Surah Al-Insyirah, yang juga dikenal sebagai Surah Ash-Sharh, adalah salah satu mutiara Al-Qur'an yang sarat akan pesan harapan, ketenangan, dan motivasi. Turun pada periode Makkah, surah ini datang sebagai penghibur bagi Nabi Muhammad ﷺ di tengah perjuangan dan kesulitan dakwah yang begitu berat. Ia seolah berbisik ke dalam hati yang lelah, menegaskan bahwa setiap kesulitan pasti akan diikuti dengan kemudahan. Dalam rangkaian ayat-ayatnya yang penuh hikmah, terdapat satu ayat yang begitu penting dan sering kali menjadi pilar motivasi bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan, yaitu ayat ke-7.
Ayat ke-7 dari Surah Al-Insyirah membawa pesan yang mendalam tentang etos kerja, kontinuitas dalam beramal, dan pentingnya memanfaatkan setiap waktu luang untuk hal-hal yang bermanfaat. Ayat ini bukan sekadar anjuran, melainkan sebuah panduan hidup yang komprehensif untuk mencapai keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat, serta menjaga produktivitas dalam ketaatan kepada Allah SWT.
Sebelum kita menyelami makna ayat ke-7, mari kita pahami terlebih dahulu konteks Surah Al-Insyirah secara keseluruhan. Surah ini diawali dengan pertanyaan retoris Allah SWT kepada Nabi Muhammad ﷺ:
Ayat-ayat awal ini adalah pengingat akan nikmat-nikmat besar yang telah Allah karuniakan kepada Rasulullah ﷺ. Pelapangan dada adalah metafora untuk diberikan kekuatan, ketenangan, dan kesabaran dalam menghadapi tantangan dakwah. Beban yang diangkat adalah kesulitan-kesulitan dan kesedihan. Sementara pengangkatan sebutan nama adalah kemuliaan yang abadi bagi beliau, disebutkan dalam syahadat, azan, dan shalawat.
Kemudian, datanglah dua ayat yang menjadi inti penghiburan dan optimisme:
Pengulangan ayat ini dua kali menunjukkan penegasan yang kuat dari Allah SWT. Ini adalah janji ilahi yang tidak akan pernah diingkari. Setelah penegasan ini, barulah muncul ayat ke-7 yang menjadi fokus pembahasan kita, sebagai petunjuk praktis bagaimana seorang Muslim menyikapi janji kemudahan itu dan mengoptimalkan kehidupannya.
Ayat "Fa iżā faragta fanṣab" adalah sebuah instruksi yang ringkas namun padat makna. Mari kita bedah setiap katanya:
Kata "Fa iżā" menunjukkan hubungan sebab-akibat atau konsekuensi. Ia mengisyaratkan bahwa tindakan yang disebutkan selanjutnya adalah reaksi terhadap kondisi yang disebutkan sebelumnya. Dalam konteks ini, "maka apabila" merujuk pada berakhirnya suatu urusan atau pekerjaan. Ini menekankan pentingnya transisi dan kelanjutan tanpa jeda yang sia-sia.
Kata kerja فَرَغْتَ (faraghta) berasal dari akar kata ف ر غ (f-r-gh) yang berarti kosong, selesai, atau bebas dari sesuatu. Ini adalah inti dari pesan ayat ini. Namun, para mufasir memiliki berbagai pandangan tentang apa sebenarnya "urusan" yang dimaksud:
Selesai dari Shalat Fardhu: Sebagian ulama, seperti Ibnu Abbas dan Mujahid, menafsirkan bahwa "faraghta" berarti selesai dari shalat fardhu. Setelah menyelesaikan shalat wajib, maka (fanṣab) dirikanlah shalat sunah atau berdoalah dengan sungguh-sungguh.
Dalam riwayat dari Ibnu Mas'ud, ketika beliau ditanya tentang makna ayat ini, beliau menjawab, "Apabila engkau telah selesai dari shalat fardhu, maka bersungguh-sungguhlah dalam berdoa." Ini menunjukkan transisi dari satu ibadah ke ibadah lain.
