Konsep "tanah yang ditanami dengan sedikit pengairan" merujuk pada lahan pertanian yang memiliki keterbatasan pasokan air atau yang sengaja dikelola dengan penggunaan air yang sangat efisien. Fenomena ini bukanlah hal baru dan telah menjadi ciri khas pertanian di berbagai wilayah kering atau semi-kering di seluruh dunia. Di Indonesia, meskipun sebagian besar wilayahnya tropis, ada pula daerah-daerah yang mengalami musim kemarau panjang atau memiliki sumber air yang terbatas. Tantangan utama dalam kondisi ini adalah bagaimana menanam tanaman yang dapat bertahan hidup, tumbuh, dan menghasilkan panen yang optimal dengan sumber daya air yang minim.
Meskipun terdengar menantang, pertanian dengan sedikit pengairan justru membuka potensi bagi pengembangan jenis tanaman yang spesifik dan sistem pertanian yang adaptif. Tanaman yang memiliki kemampuan toleransi kekeringan, seperti sorgum, millet, kacang-kacangan tertentu (kacang polong, kacang merah), ubi-ubian, dan beberapa jenis buah-buahan seperti semangka atau melon, dapat tumbuh subur dalam kondisi ini. Keunggulan utama dari jenis tanaman ini adalah kebutuhan airnya yang jauh lebih rendah dibandingkan padi atau jagung yang membutuhkan banyak air.
Selain itu, pengembangan teknik irigasi tetes (drip irrigation) atau irigasi mikro menjadi solusi krusial. Teknik ini memungkinkan air disalurkan langsung ke akar tanaman secara perlahan dan efisien, meminimalkan penguapan dan kebocoran. Pengelolaan tanah yang baik, seperti penggunaan mulsa organik atau anorganik, juga sangat penting untuk menjaga kelembaban tanah dan mengurangi hilangnya air akibat penguapan. Mulsa membantu menjaga suhu tanah tetap stabil dan mengurangi pertumbuhan gulma yang juga bersaing memperebutkan air.
Tantangan terbesar dalam budidaya dengan sedikit pengairan tentu saja adalah manajemen air itu sendiri. Petani harus memiliki pemahaman mendalam tentang siklus air di lahan mereka, kapan waktu yang tepat untuk menyiram (jika ada), dan bagaimana memaksimalkan setiap tetes air yang tersedia. Keterbatasan akses terhadap teknologi irigasi yang efisien juga menjadi kendala. Tidak semua petani memiliki modal untuk berinvestasi pada sistem irigasi tetes yang canggih.
Faktor lain adalah jenis tanah. Tanah yang memiliki kemampuan menahan air rendah, seperti tanah berpasir, akan semakin mempersulit budidaya tanpa pengairan yang memadai. Di sisi lain, tanah liat yang mampu menahan air lebih baik namun berisiko mengalami genangan jika hujan deras tiba-tiba. Oleh karena itu, pemahaman mengenai karakteristik tanah dan jenis tanaman yang cocok sangatlah esensial.
Perubahan iklim juga menambah kerumitan. Pola hujan yang semakin tidak terduga, dengan intensitas yang ekstrem baik kekeringan maupun banjir, menuntut petani untuk lebih fleksibel dan inovatif dalam adaptasinya. Kekeringan yang berkepanjangan dapat mematikan tanaman yang tidak toleran, sementara banjir bandang dapat merusak infrastruktur pertanian.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, diperlukan berbagai solusi inovatif dan kolaboratif. Pemerintah, lembaga penelitian, dan sektor swasta dapat berperan dalam:
Dengan penerapan strategi yang tepat, lahan yang ditanami dengan sedikit pengairan dapat tetap menjadi sumber pangan yang produktif. Pertanian yang adaptif terhadap ketersediaan air tidak hanya menjamin ketahanan pangan, tetapi juga berkontribusi pada keberlanjutan lingkungan dan ekonomi masyarakat pedesaan. Ini adalah langkah penting dalam mewujudkan pertanian yang tangguh di era perubahan iklim.