Shalat, tiang agama dan puncak ibadah seorang Muslim, merupakan pilar fundamental dalam Islam yang wajib didirikan lima kali sehari. Setiap gerakan dan bacaan di dalamnya memiliki makna mendalam serta tuntunan yang jelas dari Nabi Muhammad ﷺ. Di antara rangkaian bacaan dalam shalat, Surat Al-Fatihah menduduki posisi sentral, di mana shalat seseorang tidak sah tanpanya. Namun, sebelum masuk kepada bacaan Ummul Kitab ini, terdapat sebuah amalan sunnah yang sarat makna dan keutamaan, yaitu membaca doa istiftah atau doa pembuka shalat. Banyak Muslim yang mungkin terbiasa langsung membaca Al-Fatihah setelah takbiratul ihram, namun memahami dan mengamalkan doa istiftah dapat meningkatkan kualitas kekhusyukan dan kesempurnaan shalat kita.
Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk doa sebelum Al-Fatihah dalam shalat, mulai dari pengertian, hukum, lafazh-lafazh yang diriwayatkan, makna mendalam setiap kalimatnya, hingga hikmah di balik pengamalannya. Kami juga akan membahas perbandingan pandangan ulama dari berbagai madzhab fiqh, serta memberikan panduan praktis untuk mengintegrasikan sunnah ini ke dalam ibadah shalat sehari-hari Anda. Mari kita telaah bersama agar shalat kita semakin berkualitas dan diterima di sisi Allah SWT.
Shalat adalah ibadah yang paling utama setelah syahadat, dan merupakan tiang agama yang membedakan seorang Muslim dari yang lainnya. Keutamaan shalat sangatlah besar, bahkan ia menjadi amal pertama yang akan dihisab pada Hari Kiamat. Oleh karena itu, penting bagi setiap Muslim untuk melaksanakannya dengan sempurna, sesuai tuntunan syariat. Kesempurnaan shalat tidak hanya terletak pada pelaksanaan rukun-rukunnya, tetapi juga pada pengamalan sunnah-sunnah yang melengkapinya. Rukun shalat adalah bagian esensial yang jika ditinggalkan secara sengaja, shalat menjadi tidak sah. Sementara sunnah-sunnah shalat adalah amalan pelengkap yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan guna menambah pahala dan menyempurnakan shalat, meskipun shalat tetap sah jika sunnah tersebut ditinggalkan.
Dalam konteks bacaan shalat, Surat Al-Fatihah adalah salah satu rukun qauli (rukun berupa ucapan) yang wajib dibaca di setiap rakaat. Tanpa Al-Fatihah, shalat tidak sah. Nabi Muhammad ﷺ bersabda, "Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Surat Al-Fatihah)." (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh karena itu, memastikan bacaan Al-Fatihah yang benar dan tartil adalah sebuah keharusan. Namun, sebelum bacaan yang wajib ini, terdapat sunnah yang sangat dianjurkan, yaitu doa istiftah.
Doa istiftah secara harfiah berarti "doa pembuka" atau "doa permulaan". Dalam terminologi fiqh, doa istiftah adalah bacaan dzikir dan pujian kepada Allah SWT yang diucapkan setelah takbiratul ihram dan sebelum membaca ta'awudz (Audzubillahiminasyaitonirrojim) dan basmalah (Bismillahirrahmanirrahim), yang kemudian diikuti oleh Surat Al-Fatihah. Doa ini berfungsi sebagai awalan shalat, sebuah permohonan pembuka, pengakuan akan keesaan Allah, serta pujian atas segala kesempurnaan-Nya sebelum seorang hamba memulai komunikasi intinya dengan Rabbul 'alamin melalui ayat-ayat Al-Quran.
Tujuan utama dari doa istiftah adalah untuk mengagungkan Allah, memohon perlindungan dari syaitan, serta menumbuhkan rasa khusyuk dan fokus sejak awal shalat. Dengan membaca doa istiftah, seorang Muslim diingatkan kembali akan tujuan shalatnya, yaitu untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Ini adalah kesempatan untuk membersihkan hati dan pikiran dari segala urusan duniawi sebelum benar-benar tenggelam dalam lautan ibadah. Doa ini juga menjadi jembatan spiritual yang membantu kita beralih dari keadaan duniawi ke dalam kondisi ibadah yang penuh penghambaan dan ketaatan. Ini adalah momen refleksi dan persiapan mental untuk berhadapan dengan Dzat Yang Maha Kuasa, sebuah bentuk adab dan kesantunan seorang hamba di hadapan Tuhannya.