Selesai dari Dakwah dan Perjuangan: Penafsiran lain, yang relevan dengan konteks Nabi Muhammad ﷺ, adalah apabila beliau telah selesai dari tugas dakwah yang berat, dari perjuangan menghadapi kaum musyrikin, atau dari urusan dunia yang melelahkan, maka beliau diperintahkan untuk segera mengalihkan perhatiannya kepada ibadah kepada Allah.
Selesai dari Urusan Duniawi: Imam Al-Hasan Al-Basri menafsirkan secara lebih luas, yaitu apabila seseorang telah selesai dari urusan dunianya, seperti bekerja, mencari nafkah, atau memenuhi kebutuhan hidup, maka ia harus segera mengerahkan dirinya untuk beribadah kepada Allah.
Selesai dari Kesulitan: Mengingat ayat-ayat sebelumnya yang berbicara tentang kesulitan dan kemudahan, "faraghta" juga bisa diartikan selesai dari menghadapi suatu kesulitan atau cobaan. Setelah kesulitan itu berlalu dan datang kemudahan, maka jangan berdiam diri, melainkan segera bangkit dan beramal lagi dengan semangat baru.
Intinya, "faraghta" bukan hanya sekadar "selesai", tetapi juga mengandung makna "bebas" atau "luang" dari suatu komitmen atau tugas. Ini adalah penekanan bahwa seorang Muslim tidak boleh memiliki waktu luang yang terbuang sia-sia tanpa produktivitas, baik dalam urusan dunia maupun akhirat.
Kata فَاْْنصَبْ (fanṣab) berasal dari akar kata ن ص ب (n-ṣ-b) yang memiliki beberapa makna, dan ini adalah sumber utama variasi penafsiran:
Berdiri Tegak / Mengerjakan dengan Keras: Makna dasar "naṣaba" adalah mendirikan, menegakkan, atau mengerjakan sesuatu dengan upaya keras dan ketekunan. Ini mengindikasikan bahwa setelah selesai dari satu tugas, seorang Muslim harus segera bangkit dan mengerahkan seluruh tenaga serta perhatiannya untuk tugas berikutnya.
Dalam konteks shalat, jika "faraghta" adalah selesai shalat fardhu, maka "fanṣab" bisa berarti dirikanlah shalat sunah, yaitu "berdirilah untuk shalat".
Mengerahkan Diri dalam Doa: Sebagian ulama menafsirkannya sebagai "bersungguh-sungguhlah dalam berdoa". Setelah selesai dari shalat atau pekerjaan, waktu luang itu digunakan untuk memanjatkan doa dan munajat kepada Allah SWT.
Beralih ke Ibadah Lain / Amal Kebaikan: Secara umum, ini berarti beralih dari satu bentuk ibadah atau pekerjaan baik ke bentuk ibadah atau pekerjaan baik lainnya. Misalnya, setelah selesai berdakwah, berdirilah untuk shalat malam; setelah selesai bekerja, bacalah Al-Qur'an; setelah selesai belajar, luangkan waktu untuk berzikir.
Memasang Niat / Memfokuskan Diri: Ada juga penafsiran bahwa "fanṣab" berarti pasanglah niatmu atau fokuskanlah dirimu kepada Tuhanmu (Rabbmu). Ini menggarisbawahi pentingnya keikhlasan dan menjadikan Allah sebagai tujuan utama dari setiap tindakan yang dilakukan.
Gabungan dari berbagai makna ini memberikan sebuah gambaran utuh: seorang Muslim tidak boleh pasif atau membiarkan waktu luangnya terbuang sia-sia. Sebaliknya, ia harus selalu aktif, produktif, dan mengalihkan perhatiannya dari satu pekerjaan (baik duniawi maupun ukhrawi) kepada pekerjaan lain dengan penuh semangat, kesungguhan, dan tujuan yang jelas, yaitu mencari ridha Allah.
