Ilustrasi visualisasi interaksi suara di lingkungan urban.
Dalam kehidupan modern yang padat, kita sering kali disajikan dengan simfoni suara yang kontras. Salah satu perbandingan yang paling mencolok adalah antara lantunan sakral Adzan—seruan ilahiah yang memanggil umat Muslim untuk shalat—dan respons naluriah dari anjing peliharaan atau liar, yang sering kali bermanifestasi sebagai gonggongan. Bagi pendengar awam, kedua suara ini mungkin hanya dianggap sebagai gangguan kebisingan lingkungan. Namun, bagi peneliti akustik kota dan sosiolog perkotaan, interaksi antara Adzan dan gonggongan anjing menawarkan wawasan menarik tentang bagaimana frekuensi dan makna suara berinteraksi dalam ruang publik.
Adzan memiliki karakteristik akustik yang spesifik. Disampaikan dengan vokal yang meninggi, tujuannya adalah untuk menjangkau area yang luas. Frekuensi dan intonasi yang digunakan oleh muazin dirancang untuk menembus kebisingan latar belakang kota. Meskipun volume maksimalnya terkontrol, sifatnya yang berulang lima kali sehari menjadikannya penanda waktu yang fundamental dalam lanskap suara Muslim. Suara ini membawa bobot spiritual yang mendalam, menjadi jangkar temporal dan spiritual bagi komunitas pendengarnya. Ini adalah suara yang memiliki "makna" yang melekat.
Di sisi lain spektrum, gonggongan anjing adalah respons yang sangat berbeda. Anjing berkomunikasi melalui berbagai nada dan durasi gonggongan, yang sering kali dipicu oleh perubahan dalam lingkungan akustik mereka. Ketika Adzan mulai berkumandang, anjing sering menunjukkan reaksi yang bervariasi. Beberapa mungkin diam, sementara yang lain merespons dengan gonggongan yang keras.
Teori umum menyebutkan bahwa anjing merespons frekuensi tinggi dalam panggilan tersebut. Suara Adzan, dengan nada tertentu, dapat memicu respons naluriah pada anjing, mirip dengan bagaimana mereka merespons sirene atau suara bernada tinggi lainnya. Reaksi ini jarang dimotivasi oleh pemahaman religius; sebaliknya, ini adalah respons terprogram terhadap stimulus auditori. Bagi anjing, Adzan hanyalah suara keras baru yang muncul di lingkungan mereka yang biasa mereka pantau.
Di banyak kota besar, terutama di Asia Tenggara atau Timur Tengah, rumah ibadah (masjid) dan permukiman padat tempat anjing dipelihara sering kali berdekatan. Fenomena ini memaksa kedua suara ini untuk 'berlomba' dalam spektrum kebisingan. Pertanyaan muncul: Apakah salah satu menekan yang lain? Dalam banyak kasus, gonggongan anjing cenderung lebih sporadis dan durasinya singkat, sementara Adzan bersifat terstruktur dan berulang.
Studi tentang polusi suara menunjukkan bahwa kebisingan yang memiliki makna sosial atau spiritual (seperti Adzan) cenderung lebih ditoleransi oleh komunitas yang memahaminya, meskipun tingkat desibelnya tinggi. Sementara itu, gonggongan yang tidak terduga dan berulang sering dikategorikan sebagai gangguan. Namun, ketika Adzan sedang berlangsung, gonggongan yang menyertai menciptakan lapisan akustik yang kompleks, di mana yang sakral bertemu dengan yang naluriah.
Interaksi Adzan dan gonggongan anjing mengajarkan kita tentang adaptasi pendengaran manusia di lingkungan urban. Seiring waktu, telinga manusia belajar untuk 'memfilter' atau memberikan prioritas makna pada suara tertentu. Bagi seorang Muslim, Adzan otomatis mendapat prioritas interpretatif, sementara gonggongan anjing sering dikategorikan sebagai 'kebisingan latar belakang yang dapat diabaikan'—kecuali jika gonggongan itu sendiri berubah menjadi serangan intensif.
Ini menyoroti bagaimana persepsi kita terhadap suara sangat dibentuk oleh budaya dan konteks. Gonggongan yang biasanya mengganggu dapat diterima sebentar jika terdengar bersamaan dengan suara yang menenangkan secara spiritual, dan sebaliknya. Pada akhirnya, harmoni atau disharmoni antara Adzan dan gonggongan anjing adalah cerminan langsung dari keragaman hidup yang tumpah tindih di jalanan kota kita.