Para ulama sepakat bahwa hukum membaca doa istiftah adalah sunnah muakkadah, yaitu sunnah yang sangat dianjurkan untuk diamalkan. Ini berarti bahwa shalat seseorang tetap sah jika doa istiftah tidak dibaca, baik karena lupa, tidak tahu, atau sengaja meninggalkannya. Namun, bagi yang melaksanakannya, ia akan mendapatkan pahala tambahan dan shalatnya menjadi lebih sempurna di sisi Allah SWT.
Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab berkata, "Doa istiftah hukumnya sunnah, jika seseorang meninggalkannya, shalatnya tetap sah, baik ia meninggalkannya karena lupa atau sengaja. Ini adalah pendapat kami (Syafi'iyah) dan pendapat jumhur (mayoritas) ulama."
Penting untuk dicatat bahwa meskipun sunnah, keutamaannya sangat besar. Meninggalkan sunnah-sunnah muakkadah secara terus-menerus tanpa alasan yang syar'i dapat menunjukkan kurangnya perhatian terhadap kesempurnaan ibadah dan kurangnya keinginan untuk mendapatkan pahala tambahan dari Allah. Oleh karena itu, setiap Muslim dianjurkan untuk berusaha mengamalkan doa istiftah ini dalam setiap shalatnya, kecuali jika ada kondisi yang tidak memungkinkan, seperti shalat berjamaah yang imamnya sudah terlanjur cepat membaca Al-Fatihah, sehingga makmum khawatir kehilangan waktu membaca Al-Fatihah secara sempurna. Dalam kondisi seperti ini, kewajiban membaca Al-Fatihah lebih diutamakan daripada sunnah istiftah.
Pengamalan sunnah ini adalah bentuk ittiba' (mengikuti) Nabi Muhammad ﷺ, yang merupakan kunci keberkahan dalam beribadah. Dengan mengamalkan doa istiftah, seorang hamba tidak hanya memperoleh pahala, tetapi juga merasakan kedekatan spiritual yang lebih mendalam dengan Allah SWT, karena ia meniru cara Rasulullah ﷺ dalam memulai ibadahnya.
Terdapat beberapa lafazh doa istiftah yang shahih dan diriwayatkan dari Nabi Muhammad ﷺ. Keragaman lafazh ini menunjukkan keluasan syariat Islam dan memberikan pilihan bagi Muslim untuk mengamalkan yang paling ia hafal atau sukai. Keberagaman ini juga merupakan bukti keluwesan Islam, di mana umat diberi pilihan untuk mengamalkan sunnah yang berbeda-beda, semuanya bersumber dari Nabi ﷺ. Berikut adalah beberapa lafazh yang paling populer dan sering diamalkan, disertai dengan makna dan hikmah mendalam di baliknya:
Ini adalah lafazh yang paling dikenal dan banyak diamalkan, terutama di Indonesia, dan diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu. Nabi ﷺ biasa membacanya ketika memulai shalat:
Transliterasi: "Allaahumma baa'id bainii wa baina khathaayaaya kamaa baa'adta bainal-masyriqi wal-maghrib. Allaahumma naqqinii minal khathaayaa kamaa yunaqqats-tsaubul-abyadhu minad-danas. Allaahummaghsil khathaayaaya bil-maa'i wats-tsalji wal-barad."
Artinya: "Ya Allah, jauhkanlah antara diriku dan antara kesalahan-kesalahanku, sebagaimana Engkau telah menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana dibersihkannya pakaian yang putih dari kotoran. Ya Allah, sucikanlah kesalahan-kesalahanku dengan air, salju, dan embun."
Lafazh doa istiftah ini mengandung permohonan yang mendalam akan pengampunan dosa dan pembersihan diri. Setiap kalimatnya adalah ungkapan kerendahan hati seorang hamba yang menyadari kekurangan dirinya dan keagungan Rabb-nya:
Bagian pertama ini adalah permohonan kepada Allah agar dosa-dosa yang telah lalu dihapuskan dan dijauhkan sejauh-jauhnya. Perumpamaan "antara timur dan barat" menunjukkan jarak yang sangat ekstrem, tak terhingga, dan tidak mungkin bertemu. Ini melambangkan keinginan seorang hamba agar dosa-dosanya benar-benar lenyap, tidak lagi menghantuinya, atau menjadi penghalang antara dirinya dengan Allah. Ini bukan hanya permohonan pengampunan dosa yang sudah terlanjur terjadi, tetapi juga permohonan agar Allah menjaga dirinya di masa depan sehingga tidak lagi terjerumus dalam kesalahan dan maksiat. Jarak yang tak terhingga antara timur dan barat adalah metafora sempurna untuk pembersihan total dan penjagaan yang utuh dari dosa.
