Puisi Sindiran Untuk Orang Munafik

Dua Sisi

Simbol topeng yang menunjukkan dualitas karakter.

Topeng Kehidupan

Di panggung dunia yang ramai, Banyak wajah bersembunyi dalam ramai. Ada yang tulus, ada yang berpura-pura, Namun tak sedikit yang berhati dua. Mereka pandai merangkai kata, Manis di bibir, pahit di dada. Senyum terkembang, namun hati menyimpan duri, Menjilat ke atas, menginjak ke bawah, tanpa henti.

Mereka berkata kebenaran, namun berbohong dalam diam, Memberi nasihat mulia, namun berbuat sesuka kelam. Di depan memuji, di belakang mencaci, Setiap tutur kata, penuh strategi. Senjatanya adalah pujian palsu, Bisa menusuk tanpa rasa ragu. Tujuannya satu, keuntungan diri, Tak peduli orang lain terluka hati.

Wahai kau yang berwajah dua, Senyummu menipu, tak pernah setia. Kata-katamu indah laksana madu, Namun racun tersembunyi di balik itu. Kau hadir saat berguna, hilang saat berduka, Bagai bayangan yang hanya muncul saat ada cahaya. Tudinganmu sering benar, namun niatmu ternoda, Menyelamatkan muka, menenggelamkan fakta.

Bayangan yang Menipu

Orang munafik adalah ahli strategi ulung, Mereka membaca situasi, menebak arah angin bergulung. Mereka tahu kapan harus bersuara, kapan harus diam, Mengukur hati lawan, merancang setiap langkah malam. Mereka bisa menjadi sahabat terbaik, Menawarkan pundak untuk bersandar, tanpa beranjak. Namun, jangan pernah lengah, jangan pernah percaya, Saat badai datang, mereka yang pertama akan sirna.

Mereka adalah pencari perhatian yang handal, Mengutip ayat suci, namun mengabaikan amalan. Mengajarkan kesabaran, namun tak sabar menunggu giliran, Berbicara tentang kejujuran, namun penuh dengan tipuan. Mereka membangun citra mulia, di depan mata orang awam, Sementara di balik tirai, mereka memainkan dendam dan kelam. Mereka hidup dalam kepura-puraan, sebuah sandiwara abadi, Mencari validasi, mencari tepuk tangan yang hakiki.

Kau tunjukkan kebaikan, namun tersembunyi keegoisan, Kau bicara keadilan, namun memihak pada kepentingan. Kau tawarkan pertolongan, dengan syarat tak terucap, Kau hadirkan kenyamanan, lalu perlahan menggarap. Tak ada ketulusan dalam setiap tindakanmu, Hanya perhitungan untung rugi yang selalu menyatu. Maka berhati-hatilah, wahai jiwa yang terperangkap, Dalam labirin kepalsuan yang engkau siapkan siap.

Cerminan Diri

Mungkin ada kalanya, kita pun tak sadar, Telah tergelincir dalam perangkap yang sama samar. Saat kata tak sejalan dengan perbuatan, Atau pujian diberikan hanya untuk mencari pujian. Sikap munafik bukanlah keahlian yang patut dibanggakan, Ia adalah noda yang mengaburkan keindahan insan. Semoga kita semua diberi kekuatan untuk introspeksi, Menjadi pribadi yang jujur, baik di dalam maupun di sisi.

Karena di balik segala kepalsuan yang terajut, Tetap ada rindu pada ketulusan yang tak terlarut. Sama seperti alam yang selalu mencari keseimbangan, Jiwa pun mendambakan kebenaran, tanpa keraguan. Puisi ini bukan sekadar celaan, Namun sebuah pengingat, sebuah teguran, sebuah harapan. Agar kita berani melihat ke dalam diri, Dan berjuang untuk menjadi diri sendiri, sejati.

Biarlah topengmu jatuh perlahan, Agar dunia melihat wajahmu yang sebenarnya tuan. Tak perlu lagi berpura-pura, tak perlu lagi menipu, Karena kejujuran adalah keindahan yang takkan pernah layu. Dan pada akhirnya, hanya kebenaran yang abadi, Segala kepalsuan akan terkikis, tak berarti. Berhentilah bermain peran, berhentilah menjadi badut, Jadilah dirimu sendiri, dengan kebaikan yang terujut.
🏠 Homepage