Simbol Malam dan Siang Representasi dualitas malam yang menyelimuti dan siang yang terang benderang, tema sentral Surat Al-Lail.

Ada Berapa Ayat Surat Al-Lail? Penjelasan Komprehensif

Mengungkap Makna Mendalam di Balik Setiap Ayat

Pendahuluan: Pentingnya Memahami Al-Qur'an

Al-Qur'an adalah kalamullah, pedoman hidup bagi umat manusia yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ. Setiap surat, setiap ayat di dalamnya mengandung hikmah, pelajaran, dan petunjuk yang tak ternilai harganya. Memahami Al-Qur'an bukan hanya sekadar membaca lafaznya, melainkan juga merenungi maknanya, menelusuri sebab-sebab turunnya, dan mengaplikasikan ajarannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, kita bisa menemukan cahaya yang menerangi jalan, petunjuk yang membimbing ke arah kebaikan, serta peringatan dari segala bentuk kesesatan.

Salah satu surat yang penuh dengan pesan mendalam tentang dualitas kehidupan, perjuangan antara kebaikan dan keburukan, serta janji balasan dari Allah SWT adalah Surat Al-Lail. Surat ini, yang termasuk dalam golongan surat Makkiyah, diturunkan di Makkah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Periode Makkiyah dikenal dengan penekanan pada tauhid, hari kiamat, serta akhlak mulia. Surat Al-Lail dengan indah menggambarkan kontras antara malam yang menyelimuti dan siang yang terang benderang, kemudian mengaitkannya dengan kontras antara amal saleh dan amal buruk, serta dampaknya bagi kehidupan dunia dan akhirat.

Pertanyaan umum yang sering muncul terkait dengan surat-surat dalam Al-Qur'an adalah tentang jumlah ayatnya. Hal ini penting untuk memastikan bahwa kita memahami struktur dan panjang setiap surat, yang seringkali berkaitan dengan kekompakan tematiknya. Untuk Surat Al-Lail, pertanyaan "Ada berapa ayat Surat Al-Lail?" akan kita jawab secara langsung dan kemudian kita akan menyelami setiap ayatnya dengan tafsir yang komprehensif, guna mengungkap kekayaan makna dan pelajaran yang terkandung di dalamnya.

Jumlah Ayat Surat Al-Lail

Surat Al-Lail (الليل), yang berarti "Malam", adalah surat ke-92 dalam mushaf Al-Qur'an. Surat ini terdiri dari 21 ayat. Dengan jumlah ayat ini, Surat Al-Lail termasuk dalam kategori surat-surat pendek (Al-Mufassal), yang sering dibaca dalam shalat-shalat sunah maupun wajib, khususnya saat imam ingin mempersingkat bacaan namun tetap menyampaikan pesan yang kuat.

Meskipun pendek, setiap ayat dalam Surat Al-Lail memuat pelajaran yang padat dan relevan sepanjang masa. Mari kita telaah satu per satu, dimulai dari teks aslinya, transliterasi, terjemahan, hingga tafsir mendalamnya.

Teks Lengkap Surat Al-Lail (Arab)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
وَالَّيْلِ إِذَا يَغْشَىٰ ١
وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ ٢
وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالْأُنثَىٰ ٣
إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ ٤
فَأَمَّا مَن أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ ٥
وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَىٰ ٦
فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ ٧
وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَىٰ ٨
وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَىٰ ٩
فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ ١٠
وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّىٰ ١١
إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَىٰ ١٢
وَإِنَّ لَنَا لَلْآخِرَةَ وَالْأُولَىٰ ١٣
فَأَنذَرْتُكُمْ نَارًا تَلَظَّىٰ ١٤
لَا يَصْلَاهَا إِلَّا الْأَشْقَى ١٥
الَّذِي كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ ١٦
وَسَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى ١٧
الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّىٰ ١٨
وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُ مِن نِّعْمَةٍ تُجْزَىٰ ١٩
إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَىٰ ٢٠
وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ ٢١

Transliterasi Surat Al-Lail

Bismillahirrahmanirrahim

1. Wal-laili izā yaghsyā

2. Wan-nahāri izā tajallā

3. Wa mā khalaqaz-zakara wal-unsā

4. Inna sa'yakum lashattā

5. Fa'ammā man a'ṭā wattaqā

6. Wa ṣaddaqā bil-ḥusnā

7. Fa sanuyassiruhū lil-yusrā

8. Wa ammā man bakhila wastagnā

9. Wa kazzaba bil-ḥusnā

10. Fa sanuyassiruhū lil-'usrā

11. Wa mā yughnī 'anhū māluhū izā taraddā

12. Inna 'alainā lalhudā

13. Wa inna lanā lal-ākhirata wal-ūlā

14. Fa anżartukum nāran talażżā

15. Lā yaṣlāhā illal-asyqā

16. Allażī każżaba wa tawallā

17. Wa sayujannabuhal-atqā

18. Allażī yu`tī mālahū yatazakkā

19. Wa mā li'aḥadin 'indahū min ni'matin tujzā

20. Illabtigā`a wajhi rabbihil-a'lā

21. Wa lasaufa yarḍā

Terjemah Surat Al-Lail (Bahasa Indonesia)

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

1. Demi malam apabila menutupi (cahaya siang),

2. dan demi siang apabila terang benderang,

3. dan demi penciptaan laki-laki dan perempuan,

4. sungguh usaha kamu memang berbeda-beda.

5. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,

6. dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga),

7. maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.

8. Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak memerlukan pertolongan Allah),

9. serta mendustakan (adanya pahala) yang terbaik,

10. maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang sukar.

11. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.

12. Sesungguhnya kewajiban Kami-lah memberi petunjuk.

13. Dan sesungguhnya kepunyaan Kamilah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.

14. Maka Kami memperingatkan kamu dengan api neraka yang menyala-nyala,

15. tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka,

16. yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman).

17. Dan kelak akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa,

18. yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan dirinya,

19. Padahal tidak ada seorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya,

20. melainkan (semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi.

21. Dan kelak dia benar-benar akan puas.

Tafsir Mendalam Per Ayat Surat Al-Lail

Ayat 1: وَالَّيْلِ إِذَا يَغْشَىٰ

وَالَّيْلِ إِذَا يَغْشَىٰ ١

Terjemah: Demi malam apabila menutupi (cahaya siang),

Tafsir: Ayat pertama Surat Al-Lail diawali dengan sumpah Allah SWT, sebuah gaya bahasa yang sering digunakan dalam Al-Qur'an untuk menarik perhatian dan menegaskan pentingnya pernyataan yang akan disampaikan setelahnya. Di sini, Allah bersumpah "Demi malam apabila menutupi (cahaya siang)". Kata "yaghsyā" (يَغْشَىٰ) berasal dari kata dasar ghashā (غشى) yang berarti menutupi, menyelimuti, atau menggelapkan. Ini merujuk pada fenomena alamiah saat kegelapan malam secara perlahan-lahan menyelimuti bumi, menggantikan cahaya terang siang hari. Malam adalah waktu istirahat, ketenangan, dan misteri. Kegelapannya menyembunyikan banyak hal, memberikan kesempatan bagi jiwa untuk merenung dan beristirahat dari hiruk pikuk siang. Sumpah ini menggarisbawahi keagungan penciptaan Allah dan siklus alam semesta yang menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya.

Penyebutan malam di awal surat ini tidak hanya sebagai fenomena alam biasa, tetapi juga sebagai simbol. Malam dapat melambangkan ketidakjelasan, ujian, atau bahkan kejahatan yang tersembunyi. Namun, ia juga adalah rahmat yang memungkinkan manusia beristirahat. Penggunaan sumpah ini menyiapkan pikiran pembaca untuk dualitas yang akan menjadi tema utama surat ini: dualitas antara terang dan gelap, kebaikan dan keburukan, kemudahan dan kesulitan, serta balasan yang menyertai setiap pilihan.

Ayat 2: وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ

وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ ٢

Terjemah: dan demi siang apabila terang benderang,

Tafsir: Setelah bersumpah demi malam, Allah melanjutkan sumpah-Nya "Demi siang apabila terang benderang." Kata "tajallā" (تَجَلَّىٰ) berarti menampakkan diri, terang benderang, atau menjelaskan. Ini adalah antitesis sempurna dari "yaghsyā". Siang hari digambarkan sebagai waktu di mana segala sesuatu menjadi jelas dan terlihat. Cahaya matahari menyingkap kegelapan, memungkinkan aktivitas, pekerjaan, dan interaksi sosial. Siang melambangkan kejelasan, aktivitas, kehidupan, dan kebenaran yang terungkap.