Hikmahnya adalah agar seorang hamba memulai shalat dengan perasaan bersih, tanpa beban dosa yang memberatkan. Ini mendorong optimisme dan harapan akan rahmat Allah, sekaligus menumbuhkan rasa takut untuk kembali berbuat dosa setelah shalat, karena ia telah memohon penjagaan dari-Nya. Doa ini menciptakan suasana hati yang penuh harap dan taubat di awal ibadah.
Bagian kedua ini merupakan permohonan untuk disucikan secara menyeluruh dari noda dosa, diibaratkan seperti membersihkan pakaian putih dari kotoran. Pakaian putih adalah simbol kemurnian dan kebersihan yang paling jelas. Ketika pakaian putih terkena noda sekecil apa pun, noda itu akan sangat terlihat dan mengganggu. Demikian pula hati manusia, dosa dapat menodainya dan membuatnya kotor, sehingga sulit menerima cahaya hidayah dan kebaikan. Permohonan ini menunjukkan keinginan hamba untuk dikembalikan pada fitrahnya yang suci, dibersihkan dari segala bentuk kotoran batin yang disebabkan oleh dosa, baik dosa lahir maupun batin, yang disadari maupun tidak disadari.
Hikmahnya adalah untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya kesucian hati dan jiwa dalam berhadapan dengan Allah. Seorang Muslim diajak untuk merenungkan bahwa sebagaimana ia ingin tampil bersih di hadapan manusia dengan pakaian yang suci dan rapi, lebih-lebih lagi ia harus berusaha bersih di hadapan Allah dalam shalatnya, karena shalat adalah momen munajat dan pertemuan pribadi dengan Sang Pencipta.
Bagian ketiga adalah permohonan pembersihan yang lebih spesifik, menggunakan metafora air, salju, dan embun. Ketiga elemen ini dikenal sebagai zat pembersih yang paling murni, alami, dan menyegarkan. Penggunaan ketiganya secara bersamaan menunjukkan keinginan untuk pembersihan yang total, tuntas, dan mendalam dari dosa-dosa, baik yang besar maupun yang kecil, yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Ini adalah permohonan untuk pencucian yang sempurna, meliputi segala aspek dosa.
Air membersihkan kotoran secara umum dan merupakan simbol kehidupan. Salju dan embun, yang juga merupakan bentuk air yang sangat murni dan dingin, sering dikaitkan dengan pembersihan yang mendalam, menenangkan, dan menyucikan. Dinginnya air, salju, dan embun juga dapat melambangkan pemadaman api dosa dan panasnya maksiat dalam jiwa, membawa kedamaian dan ketenangan. Ini adalah permohonan agar Allah membersihkan hati dan jiwa dari segala sisa-sisa dosa dan dampaknya, sehingga hamba dapat memulai shalat dengan kondisi spiritual yang optimal.
Hikmahnya adalah untuk menekankan bahwa hanya Allah yang mampu membersihkan hati dan mengampuni dosa dengan cara yang paling sempurna. Hamba mengakui kelemahan dirinya dan ketergantungannya sepenuhnya kepada rahmat dan kuasa Allah untuk menyucikan dirinya sebelum berkomunikasi lebih lanjut dalam shalat. Doa ini adalah puncak pengakuan akan dosa dan harapan akan pengampunan ilahi.
Lafazh ini juga sangat masyhur, terutama di kalangan madzhab Hanafi dan sebagian madzhab lainnya. Diriwayatkan oleh Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu, Nabi ﷺ bersabda, "Apabila kalian memulai shalat, maka ucapkanlah..." lalu beliau menyebutkan lafazh ini:
Transliterasi: "Subhanakallahumma wa bihamdika wa tabarakasmuka wa ta'ala jadduka wa la ilaha ghairuk."
Artinya: "Maha Suci Engkau ya Allah, dan dengan memuji-Mu. Maha Berkah nama-Mu dan Maha Tinggi keagungan-Mu. Dan tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Engkau."