Ayat ini mengajarkan prinsip kontinuitas amal. Hidup seorang Muslim adalah rangkaian amal yang tidak terputus. Ketika satu tugas selesai, tugas lain menanti. Ini mencegah kemalasan, kelengahan, dan sikap menunda-nunda (prokrastinasi). Islam menekankan bahwa waktu adalah aset berharga yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Rasulullah ﷺ bersabda, "Manfaatkanlah lima perkara sebelum datang lima perkara: masa mudamu sebelum masa tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, waktu luangmu sebelum sibukmu, dan hidupmu sebelum matimu." (HR. Al-Hakim)
Ayat ini adalah manifestasi dari hadis tersebut, mengajarkan kita untuk tidak menyia-nyiakan waktu luang, tetapi mengisinya dengan aktivitas yang membawa manfaat dunia dan akhirat.
Penafsiran "faraghta" dari urusan duniawi dan "fanṣab" untuk urusan ukhrawi menunjukkan pentingnya keseimbangan. Setelah kita menunaikan kewajiban duniawi seperti bekerja, mencari nafkah, atau belajar, kita harus segera mengalihkan fokus dan energi kita untuk ibadah, zikir, membaca Al-Qur'an, atau amal-amal lain yang mendekatkan diri kepada Allah. Ini adalah resep untuk hidup yang seimbang, di mana dunia tidak melalaikan kita dari akhirat, dan akhirat tidak membuat kita meninggalkan tanggung jawab dunia.
Kata "fanṣab" menyiratkan bukan hanya "mengerjakan" tetapi "mengerjakan dengan sungguh-sungguh", dengan pengerahan seluruh upaya dan fokus. Ini adalah etos kerja yang tinggi dalam Islam. Baik itu urusan dunia maupun akhirat, seorang Muslim diajarkan untuk melakukannya dengan kualitas terbaik (ihsan). Kemalasan dan setengah-setengah dalam melakukan sesuatu sangat tidak sesuai dengan ajaran ini.
Kesungguhan ini juga berarti mengarahkan hati dan niat hanya kepada Allah dalam setiap amal. Apabila pekerjaan yang kita lakukan diniatkan semata-mata karena Allah, maka seluruh aktivitas kita, bahkan yang tampak duniawi sekalipun, akan bernilai ibadah.
Dalam psikologi modern, transisi antara tugas dapat membantu menjaga fokus dan mencegah kebosanan atau kelelahan mental. Ayat ini, ribuan tahun yang lalu, sudah mengajarkan prinsip ini. Ketika seseorang menyelesaikan satu pekerjaan dan segera beralih ke pekerjaan lain dengan antusias, ia cenderung tidak merasa jenuh dan lebih produktif. Ini juga bisa menjadi terapi dari kesulitan, karena sibuk dalam ketaatan atau hal-hal positif adalah cara yang efektif untuk mengalihkan pikiran dari masalah dan kecemasan.
Terlebih lagi, perintah untuk 'fanṣab' kepada Allah setelah 'faraghta' dari urusan duniawi dapat berfungsi sebagai penyeimbang spiritual. Beban duniawi yang berat dapat diatasi dengan mendekatkan diri kepada Allah, memohon pertolongan-Nya, dan mengisi hati dengan ketenangan ibadah.
Ayat ini secara khusus ditujukan kepada Nabi Muhammad ﷺ, yang merupakan teladan terbaik bagi umat manusia. Kehidupan beliau adalah contoh nyata dari pengamalan ayat ini. Beliau tidak pernah berdiam diri atau menyia-nyiakan waktu. Setelah selesai berdakwah dan berjuang di siang hari, beliau berdiri tegak untuk shalat malam (qiyamul lail) hingga kaki beliau bengkak.
Aisyah RA pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ, "Mengapa engkau berbuat demikian (shalat malam sampai bengkak kakimu) padahal dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang telah diampuni Allah?" Beliau menjawab, "Tidakkah aku ingin menjadi hamba yang bersyukur?" (HR. Bukhari dan Muslim).
Ini menunjukkan bahwa bahkan seorang Nabi yang telah dijamin surga pun tetap gigih dalam beribadah dan bersyukur, tidak pernah merasa cukup atau berpuas diri dengan amal yang telah dilakukan.