Kedua sumpah ini—demi malam yang menyelimuti dan siang yang terang—sangat penting karena membentuk fondasi perbandingan yang akan datang. Allah ingin menunjukkan bahwa sebagaimana ada kontras yang jelas dan abadi antara malam dan siang dalam alam semesta, demikian pula ada kontras yang tak terbantahkan dalam tindakan dan nasib manusia. Dualitas ini bukan kebetulan; ia adalah bagian dari tatanan ilahi yang besar, mencerminkan kebijaksanaan Allah dalam penciptaan-Nya. Baik malam maupun siang adalah tanda-tanda kebesaran Allah, dan keduanya memiliki peran penting dalam kehidupan di bumi.

Ayat 3: وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالْأُنثَىٰ

وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالْأُنثَىٰ ٣

Terjemah: dan demi penciptaan laki-laki dan perempuan,

Tafsir: Sumpah ketiga dalam surat ini adalah "dan demi penciptaan laki-laki dan perempuan." Beberapa ulama tafsir menafsirkan "wa mā khalaqa" (وَمَا خَلَقَ) sebagai sumpah demi Allah Yang Maha Menciptakan, sementara yang lain menafsirkan "mā" (ما) sebagai "apa yang" atau "siapa yang," sehingga berarti sumpah demi "apa yang diciptakan-Nya" yaitu laki-laki dan perempuan, atau demi "Yang menciptakan" laki-laki dan perempuan. Penafsiran yang paling umum dan kuat adalah bahwa ini adalah sumpah demi Allah, Sang Pencipta, yang menciptakan dualitas jenis kelamin: laki-laki dan perempuan.

Penciptaan laki-laki dan perempuan adalah manifestasi lain dari dualitas yang ada di alam semesta. Sama seperti malam dan siang, ada perbedaan yang jelas antara laki-laki dan perempuan, namun keduanya saling melengkapi dan esensial untuk kelangsungan hidup manusia. Dualitas ini bukan hanya tentang perbedaan fisik atau biologis, tetapi juga tentang peran dan fungsi yang saling melengkapi dalam masyarakat dan keberlangsungan keturunan. Dengan sumpah ini, Allah mengaitkan dualitas alam (malam-siang) dengan dualitas kehidupan manusia (laki-laki-perempuan), menyiapkan kita untuk memahami bahwa segala sesuatu di alam ini diciptakan berpasangan dan memiliki tujuan.

Melalui tiga sumpah ini, Allah ingin menegaskan sebuah kebenaran universal. Sumpah-sumpah ini tidak bersifat kebetulan, melainkan dipilih karena keterkaitannya yang erat dengan pesan utama surat: kontras antara berbagai jenis usaha manusia dan hasil akhirnya. Malam dan siang, laki-laki dan perempuan, semuanya adalah contoh dari dualitas yang ada dalam ciptaan Allah. Dalam konteks ini, dualitas ini menjadi penjelas bagi perbedaan yang mencolok dalam perbuatan manusia, yang akan dijabarkan dalam ayat-ayat berikutnya.

Ayat 4: إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ

إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ ٤

Terjemah: sungguh usaha kamu memang berbeda-beda.

Tafsir: Inilah inti dari sumpah-sumpah sebelumnya. Setelah bersumpah demi tiga pasang ciptaan yang menunjukkan dualitas – malam dan siang, serta laki-laki dan perempuan – Allah kemudian menyatakan kebenaran besar: "Sungguh usaha kamu memang berbeda-beda." Kata "sa'yakum" (سَعْيَكُمْ) berarti usaha atau upaya kalian, sedangkan "lasyattā" (لَشَتَّىٰ) berarti sungguh berbeda-beda atau bercerai-berai. Ini adalah jawaban atas sumpah-sumpah tersebut, menegaskan bahwa meskipun manusia mungkin terlihat sama dalam penciptaan dasar mereka (sebagai laki-laki atau perempuan), usaha, tujuan, dan perbuatan mereka sangatlah bervariasi.

Ayat ini adalah poin sentral yang mengarahkan pembaca pada pemahaman bahwa manusia memiliki kebebasan memilih dalam tindakan mereka, dan pilihan-pilihan ini akan menghasilkan konsekuensi yang berbeda. Ada yang berjuang untuk kebaikan, ada pula yang berjuang untuk keburukan. Ada yang mengorbankan diri demi Allah, ada pula yang kikir dan egois. Perbedaan ini adalah realitas kehidupan, dan Allah, dengan segala kebijaksanaan-Nya, menciptakan sistem di mana setiap usaha akan mendapatkan balasan yang setimpal.

Pernyataan ini juga mengandung makna bahwa manusia tidaklah seragam dalam niat dan perilakunya. Ada yang tulus mencari keridaan Allah, ada pula yang hanya mengejar kepentingan dunia. Perbedaan inilah yang akan menentukan nasib mereka di akhirat. Dengan demikian, ayat ini menjadi jembatan antara fenomena alam dan penciptaan manusia dengan etika dan moralitas perbuatan manusia.

Ayat 5: فَأَمَّا مَن أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ

فَأَمَّا مَن أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ ٥

Terjemah: Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,

Tafsir: Setelah menegaskan bahwa usaha manusia itu berbeda-beda, Al-Qur'an kemudian menguraikan dua kategori utama manusia berdasarkan perbuatan mereka. Ayat ini memulai dengan kategori pertama: "Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa." Kata "a'ṭā" (أَعْطَىٰ) berarti memberikan atau bersedekah, khususnya dalam konteks memberi harta di jalan Allah. Ini tidak hanya mencakup zakat dan sedekah, tetapi juga segala bentuk pengorbanan harta benda untuk tujuan yang diridai Allah, seperti membantu yang membutuhkan, membiayai dakwah, atau mendukung anak yatim. Pemberian ini dilakukan dengan ikhlas, bukan untuk pamer atau mencari pujian manusia.

Bagian kedua dari ayat ini adalah "wattaqā" (وَاتَّقَىٰ), yang berarti bertakwa. Takwa adalah pondasi dari setiap amal kebaikan dalam Islam. Ia berarti takut kepada Allah dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Orang yang bertakwa senantiasa menyadari kehadiran Allah, baik dalam terang maupun gelap, dalam keadaan ramai maupun sendirian. Takwa merupakan motivasi utama di balik tindakan memberi dan segala bentuk ibadah lainnya. Jadi, ayat ini menggambarkan orang yang tidak hanya murah hati dalam memberi, tetapi juga memiliki keimanan yang kuat dan ketaatan yang tulus kepada Allah.

Gabungan antara "memberi" dan "bertakwa" menunjukkan bahwa amal saleh harus dilandasi oleh iman dan kesadaran spiritual. Memberi tanpa takwa mungkin hanya menjadi amal duniawi yang tidak bernilai di sisi Allah, sementara takwa tanpa manifestasi amal nyata juga kurang sempurna. Keduanya saling melengkapi, menciptakan gambaran seorang mukmin sejati yang berderma dengan hati yang tulus dan takut akan Allah.

Ayat 6: وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَىٰ

وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَىٰ ٦

Terjemah: dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga),

Tafsir: Ayat ini melanjutkan deskripsi tentang kategori orang baik. "Dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik." Kata "ṣaddaqā bil-ḥusnā" (وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَىٰ) secara harfiah berarti "membenarkan yang terbaik." Para mufassir memiliki beberapa penafsiran mengenai "al-husnā" (الْحُسْنَىٰ). Mayoritas menafsirkan "al-husnā" sebagai pahala terbaik, yaitu surga, atau janji Allah tentang kebaikan dan balasan yang berlimpah bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Ada juga yang menafsirkannya sebagai kalimat tauhid "Lā ilāha illallāh" (Tiada Tuhan selain Allah), atau janji kebaikan dari Allah untuk orang-orang yang berbuat baik.

Intinya, ayat ini menekankan pentingnya keimanan dan keyakinan akan kebenaran janji Allah. Orang yang memberi dan bertakwa, mereka melakukan itu karena mereka percaya sepenuhnya pada balasan baik dari Allah di akhirat. Mereka tidak meragukan keesaan Allah, kenabian Muhammad ﷺ, hari kebangkitan, surga, dan neraka. Keyakinan inilah yang mendorong mereka untuk beramal saleh dengan ikhlas, tanpa mengharapkan pujian atau balasan di dunia. Mereka yakin bahwa segala yang mereka berikan di jalan Allah akan diganti dengan yang lebih baik, yaitu pahala yang abadi di sisi-Nya.

