Marhata adat Batak, sebuah tradisi lisan yang mendalam, merupakan inti dari kehidupan sosial dan spiritual masyarakat Batak. Ini bukan sekadar percakapan biasa, melainkan sebuah ritual yang sarat makna, tempat musyawarah, penyelesaian masalah, dan pengukuhan ikatan kekeluargaan serta kebersamaan dijalankan. Di dalam setiap "marhata adat", tersimpan warisan leluhur, nilai-nilai luhur, dan tatanan masyarakat yang telah dipegang teguh turun-temurun.
Secara harfiah, "marhata" berarti berbicara atau bermusyawarah, dan "adat" merujuk pada tradisi atau kebiasaan yang berlaku. Jadi, marhata adat adalah sebuah proses deliberatif yang dilakukan berdasarkan tatanan adat Batak. Kegiatan ini biasanya dilakukan dalam berbagai momen penting kehidupan, seperti acara pernikahan, penabalan marga, upacara kematian, penyelesaian sengketa, hingga penentuan garis keturunan dan pembagian warisan.
Dalam marhata adat, setiap ucapan memiliki bobot dan pertimbangan. Pembicaraan tidak hanya didasarkan pada kepentingan individu, tetapi juga pada kepentingan bersama keluarga besar (marga) dan masyarakat. Tujuannya adalah mencapai mufakat yang adil dan dapat diterima oleh semua pihak, demi menjaga keharmonisan dan kelangsungan hidup bersama. Ini mencerminkan filosofi Batak yang sangat menghargai kebersamaan, yaitu "holong na so binoto" (kasih yang tidak terhingga) dan "sipata marroha" (saling mengerti).
Pelaksanaan marhata adat biasanya melibatkan tokoh-tokoh adat yang dianggap bijaksana dan memiliki pemahaman mendalam tentang hukum adat. Mereka, seperti "datu" (tetua adat), "somang" (pemangku adat), atau "namarpitaraon" (orang yang dituakan), akan memimpin jalannya musyawarah. Setiap peserta memiliki peran dan kesempatan untuk menyampaikan pandangan, argumen, dan usulan.
Urutan pembicaraan dalam marhata adat pun memiliki aturan tersendiri, seringkali dimulai dari pihak yang paling tua atau memiliki kedudukan tertinggi dalam struktur kekerabatan. Hal ini menunjukkan rasa hormat terhadap senioritas dan hierarki dalam masyarakat Batak. Diskusi berjalan dengan penuh kesantunan, diwarnai dengan pepatah-pepatah adat (umpasa) yang kaya makna, bertujuan untuk menenangkan suasana, memberikan pencerahan, dan menguatkan pesan moral.
Meskipun zaman telah berubah dan pengaruh globalisasi semakin terasa, marhata adat Batak tetap memiliki tempat yang istimewa. Di banyak komunitas Batak, baik di Sumatera Utara maupun di perantauan, tradisi ini masih terus dilestarikan. Pelaksanaan marhata adat menjadi momen penting untuk mengingatkan generasi muda akan akar budaya mereka, nilai-nilai kekeluargaan, dan pentingnya menjaga persatuan.
Namun, adaptasi juga terjadi. Kini, marhata adat tidak hanya terbatas pada forum tatap muka langsung. Melalui teknologi, diskusi jarak jauh pun dapat dilakukan, meski semangat musyawarah dan penghormatan terhadap adat tetap menjadi prioritas. Tantangannya adalah bagaimana menjaga substansi dan esensi dari marhata adat di tengah kemajuan zaman yang serba cepat.
Marhata adat bukan hanya sekadar seremoni, tetapi juga merupakan sarana edukasi karakter. Ia mengajarkan tentang pentingnya mendengarkan, menghargai pendapat orang lain, mencari solusi bersama, dan berkomitmen pada keputusan yang telah disepakati. Nilai-nilai inilah yang membentuk pribadi yang kuat, bertanggung jawab, dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi.
Melestarikan marhata adat berarti menjaga kelangsungan identitas budaya Batak. Ini adalah warisan tak ternilai yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dengan terus mempraktikkan dan mengajarkan marhata adat, masyarakat Batak memastikan bahwa kearifan lokal mereka akan terus hidup dan memberikan manfaat bagi generasi yang akan datang, memperkaya khazanah budaya bangsa Indonesia.