Ilustrasi Kitab Suci Al-Qur'an yang terbuka, simbol sumber rahmat dan petunjuk.
Pertanyaan mengenai cara mengirim Surah Al-Fatihah untuk almarhum adalah salah satu topik yang sering muncul di tengah masyarakat Muslim. Ini adalah wujud cinta dan kepedulian dari keluarga atau kerabat yang ditinggalkan, yang berharap agar orang yang mereka cintai di alam kubur mendapatkan manfaat dan keringanan dari Allah SWT. Namun, dalam Islam, segala bentuk ibadah dan amalan haruslah berdasarkan syariat yang sahih, sehingga penting untuk memahami tinjauan hukum serta panduan praktis terkait masalah ini.
Artikel ini akan membahas secara mendalam berbagai pandangan ulama mengenai sampainya pahala bacaan Al-Qur'an, khususnya Surah Al-Fatihah, kepada almarhum. Kami juga akan menguraikan cara-cara lain yang disepakati untuk berbakti kepada orang yang telah meninggal, serta memberikan pemahaman yang komprehensif agar umat Muslim dapat beramal dengan keyakinan dan kejelasan.
Sebelum membahas spesifik tentang Al-Fatihah, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu prinsip dasar dalam Islam mengenai amal perbuatan dan hubungannya dengan orang yang telah meninggal. Secara umum, Islam mengajarkan bahwa setiap individu akan mempertanggungjawabkan amal perbuatannya sendiri. Allah SWT berfirman dalam Surah An-Najm ayat 39-41:
"Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna."
Ayat ini seringkali menjadi dasar bagi pandangan yang menyatakan bahwa pahala amal seseorang hanya kembali kepada dirinya sendiri. Namun, ada pengecualian-pengecualian yang dijelaskan dalam hadits Nabi Muhammad SAW, yang menunjukkan bahwa ada beberapa jenis amal yang pahalanya dapat terus mengalir atau sampainya doa orang hidup kepada orang yang telah meninggal.
Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
"Apabila anak Adam meninggal dunia, terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya."
Hadits ini adalah pondasi utama dalam memahami kontinuitas pahala. Mari kita bedah tiga poin penting ini:
Dari hadits ini, jelas bahwa doa memiliki peran vital. Pertanyaannya kemudian, apakah bacaan Al-Fatihah termasuk dalam kategori "doa" atau "amal ibadah" yang pahalanya bisa dihadiahkan?
Ilustrasi seseorang dalam posisi berdoa, memohon kepada Allah SWT.
Surah Al-Fatihah adalah surah pertama dalam Al-Qur'an dan memiliki kedudukan yang sangat agung. Ia dikenal sebagai Ummul Kitab (Induk Al-Qur'an), As-Sab'ul Matsani (Tujuh Ayat yang Diulang-ulang), dan Asy-Syifa' (Penyembuh). Keutamaan Al-Fatihah tidak perlu diragukan lagi:
Mengingat kedudukan Al-Fatihah sebagai doa dan bagian integral dari ibadah, muncullah pertanyaan apakah pahala dari bacaan Al-Fatihah dapat dialihkan atau dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia.
Mengenai masalah sampainya pahala bacaan Al-Qur'an, termasuk Al-Fatihah, kepada almarhum, para ulama memiliki perbedaan pendapat. Perbedaan ini muncul karena interpretasi yang berbeda terhadap dalil-dalil syar'i. Mari kita telaah pandangan-pandangan utama:
Mayoritas ulama dari berbagai mazhab, termasuk mazhab Hanafi, Hanbali, dan sebagian ulama dari mazhab Maliki serta Syafi'i, berpendapat bahwa pahala bacaan Al-Qur'an (termasuk Al-Fatihah) dapat sampai kepada almarhum jika diniatkan. Pandangan ini didasarkan pada beberapa dalil dan analogi (qiyas):
Hadits tentang anak saleh yang mendoakan orang tuanya menunjukkan bahwa doa itu sampai. Para ulama yang memperbolehkan berpendapat bahwa bacaan Al-Qur'an, terutama jika diiringi dengan niat dan doa agar pahalanya sampai, adalah bentuk doa dan kebaikan yang sangat utama.
Meskipun tidak ada riwayat yang secara eksplisit menyatakan Nabi SAW memerintahkan "mengirim Al-Fatihah" secara ritual, namun ada riwayat dari sebagian ulama Salaf dan Tabi'in yang menunjukkan kebolehan membaca Al-Qur'an di sisi kuburan atau menghadiahkan pahalanya. Misalnya, Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah meriwayatkan bahwa Abu Bakar bin Yahya bin Al-Mu'ammal mengatakan, "Saya mendengar ayah saya mengatakan, 'Saya telah melihat orang-orang pada umumnya (yaitu para ulama dan orang-orang saleh) mengizinkan untuk membaca Al-Qur'an di kuburan'."