Lafazh ini lebih fokus pada pengagungan dan pujian kepada Allah SWT, mengakui kesucian, keberkahan, dan keesaan-Nya. Ini adalah deklarasi keyakinan dan penghormatan kepada Dzat yang Maha Agung sebelum memulai interaksi suci dalam shalat:
Doa ini dimulai dengan tasbih (mensucikan Allah) dan tahmid (memuji Allah). "Subhanakallahumma" berarti Engkau Maha Suci ya Allah, bebas dari segala kekurangan, aib, kelemahan, dan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya. Allah adalah Dzat yang sempurna dalam segala sifat dan perbuatan-Nya. "Wa bihamdika" berarti dan segala pujian adalah milik-Mu, atau aku mensucikan-Mu dengan memuji-Mu. Ini adalah pengakuan mutlak atas kesempurnaan Allah dari segala sisi dan bahwa segala bentuk pujian hanya layak bagi-Nya. Ini juga menunjukkan bahwa kesucian Allah adalah dasar dari semua pujian yang dilayangkan kepada-Nya.
Hikmahnya adalah untuk menanamkan dalam hati seorang Muslim bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Sempurna, jauh dari segala cacat, dan layak menerima segala pujian yang ada di alam semesta. Ini membuka shalat dengan sikap merendah diri di hadapan keagungan Ilahi, mengakui bahwa tidak ada yang sebanding dengan-Nya.
"Tabaraka" berarti diberkahi, penuh keberkahan, atau sangat diagungkan. Bagian ini menegaskan bahwa nama-nama Allah (Asmaul Husna) mengandung berkah, kebaikan, dan keagungan yang tak terhingga. Setiap nama-Nya, seperti Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih), Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang), Al-Malik (Yang Maha Raja), Al-Quddus (Yang Maha Suci), memiliki kekuasaan dan keagungan tersendiri yang membawa kebaikan bagi hamba. Mengucapkan bagian ini berarti mengakui bahwa setiap asma Allah adalah sumber keberkahan, kebaikan, dan kekuatan.
Hikmahnya adalah untuk mengingatkan hamba akan kekuatan dan pengaruh dari nama-nama Allah yang mulia. Dengan menyebut nama-Nya dengan penuh penghayatan, keberkahan akan turun, kebaikan akan mengalir, dan hati akan merasa tenteram. Ini adalah pengakuan akan kemuliaan setiap nama Allah.
"Jadduka" di sini berarti keagungan, kebesaran, kekuasaan, dan kemuliaan Allah. Bagian ini menegaskan bahwa keagungan Allah jauh melampaui segala sesuatu yang bisa dibayangkan atau dipahami oleh akal manusia. Tidak ada yang setara dengan kebesaran-Nya, tidak ada yang dapat menandingi kekuasaan-Nya, dan tidak ada yang dapat melampaui kemuliaan-Nya. Allah Maha Tinggi dalam Dzat, sifat, dan perbuatan-Nya.
Hikmahnya adalah untuk menumbuhkan rasa rendah diri dan kekaguman yang mendalam terhadap Allah. Hamba menyadari betapa kecilnya dirinya di hadapan Kebesaran Sang Pencipta, sehingga memacu kekhusyukan, ketundukan, dan rasa takut hanya kepada Allah dalam shalat. Ini adalah pengingat bahwa kita sedang berhadapan dengan Dzat Yang Maha Perkasa.
Ini adalah inti dari tauhid, penegasan bahwa hanya Allah satu-satunya Dzat yang berhak disembah. Tidak ada tuhan lain yang layak disembah selain Dia, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam rububiyah (ketuhanan), uluhiyah (peribadatan), maupun asma wa sifat (nama dan sifat). Ini adalah syahadat yang diulang dan ditegaskan dalam pembukaan shalat, memperkuat pondasi keimanan seorang Muslim.
Hikmahnya adalah untuk memperbarui ikrar tauhid dan menguatkan keyakinan bahwa seluruh ibadah, termasuk shalat, hanya ditujukan kepada Allah semata. Ini memurnikan niat dan fokus shalat hanya kepada-Nya, mengikis segala bentuk kesyirikan dan ketergantungan pada selain Allah.
Lafazh ini juga dikenal luas, terutama di kalangan madzhab Syafi'i, yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu. Ketika ditanya tentang apa yang Nabi ﷺ ucapkan setelah takbiratul ihram, Ali menjawab dengan lafazh ini. Ini menunjukkan betapa pentingnya isi doa ini dalam shalat Nabi:
Transliterasi: "Wajjahtu wajhiya lilladzii fatharas-samaawaati wal-ardha haniifan wamaa anaa minal musyrikiin. Inna shalaatii wa nusukii wa mahyaaya wa mamaatii lillaahi rabbil-'aalamiin. Laa syariikalahu wa bidzaalika umirtu wa anaa minal muslimiin."