Jadi, kategori pertama manusia ini adalah orang yang memiliki tiga sifat utama: murah hati (memberi), bertakwa kepada Allah, dan memiliki keyakinan yang kuat pada janji-janji Allah dan kebenaran agama-Nya. Tiga sifat ini saling terkait dan merupakan pilar-pilar keimanan dan kebaikan dalam Islam.

Ayat 7: فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ

فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ ٧

Terjemah: maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.

Tafsir: Ini adalah balasan bagi orang-orang yang memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam ayat 5 dan 6. "Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah." Kata "fa sanuyassiruhū lil-yusrā" (فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ) berarti Kami akan memudahkan baginya jalan menuju kemudahan. "Al-yusrā" (الْيُسْرَىٰ) merujuk pada kemudahan, kebaikan, dan kebahagiaan. Ini bisa berarti beberapa hal:

  1. Kemudahan dalam beramal saleh: Allah akan memudahkan langkah-langkahnya untuk melakukan perbuatan baik di dunia. Hatinya akan cenderung kepada kebaikan, Allah akan membukakan pintu-pintu kesempatan baginya untuk beramal, dan ia akan merasakan kelapangan dalam menjalankan ibadah.
  2. Kemudahan dalam urusan dunia: Meskipun tidak selalu secara langsung, Allah seringkali memberkahi kehidupan orang-orang saleh dengan kemudahan dan kelapangan rezeki yang tidak terduga.
  3. Kemudahan saat sakaratul maut: Proses kematiannya akan dimudahkan, ia akan meninggal dalam keadaan husnul khatimah.
  4. Kemudahan di akhirat: Ini adalah kemudahan terbesar, yaitu kemudahan melewati hisab, masuk surga tanpa kesulitan, dan mendapatkan keridhaan Allah.

Ayat ini menyampaikan janji optimis dan penuh harapan dari Allah. Bagi mereka yang memilih jalan kebaikan, memberi, bertakwa, dan beriman, Allah tidak akan meninggalkan mereka dalam kesulitan. Sebaliknya, Allah akan membimbing mereka, melancarkan urusan mereka, dan pada akhirnya, membawa mereka ke surga-Nya yang penuh kenikmatan. Ini adalah prinsip ilahi bahwa barangsiapa mendekat kepada Allah dengan ketaatan, Allah akan mendekatkan rahmat dan pertolongan-Nya kepada hamba tersebut.

Ayat 8: وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَىٰ

وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَىٰ ٨

Terjemah: Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak memerlukan pertolongan Allah),

Tafsir: Setelah menggambarkan golongan pertama, Al-Qur'an beralih ke golongan kedua, yang merupakan kebalikan total dari yang pertama. "Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup." Kata "bakhila" (بَخِلَ) berarti kikir, enggan memberi, atau menahan hartanya dari jalan Allah atau dari orang yang berhak menerimanya. Kekikiran ini bisa berupa enggan mengeluarkan zakat, sedekah, atau tidak mau membantu sesama yang membutuhkan.

Sementara itu, "wastagnā" (وَاسْتَغْنَىٰ) berarti merasa cukup atau tidak membutuhkan Allah. Ini adalah bentuk kesombongan dan keangkuhan spiritual. Orang ini merasa bahwa rezekinya berasal dari usahanya sendiri, kepintarannya, atau keberuntungannya, tanpa menyadari bahwa semua itu adalah karunia dari Allah. Ia tidak merasa perlu untuk memohon kepada Allah, bersyukur kepada-Nya, apalagi berkorban di jalan-Nya. Perasaan 'cukup' ini seringkali dibarengi dengan kekikiran karena ia khawatir hartanya akan berkurang jika ia berinfak, padahal ia lupa bahwa Allah-lah yang Maha Pemberi Rezeki. Sifat ini menunjukkan kurangnya iman dan tawakkal kepada Allah, serta kecintaan yang berlebihan terhadap dunia.

Kombinasi antara kekikiran dan rasa tidak butuh kepada Allah adalah akar dari banyak keburukan. Kekikiran menutup pintu rezeki dan pahala, sementara rasa tidak butuh kepada Allah menyebabkan seseorang menjauh dari-Nya, tidak beribadah dengan benar, dan tidak peduli dengan perintah-perintah-Nya. Ini adalah potret seorang yang jauh dari ketaatan dan keikhlasan.

Ayat 9: وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَىٰ

وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَىٰ ٩

Terjemah: serta mendustakan (adanya pahala) yang terbaik,

Tafsir: Melengkapi gambaran golongan kedua, ayat ini menyatakan "serta mendustakan (adanya pahala) yang terbaik." Ini adalah antitesis dari sifat ketiga golongan pertama. Jika golongan pertama membenarkan "al-husnā" (surga atau janji Allah), maka golongan kedua ini "kazzaba bil-ḥusnā" (كَذَّبَ بِالْحُسْنَىٰ), yaitu mendustakan kebaikan tersebut. Ini bisa berarti mendustakan adanya hari akhirat, adanya surga dan neraka, atau mendustakan janji Allah tentang pahala bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh.

Mendustakan "al-husnā" adalah akar dari kekafiran. Ketika seseorang tidak percaya pada balasan akhirat, tidak ada lagi motivasi baginya untuk beramal saleh, untuk memberi di jalan Allah, atau untuk bertakwa. Baginya, kehidupan hanyalah sebatas dunia ini, dan semua usahanya berorientasi pada keuntungan materi dan kepuasan pribadi semata. Kekikiran (ayat 8) dan pendustaan (ayat 9) seringkali berjalan beriringan. Orang yang mendustakan pahala akhirat tentu tidak akan rela mengorbankan hartanya di dunia, sebab ia tidak melihat adanya imbalan yang lebih besar di kemudian hari.

Ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa perbedaan mendasar antara kedua golongan manusia ini terletak pada keyakinan mereka terhadap kebenaran ilahi dan janji-janji Allah. Yang satu percaya dan beramal, yang lain mendustakan dan menahan diri.

Ayat 10: فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ

فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ ١٠

Terjemah: maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang sukar.

Tafsir: Ayat ini adalah balasan bagi golongan kedua, yang kikir, merasa cukup, dan mendustakan kebaikan. "Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang sukar." Kata "fa sanuyassiruhū lil-'usrā" (فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ) adalah kebalikan dari janji pada ayat 7. Allah akan memudahkan baginya jalan menuju kesulitan atau kesukaran. "Al-'usrā" (الْعُسْرَىٰ) berarti kesulitan, kesengsaraan, atau kesukaran.

Jalan yang sukar ini juga bisa diartikan dalam beberapa konteks:

  1. Kesulitan dalam beramal: Hatinya akan cenderung kepada keburukan, ia akan merasa berat untuk beribadah, dan Allah akan mempersulit jalannya menuju kebaikan. Bahkan perbuatan baik yang ia lakukan mungkin tidak diterima karena tidak dilandasi keikhlasan.
  2. Kesulitan di dunia: Kehidupannya di dunia mungkin dipenuhi kesulitan, kekhawatiran, dan ketidakpuasan, meskipun ia memiliki harta berlimpah. Harta yang ia kumpulkan dengan kekikiran tidak akan memberikan ketenangan.
  3. Kesulitan saat sakaratul maut: Proses kematiannya akan terasa berat, ia mungkin meninggal dalam keadaan su'ul khatimah.
  4. Kesulitan di akhirat: Ini adalah kesulitan puncak, yaitu kesulitan dalam menghadapi hisab, siksa kubur, dan pada akhirnya, masuk ke dalam api neraka yang menyala-nyala.

Ayat ini merupakan peringatan keras dari Allah. Bagi mereka yang memilih jalan keburukan, kekikiran, kesombongan, dan pendustaan, Allah tidak akan membimbing mereka menuju kemudahan, melainkan akan membiarkan mereka dalam kesesatan dan mempersulit setiap langkah mereka menuju kebaikan. Akhirnya, mereka akan menghadapi kesengsaraan abadi. Ini adalah cerminan keadilan ilahi: balasan sesuai dengan perbuatan.

Ayat 11: وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّىٰ

وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّىٰ ١١

Terjemah: Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.

