Memahami Konteks dan Keterkaitan Surat-Surat Pendek dalam Juz Amma
Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, tersusun secara sistematis dalam 114 surat. Setiap surat memiliki nama, jumlah ayat, dan posisinya sendiri dalam susunan mushaf. Salah satu surat yang sering menjadi perhatian, terutama karena kisahnya yang masyhur, adalah Surat Al-Fil. Pertanyaan mengenai posisinya, khususnya "di dalam Al-Qur'an, Surat Al-Fil berada sebelum surat apa?" adalah kunci untuk memahami tidak hanya urutan tata letak, tetapi juga konteks dan keterkaitan makna antar surat-surat.
Secara langsung, Surat Al-Fil (سورة الفيل) yang berarti "Gajah", merupakan surat ke-105 dalam susunan mushaf Al-Qur'an. Surat ini terdiri dari 5 ayat dan tergolong sebagai surat Makkiyah, yang diturunkan di Makkah sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah: Surat Al-Fil berada sebelum Surat Al-Quraisy (سورة قريش), yang merupakan surat ke-106. Sementara itu, surat yang berada tepat sebelum Al-Fil adalah Surat Al-Humazah (سورة الهمزة), surat ke-104.
Meskipun jawaban langsungnya sederhana, kekayaan makna dan hikmah yang terkandung di balik urutan ini jauh lebih kompleks dan mendalam. Artikel ini akan mengupas tuntas tentang Surat Al-Fil, surat-surat yang mengapitnya (Al-Humazah dan Al-Quraisy), serta bagaimana urutan ini bukan sekadar penataan acak, melainkan sebuah desain ilahi yang penuh pelajaran. Kita akan menyelami latar belakang sejarah, tafsir, dan keterkaitan tematik yang menghubungkan surat-surat pendek ini, terutama yang berada dalam Juz Amma (Juz ke-30). Pemahaman yang komprehensif terhadap urutan dan hubungan antar surat-surat ini akan membuka jendela wawasan tentang keindahan dan keagungan Al-Qur'an sebagai mukjizat abadi.
Surat Al-Fil adalah surat ke-105 dalam susunan mushaf Al-Qur'an, terdiri dari 5 ayat. Nama "Al-Fil" sendiri berarti "Gajah", yang merujuk pada sebuah peristiwa kolosal yang menjadi latar belakang turunnya surat ini. Peristiwa tersebut adalah serangan pasukan bergajah yang dipimpin oleh Abrahah, seorang Gubernur Yaman (yang saat itu berada di bawah pengaruh Kekaisaran Aksum, Etiopia), ke kota Makkah dengan tujuan menghancurkan Ka'bah. Kejadian luar biasa ini diperkirakan terjadi di tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang kemudian dikenal sebagai Tahun Gajah ('Am al-Fil).
Meskipun Al-Fil tergolong surat Makkiyah, artinya diturunkan di Makkah sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, kisahnya sendiri terjadi beberapa tahun sebelum kenabian Muhammad. Ayat-ayatnya mengabadikan intervensi ilahi yang menakjubkan, menunjukkan kekuasaan mutlak Allah SWT dalam melindungi rumah-Nya (Ka'bah) dari serangan musuh yang memiliki kekuatan militer dan jumlah yang sangat superior. Ini adalah bukti nyata bahwa tidak ada kekuatan di alam semesta yang dapat menandingi kehendak dan kekuasaan Allah Yang Maha Perkasa.
Surat ini, dengan singkat namun padat, mengisahkan bagaimana Allah membalas kesombongan dan kezaliman, serta bagaimana Dia melindungi kesucian rumah-Nya. Dalam konteks yang lebih luas, kisah ini juga mempersiapkan panggung bagi kenabian Muhammad SAW, mengukirkan keimanan yang kuat akan perlindungan ilahi atas Makkah dan Ka'bah sebelum risalah besar Islam dimulai.
Kisah Abrahah dan pasukannya adalah salah satu narasi paling dramatis dalam sejarah pra-Islam yang diabadikan dalam Al-Qur'an. Latar belakang peristiwa ini berawal dari ambisi Abrahah. Setelah mengamati betapa suksesnya Ka'bah di Makkah sebagai pusat peribadatan dan perdagangan yang menarik banyak peziarah dari seluruh Jazirah Arab, Abrahah merasa iri dan termotivasi untuk mengalihkan perhatian tersebut. Ia membangun sebuah gereja yang sangat megah dan indah di Sana'a, Yaman, yang ia beri nama Al-Qulais. Tujuannya adalah untuk menjadikan Al-Qulais sebagai pusat ziarah dan peribadatan baru, sehingga dapat mengalahkan daya tarik Ka'bah.
Namun, rencana Abrahah tidak berjalan sesuai keinginan. Daya tarik Ka'bah tetap tak tertandingi. Dalam sebuah insiden yang memicu kemarahannya, seorang Arab dari suku Kinanah, yang merasa tersinggung dengan upaya Abrahah untuk mengganti Ka'bah, masuk ke Al-Qulais dan buang air besar di dalamnya sebagai bentuk penghinaan dan penolakan terang-terangan. Tindakan ini membuat Abrahah sangat murka dan bersumpah akan menghancurkan Ka'bah sebagai balasan atas penghinaan tersebut.