Artinya: "Aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi, dengan lurus di atas fitrah Islam dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya, dan dengan itu aku diperintahkan dan aku termasuk orang-orang Muslim."
Lafazh ini lebih menekankan pada komitmen tauhid dan penyerahan diri secara total kepada Allah SWT. Ini adalah deklarasi utuh tentang identitas dan tujuan hidup seorang Muslim yang mengawali shalatnya:
"Wajjahtu wajhiya" berarti aku menghadapkan sepenuh diri dan perhatianku. Ini bukan hanya menghadapkan wajah fisik ke arah kiblat, tetapi juga seluruh jiwa, hati, dan niat, memalingkan diri dari segala selain Allah. "Lilladzii fatharas-samaawaati wal-ardha" menegaskan bahwa Allah adalah Pencipta tunggal alam semesta, Dialah yang mengawali penciptaan tanpa contoh sebelumnya. Pengakuan ini mengingatkan hamba akan kekuasaan dan keagungan Allah yang tak terbatas. "Hanifan" berarti lurus, cenderung kepada kebenaran, jauh dari kesyirikan, dan konsisten di atas ajaran tauhid. Ini adalah komitmen untuk beribadah dalam keadaan murni dan benar, sesuai dengan fitrah manusia yang hanif.
Hikmahnya adalah untuk menumbuhkan kesadaran akan kebesaran Allah sebagai Pencipta dan komitmen kuat terhadap ajaran tauhid sejak awal shalat. Hamba menyatakan arah tujuan hidupnya hanya kepada Allah, Dzat yang telah menciptakan dan mengatur segala sesuatu.
Ini adalah penegasan tegas bahwa seorang Muslim berlepas diri dari segala bentuk kesyirikan, yaitu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang lain dalam ibadah, baik dalam keyakinan, perkataan, maupun perbuatan. Penegasan ini sangat penting karena kesyirikan adalah dosa terbesar dalam Islam yang tidak diampuni jika dibawa mati tanpa taubat.
Hikmahnya adalah untuk memurnikan niat dan memastikan bahwa shalat yang akan dikerjakan adalah murni hanya untuk Allah, tanpa ada sedikitpun unsur riya' atau syirik. Ini adalah deklarasi kebebasan dari segala bentuk penghambaan kepada selain Allah.
Ini adalah deklarasi totalitas penyerahan diri kepada Allah. Tidak hanya shalat ritual ("shalaatii") dan ibadah ritual lainnya ("nusukii" yang bisa berarti sembelihan atau seluruh ibadah), tetapi juga seluruh aspek kehidupan ("mahyaaya") dan bahkan kematian ("mamaatii") dipersembahkan hanya untuk Allah, Pengatur dan Pemelihara alam semesta. Ini adalah puncak pengakuan keesaan Allah dalam rububiyah (ketuhanan) dan uluhiyah (peribadatan), yang mencakup seluruh eksistensi seorang hamba.
Hikmahnya adalah untuk menanamkan filosofi hidup seorang Muslim yang menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan dalam segala aktivitasnya. Shalat menjadi manifestasi dari totalitas penyerahan diri ini, mengajarkan bahwa setiap gerak-gerik dan nafas hidup harus terbingkai dalam ketaatan kepada Allah.
Bagian akhir ini mengulangi penegasan tauhid (tidak ada sekutu bagi Allah) dan menyatakan bahwa perintah untuk beribadah hanya kepada Allah adalah perintah ilahi yang datang dari Allah sendiri. "Wa anaa minal muslimiin" (dan aku termasuk orang-orang Muslim) adalah penegasan identitas dan komitmen terhadap Islam, menunjukkan bahwa hamba ini adalah bagian dari komunitas yang tunduk dan patuh kepada Allah.
Hikmahnya adalah untuk memperkuat identitas keislaman dan keyakinan akan kebenaran ajaran Allah. Hamba meletakkan dirinya sebagai bagian dari umat Muslim yang taat pada perintah Allah, menegaskan kepatuhan total terhadap syariat-Nya. Ini adalah deklarasi penuh iman dan kepasrahan.
Ada pula lafazh lain yang lebih singkat, namun tetap mengandung pujian dan permohonan, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Aisyah radhiyallahu 'anha, dan juga dari Ibnu Umar:
Transliterasi: "Allahu akbaru kabiraa walhamdulillaahi katsiiraa wa subhanallaahi bukrataw wa ashiilaa."
