Dalam budaya Indonesia, pantun dikenal sebagai warisan sastra lisan yang kaya akan makna, nasihat, dan terkadang humor. Biasanya, pantun digunakan untuk menyampaikan pesan moral, kritik sosial, atau bahkan ungkapan kasih sayang. Namun, pernahkah Anda terpikir tentang pantun yang memiliki nuansa sedikit berbeda? Pantun yang terdengar seperti "ngajak berantem" namun sebenarnya hanya sebuah candaan atau ungkapan tantangan yang ringan?
Pantun jenis ini memang tidak selalu berarti ajakan untuk baku hantam secara fisik. Lebih sering, ini adalah bentuk ekspresi diri yang sedikit 'keras' namun tetap dalam koridor keakraban dan gurauan. Pantun ngajak berantem ini menggunakan gaya bahasa yang menantang, kadang menyindir, atau bahkan terkesan meremehkan lawan bicara, namun tujuannya adalah untuk memancing reaksi, menciptakan suasana yang lebih hidup, atau sekadar menguji keberanian dalam bercanda.
Meskipun tidak ada catatan sejarah spesifik mengenai kapan pantun jenis ini mulai populer, namun gaya bahasa yang lugas dan kadang provokatif memang selalu ada dalam berbagai bentuk komunikasi informal. Pantun ngajak berantem ini bisa jadi berkembang dari kebiasaan saling ejek antar teman sebaya, permainan kata yang menguji kecerdasan, atau bahkan sebagai cara untuk menguji seberapa kuat mental seseorang dalam menghadapi kritik atau tantangan verbal.
Nuansanya bisa sangat bervariasi. Ada yang benar-benar bernada ancaman (meski jarang dan biasanya hanya dalam konteks sangat akrab), ada yang sekadar sindiran halus, ada pula yang lebih kepada ajakan untuk adu argumen atau adu kecerdasan. Kuncinya adalah konteks. Pantun ini akan diterima dengan baik jika disampaikan dalam suasana yang santai, penuh canda, dan kepada orang yang memang memahami gaya komunikasi seperti itu.
Mari kita lihat beberapa contoh pantun yang bisa dikategorikan sebagai 'ngajak berantem' dalam arti ringan:
Pohon kelapa tumbuh tinggi,
Di pucuknya hinggap burung dara.
Kalau kau memang merasa sakti,
Coba maju sini, jangan hanya bicara!
Pantun di atas jelas terdengar menantang. Larik pertama dan kedua membangun suasana alam yang kontras dengan larik ketiga dan keempat yang berisi ajakan langsung untuk beradu kemampuan. Ini adalah gaya klasik dari pantun 'tantang'.
Beli duku di pasar minggu,
Dukunya manis rasanya segar.
Mulutmu pedas bagai cabai rawit,
Ayo kita buktikan siapa yang benar!
Pantun ini lebih bersifat sindiran terhadap ucapan pedas lawan bicara, lalu mengajak untuk adu argumen atau pembuktian. Kata 'mulutmu pedas' adalah ciri khas sindiran yang sering digunakan dalam pantun semacam ini.
Sungai mengalir sampai ke muara,
Kapal berlabuh di pinggir pantai.
Jangan kau anggap dirimu dewa,
Nanti terkejut kalau tak sampai!
Pantun ini mengingatkan seseorang agar tidak terlalu sombong atau merasa paling hebat. Ada nada peringatan halus yang tersirat di balik ajakan untuk membuktikan diri.
Mengapa orang suka menggunakan pantun bernada tantang seperti ini? Ada beberapa alasan:
Penting untuk diingat bahwa pantun ini sangat bergantung pada konteks dan audiens. Gunakanlah hanya ketika Anda yakin bahwa lawan bicara Anda akan memahami niat Anda sebagai candaan. Hindari penggunaan dalam situasi formal, dengan orang yang baru dikenal, atau dalam situasi yang memang serius. Salah penggunaan bisa berujung pada kesalahpahaman yang tidak diinginkan.
Pantun ngajak berantem adalah bukti kreativitas berbahasa yang terus berkembang. Ia menunjukkan bahwa pantun tidak hanya sarana nasihat, tetapi juga bisa menjadi alat ekspresi diri yang dinamis, penuh warna, dan tentu saja, sedikit menantang.