Makna Mendalam dalam Surat Al-Ikhlas: Fondasi Tauhid Murni Islam
Al-Qur'an, sebagai kitab suci umat Islam, adalah samudra hikmah yang tak bertepi. Setiap surat, setiap ayat, bahkan setiap huruf di dalamnya mengandung makna dan pelajaran yang mendalam, membimbing manusia menuju kebenaran dan kebaikan. Di antara permata-permata ini, terdapat sebuah surat yang meskipun sangat pendek, namun memiliki bobot makna yang luar biasa besar dan fundamental bagi akidah Islam. Surat tersebut adalah Surat Al-Ikhlas.
Surat Al-Ikhlas, yang terdiri dari hanya empat ayat, adalah manifestasi paling ringkas namun paling komprehensif dari konsep Tauhid, yaitu keesaan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Nama "Al-Ikhlas" sendiri berarti "kemurnian" atau "memurnikan", yang secara langsung merujuk pada pemurnian akidah dan keyakinan seorang Muslim dari segala bentuk kemusyrikan atau penyekutuan Tuhan. Ia adalah deklarasi tegas tentang sifat-sifat keesaan Allah yang mutlak, bebas dari segala noda dan cacat, serta membersihkan hati dari segala bentuk ketergantungan selain kepada-Nya.
Sejarah pewahyuan surat ini, meskipun tidak secara spesifik dicatat dengan detail yang sama seperti beberapa surat lain, umumnya dikaitkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh kaum musyrikin Mekah atau orang-orang Yahudi dan Nasrani kepada Nabi Muhammad ﷺ mengenai definisi dan sifat Tuhan yang diserukannya. Mereka mungkin bertanya, "Jelaskan kepada kami, bagaimana Tuhanmu itu? Apakah Dia terbuat dari emas atau perak? Siapa bapak-Nya? Siapa anak-Nya?" Sebagai respons terhadap pertanyaan-pertanyaan yang mengimplikasikan sifat-sifat makhluk pada Tuhan, Allah menurunkan Surat Al-Ikhlas sebagai jawaban yang lugas, tegas, dan abadi.
Pentingnya Surat Al-Ikhlas tidak hanya terletak pada kekompakannya dalam menyampaikan inti Tauhid, tetapi juga pada nilai spiritual dan keutamaannya. Rasulullah ﷺ bersabda bahwa membaca Surat Al-Ikhlas sebanding dengan sepertiga Al-Qur'an. Hadis ini menyoroti betapa fundamentalnya kandungan surat ini dalam keseluruhan ajaran Islam. Ia bukan sekadar surat pendek yang mudah dihafal, melainkan poros utama yang menegakkan seluruh bangunan akidah, menuntun umat manusia pada pengenalan sejati akan Penciptanya.
Dalam artikel ini, kita akan menyelami lebih jauh setiap ayat dalam Surat Al-Ikhlas, mengurai makna-makna yang terkandung di dalamnya, implikasi teologisnya, serta bagaimana pemahaman mendalam terhadap surat ini dapat mengukuhkan iman dan membimbing kehidupan seorang Muslim. Kita akan melihat bagaimana setiap frasa dalam surat ini bukan hanya sebuah pernyataan, melainkan sebuah penolakan terhadap konsep-konsep ilahi yang keliru dan penegasan terhadap keesaan Allah yang Maha Sempurna.
Ayat 1: قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ (Qul Huwallahu Ahad) - Katakanlah (Muhammad), "Dialah Allah, Yang Maha Esa."
Ayat pertama dari Surat Al-Ikhlas adalah pernyataan fundamental dan inti dari seluruh ajaran Islam: "قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ" yang berarti "Katakanlah (Muhammad), Dialah Allah, Yang Maha Esa." Frasa ini bukan hanya sebuah deklarasi, melainkan sebuah perintah ilahi kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk menyampaikan kebenaran mutlak ini kepada seluruh umat manusia. Kata "Qul" (Katakanlah) menandakan bahwa ini adalah pesan yang harus diucapkan dengan lantang, tanpa keraguan, dan tanpa kompromi.
Makna "Allah" dan "Ahad"
Kata "Allah" adalah nama diri Tuhan dalam Islam, yang unik, tunggal, dan tidak memiliki bentuk jamak atau gender. Ini adalah nama yang mencakup semua sifat kesempurnaan dan keagungan. Penggunaan nama "Allah" di sini menegaskan bahwa Tuhan yang sedang dibicarakan adalah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah, pencipta langit dan bumi, dan Penguasa alam semesta.
Adapun kata "Ahad", inilah inti dari keesaan Allah yang absolut. Dalam bahasa Arab, ada dua kata yang dapat diterjemahkan sebagai "satu" atau "esa": "Wahid" dan "Ahad". Meskipun keduanya menunjukkan tunggal, makna "Ahad" jauh lebih dalam dan mutlak daripada "Wahid".
- Wahid (واحد): Mengandung makna satu dari beberapa jenis yang sama, atau satu yang bisa diikuti oleh yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Misalnya, "satu apel" (wahid tufahah) masih mungkin ada apel kedua, ketiga, dst. Atau "satu jenis" dari sesuatu.
- Ahad (أحد): Mengandung makna satu yang tidak memiliki padanan, tidak dapat dibagi-bagi, tidak ada bagian-bagiannya, tidak ada permulaan maupun akhir, dan tidak ada yang kedua bersamanya dalam esensi-Nya. Ini adalah keesaan yang mutlak, unik, dan tak tertandingi. Allah itu Ahad berarti Dia tidak terbagi dalam esensi-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan Dia adalah satu-satunya entitas yang memiliki sifat-sifat ketuhanan.
Dengan demikian, frasa "Allah Ahad" secara tegas menolak segala bentuk kemusyrikan atau politeisme. Ia menolak kepercayaan kepada tuhan-tuhan ganda, trinitas (tiga dalam satu atau satu dalam tiga), atau Tuhan yang memiliki sekutu, anak, atau pasangan. Allah adalah Ahad, tunggal dalam Zat-Nya, tunggal dalam Sifat-sifat-Nya, tunggal dalam Perbuatan-perbuatan-Nya, dan tunggal dalam Hak-Nya untuk disembah (Uluhiyah).