Artinya: "Allah Maha Besar dan kebesaran-Nya sangat sempurna, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, Maha Suci Allah di waktu pagi dan petang."
Lafazh ini juga diriwayatkan dan digunakan oleh sebagian ulama. Intinya adalah mengagungkan Allah (takbir), memuji-Nya (tahmid) dengan pujian yang tak terhingga, dan mensucikan-Nya (tasbih) di setiap waktu, baik pagi maupun petang, yang melambangkan sepanjang masa. Doa ini sangat ringkas namun padat makna, mengingatkan hamba akan kebesaran dan kesucian Allah yang harus selalu diingat dalam setiap detik kehidupan.
Memahami waktu dan cara pengamalan doa istiftah adalah kunci untuk mengamalkan sunnah ini dengan benar dan optimal. Doa istiftah dibaca setelah takbiratul ihram (takbir pembuka shalat) dan sebelum membaca ta'awudz (أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ) dan basmalah (بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ) yang kemudian dilanjutkan dengan Surat Al-Fatihah. Urutan bacaannya adalah sebagai berikut:
Ketika shalat berjamaah, makmum dianjurkan untuk membaca doa istiftah jika imam belum memulai membaca Al-Fatihah. Makmum harus memperhatikan jeda imam setelah takbiratul ihram. Jika jeda tersebut cukup panjang, makmum memiliki kesempatan untuk membaca doa istiftah. Namun, jika imam sudah mulai membaca Al-Fatihah, atau dikhawatirkan makmum tidak sempat membaca Al-Fatihah secara tuntas jika membaca istiftah, maka makmum bisa langsung membaca ta'awudz dan basmalah, lalu mengikuti imam membaca Al-Fatihah. Prioritas utama makmum adalah menyelesaikan Al-Fatihah secara sempurna, karena ia adalah rukun yang tidak boleh ditinggalkan. Mengutamakan rukun daripada sunnah adalah prinsip fiqh yang penting.
Baik shalat sendiri maupun sebagai imam, sangat dianjurkan untuk membaca doa istiftah. Imam memiliki waktu yang cukup untuk membaca istiftah karena makmum akan menunggu bacaannya. Membaca istiftah secara perlahan sebagai imam juga memberikan kesempatan bagi makmum untuk membaca istiftah mereka sendiri. Jika shalat sendirian, seseorang memiliki keleluasaan penuh untuk membaca istiftah dengan durasi yang ia inginkan, sehingga dapat menghayati maknanya dengan lebih mendalam.
Bagi makmum yang terlambat (masbuq) dan mendapati imam sudah rukuk atau hampir selesai membaca Al-Fatihah, maka ia tidak perlu membaca doa istiftah. Prioritasnya adalah mengejar rukun dan bacaan wajib, yaitu Al-Fatihah, atau langsung mengikuti gerakan imam jika sudah di akhir rakaat. Dalam kondisi masbuq, waktu sangat terbatas, dan fokus harus pada hal-hal yang wajib agar rakaatnya terhitung sah. Jika ia bergabung saat imam sudah rukuk, maka ia langsung rukuk bersama imam dan rakaat tersebut terhitung jika sempat tumaninah dalam rukuk.
Sebagaimana telah disebutkan, ada beberapa lafazh doa istiftah yang shahih. Seorang Muslim boleh memilih salah satu di antaranya atau bahkan bergantian mengamalkannya agar tidak bosan dan dapat menghayati seluruh makna yang terkandung. Hal ini juga merupakan bentuk pengamalan sunnah Nabi ﷺ yang beragam. Mengganti-ganti lafazh istiftah juga membantu menjaga kesegaran hati dan pikiran, serta memperkaya pemahaman spiritual tentang berbagai dimensi pujian dan permohonan kepada Allah SWT.
Meskipun hukumnya sunnah, pengamalan doa istiftah membawa banyak hikmah dan keutamaan yang sangat bermanfaat bagi kualitas shalat seorang hamba. Mengabaikan sunnah ini berarti kehilangan kesempatan besar untuk mendapatkan pahala dan kesempurnaan ibadah yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ. Berikut adalah beberapa hikmah dan keutamaan tersebut:
Meskipun semua madzhab fiqh sepakat bahwa doa istiftah hukumnya sunnah, terdapat sedikit perbedaan dalam lafazh mana yang lebih diutamakan dan beberapa detail penerapannya. Perbedaan ini merupakan rahmat dan kekayaan Islam, menunjukkan fleksibilitas dalam mengamalkan sunnah serta luasnya pemahaman para ulama terhadap teks-teks Hadits Nabi ﷺ. Memahami perbedaan ini akan memperkaya wawasan kita dan menumbuhkan sikap toleransi dalam praktik ibadah.
