Dunia bawah laut menyimpan sejuta pesona, dari makhluk paling anggun hingga yang paling bersahaja. Pernahkah Anda merenungkan bagaimana ubur-ubur yang transparan dan melayang, serta ikan lele yang bersahaja dengan kumisnya yang khas, dapat saling terkait dalam imajinasi kita? Ternyata, melalui kekuatan bahasa, terutama pantun, kita bisa menghubungkan elemen-elemen alam yang tampak berbeda ini menjadi sebuah narasi yang indah dan penuh makna. Artikel ini akan mengajak Anda menyelami lebih dalam tentang bagaimana ubur-ubur dan ikan lele, dua spesies yang sangat berbeda, bisa menjadi inspirasi dalam sebuah pantun, serta kekayaan budaya yang terkandung di dalamnya. Ubur-ubur, dengan bentuknya yang seperti payung dan tentakelnya yang menjuntai, seringkali digambarkan sebagai makhluk yang halus, rapuh, dan sedikit misterius. Gerakannya yang mengapung lemah di dalam arus laut memberikan kesan melankolis namun juga memukau. Keberadaannya di berbagai perairan, dari laut dangkal hingga samudra dalam, menjadikannya ikon universal kehidupan laut. Keanggunannya saat bergerak mungkin menginspirasi penyair untuk merangkai kata-kata yang lembut dan mengalir. Mereka adalah penari pasif di lautan luas, bergerak seiring irama ombak dan pasang surut, membawa keindahan yang nyaris tak tersentuh oleh hiruk pikuk dunia daratan. Di sisi lain, ikan lele hadir dengan citra yang berbeda. Seringkali hidup di dasar perairan tawar seperti sungai, danau, atau kolam, ikan lele memiliki penampilan yang lebih kokoh dan terkesan 'membumi'. Kumisnya yang panjang adalah ciri khas yang membedakannya, berfungsi sebagai sensor untuk mendeteksi mangsa di kegelapan. Ikan lele dikenal sebagai predator opportunistik dan pemakan bangkai, menjadikannya bagian penting dari ekosistem dalam menjaga keseimbangan. Sifatnya yang lebih 'sederhana' dan kemampuannya bertahan hidup di berbagai kondisi membuatnya menjadi simbol ketahanan dan adaptasi. Kini, bagaimana kedua makhluk ini bisa bertemu dalam sebuah pantun? Pantun, sebagai salah satu bentuk puisi tradisional Melayu, memiliki struktur khas empat baris dengan rima akhir a-b-a-b. Dua baris pertama biasanya berfungsi sebagai sampiran, memberikan petunjuk alam atau gambaran umum, sementara dua baris terakhir adalah isi atau pesan sebenarnya. Inilah celah di mana imajinasi bertemu dengan realitas. Penulis pantun dapat menggunakan keanggunan ubur-ubur sebagai gambaran visual, atau ketahanan ikan lele sebagai metafora kehidupan. Mari kita lihat contoh bagaimana ubur-ubur dan ikan lele dapat diintegrasikan dalam sebuah pantun:
Pergi ke laut mencari teritip,
Lihat ubur-ubur menari-nari.
Jika hidup ingin beroleh hidup,
Tiru lele janganlah lari.