Tafsir: Ayat ini menegaskan konsekuensi dari kekikiran dan penolakan terhadap kebaikan. "Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa." Kata "taraddā" (تَرَدَّىٰ) secara harfiah berarti jatuh ke jurang, atau binasa. Dalam konteks ini, ia merujuk pada kematian atau kebinasaan di neraka. Ayat ini menekankan bahwa harta benda yang dikumpulkan dengan susah payah, yang menjadi alasan seseorang untuk kikir dan enggan berinfak, sama sekali tidak akan berguna ketika kematian datang atau ketika seseorang dihadapkan pada azab Allah.

Ini adalah peringatan bagi mereka yang terperdaya oleh kekayaan duniawi dan melupakan tujuan akhir kehidupan. Di hadapan Allah, kekayaan materi tidak memiliki nilai apa pun jika tidak diinvestasikan dalam amal saleh. Harta tidak dapat menunda kematian, tidak dapat membeli surga, dan tidak dapat melindungi dari api neraka. Justru, harta yang tidak dibersihkan dengan zakat dan sedekah, serta yang diperoleh dengan cara yang tidak halal, akan menjadi beban dan saksi memberatkan bagi pemiliknya di hari kiamat.

Ayat ini berfungsi sebagai penutup untuk deskripsi orang-orang yang memilih jalan kesukaran, menggarisbawahi bahwa obsesi mereka terhadap harta duniawi pada akhirnya akan sia-sia dan tidak dapat menyelamatkan mereka dari nasib buruk yang telah mereka pilih sendiri.

Ayat 12: إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَىٰ

إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَىٰ ١٢

Terjemah: Sesungguhnya kewajiban Kami-lah memberi petunjuk.

Tafsir: Setelah memaparkan dua jalan yang berbeda dan balasan masing-masing, Allah kemudian menyatakan hakikat penting tentang diri-Nya: "Sesungguhnya kewajiban Kami-lah memberi petunjuk." Kata "al-hudā" (الْهُدَىٰ) berarti petunjuk atau bimbingan. Ayat ini menegaskan bahwa Allah-lah yang memiliki otoritas mutlak dalam memberikan petunjuk kepada manusia, baik melalui wahyu (Al-Qur'an dan Sunnah), melalui fitrah manusia, maupun melalui tanda-tanda kebesaran-Nya di alam semesta. Ini adalah penegasan atas peran Allah sebagai Rabb, Pemelihara dan Pembimbing seluruh alam.

Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa Allah tidak meninggalkan manusia tanpa arah. Dia telah menyediakan segala yang dibutuhkan untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara jalan kebenaran dan jalan kesesatan. Namun, perlu diingat bahwa petunjuk ini adalah petunjuk umum (hidayatul irsyad), yaitu menunjukkan jalan. Manusia tetap memiliki pilihan untuk menerima atau menolak petunjuk tersebut. Hidayah taufik, yaitu kemampuan untuk mengamalkan petunjuk, juga sepenuhnya di tangan Allah, namun ia seringkali diberikan kepada mereka yang secara aktif mencari dan berusaha mengikuti petunjuk-Nya.

Ayat ini menanamkan harapan sekaligus tanggung jawab. Harapan bahwa Allah selalu menyediakan jalan keluar, dan tanggung jawab bahwa manusia harus aktif dalam mencari dan mengikuti petunjuk tersebut.

Ayat 13: وَإِنَّ لَنَا لَلْآخِرَةَ وَالْأُولَىٰ

وَإِنَّ لَنَا لَلْآخِرَةَ وَالْأُولَىٰ ١٣

Terjemah: Dan sesungguhnya kepunyaan Kamilah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.

Tafsir: Ayat ini melanjutkan penegasan kekuasaan dan kepemilikan Allah. "Dan sesungguhnya kepunyaan Kamilah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia." Ini berarti Allah adalah Pemilik tunggal dan mutlak atas dunia (al-ūlā) dan akhirat (al-ākhirah). Tidak ada satu pun yang luput dari kekuasaan-Nya. Dialah yang menciptakan keduanya, Dialah yang mengaturnya, dan Dialah yang akan membalas setiap perbuatan manusia di salah satu dari dua kehidupan ini.

Pernyataan ini memiliki implikasi yang sangat dalam. Jika Allah adalah Pemilik dunia dan akhirat, maka segala upaya manusia di dunia ini seharusnya diarahkan untuk mendapatkan keridaan-Nya, bukan semata-mata untuk keuntungan duniawi yang fana. Bagi orang yang beriman, menyadari bahwa dunia dan akhirat adalah milik Allah akan memperkuat keyakinan mereka untuk beramal saleh. Mereka akan berusaha seimbang dalam hidup, tidak terlalu terpaku pada dunia hingga melupakan akhirat, dan tidak terlalu ekstrem pada akhirat hingga mengabaikan tanggung jawab di dunia.

Bagi orang-orang yang mendustakan, ayat ini menjadi peringatan bahwa mereka tidak dapat lari dari kekuasaan Allah. Mereka mungkin menikmati kesenangan duniawi, tetapi pada akhirnya mereka akan kembali kepada Pemilik sejati, dan di sanalah mereka akan menerima balasan yang setimpal atas perbuatan mereka di dunia. Ayat ini menegaskan keadilan Allah yang merata, meliputi seluruh dimensi waktu dan eksistensi.

Ayat 14: فَأَنذَرْتُكُمْ نَارًا تَلَظَّىٰ

فَأَنذَرْتُكُمْ نَارًا تَلَظَّىٰ ١٤

Terjemah: Maka Kami memperingatkan kamu dengan api neraka yang menyala-nyala,

Tafsir: Berdasarkan pernyataan kekuasaan dan kepemilikan Allah atas dunia dan akhirat, serta bahwa Dialah pemberi petunjuk, Allah kemudian melanjutkan dengan sebuah peringatan serius. "Maka Kami memperingatkan kamu dengan api neraka yang menyala-nyala." Kata "fa anżartukum" (فَأَنذَرْتُكُمْ) berarti "maka Aku (Allah) memperingatkan kalian." Ini menunjukkan kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya, di mana Dia tidak serta-merta menghukum, melainkan terlebih dahulu memperingatkan agar mereka dapat mengubah perilaku. Objek peringatan adalah "nāran talażżā" (نَارًا تَلَظَّىٰ), yaitu api yang menyala-nyala atau membara dengan hebat.

Deskripsi "menyala-nyala" atau "membara" ini menggambarkan intensitas panas dan kekuatan api neraka, yang jauh melampaui api dunia. Ini bukan api biasa, melainkan api yang dipersiapkan khusus untuk menghukum para pendurhaka. Peringatan tentang neraka yang mengerikan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa takut (khauf) dalam hati manusia, sehingga mereka termotivasi untuk menjauhi perbuatan dosa dan kembali kepada ketaatan. Ketakutan ini, jika dibarengi dengan harapan (raja') akan rahmat Allah, akan menghasilkan keseimbangan dalam ibadah.

Peringatan ini juga mengakhiri rangkaian penjelasan tentang dua jalur kehidupan manusia. Bagi mereka yang memilih jalur kesukaran, neraka inilah balasan yang menanti. Peringatan ini sekaligus mengkonfirmasi konsekuensi dari kekikiran dan pendustaan yang telah disebutkan sebelumnya.

Ayat 15: لَا يَصْلَاهَا إِلَّا الْأَشْقَى

لَا يَصْلَاهَا إِلَّا الْأَشْقَى ١٥

Terjemah: tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka,

Tafsir: Ayat ini menjelaskan siapa yang akan menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala itu. "Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka." Kata "al-asyqā" (الْأَشْقَى) adalah bentuk ism tafdhil (superlatif) dari syaqiy (شقي), yang berarti celaka. Jadi, al-asyqā berarti "yang paling celaka" atau "yang sangat celaka." Ini menunjukkan bahwa bukan sembarang orang yang akan masuk ke neraka tersebut, melainkan hanya mereka yang tingkat kecelakaannya sudah mencapai puncaknya, yaitu orang-orang yang benar-benar kafir dan tidak bertobat.