Madzhab Hanafi, yang banyak dianut di Asia Selatan, Turki, dan sebagian Timur Tengah, lebih cenderung mengutamakan lafazh doa istiftah "Subhanakallahumma wa bihamdika wa tabarakasmuka wa ta'ala jadduka wa la ilaha ghairuk." Mereka berargumen bahwa lafazh ini adalah yang paling shahih dan konsisten diamalkan oleh Nabi ﷺ dalam banyak kesempatan, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Sa'id Al-Khudri. Selain itu, mereka berpendapat bahwa doa ini mencakup pujian, tasbih, dan tauhid yang sempurna untuk mengawali shalat, sehingga sangat cocok sebagai pembuka munajat kepada Allah.
Madzhab Maliki, yang banyak dianut di Afrika Utara dan sebagian Afrika Barat, adalah madzhab yang paling konservatif dalam hal doa istiftah. Mereka berpendapat bahwa tidak disunnahkan membaca doa istiftah dalam shalat wajib, baik bagi imam, makmum, maupun orang yang shalat sendiri. Menurut pandangan mereka, yang sunnah adalah langsung membaca ta'awudz dan basmalah, lalu Al-Fatihah, setelah takbiratul ihram. Argumentasi mereka didasarkan pada beberapa Hadits yang menunjukkan bahwa Nabi ﷺ tidak selalu membaca doa istiftah secara konsisten atau terkadang meninggalkannya, dan mereka menafsirkan bahwa Hadits-hadits tentang doa istiftah tidak mencapai tingkatan yang mewajibkan atau sangat menganjurkan untuk shalat wajib. Mereka cenderung membatasi amalan pada hal-hal yang jelas dan konsisten dari Nabi ﷺ.
Namun, sebagian ulama Maliki memperbolehkan doa istiftah dalam shalat sunnah atau shalat nafilah, di mana waktu lebih leluasa dan konteks ibadah cenderung lebih personal. Jika pun seseorang ingin membaca doa istiftah dalam shalat wajib, maka mereka menganjurkan lafazh yang paling singkat dan paling sering disebutkan dalam Hadits, yaitu "Subhanakallahumma...", meskipun ini bukan pandangan dominan. Penting untuk diingat bahwa pandangan ini berbeda dengan mayoritas madzhab lain yang menganjurkan doa istiftah secara umum, dan perbedaan ini harus disikapi dengan rasa hormat terhadap ijtihad ulama.
Madzhab Syafi'i, yang banyak dianut di Asia Tenggara (termasuk Indonesia), Mesir, dan Yaman, sangat menganjurkan membaca doa istiftah dalam setiap shalat, baik wajib maupun sunnah, baik sebagai imam, makmum (jika ada waktu), maupun orang yang shalat sendiri. Mereka mengutamakan lafazh "Wajjahtu wajhiya lilladzii fatharas-samaawaati wal-ardha haniifan wamaa anaa minal musyrikiin..." Mereka berargumen bahwa lafazh ini paling lengkap dalam menegaskan tauhid, penyerahan diri, dan tujuan hidup seorang Muslim, sebagaimana diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib yang secara khusus ditanyakan oleh Nabi ﷺ tentang doa pembukanya. Lafazh ini juga dianggap paling komprehensif dalam menanamkan kesadaran akan hakikat ibadah.
Meskipun begitu, mereka juga memperbolehkan lafazh-lafazh lain seperti "Allaahumma baa'id bainii..." atau "Subhanakallahumma..." Jika ada banyak waktu, imam Syafi'i bahkan menyebutkan bisa menggabungkan beberapa lafazh doa istiftah, menunjukkan fleksibilitas dan keinginan untuk mengamalkan sebanyak mungkin sunnah Nabi ﷺ. Dalam pandangan Syafi'i, doa istiftah adalah bagian penting dari kesempurnaan shalat dan sarana untuk meraih kekhusyukan.
Madzhab Hanbali, yang banyak dianut di Arab Saudi dan sebagian Semenanjung Arab, juga sangat menganjurkan doa istiftah dalam shalat. Mereka berpendapat bahwa lafazh "Subhanakallahumma wa bihamdika wa tabarakasmuka wa ta'ala jadduka wa la ilaha ghairuk" adalah yang paling utama, mengikuti riwayat dari Abu Sa'id Al-Khudri. Namun, mereka juga memperbolehkan lafazh "Allaahumma baa'id bainii..." dan lafazh-lafazh lainnya yang shahih dari Nabi ﷺ, memberikan keleluasaan kepada hamba untuk memilih.