Implikasi Teologis "Qul Huwallahu Ahad"
Pernyataan ini memiliki implikasi teologis yang sangat mendalam dan membentuk fondasi akidah Islam:
- Penolakan Politisme: Ayat ini secara langsung menolak kepercayaan kepada banyak tuhan. Tidak ada dewa-dewi lain yang layak disembah atau memiliki kekuasaan setara dengan Allah. Konsep "Ahad" membasmi akar segala bentuk penyekutuan.
- Penolakan Konsep Trinitas: Bagi umat Kristiani yang percaya pada Tuhan Bapa, Tuhan Anak, dan Roh Kudus sebagai tiga entitas dalam satu ketuhanan, konsep "Ahad" ini adalah bantahan tegas. Allah tidak terdiri dari bagian-bagian dan tidak memiliki mitra dalam keilahian-Nya.
- Keesaan dalam Esensi dan Atribut: Allah itu esa dalam Zat-Nya, tidak ada makhluk yang menyerupai-Nya. Dia juga esa dalam sifat-sifat-Nya; tidak ada yang memiliki kekuatan, pengetahuan, atau kehendak yang sempurna seperti Dia.
- Kemandirian Mutlak Allah: Karena Dia Esa, Dia tidak bergantung pada siapapun atau apapun. Seluruh makhluk bergantung kepada-Nya, tetapi Dia sama sekali tidak membutuhkan makhluk-Nya.
- Dasar Ibadah yang Murni: Jika Allah adalah Ahad, maka ibadah harus murni ditujukan hanya kepada-Nya. Tidak ada perantara, tidak ada sekutu, tidak ada syafaat yang bersifat independen di hadapan-Nya. Ibadah yang tulus adalah wujud pengakuan akan keesaan-Nya.
Pemahaman akan "Qul Huwallahu Ahad" bukan hanya sebuah pengetahuan, melainkan sebuah transformasi dalam hati. Ketika seorang Muslim menyadari dan meyakini bahwa Allah adalah Ahad, maka seluruh pandangan hidupnya akan terpusat pada satu titik: pengakuan dan ketaatan kepada Allah Yang Maha Esa. Ini akan membebaskannya dari belenggu takhayul, khurafat, ketakutan kepada selain Allah, dan ketergantungan kepada makhluk. Hatinya akan merasa tenang karena mengetahui bahwa hanya ada satu Penguasa mutlak yang mengatur segala sesuatu, yang kepadanya segala urusan kembali.
Ayat ini adalah jawaban paling jernih dan paling mendasar terhadap pertanyaan-pertanyaan eksistensial tentang Tuhan. Ia adalah fondasi yang kokoh, di atasnya seluruh ajaran dan syariat Islam dibangun. Tanpa pemahaman yang benar tentang "Allah Ahad", akidah seorang Muslim tidak akan sempurna.
Ayat 2: اللّٰهُ الصَّمَدُۚ (Allahus Samad) - Allah adalah tempat bergantung bagi segala sesuatu.
Ayat kedua dari Surat Al-Ikhlas, "اللّٰهُ الصَّمَدُۚ", yang berarti "Allah adalah tempat bergantung bagi segala sesuatu", melengkapi dan memperdalam konsep keesaan Allah yang telah ditegaskan di ayat pertama. Jika ayat pertama berbicara tentang keesaan Allah dalam Zat-Nya, maka ayat kedua ini menjelaskan tentang keesaan-Nya dalam sifat-sifat-Nya dan relasi-Nya dengan seluruh ciptaan.
Makna "As-Samad"
Kata "As-Samad" (الصمد) adalah salah satu dari Asmaul Husna (nama-nama indah Allah) yang memiliki makna sangat kaya dan mendalam. Para ulama tafsir memberikan beragam penjelasan mengenai makna "As-Samad", namun semuanya bermuara pada inti yang sama:
- Tempat Bergantung Segala Sesuatu: Ini adalah makna yang paling umum dan dikenal. As-Samad adalah Dzat yang kepada-Nya semua makhluk bergantung, meminta pertolongan, dan memenuhi kebutuhan mereka. Segala sesuatu di langit dan di bumi, dari yang terkecil hingga terbesar, dari makhluk hidup hingga benda mati, dari galaksi hingga atom, semuanya membutuhkan Allah.
- Yang Maha Sempurna dalam Sifat-Sifat-Nya: As-Samad juga berarti Dzat yang mencapai puncak kesempurnaan dalam segala sifat-Nya. Dia sempurna dalam kekuatan, pengetahuan, kebijaksanaan, keagungan, dan segala sifat baik lainnya. Tidak ada cacat atau kekurangan sedikitpun pada-Nya.
- Yang Tidak Membutuhkan Apapun: Sebagai tempat bergantung bagi segala sesuatu, secara logis Dia sendiri tidak membutuhkan apapun dari ciptaan-Nya. Dia mandiri, swasembada, dan tidak memerlukan makanan, minuman, tidur, pasangan, atau bantuan dari siapapun. Dia ada dengan sendirinya (Qiyamuhu binafsihi).
- Yang Tetap Abadi dan Tidak Berubah: Makna lain dari As-Samad adalah Dzat yang tetap, tidak fana, tidak mati, dan tidak berubah. Dia adalah Yang Maha Kekal, yang tidak memiliki permulaan dan tidak memiliki akhir.
- Yang Dituju dan Diminta (Al-Maqshud): As-Samad adalah Dzat yang menjadi tujuan utama, satu-satunya yang dituju dan dimintai segala hajat dan kebutuhan. Ketika menghadapi kesulitan, Dia-lah yang paling pertama dan utama untuk dihubungi.
Maka, ketika Al-Qur'an menyatakan "Allahus Samad", ia menegaskan bahwa Allah adalah satu-satunya entitas yang memiliki sifat-sifat ini secara mutlak dan sempurna. Tidak ada makhluk yang dapat menyamai-Nya dalam hal kemandirian, kesempurnaan, atau sebagai tempat bergantung yang sejati.
