Nama Pierre de Coubertin identik dengan kebangkitan Olimpiade di era modern. Sebagai seorang visioner, pendidik, dan sejarawan asal Prancis, ia tidak hanya sekadar menghidupkan kembali tradisi kuno, tetapi juga merumuskan filosofi yang mendalam di balik gerakan olahraga global ini, yang kemudian dikenal sebagai Olympism. Perjuangannya untuk mewujudkan ide-idenya adalah sebuah narasi tentang kegigihan, keyakinan, dan visi jangka panjang terhadap kekuatan olahraga sebagai alat pemersatu dan pembentuk karakter manusia.
Coubertin terinspirasi oleh penemuan arkeologis situs Olimpiade kuno di Yunani. Ia melihat dalam festival olahraga di Olympia bukan hanya sekadar kompetisi fisik, melainkan sebuah perayaan nilai-nilai luhur seperti persahabatan, rasa hormat, dan keunggulan. Namun, ia juga menyadari bahwa kegemilangan Olimpiade kuno telah lama memudar. Coubertin percaya bahwa olahraga memiliki potensi luar biasa untuk menginspirasi dan menyatukan orang-orang dari berbagai latar belakang, melintasi batas-batas nasional dan budaya. Pada akhir abad ke-19, ketika Eropa dilanda ketegangan politik dan sosial, ia melihat Olimpiade modern sebagai sarana untuk mempromosikan perdamaian dan pemahaman internasional.
Ia tidak sekadar ingin mengulang pesta olahraga kuno. Coubertin ingin menciptakan sebuah gerakan yang didasarkan pada prinsip-prinsip etika dan pendidikan. Inilah inti dari Olympism: sebuah filosofi hidup yang mengagungkan dan menggabungkan secara seimbang kualitas tubuh, kemauan, dan pikiran. Ia percaya bahwa dengan memadukan olahraga, budaya, dan pendidikan, manusia dapat mencapai potensi terbaik mereka, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat global.
Olympism yang dirumuskan oleh Pierre de Coubertin memiliki beberapa pilar utama. Pertama adalah penghargaan terhadap usaha terbaik, bukan hanya hasil akhir. Ini mencakup semangat sportivitas, bermain adil, dan menghormati lawan. Kedua adalah keseimbangan antara olahraga, budaya, dan pendidikan. Coubertin ingin Olimpiade menjadi lebih dari sekadar ajang adu fisik; ia membayangkannya sebagai perayaan budaya dan kesempatan untuk belajar. Ketiga adalah penolakan terhadap diskriminasi dalam bentuk apapun, baik berdasarkan ras, agama, politik, jenis kelamin, maupun status sosial. Semua orang harus memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dan meraih keunggulan melalui olahraga.
Prinsip-prinsip ini tertuang dalam Slogan Olimpiade yang terkenal: "Citius, Altius, Fortius" (Lebih Cepat, Lebih Tinggi, Lebih Kuat), yang kemudian diperbarui menjadi "Citius, Altius, Fortius – Communiter" (Lebih Cepat, Lebih Tinggi, Lebih Kuat – Bersama). Slogan ini merefleksikan dorongan untuk terus berusaha menjadi lebih baik, tidak hanya secara individu tetapi juga sebagai komunitas.
Untuk mewujudkan visinya, Coubertin mendirikan Komite Olimpiade Internasional (IOC) pada tahun 1894 di Paris. IOC bertugas untuk mempromosikan Olimpiade dan memastikan kelancaran penyelenggaraannya sesuai dengan prinsip-prinsip Olympism. Setahun kemudian, pada tahun 1895, ia mengumumkan pembentukan kembali Olimpiade modern, dan Olimpiade modern pertama pun diselenggarakan di Athena, Yunani, pada tahun 1896. Ini adalah momen bersejarah yang menandai dimulainya era baru dalam sejarah olahraga global.
Coubertin memimpin IOC selama bertahun-tahun dan terus berupaya untuk membentuk dan menyebarkan ide-ide Olympism. Ia aktif dalam berbagai forum, menulis banyak esai, dan berinteraksi dengan para pemimpin dunia untuk mempromosikan visinya. Meskipun menghadapi berbagai tantangan dan kritik, dedikasinya yang teguh memastikan bahwa warisan Olimpiade modern akan bertahan lama. Ia melihat olahraga sebagai kekuatan positif yang dapat berkontribusi pada pembangunan masyarakat yang lebih baik, lebih damai, dan lebih toleran.
Warisan Pierre de Coubertin melalui Olympism terus bergema hingga saat ini. Olimpiade modern telah menjadi acara olahraga terbesar dan paling bergengsi di dunia, menyatukan atlet dari hampir setiap negara. Lebih dari sekadar kompetisi, Olimpiade telah menjadi simbol persatuan global, rasa hormat, dan perjuangan tanpa henti untuk mencapai keunggulan. Nilai-nilai Olympism terus diajarkan kepada generasi baru atlet dan penggemar, mengingatkan mereka bahwa olahraga bukan hanya tentang menang atau kalah, tetapi tentang proses, pembelajaran, dan kemanusiaan.
Dalam dunia yang sering kali terpecah belah, visi Pierre de Coubertin tentang kekuatan olahraga untuk menjembatani perbedaan dan membangun pemahaman menjadi semakin relevan. Olympism, sebagai filosofi hidup yang dirintisnya, tetap menjadi panduan bagi gerakan Olimpiade, menginspirasi jutaan orang untuk hidup lebih sehat, lebih aktif, dan lebih menghargai nilai-nilai universal. Perjuangan dan dedikasinya telah menorehkan jejak yang tak terhapuskan dalam sejarah, menjadikan Pierre de Coubertin sebagai bapak Olimpiade modern dan penjaga abadi semangat Olympism.