Maka, Abrahah pun mempersiapkan ekspedisi militer yang sangat besar dan kuat. Konon, pasukannya terdiri dari sekitar 60.000 prajurit terlatih, dan yang paling mencolok dari pasukan ini adalah kehadiran sembilan hingga tiga belas ekor gajah tempur. Salah satu gajah terbesar dan terkemuka di antara mereka diberi nama Mahmud. Dengan kekuatan militer yang mengagumkan ini, Abrahah memimpin pasukannya bergerak dari Yaman menuju Makkah, dengan tujuan tunggal untuk meruntuhkan Ka'bah.
Ketika pasukan Abrahah mencapai lembah di luar Makkah, mereka bertemu dengan Abdul Muthalib, kakek Nabi Muhammad SAW, yang saat itu menjabat sebagai pemimpin suku Quraisy. Abdul Muthalib datang menemui Abrahah, tetapi bukan untuk memohon keselamatan Ka'bah. Ia hanya meminta agar unta-untanya yang telah dirampas oleh pasukan Abrahah dikembalikan. Abrahah terheran-heran dan bertanya mengapa Abdul Muthalib lebih memikirkan unta-untanya daripada Ka'bah, rumah ibadah kaumnya yang akan ia hancurkan. Dengan tenang dan penuh keyakinan, Abdul Muthalib menjawab, "Aku adalah pemilik unta-unta itu, dan Ka'bah memiliki Pemilik yang akan melindunginya." Jawaban ini mencerminkan tingkat tawakal dan keimanan yang tinggi kepada Allah SWT.
Ketika pasukan Abrahah mencoba melanjutkan perjalanan dan memasuki Makkah, gajah terdepan, Mahmud, secara ajaib tiba-tiba berhenti dan menolak untuk bergerak maju ke arah Ka'bah. Meskipun para pengendalinya memukul dan memaksanya, gajah itu tetap bergeming, tidak mau melangkah lebih jauh. Pada saat yang sama, Allah SWT mengirimkan gerombolan burung-burung kecil yang disebut Ababil (أبابيل). Setiap burung membawa tiga batu kerikil: satu di paruhnya dan dua di cakarnya. Batu-batu kecil ini, yang disebut sijjil, digambarkan sebagai batu yang panas dan keras, seukuran biji kacang.
Burung-burung Ababil itu kemudian menjatuhkan batu-batu sijjil tersebut ke arah pasukan Abrahah. Setiap batu yang dijatuhkan menimpa satu prajurit, menembus tubuh mereka, dan membuat mereka hancur lebur secara mengerikan, digambarkan seperti daun-daun yang dimakan ulat atau sisa-sisa makanan ternak. Peristiwa ini menyebabkan kekalahan telak dan kematian massal bagi pasukan Abrahah. Abrahah sendiri terluka parah dan meninggal dalam perjalanan kembali ke Yaman, tubuhnya perlahan membusuk sepanjang jalan.
Kejadian luar biasa ini menjadi bukti nyata kekuasaan Allah yang tak terbatas dan perlindungan-Nya terhadap Ka'bah, rumah suci-Nya. Ini juga menjadi penanda penting dalam kalender Arab pra-Islam, yang kemudian dikenal sebagai Tahun Gajah. Peristiwa ini mengukuhkan status Makkah dan Ka'bah sebagai tempat yang sangat dihormati dan dilindungi secara ilahi, sebuah fondasi penting bagi kemunculan Islam beberapa dekade kemudian.
Surat Al-Fil, meskipun singkat, sarat dengan pelajaran dan hikmah yang mendalam bagi umat manusia di setiap zaman:
Kisah Al-Fil berfungsi sebagai fondasi penting bagi pemahaman tentang perlindungan Allah terhadap Makkah, yang kemudian akan menjadi tempat kelahiran dan awal mula dakwah Nabi Muhammad SAW. Peristiwa ini meletakkan dasar bagi keyakinan penduduk Makkah akan keagungan kota mereka dan perlindungan ilahi atasnya, yang sangat membantu dalam penyebaran risalah Islam di kemudian hari.
Surat Al-Humazah (سورة الهمزة) adalah surat ke-104 dalam Al-Qur'an, menempati posisi tepat sebelum Surat Al-Fil. Surat ini terdiri dari 9 ayat dan, seperti Al-Fil, juga tergolong surat Makkiyah, yang berarti diturunkan di Makkah pada periode awal dakwah Nabi Muhammad SAW. Nama "Al-Humazah" secara harfiah berarti "Pengumpat" atau "Pencela". Surat ini merupakan sebuah peringatan keras dan ancaman bagi individu-individu yang memiliki sifat-sifat tercela seperti mengumpat, mencela, dan menimbun harta kekayaan dengan kesombongan, tanpa memperhatikan hak-hak Allah dan sesama manusia.
Surat ini dengan jelas menggambarkan karakter dan nasib orang-orang yang tenggelam dalam kesombongan duniawi dan kegemaran mencela. Pesan utamanya adalah bahwa kekayaan dan kekuasaan sementara di dunia tidak akan menyelamatkan seseorang dari azab Allah jika ia menggunakannya untuk kezaliman dan kesombongan.