Implikasi Keimanan dari "Allahus Samad"
Pernyataan "Allahus Samad" memiliki implikasi yang sangat besar terhadap akidah dan perilaku seorang Muslim:
- Penghapusan Ketergantungan kepada Selain Allah: Jika Allah adalah satu-satunya tempat bergantung yang sejati, maka seorang Muslim seharusnya tidak menggantungkan harapannya, ketakutannya, atau kebutuhannya kepada selain Allah. Ini membebaskan manusia dari perbudakan kepada materi, posisi, manusia lain, atau segala bentuk kekuatan duniawi.
- Penguatan Tawakal (Penyerahan Diri): Memahami bahwa Allahus Samad akan menumbuhkan rasa tawakal yang mendalam. Seorang Muslim akan berusaha sekuat tenaga, namun setelah itu ia menyerahkan segala hasilnya kepada Allah, karena Dialah Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu dan tempat segala hajat kembali.
- Motivasi untuk Berdoa: Jika Allah adalah tempat bergantung bagi segala sesuatu, maka Dialah yang paling layak untuk dimintai dan dipanjatkan doa. Ayat ini mendorong umat Islam untuk senantiasa berdoa, karena hanya Allah yang mampu memenuhi segala kebutuhan dan mengatasi segala kesulitan.
- Kesadaran akan Kelemahan Manusia: Dengan membandingkan diri kita yang penuh kebutuhan dan kekurangan dengan Allah yang As-Samad, kita akan semakin sadar akan kelemahan dan keterbatasan diri kita sebagai makhluk. Ini akan menumbuhkan kerendahan hati dan menjauhkan diri dari kesombongan.
- Pemahaman tentang Kekuasaan Mutlak Allah: Allahus Samad menunjukkan bahwa Allah memiliki kekuasaan mutlak atas segala sesuatu. Dia tidak membutuhkan bantuan untuk menciptakan, memelihara, atau menghancurkan. Kehendak-Nya adalah hukum yang tidak dapat ditolak.
Ayat ini adalah penawar bagi hati yang resah dan gelisah. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian dan tantangan, mengetahui bahwa ada Dzat yang Maha Kuasa, Maha Sempurna, dan tempat kita bisa sepenuhnya bergantung, memberikan kedamaian yang tak ternilai. Ini adalah sumber kekuatan spiritual yang tak terbatas, menguatkan iman bahwa tidak ada masalah yang terlalu besar bagi Allah untuk diatasi, dan tidak ada kebutuhan yang terlalu kecil untuk Dia penuhi.
Ketika seorang Muslim menghayati makna "Allahus Samad", ia akan menjalani hidup dengan ketenangan, optimisme, dan keberanian. Ia tahu bahwa meskipun ia berusaha dan gagal, ada Dzat yang selalu ada untuknya, yang tak pernah tidur, tak pernah lengah, dan tak pernah kehabisan kuasa. Ini adalah fondasi dari keyakinan yang membebaskan manusia dari rasa putus asa dan mendorongnya untuk terus bergerak maju dengan keyakinan penuh kepada Sang Pencipta.
Gabungan ayat pertama dan kedua, "Qul Huwallahu Ahad, Allahus Samad", telah meletakkan dua pilar utama Tauhid: keesaan mutlak Allah dalam Dzat-Nya dan keesaan mutlak Allah dalam sifat-sifat-Nya sebagai tempat bergantung bagi seluruh alam semesta.
Ayat 3: لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ (Lam Yalid wa Lam Yuulad) - Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.
Ayat ketiga dari Surat Al-Ikhlas, "لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ", yang berarti "Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan," adalah penegasan lebih lanjut tentang keunikan dan kemutlakan Allah, serta penolakan terhadap konsep-konsep ilahi yang keliru yang menyematkan sifat-sifat makhluk kepada Pencipta. Ayat ini secara langsung menyingkirkan segala bentuk antropomorfisme atau penyamaan Tuhan dengan manusia.
Makna "Lam Yalid wa Lam Yuulad"
Frasa ini terdiri dari dua bagian yang saling melengkapi:
- لَمْ يَلِدْ (Lam Yalid) - Dia tidak beranak: Bagian ini menegaskan bahwa Allah tidak memiliki anak, keturunan, atau pewaris. Konsep Tuhan memiliki anak adalah hal yang lazim dalam banyak kepercayaan kuno maupun modern, baik dalam mitologi pagan (seperti dewa-dewi Yunani-Romawi yang beranak-pinak) maupun dalam agama-agama samawi tertentu (seperti kepercayaan sebagian Kristen akan Yesus sebagai "Anak Tuhan" atau sebagian Yahudi yang menyebut Uzair sebagai "anak Allah"). Al-Qur'an dengan tegas menolak konsep ini. Memiliki anak menyiratkan kebutuhan, batasan, dan kemiripan dengan makhluk. Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Sempurna tidak membutuhkan anak untuk melanjutkan keberadaan-Nya, membantu-Nya, atau menjadi pewaris-Nya. Ketiadaan anak juga menunjukkan bahwa tidak ada entitas lain yang berbagi esensi ketuhanan dengan-Nya, karena anak biasanya berbagi esensi dengan orang tuanya.
- وَلَمْ يُوْلَدْ (wa Lam Yuulad) - dan tidak pula diperanakkan: Bagian ini menegaskan bahwa Allah tidak memiliki orang tua, leluhur, atau pencipta. Dia tidak dilahirkan, tidak diciptakan, dan tidak berasal dari entitas lain. Ini menekankan sifat Allah yang Azali (tanpa permulaan) dan Abadi (tanpa akhir). Segala sesuatu selain Allah adalah ciptaan yang memiliki permulaan dan diciptakan oleh sesuatu. Hanya Allah yang eksis dengan sendirinya (Qiyamuhu binafsihi), tidak bergantung pada siapapun atau apapun untuk keberadaan-Nya. Jika Allah memiliki orang tua, itu berarti Dia adalah makhluk dan ada yang lebih tinggi atau lebih dulu dari-Nya, yang bertentangan dengan konsep ketuhanan sejati.
Kedua bagian ini secara bersama-sama menempatkan Allah pada posisi yang unik dan tak tertandingi, melampaui segala batasan waktu, ruang, dan siklus kehidupan-kematian yang berlaku pada makhluk.
