Sekolah adalah sebuah institusi yang memiliki peran sentral dalam pembentukan karakter dan pengetahuan generasi muda. Di dalamnya, setiap hari menjadi saksi bisu dari berbagai aktivitas, mulai dari deretan kursi dan meja yang setia menunggu diisi, hingga suara bel yang menandai dimulainya dan berakhirnya jam pelajaran. Lebih dari sekadar gedung fisik, sekolah adalah wadah di mana mimpi dibentuk, persahabatan dijalin, dan masa depan mulai terukir. Suasana riuh rendah di koridor saat jam istirahat, keheningan yang khidmat saat ujian berlangsung, serta tawa canda di kelas merupakan elemen-elemen yang membentuk pengalaman unik di lingkungan pendidikan.
Pendidikan di sekolah tidak hanya terbatas pada transfer ilmu pengetahuan semata. Ia mencakup pula penanaman nilai-nilai moral, etika, dan sosial yang akan menjadi bekal berharga bagi siswa ketika terjun ke masyarakat. Guru sebagai garda terdepan memiliki tanggung jawab besar dalam membimbing dan menginspirasi para muridnya. Melalui dedikasi dan pengorbanan, mereka berupaya membuka cakrawala baru, menumbuhkan rasa ingin tahu, dan mengajarkan cara berpikir kritis. Interaksi antara guru dan siswa, serta antar siswa sendiri, menciptakan dinamika sosial yang kaya dan beragam.
Setiap sudut sekolah menyimpan cerita. Dinding kelas yang mungkin dihiasi karya seni para siswa, lapangan olahraga yang menjadi arena kompetisi dan kebersamaan, serta perpustakaan yang menjadi gudang ilmu, semuanya berkontribusi pada identitas dan atmosfer sekolah. Pengalaman-pengalaman ini seringkali menjadi sumber inspirasi tak terbatas, terutama bagi mereka yang gemar berekspresi melalui karya sastra. Geguritan, sebagai salah satu bentuk puisi dalam tradisi Jawa, menawarkan cara yang mendalam untuk menangkap esensi dari pengalaman sekolah. Dengan bahasa yang ringkas namun penuh makna, geguritan mampu menyampaikan perasaan, refleksi, dan harapan yang terkait erat dengan kehidupan di lembaga pendidikan ini.
Artikel ini akan menyajikan beberapa contoh geguritan dengan tema sekolah yang terdiri dari empat bait. Setiap bait dalam geguritan ini dirancang untuk membangkitkan nuansa dan memori yang mungkin lekat di benak siapa saja yang pernah merasakan denyut kehidupan sekolah. Dari semangat belajar yang membara, indahnya persahabatan, hingga rasa haru ketika harus berpisah, semua dapat diekspresikan melalui untaian kata yang puitis. Geguritan ini diharapkan dapat menjadi pengingat akan betapa berharganya masa-masa yang dihabiskan di sekolah, sebuah periode penting yang membentuk diri kita.
Ing dina senja kang sumringah,
Aku lungguh ing ngarep kaca.
Ngeling-eling jaman semana,
Ing sekolah kang dadi kanca.
Bait pertama ini membuka tirai kenangan, menggambarkan suasana yang tenang dan reflektif. Pengalaman melihat senja dari jendela seringkali memicu nostalgia, membawa pikiran kembali ke masa lalu. "Jaman semana" atau masa itu, merujuk pada periode waktu yang penuh dengan aktivitas dan pelajaran di sekolah. Sekolah digambarkan sebagai "kanca" atau teman, menegaskan betapa eratnya hubungan emosional yang terjalin dengan tempat belajar tersebut. Ini adalah pengantar yang syahdu, mengajak pembaca untuk ikut tenggelam dalam gelombang memori indah tentang sekolah.
Sorak-sorai ing lapangan,
Lelara kang nambani lara.
Tawa riang bocah-bocah,
Masa depan kang tak gandheng.
Bait kedua ini menghadirkan suasana yang lebih dinamis dan penuh kegembiraan. "Sorak-sorai ing lapangan" membangkitkan citra permainan olahraga, kegiatan ekstrakurikuler, atau sekadar momen kebersamaan yang riuh. Frasa "lelara kang nambani lara" memiliki makna mendalam; di sini, mungkin dimaksudkan bahwa persahabatan dan keceriaan di sekolah mampu mengobati kesedihan atau kesulitan yang dihadapi. Tawa riang anak-anak adalah suara emas yang menghiasi setiap sudut sekolah, dan semua itu adalah bekal untuk meraih "masa depan kang tak gandheng" atau masa depan yang diraih.
Buku-buku kebak tulisan,
Guru kang nuntun kaweruh.
Pitakon kang tak ajokake,
Mripatku saya sumeleh.
Bait ketiga berfokus pada aspek akademis dan peran guru. "Buku-buku kebak tulisan" adalah simbol pengetahuan yang terangkum. Guru digambarkan sebagai sosok yang "nuntun kaweruh" atau menuntun pengetahuan, menunjukkan peran mereka dalam membimbing siswa mencapai pemahaman yang lebih baik. Interaksi tanya jawab, seperti "pitakon kang tak ajokake" atau pertanyaan yang saya ajukan, menjadi inti dari proses belajar mengajar. Ketika jawaban atau penjelasan didapatkan, mata pembicara ("mripatku") menjadi lebih "sumeleh" atau mantap dan yakin.
Wis wayahe pisahan,
Nanging katresnan lestari.
Kenangan tetep ing ati,
Sumangga manggih bagya mulya.
Bait terakhir ini menyentuh aspek emosional perpisahan yang tak terhindarkan setelah menempuh pendidikan. "Wis wayahe pisahan" mengindikasikan tibanya saatnya untuk berpisah, entah itu setelah lulus atau karena sebab lain. Namun, pesan utamanya adalah bahwa "katresnan" atau kasih sayang dan kenangan yang terjalin selama di sekolah akan tetap "lestari" atau abadi. Kenangan tersebut akan tersimpan "tetep ing ati" atau tetap di hati, menjadi pengingat berharga. Doa harapan terakhir adalah agar semua orang yang pernah berbagi cerita di sekolah "sumangga manggih bagya mulya" atau menemukan kebahagiaan dan keberuntungan dalam perjalanan hidup mereka selanjutnya.
Keempat bait geguritan di atas mencoba merangkum berbagai dimensi pengalaman sekolah: nostalgia, kegembiraan, pembelajaran, dan perpisahan yang penuh harapan. Setiap baitnya dibangun dengan bahasa Jawa yang lugas namun puitis, sangat khas dalam geguritan. Pilihan kata yang tepat menciptakan gambaran visual dan emosional yang kuat di benak pembaca. Dari suasana senja yang syahdu, riuh lapangan, hingga bimbingan guru, semuanya dirangkum dalam bait-bait pendek yang efektif.
Geguritan seperti ini tidak hanya berfungsi sebagai karya seni, tetapi juga sebagai medium refleksi. Ia mengajak kita untuk merenungi peran sekolah dalam kehidupan kita, menghargai setiap momen yang telah dilalui, dan mensyukuri ilmu serta persahabatan yang didapat. Di era digital yang serba cepat ini, bentuk-bentuk sastra tradisional seperti geguritan tetap relevan karena kemampuannya menyentuh relung hati terdalam, membangkitkan emosi, dan menghubungkan kita dengan akar budaya. Dengan memahami dan mengapresiasi geguritan bertema sekolah, kita turut melestarikan warisan sastra sambil mengenang salah satu babak terpenting dalam perjalanan hidup.