Surat ini dibuka dengan kecaman tajam dan doa kebinasaan bagi setiap pengumpat dan pencela: "وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ" (QS. Al-Humazah [104]: 1) "Celakalah bagi setiap pengumpat lagi pencela." Kata "humazah" merujuk pada orang yang suka mencaci-maki, mengolok-olok, atau menghina orang lain dengan lisan, baik secara langsung maupun di belakang mereka (ghibah). Sementara "lumazah" mengacu pada orang yang melakukan hal serupa dengan isyarat, mimik wajah, atau perbuatan, seperti menunjuk-nunjuk, mencibir, atau memberikan ekspresi meremehkan. Kedua sifat ini menunjukkan kurangnya adab, hilangnya rasa hormat, dan hadirnya kesombongan dalam diri seseorang.
Selanjutnya, surat ini menyoroti karakteristik lain yang seringkali menyertai sifat pengumpat dan pencela: "ٱلَّذِى جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُۥ" (QS. Al-Humazah [104]: 2) "Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya." Ayat ini menggambarkan orang yang terlalu mencintai harta duniawi, sibuk mengumpulkan kekayaan demi kekayaan, dan menghitung-hitungnya dengan bangga. Mereka menjadikan harta sebagai tujuan utama hidup, bukan sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah dan membantu sesama. Kecintaan berlebihan pada harta ini seringkali melahirkan kesombongan dan keangkuhan, serta membuat mereka merasa superior terhadap orang lain.
Kesalahpahaman mereka tentang kekuatan harta pun diungkapkan: "يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُۥٓ أَخْلَدَهُۥ" (QS. Al-Humazah [104]: 3) "Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya." Orang-orang seperti ini beranggapan bahwa kekayaan yang mereka miliki dapat memberikan keabadian atau setidaknya perlindungan dari kematian dan kehancuran. Mereka melupakan hakikat kefanaan dunia dan kekuasaan Allah yang tak terbatas. Pemahaman yang keliru ini mendorong mereka untuk terus menimbun harta dan berbuat semena-mena.
Allah SWT kemudian menyingkap balasan yang akan mereka terima atas sifat-sifat buruk dan kesombongan mereka: "كَلَّا ۖ لَيُنۢبَذَنَّ فِى ٱلْحُطَمَةِ" (QS. Al-Humazah [104]: 4) "Sekali-kali tidak! Pasti dia akan dilemparkan ke dalam Huthamah." "Huthamah" (ٱلْحُطَمَةِ) adalah nama salah satu tingkatan neraka yang memiliki daya penghancur yang luar biasa. Kata ini berasal dari akar kata "hatm" (حطم) yang berarti menghancurkan atau mematahkan. Ini mengisyaratkan bahwa neraka ini tidak hanya membakar, tetapi juga menghancurkan dan melumatkan segala sesuatu yang dilemparkan ke dalamnya.
Penjelasan lebih lanjut tentang Huthamah diberikan untuk menekankan kengeriannya: "وَمَآ أَدْرَىٰكَ مَا ٱلْحُطَمَةُ" (QS. Al-Humazah [104]: 5) "Dan tahukah kamu apakah Huthamah itu?" "نَارُ ٱللَّهِ ٱلْمُوقَدَةُ" (QS. Al-Humazah [104]: 6) "(Yaitu) api (azab) Allah yang dinyalakan." "ٱلَّتِى تَطَّلِعُ عَلَى ٱلْأَفْـِٔدَةِ" (QS. Al-Humazah [104]: 7) "Yang naik sampai ke hati." Api Huthamah digambarkan sebagai api yang dinyalakan oleh Allah sendiri, menunjukkan intensitas dan kekuatannya yang tak terbayangkan. Puncaknya, api ini disebutkan "naik sampai ke hati". Ini bukan hanya siksaan fisik yang membakar daging dan tulang, tetapi juga siksaan mental dan spiritual yang mendalam, yang meresap hingga ke lubuk hati, tempat asal kesombongan, iri hati, dan keserakahan. Ini adalah balasan yang setimpal bagi sifat-sifat buruk yang berasal dari hati.
Surat ini diakhiri dengan gambaran tentang kondisi mereka di dalam neraka: "إِنَّهَا عَلَيْهِم مُّؤْصَدَةٌ" (QS. Al-Humazah [104]: 8) "Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka," "فِى عَمَدٍ مُّمَدَّدَةٍۭ" (QS. Al-Humazah [104]: 9) "(sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang." Mereka akan dikurung di dalamnya tanpa ada jalan keluar, terperangkap dalam siksaan abadi, dengan tiang-tiang yang menjulang tinggi, yang bisa diartikan sebagai belenggu atau struktur yang mengunci mereka di dalam. Ini adalah gambaran keputusasaan dan siksaan tak berujung bagi mereka yang memilih jalan kesombongan dan dosa.
Ada korelasi tematik yang sangat menarik dan mendalam antara Surat Al-Humazah dan Surat Al-Fil, meskipun keduanya berbicara tentang skala kesombongan yang berbeda.