Ayat 7 datang setelah ayat 5 dan 6 yang menegaskan "bersama kesulitan ada kemudahan". Ini bukan kebetulan. Ayat 7 adalah instruksi bagaimana memanfaatkan kemudahan yang datang setelah kesulitan. Kemudahan bukan berarti bermalas-malasan, tetapi justru menjadi kesempatan untuk lebih giat beramal. Ketika Allah memberi kelapangan, gunakanlah kelapangan itu untuk semakin mendekat kepada-Nya, bukan untuk berfoya-foya atau melalaikan diri.
Maka, Al-Insyirah ayat 7 ini mengajarkan bahwa sikap seorang mukmin dalam menghadapi hidup adalah selalu aktif, dinamis, dan produktif. Tidak ada ruang bagi kekosongan yang hampa makna. Setiap selesainya suatu urusan harus diikuti dengan kesungguhan pada urusan lain yang bermanfaat, terutama yang berkaitan dengan hubungan kita kepada Allah SWT.
Pesan dari ayat ke-7 ini sangat relevan dan aplikatif dalam berbagai aspek kehidupan di era modern yang serba cepat dan menuntut produktivitas tinggi:
Ayat ini mendorong kita untuk menjadi individu yang memiliki manajemen waktu yang efektif. Setelah menyelesaikan satu proyek di kantor, alih-alih langsung bersantai tanpa tujuan, kita bisa beralih untuk merencanakan tugas berikutnya, belajar keterampilan baru, atau menggunakan waktu luang itu untuk berzikir atau membaca Al-Qur'an sebentar. Ini mencegah prokrastinasi dan meningkatkan efisiensi.
Bagi sebagian besar orang, kehidupan modern seringkali terjebak dalam rutinitas kerja yang sangat padat. Ayat ini mengingatkan kita untuk tidak melupakan hak Allah atas diri kita. Setelah seharian bekerja keras, kita harus "fanṣab" (bersungguh-sungguh) dalam shalat, membaca Al-Qur'an, atau bermuhasabah. Ini membantu menciptakan keseimbangan dan menjaga spiritualitas di tengah hiruk pikuk dunia.
Selesai dari satu tugas yang membosankan atau melelahkan dapat diatasi dengan transisi ke tugas lain yang lebih menarik atau menenangkan. Misalnya, setelah seharian berpikir keras, "fanṣab" bisa berarti beralih untuk berolahraga, membaca buku agama, atau menghabiskan waktu berkualitas dengan keluarga, yang semuanya dapat bernilai ibadah jika diniatkan dengan benar.
Ayat ini juga dapat diinterpretasikan sebagai dorongan untuk pembelajaran dan pengembangan diri yang tidak pernah berhenti. Setelah menguasai satu bidang ilmu, maka "fanṣab" untuk mendalami bidang lain atau mengaplikasikan ilmu yang telah didapatkan untuk kebaikan umat. Ini menciptakan individu yang selalu ingin tumbuh dan berkontribusi.
Seperti yang disinggung sebelumnya, ayat ini datang setelah penegasan "sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan". Jika kita selesai dari suatu kesulitan, maka "fanṣab" adalah respons yang tepat. Bukan berdiam diri dalam kesedihan atau keputusasaan, melainkan bangkit dan segera beramal lagi dengan harapan baru, mempercayai janji Allah bahwa kemudahan akan datang.
Ini membentuk mentalitas yang tangguh, di mana setiap akhir dari sebuah tantangan adalah awal dari sebuah peluang baru untuk berbuat lebih baik.
Tafsiran ayat ini menunjukkan konsistensi dalam prinsip dasarnya, yaitu larangan berdiam diri setelah menyelesaikan suatu pekerjaan dan perintah untuk segera beralih ke pekerjaan lain dengan penuh semangat. Namun, cakupan "urusan" dan "pekerjaan yang lain" telah berkembang seiring dengan perkembangan zaman.
Tafsir Klasik: Sebagian besar ulama salaf cenderung menafsirkan "faraghta" dan "fanṣab" dalam konteks ibadah ritual, seperti shalat fardhu dan shalat sunah, atau urusan dakwah Nabi ﷺ dan kemudian beralih ke ibadah khusus.