Implikasi Akidah dari "Lam Yalid wa Lam Yuulad"
Ayat ini memiliki implikasi akidah yang sangat fundamental:
- Kemandirian Mutlak Allah: Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan menunjukkan kemandirian-Nya yang mutlak dari segala bentuk ketergantungan atau asal-usul. Dia adalah Asal dari segala sesuatu, namun Dia sendiri tidak memiliki asal.
- Penolakan Konsep Tuhan yang Terbatas: Konsep beranak dan diperanakkan adalah karakteristik makhluk hidup yang fana dan terbatas. Menyekutukan Allah dengan sifat ini berarti menyamakan-Nya dengan ciptaan-Nya, yang sangat bertentangan dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya. Allah berada di atas segala batasan materi, biologis, atau temporal.
- Penegasan Keunikan Allah: Tidak ada satu pun dalam keberadaan yang dapat menyerupai Allah dalam aspek ini. Segala sesuatu yang ada selain Dia pasti memiliki asal-usul, baik dilahirkan atau diciptakan. Ketiadaan orang tua dan keturunan adalah tanda keunikan mutlak Allah.
- Penolakan Konsep Pewarisan Ketuhanan: Jika Tuhan memiliki anak, itu bisa mengimplikasikan adanya pewarisan kekuasaan atau status ketuhanan, yang lagi-lagi bertentangan dengan keesaan dan kemutlakan Allah. Ketuhanan adalah sifat yang inheren pada Dzat Allah semata, tidak dapat dibagi atau diwariskan.
- Kesempurnaan Kekuasaan Allah: Allah tidak membutuhkan anak untuk menolong-Nya atau melanjutkan kekuasaan-Nya. Kekuasaan-Nya abadi dan sempurna tanpa batas. Dia tidak memerlukan pewaris karena Dia tidak akan mati atau fana.
Ayat ini adalah benteng yang kokoh terhadap segala bentuk bid'ah dan syirik yang mencoba memanusiakan Tuhan atau menempatkan Tuhan di dalam kerangka pemahaman makhluk. Ini membersihkan akidah dari segala noda yang dapat merendahkan keagungan dan kesucian Allah. Seorang Muslim yang memahami dan menginternalisasi "Lam Yalid wa Lam Yuulad" akan memiliki pandangan yang jernih tentang siapa Tuhannya dan bagaimana Tuhannya berbeda secara fundamental dari segala sesuatu yang ada.
Pemahaman ini membebaskan akal dari bayangan-bayangan mitologis dan dogma-dogma yang tidak rasional, serta membimbing hati kepada pengagungan Allah yang sebenar-benarnya, sesuai dengan keunikan dan kesucian-Nya. Ia menegaskan bahwa Allah adalah Dzat yang Transenden, melampaui segala konsepsi dan gambaran yang bisa dibentuk oleh pikiran manusia.
Bersama dengan ayat-ayat sebelumnya, ayat ketiga ini memperkuat gambaran tentang Allah sebagai Dzat yang mutlak Esa (Ahad), Maha Mandiri dan tempat bergantung segala sesuatu (As-Samad), serta Dzat yang tidak memiliki permulaan maupun akhir, dan tidak memiliki relasi keluarga seperti makhluk (Lam Yalid wa Lam Yuulad). Ini adalah rangkaian pernyataan yang secara sistematis meruntuhkan fondasi kemusyrikan.
Ayat 4: وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ (Wa Lam Yakun Lahu Kufuwan Ahad) - Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia.
Ayat keempat dan terakhir dari Surat Al-Ikhlas, "وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ", yang berarti "Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia," adalah puncak dari pernyataan Tauhid dalam surat ini. Ayat ini menyimpulkan segala konsep keesaan dan keunikan Allah yang telah dijelaskan dalam tiga ayat sebelumnya, menegaskan bahwa tidak ada bandingannya, tidak ada padanannya, dan tidak ada yang sebanding dengan-Nya dalam segala aspek.
Makna "Kufuwan Ahad"
Frasa "كُفُوًا اَحَدٌ (Kufuwan Ahad)" memiliki makna yang sangat kuat:
- كُفُوًا (Kufuwan): Kata ini berarti "setara," "sebanding," "sepadan," "sama," atau "mirip." Ini mencakup kesetaraan dalam zat, sifat, perbuatan, atau hak untuk disembah.
- اَحَدٌ (Ahad): Kembali pada makna "Ahad" yang absolut, yang telah dijelaskan di ayat pertama. Ini menekankan bahwa tidak ada satu pun yang dapat setara dengan Allah, bahkan dalam skala tunggal.
Jadi, secara keseluruhan, ayat ini berarti bahwa tidak ada satu pun, tidak peduli seberapa agung, kuat, atau sempurna makhluk tersebut, yang dapat menyamai Allah dalam Dzat-Nya, Sifat-sifat-Nya, nama-nama-Nya, atau Perbuatan-perbuatan-Nya. Tidak ada yang bisa menjadi "tandingan" atau "kompetitor" bagi Allah.
Penolakan Terhadap Segala Bentuk Kesetaraan
Ayat ini adalah penolakan mutlak terhadap segala bentuk kesetaraan atau kemiripan dengan Allah:
- Tidak Setara dalam Dzat: Dzat Allah adalah unik, tidak ada yang menyerupai-Nya. Dia tidak memiliki jasad, tidak terbatas oleh ruang dan waktu, dan tidak dapat dibayangkan atau dipahami sepenuhnya oleh akal manusia.
- Tidak Setara dalam Sifat-sifat: Sifat-sifat Allah seperti Ilmu, Kekuasaan, Kehidupan, Kehendak, Pendengaran, Penglihatan, dan Pembicaraan adalah sempurna secara absolut dan tak terbatas. Sifat-sifat ini tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat makhluk, yang selalu terbatas dan relatif. Misalnya, ilmu Allah meliputi segala sesuatu, sedangkan ilmu manusia sangat terbatas.
- Tidak Setara dalam Perbuatan: Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pemberi Rezeki, Pengatur, dan Penguasa alam semesta. Tidak ada makhluk yang mampu menciptakan dari ketiadaan, menghidupkan dan mematikan, atau menguasai jagat raya seperti Dia.
