Kisah di Balik Turunnya Surat Ad-Dhuha: Ketika Harapan Hampir Pudar

Ilustrasi: Kehangatan setelah masa penantian.

Ketika kita membaca Al-Qur'an, seringkali kita hanya fokus pada makna di dalamnya. Namun, ada nilai mendalam yang tersembunyi dalam konteks turunnya (asbabun nuzul) ayat-ayat tersebut. Salah satu surat yang memiliki kisah penghiburan yang sangat menyentuh adalah Surat Ad-Dhuha (Surat ke-93). Untuk benar-benar memahami kedalaman pesan surat ini, kita perlu menelusuri momen-momen kritis yang terjadi sebelum surat Ad-Dhuha diturunkan.

Masa Penantian dan Kekhawatiran Rasulullah SAW

Periode kerasulan Nabi Muhammad SAW tidak selalu diwarnai dengan turunnya wahyu secara rutin. Ada jeda waktu, periode di mana wahyu terhenti sementara. Periode inilah yang kemudian dikenal dalam sejarah Islam sebagai masa-masa sulit bagi Rasulullah SAW. Jeda ini menimbulkan kegelisahan yang mendalam dalam diri beliau.

Bayangkan posisi beliau: beliau adalah pembawa risalah teragung, namun tiba-tiba, seolah-olah sumber bimbingan Ilahi itu terputus. Jeda wahyu ini bisa berlangsung berhari-hari, bahkan terkadang lebih lama. Bagi seorang Nabi yang jiwanya selalu terikat pada komunikasi dengan Rabb-nya, jeda ini terasa seperti kekosongan yang luar biasa.

Kecemasan Sosial di Makkah

Kondisi psikologis Rasulullah SAW diperparah oleh tekanan dari kaum Quraisy. Setelah beliau mulai berdakwah secara terbuka, penolakan, ejekan, dan intimidasi semakin meningkat. Kaum Muslimin yang baru memeluk Islam, terutama yang lemah dan tidak memiliki pelindung kabilah kuat, mengalami siksaan fisik dan mental. Di tengah situasi ini, ketiadaan wahyu membuat Rasulullah SAW merasa seolah-olah Allah SWT telah berpaling dari beliau dan kaum Muslimin yang sedang tertindas.

Kekhawatiran beliau bukanlah egois, melainkan kekhawatiran atas umatnya. Apakah Allah murka? Apakah ajaran yang dibawanya telah ditinggalkan? Pertanyaan-pertanyaan ini terus menghantui, menciptakan suasana hati yang berat. Momen inilah yang menjadi latar belakang utama di mana Surat Ad-Dhuha hadir.

Inti Penghiburan dalam Jeda Wahyu

Ketika kegelisahan itu mencapai puncaknya, Allah SWT menurunkan Surat Ad-Dhuha. Ayat pembukanya langsung menyentuh inti dari kekhawatiran tersebut: "Demi waktu dhuha (ketika matahari naik tinggi), dan demi malam apabila telah sunyi (sepi)." (QS. Ad-Dhuha: 1-2).

Sumpah Allah SWT dengan waktu dhuha dan malam yang menyelimuti adalah penegasan bahwa Allah selalu hadir, bahkan di saat yang paling gelap maupun saat dunia sedang sibuk-sibuknya memulai hari. Ayat-ayat berikutnya memberikan penegasan yang lebih kuat: "Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidak (pula) membencimu." (QS. Ad-Dhuha: 3).

Penegasan ini bukan hanya sekadar kata-kata, melainkan suntikan semangat dan penenang jiwa yang luar biasa bagi Rasulullah SAW. Ayat ini secara langsung menjawab kegelisahan beliau selama jeda wahyu tersebut. Ia menegaskan bahwa jeda itu bukan berarti penolakan atau kemarahan Ilahi, melainkan bagian dari strategi Pengaturan Ilahi.

Mengingat Nikmat Masa Lalu

Setelah menepis kekhawatiran akan masa kini, Surat Ad-Dhuha kemudian mengingatkan Nabi Muhammad SAW tentang nikmat-nikmat yang telah beliau terima di masa lampau. Allah mengingatkan beliau bagaimana Allah memelihara beliau semenjak kecil, ketika beliau yatim piatu dan kemudian diasuh oleh kakek dan pamannya, Abu Thalib. Allah juga mengingatkan bahwa beliau pernah tersesat kemudian diberi petunjuk.

Pengingat akan masa lalu yang penuh dengan pemeliharaan (Ni'mah) ini bertujuan untuk membangun fondasi keyakinan bahwa Dzat yang telah menjaga beliau dari kekacauan masa kanak-kanak, pasti akan menjaga dan menolong beliau di masa perjuangan keras sekarang. Ini adalah strategi psikologis Ilahi yang sangat efektif: jika Allah mampu melindungi dari kesulitan masa lalu, maka kesulitan saat ini tentu dapat diatasi.

Keseluruhan kisah sebelum surat Ad-Dhuha diturunkan adalah potret nyata tentang kerentanan manusiawi, bahkan pada seorang Nabi. Surat ini menjadi bukti abadi bahwa kesedihan, keraguan, dan rasa ditinggalkan adalah bagian dari ujian hidup, namun Allah selalu menyediakan penghiburan yang paling sempurna, tepat pada waktunya.

Pelajaran dari Jeda dan Penghiburan

Bagi umat Islam, momen turunnya Ad-Dhuha mengajarkan banyak hal. Pertama, jangan pernah berputus asa ketika merasa Allah menjauh atau ketika doa terasa menggantung. Kedua, jeda dalam ibadah atau penantian jawaban bukanlah hukuman, melainkan bisa jadi persiapan untuk sesuatu yang lebih besar.

Surat ini menggarisbawahi bahwa setelah masa sulit (seperti malam yang gelap atau jeda wahyu), pasti akan datang masa kemudahan dan kebahagiaan (seperti waktu dhuha yang cerah). Begitu pula, surat ini menutup dengan janji surgawi, mengisyaratkan bahwa balasan akhirat jauh lebih baik daripada kenikmatan duniawi yang sementara. Memahami konteks sebelum surat Ad-Dhuha membuka mata kita bahwa rahmat dan kasih sayang Allah selalu mendahului kebutuhan hamba-Nya.

🏠 Homepage