Representasi visual dari lima spektrum warna yang terkandung dalam konsep Edong.
Dalam khazanah budaya dan filosofi Nusantara, terdapat banyak terminologi yang kaya makna dan seringkali misterius bagi orang awam. Salah satu frasa yang menarik perhatian adalah "Panca Warna Edong." Meskipun mungkin tidak sepopuler istilah adat besar lainnya, Panca Warna Edong menyimpan potensi makna mendalam yang berkaitan erat dengan harmoni kosmik, keseimbangan alam, dan tatanan kehidupan. Kata "Panca" jelas merujuk pada angka lima, sementara "Warna" merujuk pada spektrum visual yang kita kenal. Namun, kata kunci yang paling menentukan interpretasi di sini adalah "Edong."
Secara harfiah, "Panca Warna" adalah lima warna. Dalam banyak tradisi, lima warna ini memiliki representasi universal: Merah, Kuning, Hijau, Biru, dan Hitam (atau terkadang Putih sebagai pelengkap, tergantung konteks wilayah). Kelima warna ini sering dikaitkan dengan lima elemen dasar alam semesta—tanah, air, api, udara, dan langit—atau lima arah mata angin. Harmonisasi kelima warna ini dipercaya menciptakan energi yang sempurna dan seimbang.
Bagian kedua, "Edong," adalah yang paling ambigu. Dalam beberapa dialek lokal atau konteks spiritual yang sangat spesifik di beberapa daerah di Indonesia, "Edong" dapat merujuk pada sebuah wadah, sebuah konsep ruang, atau sebuah keadaan penerimaan yang mendalam. Jika kita mengasumsikan Edong sebagai 'wadah' atau 'ruang', maka Panca Warna Edong dapat diartikan sebagai 'Lima Warna yang Terkandung dalam Wadah Kesempurnaan' atau 'Keseimbangan Lima Elemen dalam Bingkai Kehidupan.' Ini menunjukkan bahwa bukan sekadar warna itu sendiri yang penting, melainkan bagaimana kelimanya berinteraksi dalam suatu batas atau sistem tertentu.
Konsep lima warna ini bukan sekadar estetika visual. Dalam konteks filosofis yang lebih luas, setiap warna membawa vibrasi dan fungsi tersendiri:
Penyatuan kelima unsur ini dalam konsep Edong menyiratkan bahwa kehidupan yang ideal haruslah seimbang. Tidak boleh ada satu elemen yang mendominasi secara berlebihan. Keberanian (Merah) harus diimbangi dengan ketenangan (Biru), dan vitalitas fisik harus ditopang oleh fondasi yang kokoh (Hitam).
Meskipun istilah Panca Warna Edong mungkin tidak terstandardisasi secara nasional, pengaruh prinsip lima warna seimbang ini dapat kita temukan dalam berbagai manifestasi budaya. Misalnya, dalam arsitektur tradisional, penggunaan material yang beragam (kayu, batu, tanah liat) yang menghasilkan palet warna alami seringkali secara tidak sengaja merefleksikan harmoni ini. Dalam kain tenun atau batik daerah tertentu, komposisi lima warna utama yang dominan sering digunakan untuk merepresentasikan status atau doa-doa tertentu.
Dalam ritual-ritual tertentu, penempatan objek-objek yang mewakili lima arah mata angin, masing-masing diberi penanda warna khas, adalah cara nyata bagaimana prinsip Panca Warna diaktualisasikan sebagai upaya menjaga keteraturan kosmik agar alam semesta tetap berada dalam 'Edong' atau wadah keselarasan. Ketika ritual berhasil, diyakini bahwa keseimbangan lima kekuatan telah tercapai, membawa berkah dan perlindungan bagi komunitas.
Keindahan Panca Warna Edong terletak pada kesederhanaannya yang mendalam. Ia mengingatkan kita bahwa kompleksitas alam semesta dapat dipahami melalui pengamatan terhadap elemen-elemen dasar dan pentingnya bagaimana elemen-elemen tersebut disatukan secara harmonis. Memahami Edong berarti memahami batas dan kesempurnaan yang diinginkan oleh alam, sebuah pelajaran abadi yang disampaikan melalui spektrum warna yang begitu akrab namun sarat makna. Eksplorasi terhadap warisan seperti ini memperkaya pemahaman kita tentang kekayaan filosofis yang tersembunyi di balik keindahan visual budaya Indonesia.