Surah Adh-Dhuha adalah surat yang menenangkan jiwa, dikhususkan Allah SWT untuk menenteramkan hati Nabi Muhammad SAW di masa-masa sulit, terutama ketika wahyu sempat terhenti sesaat. Surat ini adalah jaminan kasih sayang ilahi yang tak pernah putus. Setelah mengulang-ulang janji tentang pemeliharaan (yatim piatu) dan kecukupan rezeki, Allah menutup surat yang agung ini dengan sebuah perintah penutup yang sangat penting, yaitu pada Adh Dhuha ayat 11.
Ayat penutup ini berfungsi sebagai kesimpulan dari keseluruhan pesan surat tersebut. Jika sebelumnya Allah mengingatkan tentang nikmat yang telah diberikan (yaitu perlindungan dan kecukupan), maka ayat terakhir ini menekankan konsekuensi logis dari penerimaan nikmat tersebut, yakni kewajiban untuk mensyukuri dan menyampaikannya.
Kata kunci utama dalam ayat ini adalah "fahaddits" (maka ceritakanlah/sampaikanlah). Para ulama tafsir sepakat bahwa perintah ini memiliki cakupan yang sangat luas. Ia bukan sekadar ungkapan syukur dalam hati, melainkan juga ekspresi syukur yang nyata melalui lisan dan perbuatan. Ini adalah penutup yang sempurna, mengikat semua janji dan anugerah yang disebutkan sebelumnya dalam bingkai manifestasi syukur.
Mengapa Allah memerintahkan untuk "menceritakan" nikmat-Nya? Ada beberapa dimensi penting dari perintah ini, terutama dalam konteks kehidupan seorang mukmin, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Secara lahiriah, "menceritakan" berarti mengucapkan tahmid dan pujian kepada Allah atas segala karunia-Nya. Ketika seseorang secara aktif mengucapkan "Alhamdulillah" atas kesehatan, rezeki, atau ketenangan batin, ia sedang menunaikan perintah langsung dari ayat ini. Lisan yang terbiasa menyebut nikmat Allah akan menjauhkan diri dari sifat kufur dan mengeluh.
Bagi diri sendiri, menceritakan nikmat adalah cara untuk mengingatkan hati yang mudah lalai. Ketika kita menghadapi kesulitan baru, mengingat kembali nikmat-nikmat besar yang telah berlalu—seperti janji Allah dalam ayat-ayat awal Adh-Dhuha—akan menguatkan keyakinan bahwa Allah tidak akan meninggalkan kita. Ini adalah terapi spiritual yang ampuh.
Dalam pandangan sosial, menceritakan nikmat Allah kepada sesama memiliki fungsi dakwah. Ketika seseorang membagikan bagaimana Allah menolongnya melewati masa sulit, hal ini memberikan harapan dan teladan bagi orang lain yang mungkin sedang mengalami kemurungan atau keputusasaan. Ini mencegah munculnya pemikiran bahwa kesuksesan murni berasal dari usaha semata, melainkan dari pertolongan Ilahi. Inilah mengapa para sahabat sering bercerita tentang bagaimana mereka masuk Islam atau bagaimana Allah menyelamatkan mereka dari bahaya.
Ketika kita merenungkan Adh Dhuha ayat 11, kita diajak untuk mengubah cara pandang kita terhadap kehidupan. Jika Allah telah menjamin pemeliharaan-Nya, tugas kita selanjutnya adalah menjadi corong nikmat tersebut. Jika kita mendapatkan rezeki yang melimpah, ceritakanlah dengan cara menafkahkan sebagiannya di jalan Allah. Jika kita diberikan ilmu, ceritakanlah dengan cara mengajarkannya kepada mereka yang belum tahu.
Ayat ini mengajarkan keseimbangan: menerima karunia (yang sudah Allah berikan) dan memancarkan karunia itu kembali (dengan menceritakannya). Ini adalah siklus energi positif dalam spiritualitas Islam. Kegagalan untuk menceritakan atau menggunakan nikmat di jalan yang diridhai Allah sering kali menjadi sebab terhentinya nikmat tersebut.
Oleh karena itu, Surah Adh-Dhuha yang dimulai dengan sumpah demi waktu dhuha dan malam yang sunyi, diakhiri dengan perintah yang lugas dan praktis. Ia mengajak setiap muslim untuk menjalani hidup bukan hanya sebagai penerima kasih sayang, tetapi juga sebagai penyebar kabar baik tentang kemurahan Rabbul 'Alamin. Dengan selalu menceritakan nikmat-Nya, kita memastikan hati kita tetap terikat erat kepada sumber segala kebaikan, Allah SWT.