Di antara lembaran sejarah kolonial Hindia Belanda, nama Jeronimus Cornelis seringkali muncul dalam fragmen-fragmen yang kelam dan penuh intrik. Ia bukan sekadar tokoh biasa, melainkan perwujudan dari ambisi, kekejaman, dan tragedi yang menghiasi masa-masa awal pembangunan Batavia, kota yang kelak menjadi Jakarta. Kisahnya adalah pengingat suram tentang bagaimana kekuasaan dapat menyimpang dan bagaimana tindakan individu dapat meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam narasi sejarah.
Jeronimus Cornelis adalah seorang perwira tinggi VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang memiliki kedudukan strategis di Batavia pada awal abad ke-17. Pada masa itu, VOC tengah berjuang keras untuk mengukuhkan kekuasaannya di Nusantara, menghadapi berbagai perlawanan dari kerajaan-kerajaan lokal dan juga intrik di internal perusahaan sendiri. Di tengah persaingan dan kebutuhan untuk menjaga supremasi VOC, Cornelis dikenal memiliki reputasi yang keras dan seringkali dikaitkan dengan tindakan-tindakan represif.
Puncak dari kisah Jeronimus Cornelis terjadi terkait dengan pemberontakan yang dikenal sebagai "Geger Pecinan" atau sering pula dihubungkan dengan perannya dalam menumpas perlawanan yang dipimpin oleh orang-orang Tionghoa di Batavia. Meskipun detail sejarah mengenai keterlibatannya bisa bervariasi tergantung pada sumbernya, konsensus umum menempatkannya sebagai tokoh sentral dalam peristiwa berdarah tersebut. Konon, ambisi dan keinginan untuk menunjukkan kekuatannya kepada Dewan Hindia (Raad van Indie) mendorongnya melakukan tindakan yang brutal dan tidak berperikemanusiaan.
Salah satu narasi yang paling sering diceritakan adalah bagaimana Jeronimus Cornelis, setelah memadamkan sebuah pemberontakan, memerintahkan pembantaian besar-besaran terhadap ribuan orang Tionghoa. Tindakan ini, yang konon didorong oleh kecurigaan, ketakutan, dan mungkin juga keserakahan akan harta benda, meninggalkan luka mendalam dalam sejarah Batavia. Ribuan nyawa melayang dalam waktu singkat, mengubah alun-alun kota menjadi saksi bisu kekejaman. Peristiwa ini tidak hanya memusnahkan banyak jiwa, tetapi juga menimbulkan trauma kolektif yang bergema sepanjang sejarah kota.
Kekejaman yang dilakukan oleh Jeronimus Cornelis tidak luput dari perhatian. Meskipun pada awalnya ia mungkin mendapat pujian dari beberapa kalangan di VOC karena dianggap berhasil menumpas "ancaman", tindakan brutalnya menimbulkan kegelisahan dan kecaman. Dewan Hindia, yang merupakan badan pengambil keputusan tertinggi VOC di Batavia, akhirnya harus mengambil tindakan. Jeronimus Cornelis sendiri kemudian diadili atas kejahatan yang dilakukannya. Keputusan pengadilan terhadapnya pun menjadi catatan penting. Ia dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati. Eksekusinya, yang dilakukan dengan cara yang mengerikan, menjadi peringatan bagi siapapun yang berkuasa agar tidak menyalahgunakan otoritasnya.
Kisah Jeronimus Cornelis Cornelis Batavia menjadi pelajaran berharga tentang dualisme kekuasaan. Di satu sisi, VOC membawa perubahan signifikan dalam tata niaga dan struktur pemerintahan di Nusantara. Namun, di sisi lain, kekuasaannya seringkali diwarnai dengan eksploitasi, kekerasan, dan penindasan. Jeronimus Cornelis adalah salah satu contoh ekstrem dari sisi gelap tersebut. Ia mewakili bagaimana ambisi pribadi dan kebijakan represif dapat berujung pada tragedi kemanusiaan yang tak terhitung.
Warisan Jeronimus Cornelis Cornelis tidak hanya terbatas pada catatan sejarah tentang pembantaian dan pengadilannya. Kisahnya turut membentuk persepsi tentang periode kolonial dan bagaimana kekuasaan asing diterapkan. Ia adalah pengingat bahwa di balik setiap pembangunan atau penaklukan, seringkali terdapat narasi tentang penderitaan dan ketidakadilan. Memahami kisah-kisah seperti Jeronimus Cornelis membantu kita untuk melihat sejarah secara lebih kritis, mengenali kompleksitasnya, dan belajar dari kesalahan masa lalu agar tragedi serupa tidak terulang di masa depan. Nama Jeronimus Cornelis Cornelis Batavia tetap terukir, sebuah simbol kelam dari masa lalu yang penuh dengan intrik, kekejaman, dan penyesalan.