Pernyataan ini membawa pesan keadilan Allah. Neraka bukanlah tempat bagi orang yang melakukan dosa kecil lalu bertobat, atau bagi mukmin yang berbuat salah namun imannya masih ada. Neraka yang digambarkan dalam ayat ini secara khusus ditujukan bagi mereka yang mencapai tingkat kecelakaan tertinggi, yaitu mereka yang secara konsisten dan sengaja menolak kebenaran dan terus-menerus melakukan kemaksiatan tanpa penyesalan. Ini adalah bentuk hukuman yang setimpal bagi mereka yang telah menolak petunjuk Allah meskipun telah diperingatkan berulang kali.

Ayat ini memberikan sedikit penghiburan bagi orang-orang beriman yang mungkin merasa takut akan dosa-dosa mereka. Meskipun mereka berdosa, mereka bukanlah "yang paling celaka" jika mereka masih beriman dan bertaubat. Ini juga menggarisbawahi bahwa ada gradasi dalam hukuman, dan neraka yang menyala-nyala ini adalah untuk yang terburuk dari yang terburuk.

Ayat 16: الَّذِي كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ

الَّذِي كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ ١٦

Terjemah: yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman).

Tafsir: Ayat ini menjelaskan lebih lanjut siapa sebenarnya "orang yang paling celaka" (al-asyqā) yang disebutkan dalam ayat sebelumnya. "Yaitu orang yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman)." Ayat ini memberikan dua sifat utama yang mengidentifikasi "yang paling celaka":

  1. Mendustakan (كَذَّبَ - kazzaba): Ini merujuk pada pendustaan terhadap kebenaran yang dibawa oleh para nabi, khususnya Al-Qur'an dan ajaran tauhid. Mereka tidak hanya tidak percaya, tetapi secara aktif menolak dan menganggapnya sebagai kebohongan. Pendustaan ini mencakup pendustaan terhadap hari kiamat, surga, neraka, dan janji-janji Allah lainnya.
  2. Berpaling (تَوَلَّىٰ - tawallā): Ini berarti berpaling dari keimanan, dari ketaatan, dan dari petunjuk Allah. Meskipun kebenaran telah sampai kepada mereka, mereka enggan menerimanya, menolak untuk mengikutinya, dan memilih jalan kesesatan. Berpaling ini bisa berupa penolakan hati, tidak mau berpikir, atau bahkan menentang secara aktif.

Sifat-sifat ini sangat mirip dengan deskripsi golongan kedua (kikir dan mendustakan kebaikan) yang dijelaskan dalam ayat 8 dan 9. Ini menunjukkan konsistensi tema dalam surat ini: orang-orang yang mendustakan kebenaran (termasuk janji al-husna) dan berpaling dari Allah adalah mereka yang akan menanggung akibat yang paling buruk. Mereka telah diberikan kesempatan, petunjuk, dan peringatan, namun mereka memilih untuk menolak semuanya, sehingga layaklah mereka disebut "yang paling celaka" dan menjadi penghuni neraka.

Ayat 17: وَسَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى

وَسَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى ١٧

Terjemah: Dan kelak akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa,

Tafsir: Setelah membahas nasib "yang paling celaka," Al-Qur'an kembali ke kontras dengan menjelaskan nasib golongan yang berlawanan. "Dan kelak akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa." Kata "sayujannabuhā" (سَيُجَنَّبُهَا) berarti akan dijauhkan darinya atau akan dihindarkan darinya. Ini adalah janji perlindungan dari neraka. Objek yang akan dijauhkan adalah "al-atqā" (الْأَتْقَى), yang juga merupakan bentuk ism tafdhil dari taqiyy (تقي), yang berarti bertakwa. Jadi, al-atqā berarti "yang paling bertakwa" atau "yang sangat bertakwa."

Ayat ini membawa kabar gembira dan harapan bagi orang-orang yang menjalankan perintah Allah dengan sungguh-sungguh dan menjauhi larangan-Nya dengan penuh kesadaran. Mereka yang mencapai puncak ketakwaan, yang hidupnya dipenuhi dengan ketaatan dan keikhlasan, akan dijauhkan dari api neraka yang mengerikan. Ini adalah balasan atas usaha mereka dalam menempuh jalan yang mudah (al-yusrā) yang disebutkan di ayat 7.

Pernyataan "yang paling bertakwa" juga menunjukkan bahwa ada tingkatan dalam takwa, dan mereka yang mencapai tingkatan tertinggi akan mendapatkan perlindungan paling utama dari Allah. Ini memotivasi mukmin untuk tidak hanya bertakwa, tetapi juga berusaha menjadi yang terbaik dalam ketakwaan mereka, berfastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan).

Ayat 18: الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّىٰ

الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّىٰ ١٨

Terjemah: yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan dirinya,

Tafsir: Ayat ini melanjutkan identifikasi "orang yang paling bertakwa" dengan menjelaskan salah satu sifat utama mereka. "Yaitu orang yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan dirinya." Kata "yu'tī mālahū" (يُؤْتِي مَالَهُ) berarti memberikan hartanya, sedangkan "yatazakkā" (يَتَزَكَّىٰ) berarti mensucikan dirinya, membersihkan dirinya, atau bertambah suci. Ini bukan sekadar memberikan harta, tetapi memberikan harta dengan tujuan khusus: untuk membersihkan diri dari dosa-dosa, dari sifat kikir, dari keterikatan dunia, dan untuk meningkatkan kesucian jiwa serta ketakwaan.

Penafsiran "yatazakkā" sangat penting di sini. Ini menekankan bahwa tujuan dari infak (pemberian harta) bukan hanya untuk membantu orang lain, tetapi juga untuk membersihkan jiwa pemberinya. Harta yang dikeluarkan di jalan Allah dengan niat tulus akan membersihkan hati dari sifat tamak dan cinta dunia yang berlebihan, sekaligus meningkatkan keimanan dan pahala. Zakat, misalnya, dinamakan demikian karena ia membersihkan harta dan jiwa pemiliknya. Sedekah juga memiliki efek membersihkan dosa-dosa, sebagaimana api membakar kayu bakar.

Sifat ini sangat mirip dengan sifat "memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa" dari golongan pertama yang dijelaskan di ayat 5. Ini menunjukkan konsistensi dalam Al-Qur'an tentang kriteria kebaikan: berderma dengan niat tulus untuk membersihkan diri dan mendekatkan diri kepada Allah adalah ciri khas orang yang bertakwa dan akan mendapatkan kemudahan di dunia dan akhirat.

Ayat 19: وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُ مِن نِّعْمَةٍ تُجْزَىٰ

وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُ مِن نِّعْمَةٍ تُجْزَىٰ ١٩

Terjemah: Padahal tidak ada seorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya,

Tafsir: Ayat ini menjelaskan motif di balik pemberian orang yang paling bertakwa. "Padahal tidak ada seorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya." Ayat ini berarti bahwa orang yang paling bertakwa (al-atqā) memberikan hartanya bukan karena ia berhutang budi kepada seseorang, atau karena ia sedang membalas kebaikan yang pernah diterima dari orang lain. Pemberiannya murni tanpa pamrih, tidak didasari oleh keinginan untuk membalas budi atau mendapatkan keuntungan duniawi dari penerima.

Pernyataan ini menguatkan aspek keikhlasan dalam berinfak. Seringkali manusia memberi karena ada motif tersembunyi, seperti berharap balasan, pujian, atau karena kewajiban sosial. Namun, orang yang paling bertakwa memberikan hartanya tanpa adanya beban "hutang budi" kepada siapa pun. Ia tidak mengharapkan imbalan dari manusia, baik dalam bentuk materi maupun pujian. Ini adalah puncak dari keikhlasan, di mana perbuatan baik dilakukan semata-mata karena Allah.

Ayat ini juga dapat menyinggung kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq, salah satu sahabat Nabi ﷺ yang terkenal sangat dermawan. Beliau sering memerdekakan budak-budak Muslim yang disiksa oleh tuannya tanpa mengharapkan balasan apa pun dari mereka. Kisah ini sering disebut dalam Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) Surat Al-Lail, yang menunjukkan bahwa ayat ini berlaku universal bagi siapa saja yang memiliki keikhlasan dan ketakwaan seperti Abu Bakar.

Ayat 20: إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَىٰ

إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَىٰ ٢٠

Terjemah: melainkan (semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi.

Tafsir: Ayat ini melengkapi penjelasan tentang motif mulia di balik pemberian orang yang paling bertakwa. "Melainkan (semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi." Ini adalah puncak dari keikhlasan dan tawhid dalam beramal. Semua pemberian yang dilakukan oleh orang yang bertakwa, yang tidak dilandasi oleh balas budi atau pamrih duniawi, hanyalah karena satu tujuan: "ibtighā'a wajhi rabbihil-a'lā" (اِبْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَىٰ), yaitu mencari wajah atau keridaan Allah, Tuhannya Yang Maha Tinggi.