- Tidak Setara dalam Hak Beribadah: Karena tidak ada yang setara dengan-Nya, maka hanya Dia satu-satunya yang berhak disembah, dipuja, dimintai pertolongan, dan ditaati secara mutlak. Menyekutukan-Nya dengan apapun atau siapapun dalam ibadah adalah kesyirikan yang paling besar.
Ayat ini adalah penutup yang sempurna untuk konsep Tauhid yang murni. Ia menolak segala gagasan tentang kemitraan ilahi, persaingan ketuhanan, atau bahkan perbandingan yang merendahkan keagungan Allah. Ayat ini memastikan bahwa Allah itu unik dalam segala hal, melampaui segala imajinasi dan konsepsi manusia.
Implikasi Spiritual dan Psikologis dari "Wa Lam Yakun Lahu Kufuwan Ahad"
Pemahaman yang mendalam tentang ayat ini membawa dampak spiritual dan psikologis yang signifikan bagi seorang Muslim:
- Penguatan Tawakal dan Keyakinan: Mengetahui bahwa tidak ada yang setara dengan Allah dalam kekuasaan dan keagungan-Nya, akan memperkuat rasa tawakal dan keyakinan bahwa hanya Dia yang mampu menyelesaikan segala persoalan dan memberikan pertolongan. Tidak perlu mencari bantuan dari kekuatan lain yang lemah dan terbatas.
- Ketenangan Jiwa: Dalam menghadapi tantangan hidup, pengetahuan bahwa Allah adalah satu-satunya yang tidak memiliki padanan dan Maha Kuasa, akan memberikan ketenangan jiwa. Tidak ada yang perlu ditakuti selain Allah, dan tidak ada yang perlu diharapkan selain dari-Nya.
- Pembebasan dari Perbudakan: Ketika seseorang menyadari bahwa tidak ada yang setara dengan Allah, ia akan terbebaskan dari perbudakan kepada manusia lain, harta benda, jabatan, atau hawa nafsu. Ia hanya akan menghamba kepada Allah yang Maha Esa dan tak tertandingi.
- Peningkatan Rasa Takwa dan Khusyuk: Pengenalan akan keunikan dan keagungan Allah yang tak terbatas akan menumbuhkan rasa takwa yang lebih dalam dan kekhusyukan dalam beribadah. Setiap salat, doa, dan zikir akan terasa lebih bermakna karena ditujukan kepada Dzat yang benar-benar Maha Agung.
- Penolakan Filsafat Fatalisme dan Determinisme Murni: Meskipun Allah Maha Kuasa, konsep "tidak ada yang setara dengan Dia" juga menegaskan bahwa kekuasaan-Nya tidak pasif, melainkan dinamis dan aktif. Manusia diberikan kehendak dan tanggung jawab, dan Allah tidak terbatas oleh "takdir" dalam pengertian fatalistik.
Ayat ini adalah penutup yang sempurna untuk Surat Al-Ikhlas, menyatukan semua poin keesaan Allah menjadi satu kesimpulan yang tak terbantahkan. Ia adalah deklarasi agung yang memurnikan akidah dari segala bentuk kekotoran dan memberikan arah yang jelas bagi setiap Muslim untuk memahami Tuhannya dan menempatkan-Nya pada posisi yang layak: Maha Esa, Maha Kuasa, Maha Sempurna, dan tiada satupun yang setara dengan-Nya.
Melalui empat ayat yang singkat namun padat ini, Al-Qur'an menyajikan sebuah fondasi teologis yang paling jernih dan kuat, menantang segala bentuk kepercayaan paganisme, politeisme, antropomorfisme, dan segala ide yang merendahkan keagungan Sang Pencipta. Surat Al-Ikhlas adalah esensi Tauhid, murni, tanpa cela, dan abadi.
Keutamaan dan Kedudukan Surat Al-Ikhlas dalam Islam
Selain makna teologisnya yang fundamental, Surat Al-Ikhlas juga memiliki keutamaan dan kedudukan yang sangat istimewa dalam ajaran Islam. Rasulullah ﷺ telah menyampaikan banyak hadis yang menunjukkan betapa agungnya surat ini, bahkan menjadikannya setara dengan bagian besar dari Al-Qur'an.
Sepertiga Al-Qur'an
Salah satu keutamaan paling terkenal dari Surat Al-Ikhlas adalah sabda Nabi Muhammad ﷺ bahwa membaca surat ini setara dengan sepertiga Al-Qur'an. Hadis ini diriwayatkan dalam banyak jalur dan sanad yang shahih, di antaranya oleh Imam Bukhari dan Muslim.
Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Seorang laki-laki mendengar laki-laki lain membaca ‘Qul Huwallahu Ahad’ berulang-ulang. Ketika pagi tiba, ia mendatangi Rasulullah ﷺ dan menceritakan hal itu kepada beliau, seolah-olah ia menganggap remeh. Lalu Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh surat itu sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an.’” (HR. Bukhari dan Muslim)
Apa makna "sebanding dengan sepertiga Al-Qur'an"? Para ulama memberikan beberapa penafsiran:
- Kandungan Makna: Makna utama adalah bahwa surat ini mengandung sepertiga dari seluruh ajaran pokok Al-Qur'an. Al-Qur'an pada umumnya memuat tiga tema besar:
- Akidah (keyakinan tentang Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir, qada dan qadar).
- Syariat (hukum-hukum Islam, ibadah, muamalah).
- Kisah-kisah (sejarah para nabi dan umat terdahulu sebagai pelajaran).
- Pahala yang Besar: Beberapa ulama juga menafsirkan bahwa membaca Surat Al-Ikhlas akan mendapatkan pahala yang setara dengan pahala membaca sepertiga Al-Qur'an. Ini menunjukkan betapa besarnya ganjaran yang Allah berikan bagi hamba-Nya yang membaca dan merenungi surat ini.
Keutamaan ini seharusnya memotivasi setiap Muslim untuk sering membaca, menghafal, dan merenungkan makna dari Surat Al-Ikhlas.
