Ilustrasi empati dan kepedulian sosial.
Dalam hiruk pikuk kehidupan modern, seringkali kita lupa untuk menoleh ke belakang, ke sudut-sudut kota, ke desa-desa terpencil, tempat bersemayam suara-suara yang tak terdengar. Puisi, sebagai medium seni yang kaya akan emosi, dapat menjadi jembatan untuk memahami realitas mereka yang seringkali terabaikan. Puisi bertema sosial mengajak kita untuk merenung, merasakan, dan bertindak.
Di bawah langit yang sama, namun rasa berbeda.
Ada yang berpesta pora, kenyang tertawa.
Ada yang merangkak, hanya setitik harapan yang terhela.
Bumi yang subur, mengapa tak semua kebagian?
Tangan-tangan kecil mengais di antara puing kenyataan.
Di sudut kota, di gang sempit nan pengap,
Tergores wajah pilu, terbungkus asap.
Mata kecil memandang, mencari arti hidup,
Dalam dingin malam, dinginnya nasib.
Bahu mungil memikul beban yang tak setara,
Senyum palsu terukir, menahan lara.
Rumah hanyalah gubuk, atap tak beraturan,
Menanti mentari esok, membawa perubahan.
Sementara di menara gading, tawa menggema,
Dunia mereka terjalin, dari emas dan permata.
Tak terjangkau suara jerit, tak tercium aroma nestapa,
Terputus benang empati, terbuang jauh rasa.
Lihatlah, saudara, lihatlah lebih dekat,
Di balik dinding tebal, ada hati yang berkarat.
Bukan karena tamak, bukan karena malas berkarya,
Namun sistem yang pincang, membelenggu mereka.
Bornok, nama yang tak dikenal di peta kemakmuran,
Tangannya kasar mengukir kisah tanpa tujuan.
Mimpi sederhana, sepotong roti untuk keluarga,
Namun realita kejam, menusuk hingga ke relung jiwa.
Ini bukan kisah fiksi, ini potret nyata terbentang,
Di lorong kehidupan, di batas keputusasaan.
Mari buka mata hati, ulurkan tangan kebaikan,
Karena keadilan bukan hadiah, tapi hak setiap insan.
Puisi seperti "Suara dari Pinggiran" ini hanyalah satu dari sekian banyak ungkapan rasa terhadap kondisi sosial yang terjadi di sekitar kita. Tujuannya bukan hanya untuk membuat pembaca terenyuh sesaat, tetapi lebih kepada membangkitkan kesadaran. Puisi bertema sosial berfungsi sebagai cermin, merefleksikan ketidakadilan, kemiskinan, diskriminasi, dan berbagai masalah kemanusiaan lainnya.
Ketika kita membaca atau menulis puisi sosial, kita sedang melakukan sebuah dialog. Dialog dengan diri sendiri tentang nilai-nilai kemanusiaan, dan dialog dengan masyarakat luas tentang pentingnya kepedulian. Puisi bisa menjadi alat advokasi yang kuat, menyuarakan aspirasi mereka yang tak memiliki suara, menggugah simpati, dan mendorong aksi nyata.
Sebuah puisi yang baik bertema sosial akan meninggalkan jejak di benak pembacanya. Ia tak sekadar bermain dengan rima dan irama, namun menggali lebih dalam makna kemanusiaan yang terkubur. Ia mempertanyakan norma-norma yang ada, menantang ketidakadilan, dan menginspirasi harapan. Puisi semacam ini mengajak kita untuk melihat dunia dengan kacamata yang berbeda, penuh empati dan welas asih.
Dengan memahami dan mengapresiasi puisi bertema sosial, kita turut berkontribusi dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan manusiawi. Puisi bukan hanya hiburan, tetapi juga alat pendidikan, refleksi, dan katalis perubahan.