Urutan Al-Humazah diikuti oleh Al-Fil memperkuat pesan bahwa kesombongan, baik yang termanifestasi dalam perilaku pribadi yang merendahkan orang lain maupun dalam ambisi kekuasaan yang menentang kehendak Tuhan, akan berujung pada kehancuran. Ini adalah peringatan bagi setiap individu dan setiap penguasa bahwa kekuatan sejati hanyalah milik Allah, dan hanya Dialah yang Maha Berkuasa.
Surat Al-Quraisy (سورة قريش) adalah surat ke-106 dalam Al-Qur'an, menempati posisi tepat setelah Surat Al-Fil. Surat ini terdiri dari 4 ayat dan juga tergolong surat Makkiyah. Nama "Al-Quraisy" secara langsung merujuk pada suku Quraisy, kabilah terkemuka yang mendiami kota Makkah dan merupakan nenek moyang Nabi Muhammad SAW. Surat ini merupakan pengingat akan nikmat-nikmat besar yang telah Allah anugerahkan kepada kaum Quraisy, khususnya keamanan dan rezeki, dan sebagai balasan, mereka seharusnya menyembah Tuhan yang telah memberikan nikmat-nikmat tersebut.
Surat ini sering dianggap sebagai kelanjutan logis dan tematis dari Surat Al-Fil, menjelaskan konsekuensi positif dari perlindungan ilahi yang digambarkan dalam Al-Fil.
Surat Al-Quraisy dibuka dengan mengingatkan kaum Quraisy akan kebiasaan dan nikmat yang telah Allah berikan kepada mereka: "لِإِيلَٰفِ قُرَيْشٍ" (QS. Al-Quraisy [106]: 1) "Karena kebiasaan orang-orang Quraisy," Kata "ilaf" (إِيلَٰفِ) berarti kebiasaan, kesepakatan, atau rasa aman yang telah diperoleh. Ayat ini merujuk pada kebiasaan perjalanan dagang mereka yang aman dan makmur. Kaum Quraisy dikenal sebagai pedagang ulung yang melakukan dua perjalanan besar setiap tahun: "إِۦلَٰفِهِمْ رِحْلَةَ ٱلشِّتَآءِ وَٱلصَّيْفِ" (QS. Al-Quraisy [106]: 2) "(yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas." Perjalanan musim dingin dilakukan ke Yaman, sedangkan perjalanan musim panas ke Syam (wilayah yang kini meliputi Suriah, Yordania, dan Palestina). Perjalanan dagang ini sangat penting bagi perekonomian Makkah dan kemakmuran kaum Quraisy. Keamanan dalam perjalanan ini adalah anugerah yang sangat besar, mengingat Jazirah Arab pada masa itu dikenal penuh dengan perampokan, peperangan antar kabilah, dan ketidakamanan. Kaum Quraisy menikmati kekebalan dan perlindungan khusus, yang sebagian besar didasarkan pada posisi mereka sebagai penjaga Ka'bah. Karena Ka'bah adalah pusat spiritual yang dihormati semua suku Arab, kaum Quraisy yang menguasainya juga mendapatkan penghormatan dan perlindungan dari berbagai kabilah.
Ayat selanjutnya kemudian menghubungkan nikmat besar ini dengan kewajiban yang harus mereka tunaikan: "فَلْيَعْبُدُوا۟ رَبَّ هَٰذَا ٱلْبَيْتِ" (QS. Al-Quraisy [106]: 3) "Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini (Ka'bah)." Ini adalah ajakan tegas untuk bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberi mereka keamanan dan rezeki. Tuhan yang dimaksud adalah Tuhan Ka'bah, yaitu Allah SWT, yang telah melindungi Ka'bah dari kehancuran oleh pasukan gajah Abrahah. Pesan ini menekankan bahwa semua nikmat yang mereka rasakan adalah karena campur tangan ilahi, dan oleh karena itu, mereka wajib mengesakan dan menyembah-Nya.
Surat ini diakhiri dengan penjelasan lebih lanjut mengenai nikmat Allah yang tak terhingga: "ٱلَّذِىٓ أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍ وَءَامَنَهُم مِّنْ خَوْفٍۭ" (QS. Al-Quraisy [106]: 4) "Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan." Ayat ini secara gamblang menyebutkan dua nikmat utama yang fundamental bagi kehidupan manusia: rezeki (makanan) dan keamanan (dari rasa takut). Kedua hal ini adalah pondasi bagi kehidupan yang tenang, damai, dan makmur. Allah telah memberikannya kepada kaum Quraisy secara berlimpah, khususnya melalui keamanan yang terjamin dalam perjalanan dagang mereka dan perlindungan terhadap Ka'bah, sumber kehormatan mereka.
Keterkaitan antara Surat Al-Fil dan Surat Al-Quraisy sangat erat, sedemikian rupa sehingga sebagian ulama bahkan menganggap kedua surat ini sebagai satu kesatuan makna yang tidak terpisahkan, meskipun dipisahkan dalam mushaf. Ini adalah contoh sempurna dari 'munasabah' (keserasian) antar surat dalam Al-Qur'an.
Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsirnya, Mafatih al-Ghaib, menyoroti hubungan ini dengan sangat indah. Beliau menjelaskan bahwa setelah Allah menyebutkan kehancuran orang-orang yang ingkar dan sombong dalam surat-surat sebelumnya (termasuk Al-Humazah dan Al-Fil), Dia kemudian beralih untuk menyebutkan nikmat-nikmat-Nya dan mengingatkan manusia untuk bersyukur. Surat Al-Quraisy merupakan puncak dari rangkaian nikmat yang Allah berikan kepada kaum Quraisy sebagai akibat langsung dari peristiwa Al-Fil.
Keterkaitan ini juga menunjukkan keagungan Al-Qur'an dalam menyajikan pesan-pesan yang berkesinambungan dan saling melengkapi, meskipun disampaikan dalam surat-surat yang terpisah. Ini menguatkan pandangan bahwa urutan surat dalam mushaf adalah ilahi dan memiliki tujuan yang luhur dalam membangun pemahaman keimanan dan kewajiban manusia.
Memahami posisi spesifik Surat Al-Fil, Al-Humazah, dan Al-Quraisy dalam Al-Qur'an menuntut kita untuk menyelami lebih dalam tentang bagaimana Al-Qur'an disusun. Ada dua jenis urutan utama yang perlu dipahami dalam konteks Al-Qur'an:
Posisinya sebagai surat ke-105 dalam mushaf adalah bagian dari tartib mushafi yang memiliki hikmah dan keterkaitan tematik yang mendalam. Penempatan surat-surat pendek, terutama yang berada dalam Juz Amma (juz ke-30), seringkali menunjukkan hubungan makna yang erat, meskipun secara nuzuli mungkin diturunkan pada waktu dan konteks yang berbeda. Ini adalah bukti keajaiban Al-Qur'an dalam menyusun wahyu-Nya.
Urutan surat dalam mushaf bukanlah kebetulan atau penataan acak, melainkan sebuah desain yang memiliki hikmah yang mendalam dan keterkaitan yang rumit, yang oleh ulama disebut 'munasabat al-suwar' (keserasian antar surat). Berbagai ulama tafsir telah menelaah hubungan ini untuk mengungkap keindahan dan kedalaman pesan Al-Qur'an. Beberapa hikmah utama di balik urutan ini meliputi:
Dalam konteks surat-surat pendek di Juz Amma, sering ditemukan bahwa surat-surat ini, meskipun pendek, mengandung inti ajaran Islam yang fundamental dan disajikan dengan gaya yang ringkas namun padat makna, seringkali dengan kisah atau perumpamaan yang kuat. Kisah Al-Fil, sebagai salah satu surat utama dalam Juz Amma, berfungsi sebagai pengingat kuat akan kuasa Allah dan perlindungan-Nya atas rumah-Nya, sebuah peristiwa yang menjadi pijakan historis penting bagi kelahiran dan dakwah Nabi Muhammad SAW di Makkah. Ini menegaskan bahwa sebelum Nabi diutus, Allah sudah mempersiapkan arena dakwah dengan menghancurkan musuh-musuh-Nya dan menyingkirkan rintangan.
Surat Al-Fil berada di Juz 30, yang dikenal luas sebagai Juz Amma. Juz ini dimulai dari Surat An-Naba' dan diakhiri dengan Surat An-Nas. Juz Amma memiliki karakteristik khusus yang membuatnya sangat populer dan sering dibaca oleh umat Islam:
Kisah Al-Fil, sebagai salah satu surat utama dalam Juz Amma, berfungsi sebagai pengingat kuat akan kuasa Allah dan perlindungan-Nya atas rumah-Nya. Peristiwa ini adalah tonggak sejarah penting yang menunjukkan bahwa Allah telah mempersiapkan Makkah sebagai tempat yang aman dan suci untuk menerima risalah terakhir-Nya. Ini juga menguatkan keyakinan bahwa Allah senantiasa membela kebenaran dan menghancurkan kebatilan, sebuah pelajaran yang sangat relevan bagi kaum Muslimin di setiap zaman. Dengan demikian, Juz Amma tidak hanya menjadi bagian yang mudah dihafal, tetapi juga merupakan inti dari ajaran moral dan spiritual Al-Qur'an.
Melihat ketiga surat ini secara berurutan dalam mushaf memberikan pemahaman yang lebih kaya dan komprehensif tentang pesan-pesan Al-Qur'an. Ini bukan sekadar penataan angka, melainkan sebuah narasi yang terstruktur dengan cermat oleh kehendak Ilahi, yang saling memperkuat satu sama lain. Para ulama tafsir telah banyak mengulas "munasabah" atau keserasian antara surat-surat ini, menyingkapkan hikmah di balik urutan tersebut.
Rangkaian ketiga surat ini dapat dilihat sebagai sebuah progresifitas dalam membahas tema kesombongan dan keangkuhan, dimulai dari skala terkecil hingga terbesar, dan kemudian beralih ke tema syukur.