Kunci dari sampainya pahala ini adalah niat yang tulus dari pembaca. Seseorang yang membaca Al-Fatihah atau surah lainnya dari Al-Qur'an dengan niat tulus agar pahalanya sampai kepada almarhum, maka Allah SWT dengan kemurahan-Nya akan menyampaikan pahala tersebut. Ini adalah bentuk rahmat dan anugerah Allah.
Setiap huruf Al-Qur'an yang dibaca adalah kebaikan dan mendatangkan pahala. Ketika seseorang melakukan kebaikan ini dan berniat menghadiahkan pahalanya, maka Allah tidak akan menyia-nyiakan niat baik hamba-Nya. Konsep ini sesuai dengan sifat Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Para pendukung pandangan ini menekankan bahwa dalil ayat "tidaklah manusia mendapatkan kecuali apa yang telah diusahakannya" tidaklah menafikan sampainya pahala dari usaha orang lain yang dihadiahkan kepadanya. Ayat tersebut menjelaskan prinsip dasar pertanggungjawaban individu, namun tidak menutup pintu rahmat Allah melalui amal kebaikan dan doa dari orang lain yang diniatkan khusus untuknya.
Bagi mereka, jika Allah mengizinkan doa, sedekah, dan haji badal sampai kepada almarhum, maka membaca Al-Qur'an yang juga merupakan ibadah agung dan mengandung doa tentu saja bisa sampai. Ini adalah bentuk luasnya rahmat Allah SWT.
Sebagian ulama, terutama dari mazhab Syafi'i dan Maliki, serta beberapa ulama kontemporer, berpendapat bahwa pahala bacaan Al-Qur'an tidak sampai kepada almarhum. Mereka berpegang pada dalil-dalil berikut:
Mereka merujuk pada ayat di Surah An-Najm (53:39) yang telah disebutkan sebelumnya: "Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya." Bagi mereka, ayat ini adalah dalil yang kuat bahwa setiap individu hanya akan mendapatkan pahala dari amal perbuatannya sendiri. Menerima pahala dari orang lain dianggap bertentangan dengan prinsip ini.
Hadits Nabi SAW: "Apabila anak Adam meninggal dunia, terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya." Mereka berargumen bahwa hadits ini bersifat eksklusif. Jika ada amalan lain yang pahalanya bisa sampai, tentu Nabi SAW akan menyebutkannya. Karena bacaan Al-Qur'an tidak disebut secara eksplisit, maka dianggap tidak termasuk.
Para ulama yang menolak berpendapat bahwa tidak ada riwayat yang sahih dan eksplisit bahwa Nabi Muhammad SAW atau para sahabat beliau secara rutin atau khusus membaca Al-Qur'an dan menghadiahkan pahalanya kepada almarhum. Jika amalan ini adalah kebaikan yang besar, tentu Nabi dan para sahabat akan menjadi yang pertama melakukannya dan mengajarkannya.
Mereka berpendapat bahwa ibadah fisik seperti shalat, puasa, dan membaca Al-Qur'an adalah ibadah personal yang tidak dapat diwakilkan atau dihadiahkan pahalanya, kecuali ada dalil khusus yang jelas (seperti haji badal atau qadha' puasa). Ini untuk menjaga kemurnian ibadah dan mencegah praktik-praktik yang memberatkan atau mengarah pada bid'ah.
Para ulama dalam pandangan ini membedakan antara pahala murni dari membaca Al-Qur'an dengan pahala dari doa. Mereka sepakat bahwa doa untuk almarhum itu sampai. Namun, pahala membaca Al-Qur'an itu sendiri adalah untuk si pembaca, dan doa setelah membaca Al-Qur'an agar Allah menyampaikan pahala kepada almarhum adalah hal yang berbeda. Yang sampai hanyalah doa, bukan pahala bacaannya.
Sebagian ulama yang tidak memperbolehkan juga mengkhawatirkan praktik-praktik yang berlebihan atau ritualistik yang tidak sesuai syariat, seperti mengkhususkan waktu, tempat, atau jumlah bacaan tertentu, atau bahkan praktik "jual beli" bacaan Al-Qur'an untuk almarhum, yang semua ini dianggap bid'ah.
Melihat adanya perbedaan pendapat yang kuat di antara ulama salaf maupun khalaf, penting bagi seorang Muslim untuk bersikap bijaksana. Dalam masalah-masalah khilafiyah (perbedaan pendapat) seperti ini, yang terpenting adalah:
Secara umum, mayoritas ulama cenderung memperbolehkan, dengan syarat bahwa tidak ada ritualisasi yang berlebihan dan diniatkan dengan tulus. Mereka melihatnya sebagai bentuk doa dan kebaikan yang luas dari rahmat Allah.