Frasa "wajhi rabbihil-a'lā" (وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَىٰ) secara bahasa berarti "wajah Tuhannya Yang Maha Tinggi." Namun, dalam konteks Al-Qur'an, "wajah Allah" sering diartikan sebagai "keridaan Allah" atau "zat Allah" itu sendiri. Ini menunjukkan bahwa satu-satunya motivasi mereka adalah untuk mendapatkan pahala, ampunan, dan kedekatan dengan Allah, tanpa adanya tujuan duniawi sedikit pun. Mereka menyadari bahwa Allah adalah Yang Maha Tinggi, Maha Agung, dan bahwa hanya keridaan-Nya yang abadi dan paling berharga.

Ayat ini adalah penekanan kuat pada konsep ikhlas. Keikhlasan adalah kunci diterimanya setiap amal perbuatan dalam Islam. Tanpa ikhlas, amal sebesar apa pun tidak akan bernilai di sisi Allah. Oleh karena itu, sifat "mencari keridaan Tuhannya Yang Maha Tinggi" adalah inti dari ketakwaan sejati dan membedakan amal yang benar-benar saleh dari amal yang hanya bertujuan duniawi.

Ayat 21: وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ

وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ ٢١

Terjemah: Dan kelak dia benar-benar akan puas.

Tafsir: Ayat penutup Surat Al-Lail ini adalah janji agung dari Allah bagi orang yang paling bertakwa. "Dan kelak dia benar-benar akan puas." Kata "yarḍā" (يَرْضَىٰ) berarti akan rida, puas, atau senang. Janji ini adalah puncak dari semua kebaikan yang telah dilakukan dengan ikhlas. Orang yang berinfak, bertakwa, membenarkan kebaikan, dan melakukannya hanya demi mencari keridaan Allah, akan mendapatkan balasan yang sempurna sehingga ia benar-benar merasa puas dan bahagia, baik di dunia maupun di akhirat.

Kepuasan ini meliputi berbagai aspek: kepuasan di dunia dengan ketenangan jiwa, keberkahan hidup, dan kebahagiaan hati; kepuasan saat sakaratul maut dengan husnul khatimah; kepuasan di alam kubur; kepuasan di hari perhitungan saat melihat amal baiknya diterima dan dosa-dosanya diampuni; dan puncaknya adalah kepuasan abadi di surga, di mana ia akan menikmati segala kenikmatan yang tak terbayangkan, dan yang terpenting, mendapatkan keridaan Allah SWT.

Ayat ini menutup surat dengan pesan yang sangat kuat tentang keadilan dan kemurahan Allah. Bagi mereka yang memilih jalan kebaikan dan ikhlas, balasan yang akan mereka terima bukan hanya sekadar pahala, melainkan kepuasan yang mendalam dan abadi yang mencakup segala aspek kehidupannya. Ini adalah motivasi terbesar bagi setiap mukmin untuk senantiasa beramal saleh dengan ikhlas, meyakini bahwa Allah akan membalas setiap kebaikan dengan balasan yang jauh lebih baik dan memuaskan.

Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat) Surat Al-Lail

Asbabun Nuzul, atau sebab-sebab turunnya ayat, adalah konteks historis dan peristiwa spesifik yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat atau surat dalam Al-Qur'an. Pengetahuan tentang Asbabun Nuzul sangat membantu dalam memahami makna ayat secara lebih mendalam dan relevan. Untuk Surat Al-Lail, terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan latar belakang turunnya sebagian ayat-ayatnya, khususnya yang berkaitan dengan perbandingan antara orang yang berderma dan orang yang kikir.

Kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Pembebasan Budak

Riwayat yang paling masyhur terkait Asbabun Nuzul Surat Al-Lail adalah kisah tentang Abu Bakar Ash-Shiddiq. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, serta mufasir lainnya seperti Imam At-Tirmidzi, bahwa ayat 5-7 dan 17-21 dari Surat Al-Lail ini turun berkaitan dengan kedermawanan Abu Bakar.

Pada masa awal Islam di Makkah, banyak budak yang memeluk Islam disiksa oleh tuan mereka yang kafir. Salah satu budak yang terkenal adalah Bilal bin Rabah, yang disiksa oleh Umayyah bin Khalaf. Abu Bakar, dengan harta kekayaannya, seringkali membeli budak-budak Muslim yang disiksa ini, lalu memerdekakan mereka. Tujuan Abu Bakar bukanlah untuk mendapatkan imbalan dari para budak tersebut, karena budak yang dimerdekakan tidak memiliki kemampuan untuk membalas kebaikan, apalagi ia memerdekakan mereka tanpa ikatan atau syarat apapun.

Beberapa kaum musyrikin Makkah mengecam tindakan Abu Bakar ini. Mereka berkata, "Mengapa Abu Bakar memerdekakan budak-budak ini? Pasti ada udang di balik batu, mungkin ada kebaikan atau jasa yang pernah diberikan budak-budak itu kepadanya yang ingin dia balas." Namun, Abu Bakar tidak menghiraukan perkataan mereka. Ia melakukannya murni karena Allah, mengharapkan pahala dari-Nya, dan membebaskan para budak tersebut karena Allah.

Menanggapi tindakan mulia Abu Bakar yang didasari keikhlasan ini, Allah menurunkan ayat 5-7:

5. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,

6. dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga),

7. maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.

Ayat-ayat ini memuji sifat kedermawanan Abu Bakar yang disertai takwa dan keyakinan pada janji Allah. Kemudian, ayat 17-21 secara spesifik menegaskan kemuliaan orang yang berderma dengan ikhlas:

17. Dan kelak akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa,

18. yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan dirinya,

19. Padahal tidak ada seorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya,

20. melainkan (semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi.

21. Dan kelak dia benar-benar akan puas.

Kisah ini dengan jelas menggambarkan bahwa Abu Bakar adalah contoh sempurna dari "orang yang paling bertakwa" yang disebutkan dalam ayat-ayat tersebut. Kedermawanannya didasari oleh iman yang kokoh, takwa yang mendalam, dan niat yang murni untuk mencari keridaan Allah semata, tanpa mengharapkan balasan dari manusia.

Kontras dengan Sifat Orang Kikir

Di sisi lain, riwayat juga menyebutkan bahwa ayat 8-10 turun untuk mengontraskan sifat Abu Bakar dengan karakter orang yang kikir, yang tidak mau berinfak dan mendustakan janji Allah. Beberapa mufasir menyebutkan bahwa ayat ini bisa saja merujuk pada seorang laki-laki dari Bani Umayyah yang sangat kikir, atau secara umum untuk siapa saja yang memiliki sifat-sifat tersebut.

8. Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak memerlukan pertolongan Allah),

9. serta mendustakan (adanya pahala) yang terbaik,

10. maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang sukar.

Melalui Asbabun Nuzul ini, kita dapat melihat bagaimana Al-Qur'an secara langsung mengapresiasi amal saleh yang ikhlas dan memberikan peringatan keras terhadap kekikiran serta pendustaan. Meskipun ada sebab-sebab spesifik, ajaran dan pesan dari ayat-ayat ini bersifat universal dan berlaku bagi seluruh umat manusia di setiap zaman dan tempat. Kisah Abu Bakar menjadi inspirasi tentang bagaimana seorang mukmin sejati seharusnya berinfak, yaitu dengan keikhlasan total dan hanya mengharap keridaan Allah SWT.

Tema Utama dan Pesan Moral Surat Al-Lail

Surat Al-Lail, meskipun singkat dengan 21 ayatnya, mengandung pesan-pesan yang sangat fundamental dan mendalam tentang kehidupan, pilihan manusia, dan balasan di akhirat. Tema-tema utama yang diangkat dalam surat ini berpusat pada dualitas dan konsekuensi dari setiap pilihan yang dibuat oleh manusia.

1. Dualitas Penciptaan dan Eksistensi

Surat ini diawali dengan tiga sumpah yang menggarisbawahi dualitas dalam ciptaan Allah:

Dualitas-dualtas ini bukan sekadar observasi alamiah, melainkan berfungsi sebagai metafora dan landasan untuk memahami dualitas yang lebih besar dalam perilaku dan nasib manusia. Sebagaimana ada dua sisi dalam alam, demikian pula ada dua jalur bagi manusia: jalan kebaikan dan jalan keburukan, yang masing-masing memiliki konsekuensi yang jelas.