Dengan demikian, kedua surat ini secara berlapis memberikan peringatan tentang bahaya kesombongan dan keangkuhan, baik yang tercermin dalam perilaku sehari-hari maupun dalam ambisi kekuasaan yang lebih besar. Keduanya menegaskan bahwa kekuatan sejati hanyalah milik Allah, dan bahwa kehancuran adalah ujung dari setiap kesombongan yang menentang kebenaran.
Setelah Al-Humazah dan Al-Fil menggambarkan kehancuran yang menimpa orang-orang yang sombong dan menentang kehendak Allah, datanglah Al-Quraisy (surat ke-106). Surat ini secara indah mengalihkan fokus dari hukuman dan kehancuran ke tema nikmat dan kesyukuran.
Allah mengingatkan kaum Quraisy akan nikmat yang telah Dia berikan kepada mereka: keamanan dalam perjalanan dagang mereka dan rezeki yang melimpah, khususnya setelah Dia melindungi Ka'bah dari kehancuran oleh Abrahah. Ka'bah yang selamat dari serangan Abrahah adalah fondasi bagi status, kehormatan, dan kemakmuran kaum Quraisy. Jika Ka'bah hancur, keistimewaan mereka sebagai penjaga Ka'bah akan sirna, dan perjalanan dagang mereka tidak akan lagi aman karena hilangnya penghormatan dari suku-suku lain.
Oleh karena itu, setelah melihat bagaimana Allah menghukum orang yang sombong (Al-Humazah) dan melindungi Rumah-Nya dari kekuatan sombong (Al-Fil), kaum Quraisy (dan seluruh umat manusia) diajak untuk merenungkan nikmat-nikmat tersebut dan menyembah Tuhan yang telah memberi mereka keamanan dan rezeki. Ini adalah transisi dari "peringatan" menjadi "ajakan bersyukur". Allah menyelamatkan Ka'bah demi kemaslahatan kaum Quraisy, sehingga mereka memiliki kewajiban untuk beribadah dan bersyukur kepada-Nya.
Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsirnya, Mafatih al-Ghaib, menyoroti hubungan ini dengan sangat indah. Beliau menjelaskan bahwa setelah Allah menyebutkan kehancuran orang-orang yang ingkar dan sombong dalam surat-surat sebelumnya, Dia kemudian beralih untuk menyebutkan nikmat-nikmat-Nya dan mendorong manusia untuk bersyukur. Surat Al-Quraisy merupakan puncak dari rangkaian nikmat yang Allah berikan kepada kaum Quraisy sebagai akibat langsung dari peristiwa Al-Fil. Tanpa perlindungan itu, tidak akan ada keamanan, dan tanpa keamanan, tidak akan ada perjalanan dagang dan kemakmuran.
Keterkaitan ini juga menunjukkan keagungan Al-Qur'an dalam menyajikan pesan-pesan yang berkesinambungan dan saling melengkapi, meskipun disampaikan dalam surat-surat yang terpisah. Ini menguatkan pandangan bahwa urutan surat dalam mushaf adalah ilahi dan memiliki tujuan yang luhur, yaitu membimbing manusia kepada keimanan yang benar dan perilaku yang mulia. Ini adalah sebuah mahakarya ilahi yang menggabungkan sejarah, akidah, dan moralitas dalam sebuah narasi yang terjalin erat.
Makkah pada masa pra-Islam bukanlah sekadar kota biasa. Ia adalah pusat perdagangan yang sibuk dan, yang lebih penting, pusat keagamaan yang sangat dihormati di seluruh Jazirah Arab. Kota ini menjadi tempat bagi Ka'bah, bangunan suci yang diyakini sebagai rumah ibadah pertama yang dibangun di bumi, meskipun pada masa itu telah dipenuhi dengan berhala yang disembah oleh berbagai suku.
Suku Quraisy, sebagai suku yang dominan dan berkuasa di Makkah, memiliki kehormatan dan tanggung jawab besar sebagai penjaga Ka'bah (disebut sebagai 'sadin al-Ka'bah'). Status ini memberikan mereka pengaruh yang luar biasa besar di antara kabilah-kabilah Arab lainnya. Kehormatan sebagai penjaga Baitullah (Rumah Allah) menjadikan mereka sebagai 'ahlullah' (keluarga Allah) atau 'jiranullah' (tetangga Allah), yang memberikan mereka kekebalan dan perlindungan khusus dalam aktivitas perdagangan mereka di seluruh Jazirah Arab. Perdagangan adalah tulang punggung ekonomi Makkah, dan keamanan perjalanan dagang (seperti yang disinggung dalam Surat Al-Quraisy) adalah faktor kunci kemakmuran mereka.
Peristiwa Gajah menegaskan kembali posisi istimewa Makkah dan Ka'bah di mata bangsa Arab. Kehancuran pasukan Abrahah yang begitu dahsyat dianggap sebagai mukjizat dan bukti nyata perlindungan ilahi atas Ka'bah. Kejadian ini tidak hanya membuat reputasi kaum Quraisy semakin meningkat, tetapi juga mengukuhkan posisi mereka sebagai penjaga rumah suci, yang tak ada seorang pun berani menentangnya. Ini juga menciptakan iklim kepercayaan dan keamanan yang diperlukan untuk perkembangan Makkah sebagai pusat perdagangan dan, yang jauh lebih penting, sebagai tempat di mana kenabian terakhir akan dimulai. Allah telah membersihkan dan mengamankan "rumah"-Nya dari ancaman eksternal, mempersiapkannya untuk risalah yang akan datang.