Bagi Anda yang mengikuti pandangan jumhur ulama yang memperbolehkan sampainya pahala bacaan Al-Fatihah kepada almarhum, berikut adalah panduan praktisnya:
"Ya Allah, terimalah bacaan Al-Fatihah hamba ini, dan sampaikanlah pahalanya serta jadikanlah ia sebagai cahaya dan rahmat bagi hamba-Mu (sebutkan nama almarhum/ah) yang telah Engkau panggil kembali. Ampunilah dosa-dosanya, luaskan kuburnya, dan terangilah ia di alam barzakh. Limpahkanlah rahmat dan ampunan-Mu kepadanya, ya Arhamar Rahimin."
Anda bisa menggunakan doa dalam bahasa Arab atau bahasa Indonesia, yang terpenting adalah kekhusyukan dan ketulusan hati.
Intinya adalah melakukan amal kebaikan (membaca Al-Fatihah) dengan niat ikhlas, kemudian memohon kepada Allah agar Dia menyampaikan pahalanya kepada orang yang telah meninggal. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu dan Maha Luas Rahmat-Nya.
Simbol kedamaian dan spiritualitas, mengingatkan pada pentingnya amal saleh.
Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai sampainya pahala bacaan Al-Fatihah, ada banyak amalan lain yang secara ijma' (konsensus) ulama disepakati dapat memberikan manfaat dan pahala kepada almarhum. Fokus pada amalan-amalan ini adalah pilihan yang aman dan sangat dianjurkan. Berikut adalah beberapa di antaranya:
Ini adalah amalan yang paling utama dan disepakati oleh seluruh ulama. Doa dari anak yang saleh atau kerabat lainnya adalah salah satu dari tiga amal yang tidak terputus. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an (Surah Al-Hasyr: 10) tentang doa orang mukmin untuk sesama mukmin yang telah mendahului mereka. Doa bisa dipanjatkan kapan saja, di mana saja, dengan tulus dan penuh harap kepada Allah. Contoh doa:
Penting untuk berdoa dengan keyakinan bahwa Allah akan mengabulkan doa hamba-Nya.
Seperti yang disebutkan dalam hadits, sedekah jariyah adalah amal yang pahalanya terus mengalir. Anda bisa bersedekah atas nama almarhum dengan berbagai cara:
Sedekah jariyah adalah investasi akhirat yang sangat menguntungkan.
Jika almarhum belum melaksanakan haji padahal ia mampu semasa hidupnya, atau ia bernazar untuk haji tetapi meninggal sebelum sempat melaksanakannya, maka ahli waris atau orang lain dapat melaksanakan haji atau umrah badal (mewakilkan) atas nama almarhum. Ini disepakati kebolehannya berdasarkan hadits Nabi SAW.
Hutang adalah sesuatu yang sangat penting dalam Islam. Jiwa seseorang bisa "tergantung" karena hutang yang belum terbayar. Jika almarhum memiliki hutang kepada manusia atau kepada Allah (misalnya puasa yang belum diqadha' atau zakat yang belum dibayar), maka melunasi hutang-hutang tersebut adalah salah satu cara terbaik untuk meringankan beban almarhum di alam kubur. Ahli waris memiliki tanggung jawab utama untuk melunasinya dari harta peninggalan almarhum.
Berbuat baik kepada keluarga dan sahabat almarhum adalah salah satu bentuk birrul walidain (berbakti kepada orang tua) setelah mereka meninggal. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya sebaik-baik bakti adalah menyambung hubungan dengan teman-teman ayahnya." (HR. Muslim). Mengunjungi, membantu, atau menjaga hubungan baik dengan orang-orang yang dicintai almarhum juga merupakan cara untuk terus mengalirkan kebaikan untuknya.
Ini adalah investasi jangka panjang terbesar. Anak yang dididik dengan baik, memahami agama, dan kemudian mendoakan kedua orang tuanya adalah hadiah terindah. Oleh karena itu, berinvestasi dalam pendidikan agama anak adalah bentuk bakti yang tidak akan terputus.
Jika almarhum adalah seorang guru, penulis, atau seseorang yang memiliki ilmu bermanfaat, maka melanjutkan penyebaran ilmunya (misalnya mencetak ulang bukunya, mengajarkan ilmunya) akan terus mengalirkan pahala kepadanya.
Dengan berfokus pada amalan-amalan yang disepakati ini, seorang Muslim dapat memastikan bahwa ia telah berbuat semaksimal mungkin untuk kebaikan almarhum tanpa terjebak dalam perdebatan hukum atau amalan yang diragukan.