2. Perbedaan Usaha Manusia dan Konsekuensinya

Ayat 4 secara tegas menyatakan, "Sungguh, usaha kamu memang berbeda-beda." Ini adalah inti dari surat ini. Allah mengakui adanya kebebasan memilih (ikhtiar) bagi manusia dan bahwa setiap pilihan akan menghasilkan jenis usaha yang berbeda. Dari sini, surat ini kemudian membagi manusia ke dalam dua golongan utama:

Pesan ini menekankan akuntabilitas individu. Setiap orang bertanggung jawab atas pilihannya dan akan memetik hasil dari apa yang telah ia usahakan.

3. Pentingnya Kedermawanan dan Keikhlasan

Surat Al-Lail sangat menonjolkan nilai kedermawanan (infak) sebagai salah satu pilar utama amal saleh. Orang yang memberi hartanya di jalan Allah dengan takwa dan keimanan pada balasan terbaik adalah teladan yang dipuji. Lebih jauh lagi, surat ini menekankan bahwa pemberian itu harus didasari oleh keikhlasan yang murni, tanpa pamrih, dan semata-mata mencari keridaan Allah SWT (Ayat 19-20). Hal ini menggarisbawahi bahwa niat adalah penentu utama nilai suatu perbuatan di sisi Allah.

4. Bahaya Kekikiran dan Kesombongan Spiritual

Sebaliknya, surat ini memperingatkan keras terhadap kekikiran (bakhil) dan perasaan cukup tanpa Allah (istighna'). Kekikiran tidak hanya menahan harta dari yang berhak, tetapi juga mencerminkan keterikatan yang kuat pada dunia dan kurangnya kepercayaan pada Allah sebagai Maha Pemberi Rezeki. Perasaan 'cukup' tanpa Allah adalah bentuk kesombongan spiritual yang mengarahkan pada pendustaan terhadap kebenaran ilahi dan berpaling dari petunjuk-Nya. Harta yang dikumpulkan dengan kekikiran ini pada akhirnya tidak akan memberi manfaat apa-apa di hadapan kematian dan hari pembalasan (Ayat 11).

5. Janji Petunjuk dan Balasan dari Allah

Allah menegaskan bahwa Dialah yang bertanggung jawab memberikan petunjuk (Ayat 12) dan bahwa milik-Nyalah dunia dan akhirat (Ayat 13). Ini berarti manusia tidak ditinggalkan tanpa panduan, dan bahwa Allah memiliki otoritas mutlak untuk memberikan balasan yang adil di kedua alam. Pesan ini menekankan bahwa sistem balasan ilahi adalah pasti dan tidak dapat dihindari.

6. Peringatan Neraka dan Harapan Surga

Surat ini mengakhiri dengan peringatan tentang api neraka yang menyala-nyala (Ayat 14), yang hanya akan dimasuki oleh "orang yang paling celaka" (Ayat 15-16) – mereka yang mendustakan dan berpaling dari kebenaran. Sebaliknya, "orang yang paling bertakwa" (Ayat 17-18), yang berinfak dengan ikhlas, akan dijauhkan dari neraka dan akan mendapatkan kepuasan yang abadi (Ayat 21). Ini adalah janji yang menggabungkan harapan (raja') bagi yang taat dan rasa takut (khauf) bagi yang ingkar, mendorong manusia untuk selalu memilih jalan kebaikan.

Secara keseluruhan, Surat Al-Lail adalah pengingat yang kuat tentang pilihan moral yang dihadapi manusia setiap hari. Setiap tindakan, setiap infak, setiap penahanan, dan setiap niat memiliki konsekuensi yang jauh melampaui kehidupan duniawi. Ia menyeru manusia untuk merenungi tujuan hidup, menimbang amal perbuatan, dan selalu berorientasi pada keridaan Allah Yang Maha Tinggi.

Pelajaran Hidup dari Surat Al-Lail

Surat Al-Lail adalah permata Al-Qur'an yang mengajarkan prinsip-prinsip fundamental tentang etika, spiritualitas, dan tujuan hidup. Meskipun singkat, pesan-pesannya sangat relevan dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Berikut adalah beberapa pelajaran hidup penting yang dapat kita petik dari Surat Al-Lail:

1. Pentingnya Niat yang Ikhlas dalam Setiap Amal

Ayat 19 dan 20 dengan tegas menyatakan bahwa orang yang bertakwa menafkahkan hartanya bukan karena mengharapkan balasan dari manusia atau untuk membalas budi, melainkan semata-mata "karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi." Ini adalah pelajaran krusial tentang keikhlasan. Segala amal kebaikan, sekecil apapun, tidak akan sempurna di sisi Allah jika tidak didasari niat yang tulus karena-Nya. Kita diajarkan untuk introspeksi diri: apa motif di balik perbuatan kita? Apakah untuk pujian manusia, keuntungan duniawi, atau murni karena Allah?

Dalam kehidupan modern, seringkali kita tergoda untuk beramal demi "like," "share," atau validasi sosial. Surat Al-Lail mengingatkan kita untuk mengembalikan kompas spiritual kita kepada Allah, menjadikan setiap tindakan sebagai ibadah yang hanya dipersembahkan kepada-Nya. Ini juga berarti melakukan kebaikan secara sembunyi-sembunyi, di mana hanya Allah yang tahu, memiliki nilai yang jauh lebih tinggi.

2. Kedermawanan adalah Jalan Menuju Kemudahan dan Pembersihan Diri

Surat ini menyoroti bahwa memberi di jalan Allah, bukan hanya membantu orang lain, tetapi juga "membersihkan dirinya" (ayat 18). Kedermawanan adalah sarana untuk mensucikan jiwa dari sifat kikir, tamak, dan cinta dunia yang berlebihan. Dengan memberi, kita melatih diri untuk melepaskan keterikatan pada harta benda, menyadari bahwa semua adalah titipan dari Allah. Ini membuka pintu kemudahan bagi kita, baik dalam urusan dunia maupun akhirat (ayat 7).

Pelajaran ini mendorong kita untuk tidak takut berinfak. Kita sering khawatir harta akan berkurang jika diberikan, padahal Allah telah berjanji akan menggantinya dengan yang lebih baik, di dunia maupun di akhirat. Kedermawanan bukan mengurangi, melainkan justru menambah keberkahan dalam hidup kita.

3. Bahaya Kekikiran dan Ketergantungan pada Harta

Sebaliknya, surat ini memperingatkan tentang bahaya kekikiran dan sifat merasa cukup tanpa Allah (ayat 8). Kekikiran tidak hanya merugikan orang lain, tetapi juga merusak diri sendiri, mengeraskan hati, dan menjauhkan dari rahmat Allah. Ketergantungan yang berlebihan pada harta benda duniawi membuat seseorang lupa akan kekuasaan Allah dan janji-janji-Nya. Pada akhirnya, harta tersebut tidak akan bermanfaat ketika kematian datang (ayat 11).

Dalam masyarakat konsumtif, pelajaran ini sangat relevan. Kita diajarkan untuk tidak terjebak dalam perlombaan mengumpulkan harta semata, melainkan menggunakannya sebagai sarana untuk mencapai keridaan Allah. Kekayaan bukanlah tujuan akhir, melainkan alat untuk berbuat kebaikan.

4. Pentingnya Takwa dan Keyakinan pada Akhirat

Sifat bertakwa (ayat 5 dan 17) dan membenarkan janji terbaik (surga) (ayat 6) adalah fondasi bagi kehidupan yang baik. Takwa adalah kesadaran akan kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupan, yang mendorong kita untuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Keyakinan pada akhirat, pada surga sebagai balasan bagi yang taat, dan neraka sebagai balasan bagi yang ingkar, adalah motivasi utama untuk beramal saleh.

Jika kita tidak percaya pada hari pembalasan, mengapa kita harus berbuat baik? Pelajaran ini menegaskan bahwa iman pada akhirat memberikan makna dan tujuan yang lebih tinggi pada setiap tindakan kita di dunia ini. Tanpa keyakinan ini, hidup cenderung egois dan berorientasi pada kepuasan sesaat.