Kecintaan kepada Allah
Surat Al-Ikhlas juga dikenal sebagai surat yang dicintai oleh Allah dan menjadi tanda kecintaan seorang hamba kepada-Nya.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Nabi ﷺ mengutus seorang laki-laki sebagai pemimpin pasukan. Ketika salat, ia selalu mengakhiri bacaannya dengan ‘Qul Huwallahu Ahad’. Ketika pulang, mereka menceritakan hal itu kepada Nabi ﷺ. Maka beliau bersabda, “Tanyakan kepadanya, kenapa ia berbuat demikian?” Mereka pun menanyakannya. Ia menjawab, “Karena di dalamnya terdapat sifat-sifat Tuhan Yang Maha Rahman, dan aku senang membacanya.” Maka Nabi ﷺ bersabda, “Beritahukan kepadanya bahwa Allah mencintainya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa kecintaan kepada Surat Al-Ikhlas adalah tanda kecintaan kepada Allah, karena surat ini secara ringkas dan indah menggambarkan sifat-sifat keesaan dan kesempurnaan-Nya. Barang siapa yang mencintai sifat-sifat Allah, maka ia akan dicintai oleh Allah.
Perlindungan dari Kejahatan
Surat Al-Ikhlas, bersama dengan Al-Falaq dan An-Nas (Al-Mu'awwidzatain), sering dibaca sebagai doa perlindungan dari berbagai kejahatan, sihir, dan hasad.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa apabila Rasulullah ﷺ akan tidur, beliau meniupkan pada kedua telapak tangannya kemudian membaca ‘Qul Huwallahu Ahad’ dan Al-Mu’awwidzatain (Al-Falaq dan An-Nas), lalu mengusapkan ke wajahnya dan seluruh tubuhnya yang terjangkau. Beliau melakukan itu tiga kali. (HR. Bukhari)
Membaca surat-surat ini sebelum tidur adalah sunah Nabi ﷺ yang dapat memberikan rasa aman dan perlindungan dari gangguan setan dan kejahatan lainnya.
Anjuran Membaca dalam Salat dan Dzikir
Surat Al-Ikhlas adalah salah satu surat yang paling sering dibaca dalam salat, baik salat fardu maupun sunah. Hal ini karena kemudahan hafalannya, maknanya yang agung, dan keutamaannya. Nabi ﷺ juga menganjurkan untuk membacanya dalam berbagai kesempatan dzikir, seperti setelah salat, pada pagi dan petang, dan sebelum tidur.
Kedudukan istimewa Surat Al-Ikhlas ini menegaskan bahwa inti ajaran Islam, yaitu Tauhid, bukanlah sesuatu yang rumit atau sulit dipahami, melainkan sesuatu yang sederhana, jelas, dan mudah diakses oleh setiap orang. Ia adalah fondasi yang kokoh bagi iman seorang Muslim, yang mengarahkan hati dan pikirannya kepada satu-satunya Tuhan yang Maha Esa, Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Implikasi Praktis Pemahaman Surat Al-Ikhlas dalam Kehidupan Muslim
Memahami makna Surat Al-Ikhlas bukan hanya tentang pengetahuan teologis semata, melainkan juga memiliki implikasi praktis yang mendalam dalam membentuk karakter, pandangan hidup, dan perilaku seorang Muslim. Penghayatan terhadap surat ini akan mencerminkan kualitas iman seseorang.
1. Penguatan Tauhid dan Penjauhan Diri dari Syirik
Ini adalah dampak paling utama. Dengan memahami bahwa Allah itu Ahad (Esa Mutlak), As-Samad (Tempat Bergantung Segala Sesuatu), tidak beranak dan tidak diperanakkan, serta tidak ada yang setara dengan-Nya, seorang Muslim akan secara otomatis menjauhi segala bentuk syirik (menyekutukan Allah). Ini mencakup:
- Syirik Besar: Seperti menyembah berhala, meminta kepada selain Allah (kuburan, jin, dll.), mempercayai peramal, atau meyakini ada kekuatan lain yang setara atau melebihi Allah.
- Syirik Kecil: Seperti riya' (beribadah ingin dilihat manusia), sum'ah (beramal ingin didengar manusia), bersumpah dengan selain nama Allah, atau terlalu mengandalkan sebab-sebab duniawi tanpa mengaitkannya dengan kekuasaan Allah.
Hati seorang Muslim akan terpaut hanya kepada Allah, memurnikan ibadah dan ketaatan hanya untuk-Nya, sesuai dengan nama "Al-Ikhlas" itu sendiri yang berarti memurnikan.
2. Kemandirian Jiwa dan Keberanian
Jika seorang Muslim benar-benar meyakini bahwa Allahus Samad (Allah adalah tempat bergantung bagi segala sesuatu) dan Lam Yakun Lahu Kufuwan Ahad (tidak ada yang setara dengan-Nya), maka ia akan merasa mandiri secara spiritual dari makhluk lain. Ia tidak akan mudah tunduk pada tekanan manusia, takut akan ancaman mereka, atau berharap berlebihan kepada janji-janji duniawi. Hatinya akan teguh dan berani karena ia tahu bahwa hanya Allah yang memegang kendali atas segala sesuatu.
Rasa kemandirian ini juga mengarah pada kebebasan dari rasa minder atau rendah diri. Karena ia menghamba kepada Tuhan yang Maha Agung, maka ia merasa mulia dan tidak perlu merendahkan diri di hadapan siapapun kecuali Allah.
3. Ketenteraman dan Optimisme
Dalam menghadapi kesulitan dan cobaan hidup, pemahaman Surat Al-Ikhlas akan membawa ketenteraman dan optimisme. Seorang Muslim tahu bahwa segala sesuatu berada dalam genggaman Allah yang Maha Esa dan Maha Kuasa. Jika Allah telah menetapkan sesuatu, maka tidak ada yang bisa mengubahnya, dan jika Allah berkehendak menolong, maka tidak ada yang bisa menghalangi. Ini akan menghilangkan kecemasan yang berlebihan, keputusasaan, dan kekhawatiran yang tidak pada tempatnya.
Ia akan lebih sabar dalam menghadapi musibah dan lebih bersyukur dalam mendapatkan nikmat, karena ia mengembalikan semuanya kepada kehendak Allah.