Tafsir Kontemporer: Mufasir modern cenderung memperluas makna ini agar lebih relevan dengan kompleksitas kehidupan saat ini. "Urusan" dapat mencakup segala bentuk tanggung jawab duniawi yang halal dan bermanfaat, dan "pekerjaan yang lain" bisa berarti beralih ke ibadah, mencari ilmu, mengurus keluarga, membantu sesama, atau bentuk produktivitas positif lainnya yang dilakukan dengan niat ikhlas karena Allah.
Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam "Tafsir Al-Misbah" menggarisbawahi pentingnya mengisi waktu luang dengan aktivitas yang positif, bahkan dari satu pekerjaan duniawi ke pekerjaan duniawi lainnya, asalkan itu produktif dan bermanfaat, dan pada akhirnya diarahkan kepada Allah.
Kedua pendekatan ini tidak saling bertentangan, melainkan saling melengkapi. Inti pesan tetap sama: tidak ada waktu yang boleh disia-siakan, dan setiap aktivitas harus dijalani dengan kesungguhan serta tujuan akhir yaitu Allah SWT.
Ayat ini adalah salah satu pilar filosofi kerja dalam Islam. Islam tidak mengenal konsep istirahat total atau pensiun dari beramal sampai ajal menjemput. Sebaliknya, seorang Muslim didorong untuk selalu aktif dan produktif. Bahkan istirahat pun harus diniatkan agar memiliki energi untuk beramal lagi. Ini sejalan dengan banyak ayat Al-Qur'an dan hadis yang menganjurkan kerja keras, ketekunan, dan menjauhi kemalasan.
Pentingnya Niat: Semua pekerjaan, baik duniawi maupun ukhrawi, harus dilandasi niat yang ikhlas karena Allah. Dengan niat yang benar, pekerjaan mencari nafkah pun bisa menjadi ibadah.
Ihsan (Kesempurnaan): Perintah "fanṣab" mengandung makna ihsan, yaitu melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya, seolah-olah kita melihat Allah, atau setidaknya menyadari bahwa Allah melihat kita. Ini mendorong kualitas dan dedikasi dalam setiap tindakan.
Menjauhi Sifat Malas dan Menunda: Ayat ini secara implisit mengecam kemalasan dan prokrastinasi. Seorang Muslim yang memahami dan mengamalkan ayat ini akan senantiasa termotivasi untuk mengisi waktunya dengan hal-hal yang bermanfaat.
Urgensi Waktu: Waktu adalah karunia Allah yang tidak ternilai. Mengisi waktu luang dengan produktivitas adalah bentuk syukur atas nikmat waktu dan kesempatan hidup.
Dengan demikian, Al-Insyirah ayat 7 bukan hanya sekadar anjuran, melainkan sebuah prinsip hidup yang membentuk karakter seorang Muslim menjadi pribadi yang proaktif, produktif, dan senantiasa terhubung dengan Tuhannya dalam setiap aktivitas.
Al-Insyirah ayat 7, "Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain," adalah sebuah perintah ilahi yang mencerminkan filosofi hidup seorang Muslim yang dinamis, produktif, dan selalu terhubung dengan Tuhannya. Ayat ini adalah resep untuk kebahagiaan sejati, bukan dengan bermalas-malasan setelah mencapai tujuan, melainkan dengan mengisi setiap momen luang dengan amal kebaikan dan ketaatan.
Pesan intinya adalah jangan pernah ada kekosongan dalam hidup seorang Muslim. Setiap kali selesai dari satu tugas, baik itu shalat, berdakwah, bekerja, atau menghadapi kesulitan, segera alihkan perhatian dan energi kita kepada tugas berikutnya dengan niat ikhlas dan kesungguhan yang penuh. Dengan begitu, hidup kita akan senantiasa diberkahi, penuh makna, dan menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Surah Al-Insyirah secara keseluruhan adalah surah penghibur, dan ayat ke-7 ini adalah cara praktis untuk meraih ketenangan batin yang dijanjikan. Dengan mengamalkan ayat ini, seorang Muslim akan menemukan bahwa di balik setiap upaya yang sungguh-sungguh, Allah akan memberikan kemudahan dan keberkahan yang tak terhingga. Ini adalah janji yang menguatkan hati, memberikan harapan, dan membimbing kita menuju kehidupan yang lebih baik, di dunia maupun di akhirat.