5. Setiap Usaha Memiliki Konsekuensi yang Berbeda

Ayat 4 dengan gamblang menyatakan, "Sungguh, usaha kamu memang berbeda-beda." Ini adalah pengingat bahwa pilihan dan tindakan kita di dunia ini memiliki konsekuensi yang berbeda di akhirat. Tidak ada amal yang sia-sia di sisi Allah; setiap kebaikan akan dibalas dengan kebaikan, dan setiap keburukan akan dibalas dengan keburukan.

Pelajaran ini menuntut kita untuk selalu mempertimbangkan dampak jangka panjang dari setiap keputusan dan tindakan. Apakah yang kita lakukan sekarang akan membawa kita menuju "jalan yang mudah" atau "jalan yang sukar"? Kesadaran ini harus menjadi penggerak kita untuk senantiasa memilih jalan kebenaran dan kebaikan.

6. Harapan dan Peringatan dari Allah

Surat ini memadukan harapan (bagi yang bertakwa) dan peringatan (bagi yang ingkar). Allah menjanjikan kemudahan dan kepuasan abadi bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Di sisi lain, Dia juga memperingatkan tentang api neraka yang menyala-nyala bagi mereka yang paling celaka. Keseimbangan antara harapan dan takut ini sangat penting dalam spiritualitas Islam. Harapan mencegah keputusasaan, sementara takut mencegah kita dari merasa aman dari azab Allah.

Kita diajarkan untuk tidak pernah berputus asa dari rahmat Allah, namun juga tidak meremehkan dosa dan hukuman-Nya. Ini adalah dua sayap yang harus dimiliki setiap mukmin untuk terbang menuju Allah.

Dengan merenungkan pelajaran-pelajaran ini, Surat Al-Lail menjadi panduan yang komprehensif untuk menjalani hidup yang bermakna, penuh takwa, dan berorientasi pada kebahagiaan abadi di sisi Allah SWT.

Keutamaan dan Manfaat Membaca Surat Al-Lail

Selain mengandung pelajaran hidup yang mendalam, membaca, merenungkan, dan mengamalkan isi Al-Qur'an, termasuk Surat Al-Lail, memiliki banyak keutamaan dan manfaat spiritual. Meskipun tidak ada hadis sahih yang secara spesifik menyebutkan keutamaan membaca Surat Al-Lail secara terpisah dengan pahala khusus seperti surat-surat tertentu lainnya, namun keutamaan umum membaca Al-Qur'an dan merenungkan maknanya tetap berlaku sepenuhnya.

1. Mendapatkan Pahala dari Allah SWT

Setiap huruf yang dibaca dari Al-Qur'an adalah kebaikan, dan setiap kebaikan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah SWT. Nabi Muhammad ﷺ bersabda, "Barangsiapa membaca satu huruf dari Kitabullah, maka baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan itu dibalas dengan sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan 'Alif Laam Miim' itu satu huruf, tetapi Alif itu satu huruf, Laam itu satu huruf, dan Miim itu satu huruf." (HR. At-Tirmidzi). Dengan membaca 21 ayat Surat Al-Lail, seorang Muslim akan mengumpulkan banyak pahala.

2. Memahami Dualitas Hidup dan Keadilan Ilahi

Surat Al-Lail secara gamblang menjelaskan dualitas antara kebaikan dan keburukan, serta konsekuensi dari setiap pilihan. Dengan membaca dan merenungkannya, kita akan semakin yakin akan keadilan Allah yang akan membalas setiap perbuatan sesuai dengan niat dan usahanya. Pemahaman ini memperkuat iman dan motivasi untuk selalu memilih jalan kebaikan.

3. Menumbuhkan Semangat Kedermawanan dan Keikhlasan

Pesan utama surat ini tentang pujian bagi orang yang berderma dengan ikhlas dan peringatan keras bagi orang yang kikir, akan menumbuhkan semangat kedermawanan dalam diri pembacanya. Ia menjadi pengingat untuk tidak terikat pada harta dunia dan selalu menginfakkan sebagiannya di jalan Allah, dengan niat yang tulus mencari keridaan-Nya. Ini akan membersihkan jiwa dari sifat-sifat buruk dan mendekatkan diri kepada Allah.

4. Meningkatkan Ketakwaan dan Kesadaran Spiritual

Surat ini menekankan pentingnya takwa sebagai jalan menuju kemudahan dan surga. Dengan merenungkan ayat-ayat tentang takwa, seorang Muslim diingatkan untuk senantiasa menjaga hubungannya dengan Allah, menjalankan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya. Ini akan meningkatkan kesadaran spiritual dan membentuk karakter yang lebih mulia.

5. Memberikan Harapan dan Peringatan

Surat Al-Lail memberikan kombinasi yang seimbang antara harapan dan peringatan. Harapan akan surga dan kepuasan abadi bagi orang bertakwa, serta peringatan akan neraka bagi orang yang celaka. Keseimbangan ini penting agar seorang mukmin tidak merasa terlalu aman dari azab Allah (ghurur) sehingga meremehkan dosa, namun juga tidak berputus asa dari rahmat-Nya (ya'is) ketika melakukan kesalahan.

6. Inspirasi untuk Introspeksi Diri

Setiap ayat dalam Surat Al-Lail mengajak kita untuk merenung dan mengintrospeksi diri. Apakah kita termasuk golongan yang memberi dengan ikhlas atau golongan yang kikir? Apakah kita membenarkan janji Allah atau mendustakannya? Introspeksi ini sangat penting untuk perbaikan diri dan terus bergerak menuju kualitas keimanan yang lebih baik.

7. Keberkahan dalam Hidup

Membaca Al-Qur'an secara rutin dan mengamalkan ajarannya diyakini membawa keberkahan dalam hidup, baik dalam aspek spiritual, rezeki, kesehatan, maupun ketenangan jiwa. Allah akan memudahkan urusan bagi hamba-Nya yang taat dan bertakwa.

Secara keseluruhan, membaca dan memahami Surat Al-Lail adalah ibadah yang mulia dan sarana efektif untuk memperkaya jiwa, meningkatkan ketakwaan, dan membimbing kita menuju jalan kebaikan di dunia dan akhirat. Setiap Muslim dianjurkan untuk tidak hanya sekadar membaca lafaznya, tetapi juga menggali makna dan hikmah yang terkandung di dalamnya.

Kesimpulan

Surat Al-Lail, dengan 21 ayatnya, adalah salah satu surat pendek dalam Al-Qur'an yang kaya akan makna dan pelajaran hidup. Melalui tiga sumpah agung—demi malam yang menyelimuti, siang yang terang benderang, serta penciptaan laki-laki dan perempuan—Allah SWT menegaskan prinsip dualitas yang menjadi landasan bagi pemahaman akan perbedaan usaha manusia.

Inti pesan Surat Al-Lail adalah bahwa setiap manusia menempuh jalan yang berbeda dalam hidup, dan setiap jalan memiliki konsekuensi yang setimpal. Surat ini dengan jelas membedakan dua golongan manusia:

  1. Orang yang Berderma dan Bertakwa: Mereka yang ikhlas memberi di jalan Allah, bertakwa, dan membenarkan janji terbaik (surga). Allah akan memudahkan jalan mereka menuju kemudahan dan kebahagiaan abadi, serta menjauhkan mereka dari neraka. Pemberian mereka murni karena mencari keridaan Allah, tanpa pamrih.
  2. Orang yang Kikir dan Mendustakan: Mereka yang menahan hartanya, merasa cukup tanpa Allah, dan mendustakan kebenaran serta janji akhirat. Allah akan menyiapkan bagi mereka jalan yang sukar, dan harta mereka tidak akan bermanfaat ketika kematian tiba. Mereka akan menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.

Surat ini menggarisbawahi pentingnya keikhlasan dalam beramal, khususnya dalam kedermawanan, serta urgensi takwa dan keyakinan pada hari akhirat sebagai motivasi utama bagi setiap Muslim. Allah SWT adalah Pemilik dunia dan akhirat, dan Dialah yang berhak memberikan petunjuk serta balasan yang adil.

Pelajaran dari Surat Al-Lail sangat relevan bagi kehidupan kita sehari-hari. Ia mengajak kita untuk selalu mengintrospeksi niat, memilih jalan kebaikan dengan berinfak dan bertakwa, serta menjadikan keridaan Allah sebagai satu-satunya tujuan. Dengan demikian, kita berharap dapat menjadi bagian dari golongan yang paling bertakwa, yang akan mendapatkan kepuasan abadi di sisi Allah Yang Maha Tinggi.

🏠 Homepage