Dalam khazanah ilmu spiritual Jawa kuno, terdapat berbagai jenis laku prihatin atau tirakat yang diyakini memiliki kekuatan untuk mendekatkan diri pada alam gaib dan mencapai hajat tertentu. Salah satu laku spiritual yang paling sering dibicarakan, namun jarang dijelaskan secara mendalam adalah Puasa Semar Mesem. Nama ini merujuk pada figur Semar, figur sentral dalam pewayangan Jawa yang sering dianggap sebagai personifikasi kebijaksanaan agung dan kekuatan gaib yang rendah hati.
Puasa ini bukanlah sekadar menahan lapar dan haus seperti puasa pada umumnya. Laku tirakat ini melibatkan pengendalian diri yang sangat ketat, baik secara fisik (badaniyah), mental (nafsiyah), maupun spiritual (ruhiyah). Tujuan utama dari puasa ini seringkali dikaitkan dengan upaya membuka "pintu energi" tertentu yang diyakini bersumber dari kekuatan leluhur atau entitas yang dihormati dalam tradisi tersebut.
Istilah "Semar Mesem" sendiri dapat diartikan sebagai senyuman lembut atau senyuman penuh misteri dari Semar. Dalam konteks spiritual, senyuman ini melambangkan ketenangan batin yang paripurna, di mana seseorang telah berhasil menaklukkan hawa nafsu dan ego pribadinya. Puasa ini merupakan upaya keras untuk meniru kondisi batin tersebut.
Praktik ini umumnya dilakukan bukan untuk tujuan yang bersifat negatif atau semata-mata kekuasaan duniawi, melainkan lebih kepada peningkatan derajat spiritual, memohon perlindungan, atau mendapatkan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan hidup yang sulit. Namun, seperti semua laku spiritual kuat, ia membutuhkan niat (niat dhiniyah) yang lurus dan jauh dari keserakahan.
Puasa Semar Mesem, dalam versi tradisional yang diwariskan secara turun-temurun, menuntut konsentrasi penuh. Durasi puasa ini bisa bervariasi, mulai dari tiga hari hingga tujuh hari penuh, tergantung tingkat kesulitan yang diinginkan dan petunjuk dari guru spiritual (jika ada).
Aspek-aspek utama yang ditekankan meliputi:
Penghormatan terhadap Puasa Semar Mesem terletak pada filosofi yang mendasarinya. Semar dalam kosmologi Jawa bukanlah dewa, melainkan representasi dari kawula (pelayan) yang memiliki kekuatan tak terbatas karena ia telah mencapai tingkat penerimaan diri total. Ia hadir untuk melayani dan membimbing, bukan untuk memerintah.
Oleh karena itu, mereka yang melakukan puasa ini berharap mendapatkan 'energi pengasihan' atau 'daya tarik' yang tulus, bukan manipulatif. Energi ini disebut sebagai energi kedamaian dan kebijaksanaan yang secara otomatis menarik simpati dan rasa hormat dari orang lain, layaknya senyuman tulus Semar.
Dalam konteks modern, banyak yang mencoba menafsirkan ulang laku ini sebagai disiplin diri yang ekstrem untuk mencapai fokus tujuan profesional atau pribadi. Meskipun demikian, akar spiritualnya tetap kental dengan tradisi Jawa. Proses penyerahan diri total selama puasa ini mengajarkan bahwa kekuatan sejati seringkali ditemukan dalam kerendahan hati dan pengendalian diri yang maksimal. Puasa Semar Mesem adalah ujian keikhlasan; apakah seseorang mampu menahan segala hasrat demi sebuah tujuan spiritual yang lebih tinggi.
Pada akhirnya, keberhasilan laku tirakat ini tidak diukur dari apakah hajat langsung terkabul, melainkan seberapa besar transformasi batin yang dialami oleh pelakunya selama masa prihatin tersebut.