Perpisahan adalah sebuah keniscayaan dalam hidup. Entah itu perpisahan sementara atau selamanya, momen ini selalu menyisakan jejak emosi yang mendalam. Bahasa Sunda, dengan kekayaan kosakatanya yang penuh nuansa, seringkali menjadi media yang pas untuk mengekspresikan kerinduan, kesedihan, dan harapan di kala berpisah. Artikel ini akan mengulas beberapa puisi perpisahan bahasa Sunda yang mampu menyentuh hati dan merangkum berbagai rasa dalam momen yang tak terhindarkan.
Dalam kebudayaan Sunda, ungkapan perpisahan seringkali dibalut dengan kesantunan dan rasa hormat. Puisi perpisahan tidak hanya sekadar kata-kata sedih, namun juga seringkali mengandung doa, nasihat, dan harapan agar yang berpisah tetap diberi kebaikan dan kelancaran di jalan masing-masing. Kata-kata seperti "Wilujeng miang," "Mugia salamet," atau "Tong hilap ka urang" adalah ungkapan-ungkapan umum yang mengiringi sebuah perpisahan.
Kekuatan puisi perpisahan bahasa Sunda terletak pada kemampuannya menangkap suasana. Melalui pemilihan kata yang tepat, penyair bisa membangkitkan gambaran angin yang berhembus, senja yang meredup, atau tangis yang tertahan. Semua itu bersatu padu menciptakan sebuah melodi kesedihan yang syahdu, namun juga mengandung kekuatan untuk melangkah maju.
Lalajo panon poe surup ka palebah kulon,
Ngalantarannu hate pinuh ku tungtung.
Ayeuna geus wayahna urang papisah,
Taya deui babarengan saperti baheula.
Geulis, kasep, mugia jalan anjeun tereh kahontal,
Sing jauh tina balai, mugia aya dina ridho.
Ulah poho ka janji, ulah hilap ka kanyaah,
Dina renghap, dina hate, anjeun moal bakal luput.
Sanajan raga paanggang, sumanget urang padeukeut,
Dina lamunan bakal tetep ngahiji, taya pegat.
Wilujeng jalan, pamuntangan ti kalbu,
Mugia tepung di lain waktu, dina kaayaan nu barokah.
Puisi di atas adalah contoh sederhana namun sarat makna. Bait pertama menggambarkan suasana senja yang perlambang berakhirnya kebersamaan. Ungkapan "pinuh ku tungtung" (penuh keraguan/kekhawatiran) menggambarkan keraguan yang hadir saat akan berpisah. Kemudian, pujangga secara langsung menyatakan waktu perpisahan telah tiba, mengakhiri kebersamaan yang dulu terjalin.
Bait kedua berisi doa dan harapan. Penyebutan "Geulis, kasep" (cantik, tampan) menunjukkan rasa sayang yang mendalam. Harapan agar jalan mencapai tujuan dilancarkan ("jalan anjeun tereh kahontal"), dijauhkan dari bencana ("jauh tina balai"), dan selalu dalam lindungan Tuhan ("dina ridho") menjadi inti dari doa perpisahan. Pesan untuk tidak melupakan janji dan kasih sayang juga sangat kuat, menyiratkan bahwa meskipun berpisah fisik, ikatan emosional tetap harus terjaga.
Bait terakhir menekankan bahwa meskipun terpisah secara fisik ("raga paanggang"), semangat dan kenangan akan tetap menyatukan. Harapan untuk bertemu kembali di lain waktu ("tepung di lain waktu") dalam keadaan yang lebih baik ("kaayaan nu barokah") menutup puisi ini dengan nada optimisme yang lembut.
Dalam masyarakat Sunda, perpisahan bisa terjadi karena berbagai alasan, mulai dari melanjutkan pendidikan ke kota lain, bekerja, hingga perpisahan abadi. Setiap situasi tentu memiliki nuansa emosional yang berbeda. Puisi perpisahan bahasa Sunda hadir untuk mewadahi semua itu. Ada puisi yang berisi kesedihan mendalam karena kehilangan, ada pula yang bernada ikhlas sambil mendoakan yang terbaik bagi orang yang akan pergi.
Pemilihan diksi dalam bahasa Sunda juga sangat berperan. Kata-kata seperti "mapay jalan," "ngambah kahirupan," "rintangan," atau "panutan" seringkali digunakan untuk memberikan kedalaman pada makna perpisahan. Kehalusan bahasa dan kemampuan merangkai kata menjadi sebuah harmoni emosi menjadikan puisi-puisi ini tak lekang oleh waktu dan selalu relevan di hati siapa saja yang pernah mengalami momen perpisahan.
Meskipun teknologi semakin berkembang dan komunikasi menjadi semakin mudah, sentuhan personal dari sebuah puisi tetap tak tergantikan. Ketika kata-kata terasa sulit terucap, puisi perpisahan bahasa Sunda bisa menjadi jembatan untuk menyampaikan segala perasaan yang terpendam. Ia adalah warisan budaya yang terus hidup, merangkul setiap hati yang sedang merindu, berduka, atau berharap.