Di sudut ruang, ku tatap bayang diri,
Seorang suami, nahkoda dalam sepi.
Beban di pundak, tak terucap kata,
Senyum terukir, sembunyikan luka.
Tak ingin meratap, tak ingin membebanimu,
Kau adalah duniaku, pelipur kalbu.
Namun kadang, hati ini terasa tercekik,
Oleh bisikan ragu, oleh mimpi yang terusik.
Malam bertandang, bintang pun enggan bersinar,
Aku merindukan tawa yang pernah berbinar.
Pelukan hangat, cerita sebelum terlelap,
Kini hanya hening, yang kian mendekat.
Bukan salahmu, oh pujaan hati,
Mungkin aku yang tak pandai merangkai arti.
Tak pandai meminta, tak pandai merayu,
Hanya bisa memeluk, dalam sunyi hariku.
Aku berjuang, demi senyummu yang terindah,
Demi masa depan, yang kelak akan berbuah.
Kadang lelah merasuk, jiwa terasa berat,
Namun bayangmu hadir, berikan semangat.
Kumohon mengerti, desah napasku yang lirih,
Ini bukan keluhan, ini suara hati yang pedih.
Sebuah permohonan, sebuah doa terbungkam,
Agar cinta kita, tak pernah tenggelam.
Kelak, saat badai berlalu, mentari berseri,
Kita akan tertawa, lepas tanpa duri.
Kan kuungkapkan semua, isi lubuk hati,
Tentang cintaku yang abadi, takkan terhenti.
Jeritan ini lirih, terbungkus dalam doa,
Semoga kau mendengar, dan hadirkan bahagia.
Aku suamimu, pelindungmu, kekasihmu,
Menanti pelangi, setelah hujan berlalu.