Ayat ini adalah puncak dari pesan penghiburan dalam Surat Ad-Dhuha.
Surat Ad-Dhuha diturunkan untuk menghibur Nabi Muhammad SAW ketika beliau mengalami jeda wahyu, yang menyebabkan kegelisahan. Allah SWT mengingatkan beliau akan nikmat-nikmat masa lalu: pemeliharaan saat yatim, petunjuk saat tersesat, dan kelimpahan rezeki. Setelah mengingatkan akan anugerah yang telah diterima, Allah kemudian memberikan perintah konkret mengenai bagaimana seharusnya beliau bersikap kepada umatnya, yang puncaknya termaktub dalam ayat kesepuluh ini.
Ayat ke-10, "Fa'ammas saa'ila fala tanhar," adalah perintah yang sangat tegas dan mendalam. Kata 'saa'il' (السَّائِلَ) secara harfiah berarti orang yang meminta atau peminta. Ini bisa merujuk pada orang yang meminta bantuan materi, meminta ilmu, atau meminta kebenaran (hidayah). Nabi diperintahkan untuk tidak 'tanhar' (تَنْهَرْ), yang berarti menghardik, membentak, atau menolak dengan kasar.
Perintah ini menekankan etika sosial tertinggi dalam Islam. Setelah Allah melimpahkan nikmat yang besar kepada Rasulullah—sehingga beliau tidak lagi dalam kesulitan—maka kewajiban beliau adalah membalas kebaikan itu dengan cara berbuat baik kepada sesama, terutama kepada mereka yang berada dalam posisi membutuhkan.
Jika Rasulullah, yang merupakan manusia termulia, dilarang menghardik peminta, maka implikasinya bagi umatnya menjadi jauh lebih besar. Larangan ini mencakup beberapa aspek:
Ayat-ayat sebelumnya memberikan fondasi mengapa perintah ini sangat penting. Ayat 6-8 menegaskan: "Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? Dan Dia mendapati kamu seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk? Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan kepadamu?"
Setelah mengingat bagaimana Allah mengangkat beliau dari keadaan "bingung" dan "kekurangan", maka balasan yang paling pantas adalah mengaplikasikan kelembutan yang sama kepada orang lain. Ini adalah siklus rahmat ilahi yang harus diteruskan kepada sesama manusia. Ketika kita mengingat bagaimana kita pernah dibantu, kita menjadi lebih toleran terhadap kesulitan orang lain.
Jika Nabi Muhammad SAW, yang jiwanya telah diangkat oleh Allah sedemikian rupa, masih diperingatkan untuk tidak bersikap kasar, maka ini menunjukkan bahwa kelembutan dalam berinteraksi, terutama terhadap mereka yang membutuhkan uluran tangan, adalah standar moral yang sangat tinggi dalam Islam. Ayat ini mengajarkan bahwa kemurahan hati sejati bukan hanya tentang memberi harta, tetapi juga tentang menjaga kehormatan dan perasaan peminta. Menghardik peminta dianggap sama dengan menolak karunia Allah yang telah diberikan kepada diri sendiri.