi mereka yang sibuk dengan amal perbuatan tanpa fondasi iman yang benar.

Ayat 102: Kesesatan Orang Kafir

اَفَحَسِبَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَنْ يَّتَّخِذُوْا عِبَادِيْ مِنْ دُوْنِيْٓ اَوْلِيَاۤءَۗ اِنَّآ اَعْتَدْنَا جَهَنَّمَ لِلْكٰفِرِيْنَ نُزُلًا

Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku? Sungguh, Kami telah menyediakan neraka Jahanam sebagai tempat tinggal bagi orang-orang kafir.

Ayat ini mengecam sikap orang-orang kafir yang menyangka bahwa mereka bisa mengambil sesembahan atau penolong selain Allah SWT, padahal hanya Allah sajalah Pelindung dan Penolong sejati. Ini adalah inti dari kesyirikan, yaitu menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Mereka menyangka dengan menyembah atau mengikuti sesembahan lain, mereka akan mendapatkan perlindungan atau manfaat di dunia maupun di akhirat.

Allah SWT dengan tegas menyatakan bahwa anggapan mereka itu salah dan sia-sia. Sebagai balasan atas kesyirikan dan kekafiran mereka, Allah telah menyiapkan neraka Jahanam sebagai tempat kembali (nuzulan), yaitu tempat singgah atau tempat tinggal yang mengerikan. Ini adalah sebuah ancaman yang nyata bagi siapa saja yang menolak tauhid dan memilih jalan kekafiran.

Ayat 103-104: Siapa Orang yang Paling Merugi?

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْاَخْسَرِيْنَ اَعْمَالًاۗ

Katakanlah (Muhammad), "Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling merugi perbuatannya?"

اَلَّذِيْنَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ اَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعًا

Yaitu orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.

Ayat-ayat ini adalah poin krusial yang menyoroti tentang 'al-akhsarina a'malan'—orang-orang yang paling merugi amalnya. Rasulullah SAW diperintahkan untuk menanyakan kepada kaumnya siapa yang paling merugi amal perbuatannya. Jawabannya adalah:

Mereka adalah orang-orang yang "sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, padahal mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya." Ini adalah deskripsi yang sangat tajam tentang kesesatan. Mereka mungkin melakukan banyak hal yang tampak baik di mata manusia—membangun jembatan, menyumbang untuk amal, atau melakukan penelitian ilmiah—tetapi karena perbuatan tersebut tidak dilandasi oleh iman yang benar kepada Allah SWT atau dilakukan dengan niat yang salah (misalnya riya, kesombongan, atau demi kepentingan duniawi semata), maka amal mereka menjadi sia-sia di sisi Allah.

Kesesatan mereka terletak pada keyakinan keliru bahwa apa yang mereka lakukan adalah kebaikan mutlak, padahal fondasi keimanan mereka rapuh atau bahkan tidak ada. Mereka beramal tanpa petunjuk ilahi, menjadikan hawa nafsu atau tradisi sebagai pedoman. Ini adalah bahaya besar bagi setiap individu, di mana ia mengira telah mencapai puncak kebaikan, padahal ia sedang terperosok dalam kerugian yang paling parah.

Pelajaran Penting:

  1. Pentingnya Fondasi Iman: Amal tanpa iman yang benar kepada Allah (Tauhid) tidak akan diterima di sisi-Nya. Iman adalah syarat mutlak diterimanya amal.
  2. Niat yang Benar: Bahkan dengan iman sekalipun, niat yang salah (misalnya riya atau mencari pujian manusia) dapat menggugurkan pahala amal.
  3. Bahaya Kesombongan dan Kesesatan Diri: Merasa telah berbuat baik padahal sesat adalah bentuk kesesatan yang paling berbahaya, karena menghalangi seseorang dari introspeksi dan kembali ke jalan yang benar.

Ayat 105: Sebab Kerugian Mereka

اُولٰۤئِكَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِاٰيٰتِ رَبِّهِمْ وَلِقَاۤىِٕهٖ فَحَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيْمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ وَزْنًا

Mereka itu adalah orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Rabb mereka dan (mengingkari) pertemuan dengan-Nya. Maka sia-sia seluruh amal mereka, dan Kami tidak akan memberi bobot (penghargaan) sedikit pun kepada (amal) mereka pada hari Kiamat.