4. Kesadaran Akan Keterbatasan Diri dan Kerendahan Hati
Dengan mengenal Allah melalui sifat-sifat yang disebutkan dalam Al-Ikhlas (Ahad, As-Samad, tidak beranak dan diperanakkan, tiada setara), seorang Muslim akan semakin menyadari betapa agung dan sempurna Allah, dan betapa terbatas dan lemahnya diri sebagai makhluk. Ini akan menumbuhkan kerendahan hati dan menjauhkan dari sifat sombong, ujub (bangga diri), atau merasa diri paling benar.
Ia akan selalu merasa membutuhkan Allah dan senantiasa memohon ampunan serta petunjuk dari-Nya.
5. Fokus pada Tujuan Hidup yang Hakiki
Jika Allah adalah satu-satunya tujuan dan tempat bergantung, maka fokus hidup seorang Muslim akan tertuju pada keridhaan-Nya. Segala aktivitasnya, baik ibadah maupun muamalah, akan diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Hidupnya akan memiliki arah yang jelas, tidak terombang-ambing oleh tujuan-tujuan duniawi yang fana dan tidak akan menghabiskan waktu serta tenaga untuk mengejar hal-hal yang tidak bermanfaat di sisi Allah.
Ini juga akan mendorongnya untuk berbuat kebaikan, karena ia tahu bahwa pahala sejati hanya datang dari Allah, dan hanya Dialah yang Maha Memberi Balasan.
6. Peningkatan Kualitas Ibadah
Pemahaman yang mendalam tentang Tauhid akan secara signifikan meningkatkan kualitas ibadah. Salat tidak lagi sekadar gerakan fisik, melainkan dialog tulus dengan Dzat yang Maha Esa, Maha Kuasa, dan tempat bergantung segala sesuatu. Doa tidak lagi sekadar ucapan, melainkan munajat hati yang yakin bahwa hanya Allah yang bisa mengabulkan.
Setiap ibadah akan dilakukan dengan ikhlas, khusyuk, dan penuh penghayatan, karena ia tahu kepada siapa ia menghadap dan siapa yang ia sembah.
7. Penolakan terhadap Filsafat Materialisme dan Ateisme
Surat Al-Ikhlas adalah antitesis dari filsafat materialisme dan ateisme. Ia menegaskan adanya Tuhan yang Maha Esa, Pencipta, dan Pengatur alam semesta, yang tidak membutuhkan apa pun dan tidak dapat disamakan dengan makhluk-Nya. Bagi yang menghayati makna surat ini, konsep ketuhanan menjadi begitu jelas dan rasional, menolak gagasan bahwa alam semesta ini ada secara kebetulan atau tanpa Pencipta.
Ia memberikan jawaban yang memuaskan bagi pertanyaan fundamental tentang asal-usul, tujuan, dan eksistensi.
Singkatnya, Surat Al-Ikhlas adalah kompas spiritual bagi setiap Muslim. Ia membimbing hati dan pikiran untuk mengenal Allah secara benar, memurnikan iman, dan mengarahkan seluruh aspek kehidupan agar selaras dengan kehendak Sang Pencipta. Menginternalisasi makna surat ini adalah kunci menuju kehidupan yang penuh makna, ketenangan, dan keberkahan.
Surat Al-Ikhlas sebagai Pondasi Dasar Akidah Islam dan Perbandingan dengan Konsep Ketuhanan Lain
Surat Al-Ikhlas tidak hanya merupakan deklarasi keesaan Allah, tetapi juga berfungsi sebagai pondasi fundamental dalam akidah Islam, membedakan secara tegas konsep ketuhanan dalam Islam dari berbagai keyakinan lain di dunia. Kekompakan dan kejelasan surat ini menjadikannya parameter utama untuk membedakan Tauhid yang murni dari syirik dan kekufuran.
Pondasi Akidah Islam
Seluruh ajaran Islam, baik yang berkaitan dengan ibadah (salat, puasa, zakat, haji), muamalah (interaksi sosial, ekonomi), maupun akhlak (moral), berakar pada keyakinan Tauhid yang dijelaskan dalam Surat Al-Ikhlas. Tanpa Tauhid yang benar, semua amalan dan perbuatan seorang Muslim menjadi tidak bernilai di sisi Allah.
- Basis Ibadah: Jika Allah itu Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya, maka hanya Dia yang berhak disembah. Salat, doa, sedekah, dan segala bentuk ibadah harus ditujukan hanya kepada-Nya, tanpa perantara atau sekutu.
- Sumber Hukum: Jika Allah adalah As-Samad (tempat bergantung bagi segala sesuatu) dan tidak ada yang setara dengan-Nya, maka hukum dan syariat yang Dia turunkan melalui Rasul-Nya adalah yang paling sempurna dan mutlak untuk diikuti. Tidak ada hukum buatan manusia yang dapat menandingi keadilan dan kebijaksanaan hukum Ilahi.
- Pembentuk Akhlak: Mengenal Allah yang Maha Sempurna melalui Surat Al-Ikhlas akan membentuk akhlak yang mulia. Rasa malu kepada Allah, takut akan azab-Nya, berharap akan rahmat-Nya, dan cinta kepada-Nya akan mendorong seseorang untuk berlaku jujur, adil, sabar, dan berbuat kebaikan kepada sesama.
- Sumber Kekuatan Umat: Persatuan umat Islam sangat bergantung pada persatuan akidah mereka. Ketika semua Muslim meyakini Tauhid yang sama, berdasarkan Surat Al-Ikhlas, maka mereka memiliki ikatan yang kuat dan tujuan yang sama, yaitu mengesakan dan mengabdi kepada Allah.
Perbandingan dengan Konsep Ketuhanan Lain
Surat Al-Ikhlas memberikan kontras yang tajam dengan banyak konsep ketuhanan yang ada:
- Paganisme/Politeisme: Banyak peradaban kuno dan beberapa kepercayaan modern menganut politeisme, yaitu kepercayaan kepada banyak dewa atau tuhan. Dewa-dewi ini seringkali memiliki karakteristik manusiawi (anthropomorphic), seperti memiliki pasangan, anak, emosi negatif (cemburu, marah), dan bahkan saling bertarung. Surat Al-Ikhlas dengan tegas menolak ini melalui "Qul Huwallahu Ahad" (Allah Maha Esa) dan "Lam Yalid wa Lam Yuulad" (Tidak beranak dan tidak diperanakkan), serta "Wa Lam Yakun Lahu Kufuwan Ahad" (Tidak ada yang setara dengan-Nya).