Keamanan yang dinikmati kaum Quraisy setelah peristiwa Al-Fil adalah prasyarat bagi kemakmuran mereka, yang memungkinkan mereka melakukan perjalanan dagang tanpa hambatan atau ancaman, seperti yang secara eksplisit disebutkan dalam Surat Al-Quraisy. Tanpa peristiwa Al-Fil, Makkah mungkin telah hancur, Ka'bah mungkin telah runtuh, dan jalan bagi dakwah Islam akan jauh lebih sulit, jika tidak mustahil, karena tidak ada lagi pusat spiritual yang dihormati.
Tahun Gajah bukanlah sekadar tahun biasa dalam kalender Arab pra-Islam; ia adalah salah satu tahun paling bersejarah dan monumental. Selain menjadi tahun terjadinya peristiwa besar yang diabadikan dalam Surat Al-Fil, tahun ini juga dikenal sebagai tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW. Keberadaan Nabi Muhammad SAW di tahun yang sama dengan mukjizat perlindungan Ka'bah ini bukanlah suatu kebetulan semata, melainkan bagian dari takdir ilahi yang mengisyaratkan akan datangnya risalah besar yang akan mengubah arah sejarah manusia.
Peristiwa Gajah menjadi semacam "prolog" atau pendahuluan yang mengumumkan kedatangan risalah terakhir. Ia menunjukkan bahwa Allah SWT telah mempersiapkan lingkungan yang aman dan sakral di Makkah untuk menerima Nabi dan wahyu-Nya. Kehancuran pasukan gajah menunjukkan bahwa Allah adalah pelindung Makkah dan segala rencana jahat untuk menghancurkan simbol tauhid-Nya akan digagalkan dengan cara yang luar biasa. Ini menjadi fondasi kuat bagi kenabian Muhammad dan pesan tauhid yang akan dibawanya, yang nantinya akan membersihkan Ka'bah dari berhala dan mengembalikannya ke kemurnian tauhid.
Masyarakat Makkah dan suku-suku Arab di sekitarnya menyaksikan sendiri keajaiban ini, yang mengukir kesan mendalam tentang keagungan Allah dan keistimewaan Ka'bah. Kesaksian ini kemudian menjadi latar belakang psikologis dan spiritual yang kuat bagi dakwah Nabi Muhammad, di mana ia menyeru kaumnya untuk menyembah hanya kepada Allah, Dzat yang telah melindungi mereka dan rumah suci mereka dengan cara yang tak terbayangkan. Peristiwa ini memberikan legitimasi awal terhadap klaim Makkah sebagai kota suci yang dilindungi Tuhan, sebuah klaim yang akan semakin ditegaskan dengan kedatangan Islam.
Para ulama tafsir sepanjang sejarah telah mengkaji secara mendalam hubungan antar surat-surat pendek ini, khususnya yang berada di Juz Amma. Mereka melihat bahwa urutan ini bukan hanya kebetulan, melainkan memiliki 'munasabah' (keserasian) yang kuat yang menambah kedalaman makna Al-Qur'an.
Imam Az-Zamakhsyari (w. 538 H) dalam tafsirnya "Al-Kasysyaf" sering menyoroti aspek balaghah (retorika) dan munasabah antar ayat dan surat. Beliau menjelaskan bahwa Al-Qur'an memiliki kesatuan tema yang luar biasa, di mana satu surat bisa menjadi pendahuluan, penjelasan, atau penutup bagi surat lainnya. Dalam konteks Al-Fil dan Al-Quraisy, beliau menggarisbawahi bahwa Allah pertama-tama menceritakan bagaimana Dia menyelamatkan mereka (Ka'bah dan kaum Quraisy) dari kehancuran oleh pasukan gajah, kemudian Dia mengingatkan mereka tentang nikmat-nikmat yang mereka peroleh dari keselamatan itu, yaitu keamanan dan rezeki. Ini adalah panggilan yang jelas dan kuat untuk beribadah dan bersyukur kepada Allah yang telah menganugerahkan semua itu. Az-Zamakhsyari menekankan aspek keindahan sastra dalam transisi ini.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Imam Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H) dalam "Mafatih al-Ghaib" (juga dikenal sebagai At-Tafsir al-Kabir) juga memberikan penafsiran yang mendalam mengenai urutan ini. Menurutnya, setelah Allah menceritakan tentang kehancuran para pembangkang dan orang-orang yang sombong (seperti dalam Al-Humazah dan Al-Fil), Dia kemudian menyebutkan nikmat yang diberikan kepada kaum beriman dan mendorong mereka untuk bersyukur (seperti dalam Al-Quraisy). Ini adalah pola yang berulang dalam Al-Qur'an, di mana peringatan keras diikuti oleh ajakan kepada kebaikan dan syukur (targhib wa tarhib). Ini menunjukkan keseimbangan antara mendorong manusia untuk berbuat baik dan menakuti mereka dari keburukan dalam metode dakwah Al-Qur'an. Ar-Razi juga menyoroti bahwa nikmat yang disebutkan dalam Al-Quraisy adalah konsekuensi langsung dari perlindungan Ka'bah dalam Al-Fil. Tanpa kehancuran pasukan gajah, Makkah dan kaum Quraisy tidak akan menikmati keamanan dan status yang memungkinkan perjalanan dagang mereka.