Ayat ini secara eksplisit menjelaskan akar penyebab kerugian mereka: "Mereka itu adalah orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Rabb mereka dan (mengingkari) pertemuan dengan-Nya." Kekafiran mereka terhadap ayat-ayat Allah (baik Al-Qur'an maupun tanda-tanda kebesaran-Nya di alam semesta) dan penolakan mereka terhadap Hari Kebangkitan serta perhitungan amal adalah penyebab utama segala amal mereka menjadi tidak bernilai.

Karena itulah, "sia-sia seluruh amal mereka." Allah tidak akan memberi bobot atau penghargaan sedikit pun kepada amal mereka pada hari Kiamat. Ini berarti segala usaha, pengorbanan, dan 'kebaikan' yang mereka lakukan di dunia tidak akan memiliki nilai di hadapan Allah karena tidak dilandasi keimanan yang benar. Mereka datang pada Hari Kiamat dengan tangan kosong dalam timbangan amal baik.

Ini adalah peringatan serius bagi siapa saja yang membangun kehidupan dan amal di atas fondasi selain tauhid. Kebaikan sejati, yang memiliki nilai abadi di sisi Allah, haruslah berakar pada keimanan yang murni dan tulus.

Ayat 106: Balasan yang Adil

ذٰلِكَ جَزَاۤؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوْا وَاتَّخَذُوْٓا اٰيٰتِيْ وَرُسُلِيْ هُزُوًا

Demikianlah balasan mereka, yaitu neraka Jahanam, disebabkan kekafiran mereka dan karena mereka menjadikan ayat-ayat-Ku serta rasul-rasul-Ku sebagai olok-olokan.

Ayat ini menutup bagian tentang orang-orang kafir dengan penegasan balasan yang setimpal: "Demikianlah balasan mereka, yaitu neraka Jahanam." Neraka Jahanam adalah konsekuensi logis dari kekafiran mereka. Allah SWT tidak menzalimi siapa pun, dan balasan ini adalah hasil dari pilihan mereka sendiri.

Penyebab spesifik dari balasan ini adalah: "disebabkan kekafiran mereka dan karena mereka menjadikan ayat-ayat-Ku serta rasul-rasul-Ku sebagai olok-olokan." Mereka tidak hanya menolak iman, tetapi juga menghina dan meremehkan ayat-ayat Allah yang mulia dan para rasul-Nya yang diutus sebagai pembawa petunjuk. Sikap ini menunjukkan arogansi, penolakan total terhadap kebenaran, dan permusuhan terhadap Allah dan utusan-Nya. Olok-olokan ini bisa berupa penolakan mentah-mentah, ejekan, atau perlakuan tidak hormat terhadap ajaran ilahi dan pembawanya.

Dengan demikian, neraka Jahanam adalah balasan yang adil bagi mereka yang memilih kekafiran, menolak kebenaran, dan menghina utusan Allah. Ini adalah keadilan ilahi yang tidak bisa dihindari.

Pelajaran dari Ayat 102-106:

  1. Prioritas Tauhid: Ayat-ayat ini menekankan bahwa tauhid (mengesakan Allah) adalah fondasi paling penting dalam Islam. Tanpa tauhid, semua amal ibadah menjadi tidak bernilai.
  2. Introspeksi Diri: Umat Muslim diajak untuk selalu mengintrospeksi niat dan kualitas amal mereka. Apakah amal yang dilakukan benar-benar ikhlas karena Allah dan sesuai syariat?
  3. Konsekuensi Kekafiran: Dengan sangat jelas diperingatkan bahwa kekafiran dan penghinaan terhadap agama Allah akan berujung pada kerugian abadi di akhirat.
  4. Pentingnya Ketaatan pada Rasul: Mengikuti dan menghormati para rasul adalah bagian integral dari iman. Mengolok-olok mereka sama dengan mengolok-olok ajaran Allah.

Ganjaran Bagi Orang Beriman dan Beramal Saleh (Ayat 107-108)

Setelah menggambarkan nasib orang-orang kafir yang merugi, Surah Al-Kahf beralih untuk memberikan kabar gembira dan janji indah bagi golongan yang berlawanan: orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Ini adalah bentuk rahmat dan keadilan Allah SWT yang selalu menyeimbangkan antara ancaman dan harapan, antara azab dan pahala.