Ketika berinteraksi dengan alam kubur atau mendoakan almarhum, ada beberapa adab dan etika yang perlu diperhatikan:
Dalam upaya untuk berbakti kepada almarhum, terkadang muncul praktik-praktik yang kurang tepat atau bahkan termasuk bid'ah. Penting untuk mengetahuinya agar kita tidak terjerumus pada amalan yang tidak dicontohkan oleh Nabi SAW:
Misalnya, mengadakan acara tahlilan atau yasinan rutin setiap malam Jumat, hari ke-3, ke-7, ke-40, atau ke-100 setelah kematian, dengan keyakinan bahwa itu adalah suatu keharusan syar'i. Mengadakan perkumpulan untuk membaca Al-Qur'an dan berdoa itu boleh saja, asalkan tidak dianggap sebagai sunah yang wajib atau diyakini memiliki keutamaan khusus yang tidak ada dalilnya.
Ini adalah kesalahpahaman. Kebaikan atau keburukan almarhum bergantung pada amal perbuatannya sendiri. Bacaan Al-Fatihah atau Yasin (jika diniatkan untuk almarhum dan diterima Allah) adalah tambahan, bukan penentu mutlak nasibnya.
Membayar orang lain untuk membaca Al-Qur'an dan menghadiahkan pahalanya kepada almarhum adalah praktik yang diperselisihkan dan cenderung tidak dibolehkan oleh sebagian besar ulama. Ibadah harus murni karena Allah, dan pahala bacaan Al-Qur'an pada dasarnya untuk si pembaca. Jika ada yang membaca, ia melakukannya atas dasar kebaikan, bukan karena upah.
Ini adalah syirik besar. Segala bentuk permohonan, pertolongan, dan berkah hanya boleh ditujukan kepada Allah SWT. Orang yang telah meninggal tidak dapat memberi manfaat atau mudarat kepada yang hidup.
Mengadakan pesta, makan-makan, atau acara hiburan di kuburan adalah praktik yang tidak sesuai dengan adab dan tujuan ziarah kubur.
Talqin adalah membimbing orang yang sekarat untuk mengucapkan syahadat. Setelah meninggal dan dikuburkan, sebagian ulama berpendapat talqin tidak lagi disyariatkan, meskipun ada juga yang berpendapat sebaliknya. Namun, jika dilakukan, harus sesuai dengan kaidah syar'i tanpa tambahan yang berlebihan.
Penting bagi seorang Muslim untuk selalu merujuk kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah yang sahih, serta memahami ijtihad ulama yang kredibel, untuk memastikan bahwa amalan yang dilakukan sesuai dengan tuntunan agama.
Diskusi mengenai cara mengirim Al-Fatihah untuk almarhum ini bukan hanya tentang praktik ibadah semata, melainkan juga mengandung hikmah dan pelajaran yang mendalam:
Pertanyaan mengenai cara mengirim Surah Al-Fatihah untuk almarhum adalah refleksi dari fitrah manusia yang ingin terus berbakti kepada orang-orang yang dicintai, meskipun mereka telah berpulang ke rahmatullah. Dalam Islam, masalah ini termasuk dalam ranah khilafiyah (perbedaan pendapat) di antara para ulama.
Mayoritas ulama cenderung memperbolehkan sampainya pahala bacaan Al-Qur'an, termasuk Al-Fatihah, kepada almarhum jika diniatkan dengan tulus dan diiringi doa agar Allah menyampaikannya. Mereka berargumen dengan analogi pada amalan yang disepakati sampainya seperti doa, sedekah, dan haji badal, serta melihatnya sebagai bagian dari keluasan rahmat Allah SWT.
Di sisi lain, sebagian ulama berpendapat bahwa pahala bacaan Al-Qur'an tidak sampai kepada almarhum kecuali yang disebutkan secara eksplisit dalam dalil, dengan alasan prinsip setiap individu bertanggung jawab atas amalnya sendiri dan tidak adanya contoh langsung dari Nabi SAW. Mereka menekankan bahwa yang pasti sampai adalah doa itu sendiri.
Sebagai seorang Muslim, kita dianjurkan untuk bersikap moderat dan bijaksana dalam menyikapi perbedaan ini. Jika seseorang merasa yakin dan tenang dengan pandangan yang memperbolehkan, ia boleh melaksanakannya dengan niat tulus dan tanpa ritualisasi yang berlebihan. Namun, jika ada keraguan, selalu lebih baik berpegang pada amalan-amalan yang disepakati secara mutlak sampainya pahalanya kepada almarhum, yaitu:
Fokus pada amalan-amalan ini akan memastikan bahwa Anda telah melakukan yang terbaik untuk orang yang Anda cintai di akhirat, dan insya Allah, Allah SWT akan menerima amal kebaikan Anda dan melapangkan jalan bagi almarhum. Yang terpenting adalah keikhlasan hati dalam beramal, berbekal ilmu yang benar, dan senantiasa memohon rahmat dan ampunan dari Allah SWT.
Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita semua dalam beribadah dan beramal saleh, serta merahmati seluruh kaum Muslimin yang telah mendahului kita.