Jika kita melihat lebih jauh ke depan, setelah Surat Al-Quraisy, terdapat Surat Al-Ma'un (سورة الماعون), surat ke-107 dalam Al-Qur'an, terdiri dari 7 ayat. Surat ini mengecam orang-orang yang mendustakan agama, yang tidak mempedulikan anak yatim, tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, serta orang-orang yang lalai dalam shalatnya dan riya' (pamer) dalam ibadahnya.
Keterkaitan kelompok surat ini, dari Al-Humazah hingga Al-Ma'un, dapat diringkas sebagai sebuah narasi yang kohesif tentang fondasi keimanan, kesyukuran, dan etika sosial dalam Islam:
Rangkaian ini membentuk sebuah narasi yang komprehensif tentang pentingnya tauhid yang murni, kesyukuran atas nikmat Allah, pelaksanaan ibadah yang tulus, dan manifestasi keimanan dalam perilaku sosial yang baik. Ini adalah fondasi etika dan moral yang kuat bagi masyarakat Muslim, dimulai dari peringatan terhadap sifat-sifat buruk, pengajaran dari peristiwa besar yang menunjukkan kekuasaan Allah, hingga seruan untuk bersyukur dan berbuat kebaikan, menegaskan bahwa iman dan amal saleh harus seiring sejalan. Pemahaman terhadap munasabah ini membuka pintu ke kedalaman pesan Al-Qur'an yang luar biasa.
Melalui perjalanan mendalam ini, kita dapat menyimpulkan bahwa di dalam susunan mushaf Al-Qur'an, Surat Al-Fil berada sebelum Surat Al-Quraisy, dan tepat setelah Surat Al-Humazah. Posisi ini, sebagaimana setiap penempatan surat dan ayat dalam Al-Qur'an, bukanlah sekadar penomoran acak, melainkan bagian dari desain ilahi yang penuh makna dan hikmah yang mendalam. Urutan ini merupakan sebuah jalinan narasi yang menguatkan pesan-pesan fundamental Islam.
Surat Al-Fil mengabadikan kisah Peristiwa Gajah, sebuah mukjizat di mana Allah SWT dengan kekuasaan-Nya yang tak terbatas menghancurkan pasukan Abrahah yang angkuh dan zalim, yang mencoba menghancurkan Ka'bah. Peristiwa ini menjadi bukti nyata perlindungan ilahi terhadap Rumah Allah dan peringatan keras bagi siapa pun yang berani menentang kehendak-Nya dengan kesombongan. Ini adalah pelajaran abadi tentang kekuasaan mutlak Allah.
Surat Al-Humazah, yang mendahului Al-Fil, mengecam kesombongan individu, keangkuhan, dan kecintaan berlebihan pada harta yang melahirkan sifat mencela dan mengumpat, mengancam mereka dengan neraka Huthamah. Ini adalah teguran terhadap penyakit hati yang merusak. Sementara itu, Surat Al-Quraisy, yang menyusul Al-Fil, mengingatkan kaum Quraisy akan nikmat besar keamanan dan rezeki yang mereka nikmati sebagai akibat langsung dari perlindungan Allah terhadap Ka'bah dari kehancuran. Ini adalah ajakan untuk bersyukur.
Keterkaitan tematik antara ketiga surat ini sangat kuat dan menunjukkan sebuah narasi yang kohesif: Al-Humazah memberikan peringatan terhadap kesombongan hati dan jiwa; Al-Fil menyajikan bukti nyata kehancuran kesombongan besar dalam skala kolektif dan kekuasaan; dan Al-Quraisy mengajak kepada kesyukuran atas nikmat yang lahir dari perlindungan Ilahi tersebut. Bersama dengan surat-surat lain di Juz Amma, rangkaian ini mengajarkan nilai-nilai fundamental tentang tauhid yang murni, keimanan yang kokoh, kesyukuran yang tulus, dan etika sosial yang baik dalam Islam.
Memahami urutan ini bukan hanya memperkaya pemahaman kita akan kedalaman dan keindahan pesan Al-Qur'an sebagai kitab suci, tetapi juga mengingatkan kita akan kebesaran Allah SWT dan keagungan firman-Nya. Setiap ayat dan setiap surat dalam Al-Qur'an adalah mutiara hikmah yang tak terhingga, menunggu untuk direnungi dan dipelajari. Ini adalah pelajaran yang relevan sepanjang masa, mengingatkan kita akan kekuatan Allah, bahaya kesombongan, dan pentingnya rasa syukur yang harus selalu kita tanamkan dalam setiap aspek kehidupan kita. Semoga kita termasuk golongan yang selalu merenungkan dan mengamalkan ajaran-Nya.