Ayat 107: Janji Surga Firdaus

اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنّٰتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلًاۙ

Sungguh, orang-orang yang beriman dan beramal saleh, untuk mereka disediakan Surga Firdaus sebagai tempat tinggal.

Ayat ini membuka dengan penegasan janji Allah: "Sungguh, orang-orang yang beriman dan beramal saleh..." Dua syarat ini selalu beriringan dalam Al-Qur'an. Iman (keyakinan hati yang tulus) harus diwujudkan dalam amal saleh (perbuatan baik sesuai syariat). Iman tanpa amal adalah hampa, dan amal tanpa iman adalah sia-sia (sebagaimana dijelaskan pada ayat-ayat sebelumnya).

Bagi mereka yang memenuhi kedua syarat ini, Allah telah menyediakan "Surga Firdaus sebagai tempat tinggal (nuzulan)." Firdaus adalah tingkatan surga yang paling tinggi dan paling utama, sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadis Nabi Muhammad SAW. Ini adalah tempat yang penuh kenikmatan abadi, keindahan yang tak terlukiskan, dan kedekatan dengan Allah SWT.

Pemilihan kata "nuzulan" (tempat tinggal/hidangan) sangat indah. Sebagaimana seorang tamu mulia dijamu dengan hidangan terbaik di tempat tinggal yang nyaman, demikianlah orang-orang beriman akan dijamu di Surga Firdaus oleh Allah SWT. Ini menunjukkan penghormatan dan kemuliaan yang tak terbatas dari Allah kepada hamba-hamba-Nya yang taat.

Ayat 108: Kenikmatan Abadi dan Tiada Keinginan untuk Berpindah

خٰلِدِيْنَ فِيْهَا لَا يَبْغُوْنَ عَنْهَا حِوَلًا

Mereka kekal di dalamnya, dan mereka tidak ingin berpindah dari sana.

Ayat ini mempertegas sifat kenikmatan Surga Firdaus: "Mereka kekal di dalamnya." Kekekalan adalah aspek paling berharga dari kenikmatan surga. Tidak ada kematian, tidak ada sakit, tidak ada kesedihan, dan tidak ada akhir. Ini adalah kebahagiaan abadi yang tidak akan pernah hilang.

Kemudian dilanjutkan dengan, "dan mereka tidak ingin berpindah dari sana." Ini menunjukkan kesempurnaan kenikmatan surga. Biasanya, manusia akan mencari variasi atau perubahan setelah menikmati sesuatu dalam waktu yang lama. Namun, kenikmatan surga begitu sempurna, beragam, dan tiada tara, sehingga penduduk surga tidak akan pernah bosan atau memiliki keinginan sedikit pun untuk pindah ke tempat lain. Setiap keinginan mereka terpenuhi, dan setiap saat mereka disuguhkan kebahagiaan yang baru dan lebih indah.

Ayat ini menyoroti bahwa kebahagiaan sejati bukanlah sementara atau terbatas, melainkan abadi dan memuaskan segala keinginan jiwa. Ini adalah puncak harapan bagi setiap Muslim yang beriman dan beramal saleh.

Pelajaran dari Ayat 107-108:

  1. Motivasi untuk Beramal Saleh: Janji Surga Firdaus adalah motivasi terbesar bagi umat Islam untuk senantiasa meningkatkan iman dan amal saleh mereka.
  2. Hubungan Iman dan Amal: Ayat ini sekali lagi menekankan bahwa iman dan amal saleh adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan untuk mencapai kebahagiaan abadi.
  3. Keadilan Ilahi: Allah SWT adalah Maha Adil. Sebagaimana Dia mengancam orang kafir dengan neraka, Dia juga menjanjikan balasan terbaik bagi orang beriman.
  4. Keabadian Akhirat: Hidup di dunia ini adalah sementara, sedangkan kehidupan di akhirat adalah abadi. Hendaknya manusia lebih mengutamakan bekal untuk keabadian daripada kesenangan sesaat di dunia.