Bagi mereka, pengamalan doa istiftah adalah sunnah yang sangat ditekankan, menunjukkan keutamaan dalam memulai shalat dengan pujian dan permohonan kepada Allah. Imam Ahmad bin Hanbal sendiri sangat menekankan pentingnya mengikuti sunnah secara menyeluruh, dan doa istiftah adalah salah satu sunnah yang beliau jaga dan anjurkan. Mereka berpendapat bahwa Nabi ﷺ secara rutin membaca istiftah, sehingga umat Islam patut meneladaninya.
Dari perbandingan ini, kita melihat bahwa meskipun ada perbedaan prioritas lafazh atau tingkat penekanan, mayoritas ulama menganjurkan doa istiftah sebagai sunnah yang patut diamalkan. Perbedaan ini menunjukkan keluasan ajaran Islam dan memberikan keleluasaan bagi umat untuk memilih yang paling sesuai dengan pemahaman dan hafalan mereka, selama tetap berlandaskan pada Hadits shahih. Ini juga mengajarkan kita pentingnya tasamuh (toleransi) dalam masalah furu'iyah (cabang-cabang fiqh) dan tidak saling menyalahkan atas perbedaan dalam pengamalan sunnah yang sah.
Dalam praktik ibadah sehari-hari, seringkali muncul beberapa kesalahpahaman terkait doa istiftah. Meluruskan kesalahpahaman ini penting agar kita dapat beribadah dengan benar sesuai tuntunan syariat dan menghindari keraguan:
Untuk membiasakan diri mengamalkan doa istiftah dan mendapatkan hikmah serta keutamaannya, berikut beberapa tips praktis yang bisa Anda terapkan dalam shalat sehari-hari:
Doa istiftah mungkin terlihat sebagai bagian kecil dalam rangkaian shalat, namun ia memiliki makna dan keutamaan yang besar. Ia adalah permulaan yang indah, sebuah deklarasi niat yang murni, pengakuan akan keesaan dan keagungan Allah, serta permohonan pembersihan diri sebelum seorang hamba berkomunikasi langsung dengan Rabb-nya melalui bacaan Al-Quran. Mengamalkan doa istiftah adalah upaya kita untuk menyempurnakan shalat, mengikuti jejak Rasulullah ﷺ, dan meraih pahala tambahan serta keberkahan dari Allah SWT.
Meskipun shalat tetap sah secara hukum fiqh tanpa doa istiftah, janganlah kita meremehkan amalan sunnah ini. Setiap sunnah yang kita hidupkan adalah bentuk cinta kita kepada Nabi Muhammad ﷺ dan keinginan kita untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan cara yang paling dicintai-Nya. Menjaga sunnah-sunnah Nabi adalah manifestasi dari kecintaan kita kepada Islam dan kesungguhan kita dalam beribadah. Ia adalah tanda kesadaran bahwa ibadah bukan hanya tentang memenuhi kewajiban minimal, tetapi tentang mencapai kesempurnaan dan kekhusyukan maksimal.
Mari jadikan doa istiftah sebagai bagian tak terpisahkan dari setiap shalat kita, menumbuhkan kekhusyukan yang lebih dalam, membersihkan hati dan jiwa dari noda dosa, dan memperbarui komitmen tauhid kita kepada Allah Rabbul 'alamin. Dengan istiqamah mengamalkan sunnah ini, kita berharap shalat kita semakin berkualitas, semakin diterima di sisi Allah, dan menjadi penyejuk mata serta penenang hati dalam setiap langkah kehidupan. Semoga Allah senantiasa membimbing kita untuk selalu istiqamah dalam mengamalkan setiap kebaikan dan menyempurnakan ibadah kita, sehingga kita termasuk golongan hamba-Nya yang beruntung di dunia dan akhirat.
Dengan memahami secara mendalam, merenungi makna, dan mengamalkan doa istiftah dengan sungguh-sungguh, niscaya kualitas shalat kita akan meningkat secara signifikan. Shalat tidak lagi sekadar gerakan ritual tanpa makna, melainkan sebuah dialog spiritual yang hidup, penuh penghayatan, dan membawa ketenangan jiwa. Semoga Allah SWT menerima shalat kita dan menjadikan kita hamba-Nya yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya melalui setiap amalan, sekecil apapun itu, demi meraih ridha dan surga-Nya yang abadi.