- Konsep Trinitas (Kristen): Meskipun umat Kristen juga mengklaim monoteisme, konsep Trinitas (Tuhan Bapa, Tuhan Anak, dan Roh Kudus sebagai tiga pribadi dalam satu esensi Ilahi) secara fundamental berbeda dari Tauhid Islam. Surat Al-Ikhlas secara lugas menolak konsep Tuhan yang terdiri dari bagian-bagian ("Qul Huwallahu Ahad") dan yang memiliki anak ("Lam Yalid wa Lam Yuulad"). Bagi Islam, Allah adalah Satu-satunya, tanpa sekutu, tanpa pasangan, dan tanpa keturunan.
- Konsep Tuhan yang Diperanakkan atau Berasal (Mitologi): Banyak mitologi kuno (Yunani, Romawi, Mesir) menggambarkan dewa-dewi yang dilahirkan dari dewa-dewi lain atau berasal dari kekuatan primordial. Ayat "Lam Yalid wa Lam Yuulad" secara tegas menolak gagasan ini, menegaskan bahwa Allah adalah Azali (tanpa permulaan) dan tidak diciptakan oleh apapun atau siapapun.
- Agnostisisme/Ateisme: Agnostisisme menyatakan bahwa keberadaan Tuhan tidak dapat diketahui, sementara ateisme menyangkal keberadaan Tuhan. Surat Al-Ikhlas tidak hanya menegaskan keberadaan Tuhan, tetapi juga memberikan deskripsi yang jelas dan logis tentang sifat-sifat-Nya yang esensial, sehingga memungkinkan manusia untuk mengenal-Nya dan beriman kepada-Nya.
- Konsep Tuhan yang Terbatas/Membutuhkan: Beberapa kepercayaan atau filsafat mungkin menggambarkan Tuhan sebagai entitas yang terbatas, memiliki kebutuhan (misalnya, butuh disembah agar kuat), atau memiliki kelemahan. Ayat "Allahus Samad" (Allah adalah tempat bergantung bagi segala sesuatu) secara jelas menolak ini, menegaskan bahwa Allah Maha Mandiri dan tidak membutuhkan apapun, sementara segala sesuatu membutuhkan-Nya.
Dengan demikian, Surat Al-Ikhlas adalah deklarasi universal tentang sifat Allah yang benar, membebaskan akal dan hati manusia dari kebingungan dan kekeliruan dalam memahami siapa dan bagaimana Tuhannya. Ia adalah mercusuar cahaya yang menuntun umat manusia menuju pengenalan sejati akan Pencipta dan tujuan hakiki keberadaan mereka.
Penutup: Cahaya Tauhid dari Surat Al-Ikhlas
Setelah menyelami setiap ayat dari Surat Al-Ikhlas, kita dapat melihat dengan jelas betapa agungnya surat ini dan betapa esensialnya ia bagi setiap Muslim. Meskipun hanya terdiri dari empat ayat pendek, kandungan maknanya adalah inti sari dari seluruh ajaran Islam, yaitu Tauhid yang murni. Ia adalah sebuah miniatur Al-Qur'an, yang meringkas esensi keimanan dalam bentuk yang paling padat dan paling mudah dipahami.
Surat Al-Ikhlas mengajarkan kita untuk mengenal Allah Subhanahu wa Ta'ala bukan hanya sekadar sebagai 'Tuhan', melainkan sebagai Al-Ahad, Yang Maha Esa secara mutlak, tiada tandingan, tiada sekutu, tiada bagian. Ia adalah Al-Samad, tempat bergantung bagi seluruh makhluk, namun Dia sendiri tidak bergantung pada apapun, Maha Mandiri, Maha Sempurna. Dia 'Lam Yalid wa Lam Yuulad', tidak beranak dan tidak diperanakkan, menegaskan kemandirian mutlak-Nya dari segala siklus kehidupan dan keturunan yang terbatas pada makhluk. Dan akhirnya, 'Wa Lam Yakun Lahu Kufuwan Ahad', tiada satu pun yang setara dengan-Nya, menegaskan keunikan dan keagungan-Nya yang tak tertandingi dalam segala aspek.
Pesan-pesan ini bukan hanya dogma yang harus dihafal, melainkan cahaya yang menerangi hati dan akal. Ketika seorang Muslim menghayati makna-makna ini, ia akan merasakan pembebasan yang luar biasa. Pembebasan dari belenggu ketakutan kepada makhluk, dari ketergantungan kepada dunia yang fana, dari keraguan dan kebingungan tentang siapa sebenarnya yang layak disembah. Ia akan menemukan ketenangan dalam keyakinan bahwa ada satu Dzat yang Maha Kuasa, Maha Bijaksana, dan Maha Pengasih yang mengendalikan segala sesuatu.
Penghayatan terhadap Surat Al-Ikhlas juga akan memurnikan ibadah dan amal perbuatan. Setiap salat, setiap doa, setiap sedekah, dan setiap kebaikan akan dilakukan dengan niat yang tulus hanya untuk meraih ridha Allah, bukan untuk pujian manusia atau keuntungan duniawi yang sesaat. Ini adalah makna sejati dari "ikhlas" itu sendiri: memurnikan agama dan ibadah hanya untuk Allah semata.
Marilah kita jadikan Surat Al-Ikhlas sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan spiritual kita. Bukan hanya membacanya, tetapi juga merenungi setiap kata dan menghayati maknanya dalam setiap helaan napas. Semoga dengan demikian, iman kita semakin kokoh, hati kita semakin bersih, dan kehidupan kita senantiasa berada dalam bimbingan cahaya Tauhid yang dibawa oleh surat agung ini. Sesungguhnya, kebahagiaan sejati terletak pada pengenalan yang benar akan Allah dan ketaatan yang tulus kepada-Nya.