Kalam Allah yang Tak Berujung dan Intisari Risalah Kenabian (Ayat 109-110)

Dua ayat terakhir Surah Al-Kahf ini merupakan penutup yang sangat indah dan sarat makna. Ayat-ayat ini mengembalikan kita pada keagungan dan kemahaluasan Allah SWT, serta merangkum inti dari seluruh risalah kenabian.

Ayat 109: Kemahaluasan Ilmu dan Firman Allah

قُلْ لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمٰتِ رَبِّيْ لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ اَنْ تَنْفَدَ كَلِمٰتُ رَبِّيْ وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهٖ مَدَدًا

Katakanlah (Muhammad), "Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Rabbku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Rabbku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (lagi)."

Ayat ini adalah salah satu ayat yang paling kuat dalam Al-Qur'an yang menggambarkan kemahaluasan ilmu dan firman Allah SWT. Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk mengatakan sebuah perumpamaan yang luar biasa:

"Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Rabbku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Rabbku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (lagi)."

Ini adalah metafora yang menggugah pikiran tentang betapa tak terbatasnya "kalimat-kalimat Rabbku" (Kalimatullah). Kalimatullah di sini bisa diartikan sebagai:

  1. Ilmu Allah: Pengetahuan Allah tentang segala sesuatu di alam semesta, yang meliputi masa lalu, kini, dan masa depan. Tidak ada satu pun partikel, peristiwa, atau pikiran yang luput dari pengetahuan-Nya.
  2. Firman Allah: Segala ucapan, perintah, larangan, janji, ancaman, dan ketetapan Allah yang ada dalam Al-Qur'an dan wahyu lainnya.
  3. Ciptaan Allah: Segala fenomena alam, makhluk hidup, dan hukum-hukum alam yang merupakan manifestasi kekuasaan dan kebijaksanaan Allah.

Bahkan jika seluruh lautan di dunia ini dijadikan tinta, dan ditambahkan lagi lautan serupa, tinta tersebut akan habis kering sebelum semua ilmu, firman, atau ciptaan Allah dapat dicatat. Ini menunjukkan bahwa akal manusia, betapa pun cemerlangnya, tidak akan mampu memahami atau mencatat seluruh keagungan dan kemahaluasan Allah.

Ayat ini menanamkan rasa kagum dan kerendahan hati di hadapan Kebesaran Sang Pencipta. Ini juga mengingatkan kita bahwa apa yang kita ketahui dari agama atau ilmu pengetahuan hanyalah setetes dari samudra ilmu Allah yang tak bertepi.

Ayat 110: Inti Risalah Kenabian dan Jalan Menuju Kebahagiaan Abadi

قُلْ اِنَّمَآ اَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوْحٰٓى اِلَيَّ اَنَّمَآ اِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَّاحِدٌۚ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَاۤءَ رَبِّهٖ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَّلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهٖٓ اَحَدًا

Katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa." Barangsiapa berharap pertemuan dengan Rabbnya, maka hendaklah dia mengerjakan amal saleh dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya.

Ayat penutup Surah Al-Kahf ini adalah ringkasan yang sempurna dari seluruh ajaran Islam dan inti dari risalah kenabian Muhammad SAW. Ini adalah pesan pamungkas yang menyatukan semua pelajaran dari kisah-kisah sebelumnya dan memberikan petunjuk yang jelas untuk kehidupan manusia.

  1. Nabi Muhammad SAW Adalah Manusia Biasa: "Katakanlah (Muhammad), 'Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia seperti kamu.'" Ini menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah manusia, bukan Tuhan atau makhluk ilahi. Meskipun beliau adalah rasul pilihan Allah, beliau tetap memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Ini menolak segala bentuk pengkultusan individu dan mengarahkan fokus pada pesan yang dibawanya.
  2. Pesan Utama: Tauhid: "yang diwahyukan kepadaku bahwa Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa." Ini adalah inti dari Islam: tidak ada Tuhan selain Allah SWT. Keesaan Allah (Tauhid) adalah landasan dari segala keyakinan dan praktik dalam Islam. Semua kisah dalam Surah Al-Kahf, dengan berbagai fitnahnya, pada akhirnya mengarahkan manusia kepada kesadaran akan keesaan dan kekuasaan Allah.
  3. Jalan Menuju Kebahagiaan Abadi: "Barangsiapa berharap pertemuan dengan Rabbnya, maka hendaklah dia mengerjakan amal saleh dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya." Ini adalah resep konkret untuk mencapai kebahagiaan sejati di akhirat. Syaratnya ada tiga:

Ayat ini adalah panduan lengkap bagi setiap Muslim. Ini mengingatkan kita bahwa tujuan hidup adalah bertemu dengan Allah dalam keadaan diridhai, dan jalannya adalah melalui iman yang murni (tauhid), amal saleh, dan menjauhi segala bentuk syirik.

Pelajaran dari Ayat 109-110:

  1. Kagum pada Keagungan Allah: Ayat 109 mendorong refleksi mendalam tentang keagungan dan kemahaluasan ilmu Allah, menanamkan rasa rendah hati.
  2. Kemanusiaan Nabi Muhammad: Ayat 110 menegaskan kenabian Muhammad SAW sebagai manusia biasa yang membawa wahyu, mencegah ekstremisme dalam menghormati beliau.
  3. Pesan Universal Islam: Inti Islam adalah Tauhid (mengesakan Allah), amal saleh, dan menjauhi syirik. Ini adalah inti dari semua risalah kenabian.
  4. Tujuan Hidup Seorang Muslim: Hidup adalah persiapan untuk bertemu dengan Allah. Setiap tindakan harus dilandasi oleh iman dan diarahkan untuk meraih ridha-Nya.

Kesimpulan dan Hikmah Menyeluruh dari Surah Al-Kahf Ayat 90-110

Ayat 90-110 Surah Al-Kahf adalah penutup yang agung dan komprehensif, merangkum banyak pelajaran fundamental Islam. Dari kisah Dzulqarnain, kita belajar tentang kepemimpinan yang adil, kebijaksanaan dalam memanfaatkan kekuasaan untuk kebaikan umat, kerendahan hati dalam menghadapi keberhasilan, dan kesadaran akan kekuasaan Allah di atas segalanya. Pembangunan tembok penangkal Ya'juj dan Ma'juj adalah contoh nyata bagaimana teknologi dan upaya manusia dapat menjadi rahmat Allah untuk mengatasi kejahatan, namun pada akhirnya, semua itu fana dan akan tunduk pada ketetapan Allah.

Kemudian, ayat-ayat ini mengalihkan pandangan kita ke Hari Kiamat, mengingatkan akan kepastiannya dan dahsyatnya peristiwa yang akan terjadi, termasuk kemunculan Ya'juj dan Ma'juj sebagai tanda besar. Gambaran tentang neraka Jahanam yang diperlihatkan kepada orang-orang kafir adalah peringatan keras bagi mereka yang menutup mata dan telinga dari kebenaran di dunia ini. Mereka adalah "orang yang paling merugi perbuatannya" karena amal mereka tidak dilandasi iman yang benar dan justru dibumbui kesyirikan atau penolakan terhadap ayat-ayat Allah.

Sebaliknya, Surga Firdaus dijanjikan bagi "orang-orang yang beriman dan beramal saleh" sebagai tempat tinggal abadi yang penuh kenikmatan, di mana mereka tidak akan pernah ingin berpindah darinya. Ini adalah janji kebahagiaan sejati dan motivasi terbesar bagi setiap Muslim untuk meniti jalan kebenaran.

Puncak dari semua ini terletak pada dua ayat terakhir yang menggema sepanjang zaman: kemahaluasan ilmu Allah yang tak terjangkau oleh akal manusia, serta inti sari risalah kenabian. Nabi Muhammad SAW adalah manusia biasa yang diwahyukan kepadanya pesan paling mendasar: "Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa." Pesan ini diikuti dengan panduan praktis untuk mencapai kebahagiaan abadi: berharap bertemu dengan Allah, mengerjakan amal saleh, dan menjauhi syirik.

Secara keseluruhan, ayat-ayat ini mengajak kita untuk:

Dengan memahami dan mengamalkan pelajaran dari Surah Al-Kahf ayat 90-110 ini, diharapkan kita dapat menghadapi berbagai fitnah dunia dengan keimanan yang kokoh, serta mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk pertemuan dengan Rabb semesta alam.

🏠 Homepage