Surah Al-Kafirun adalah salah satu surah pendek yang memiliki kedudukan sangat istimewa dalam Al-Qur'an. Terletak pada juz ke-30 dan merupakan surah Makkiyah, yang berarti diturunkan di Mekah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Surah ini secara tegas memisahkan batas-batas akidah antara seorang Muslim dan kaum kafir, menekankan pentingnya menjaga kemurnian tauhid dari segala bentuk syirik atau sinkretisme agama. Enam ayat pendeknya memuat pesan yang sangat powerful dan relevan sepanjang masa. Artikel ini akan mengupas tuntas salah satu ayat paling fundamental di dalamnya, yaitu bunyi ayat ke 3 surat al kafirun adalah sebuah deklarasi penolakan mutlak terhadap praktik penyembahan kaum kafir, serta makna-makna mendalam yang terkandung di baliknya.
Memahami konteks turunnya surah ini akan membuka wawasan kita tentang keberanian, ketegasan, dan kejelasan prinsip yang diajarkan Islam. Di tengah tekanan dan tawaran kompromi dari kaum musyrikin Mekah, Surah Al-Kafirun hadir sebagai benteng kokoh yang menjaga akidah Nabi dan para pengikutnya dari pencampuradukan. Mari kita selami lebih dalam setiap aspek dari ayat ketiga ini, mulai dari teks Arabnya, transliterasi, terjemahan, hingga implikasi teologis dan penerapannya dalam kehidupan modern.
Surah Al-Kafirun, yang berarti "Orang-orang Kafir", adalah surah ke-109 dalam urutan mushaf Al-Qur'an. Ia terdiri dari 6 ayat dan termasuk golongan surah Makkiyah. Penamaannya diambil dari kata "Al-Kafirun" yang disebutkan pada ayat pertamanya. Surah ini merupakan deklarasi tegas tentang pemisahan akidah antara Nabi Muhammad SAW dan orang-orang kafir yang menolak tauhid.
Dalam sejarah Islam, khususnya pada periode Mekah, Nabi Muhammad SAW menghadapi berbagai bentuk perlawanan dan tekanan dari kaum Quraisy. Mereka berusaha menghentikan dakwah Nabi dengan berbagai cara, mulai dari intimidasi, siksaan, boikot, hingga tawaran-tawaran kompromi. Salah satu bentuk tawaran kompromi inilah yang menjadi latar belakang utama turunnya Surah Al-Kafirun. Kaum kafir Quraisy mengusulkan agar Nabi Muhammad SAW menyembah berhala mereka selama satu tahun, dan sebagai balasannya, mereka akan menyembah Allah SWT selama satu tahun pula. Tawaran ini adalah upaya untuk mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan, untuk mencari titik temu yang sebenarnya tidak pernah ada dalam urusan akidah.
Di sinilah Surah Al-Kafirun turun sebagai jawaban ilahi yang tegas. Allah SWT memerintahkan Nabi-Nya untuk menyatakan penolakan mutlak terhadap tawaran tersebut, dan secara jelas membedakan jalan tauhid dari jalan syirik. Surah ini bukan hanya sekadar penolakan sementara, melainkan sebuah prinsip abadi yang membatasi antara keimanan yang murni dan kekufuran.
Sebelum kita mengkaji lebih jauh tentang bunyi ayat ke 3 surat al kafirun adalah apa dan maknanya, mari kita lihat terlebih dahulu keseluruhan teks Surah Al-Kafirun beserta transliterasi dan terjemahannya.
Ayat-ayat di atas secara berurutan membentuk sebuah deklarasi yang sangat jelas dan tegas. Masing-masing ayat memiliki peran penting dalam membangun argumen pemisahan akidah ini. Kini, mari kita fokus pada inti pembahasan kita, yaitu ayat ketiga.
Setelah melihat keseluruhan surah, kini kita akan mengkaji secara spesifik bunyi ayat ke 3 surat al kafirun adalah sebagai berikut:
Ayat ini datang setelah ayat kedua yang menyatakan penolakan Nabi terhadap sesembahan kaum kafir. Jika ayat kedua adalah pernyataan "aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah", maka ayat ketiga ini adalah pernyataan timbal balik yang penting: "dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah." Ini bukan sekadar pengulangan, melainkan sebuah penegasan yang mendalam tentang perbedaan fundamental.
Dari analisis ini, terlihat jelas bahwa bunyi ayat ke 3 surat al kafirun adalah sebuah pernyataan yang sangat lugas. Ia menyatakan bahwa kaum kafir, dengan segala keyakinan dan praktik ibadah mereka, sama sekali tidak menyembah Tuhan yang disembah oleh Nabi Muhammad SAW. Ini menegaskan adanya jurang pemisah yang tidak dapat dijembatani dalam hal akidah dan objek penyembahan.
Ayat ketiga ini, "Wa lā antum ‘ābidūna mā a‘bud" (dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah), memiliki beberapa lapisan makna yang mendalam:
Ayat ketiga ini merupakan pilar penting dalam struktur Surah Al-Kafirun. Ia membangun argumen pemisahan akidah yang akan disimpulkan di akhir surah. Mari kita lihat kaitannya:
Dengan demikian, bunyi ayat ke 3 surat al kafirun adalah sebuah batu penjuru yang secara esensial membedakan identitas keimanan seorang Muslim dari non-Muslim. Ia bukan sekadar pernyataan belaka, tetapi fondasi yang kokoh untuk memahami prinsip-prinsip akidah Islam.
Memahami Asbabun Nuzul (sebab turunnya) Surah Al-Kafirun sangat penting untuk mengapresiasi kedalaman makna ayat ketiga ini. Surah ini turun di Mekah, pada masa-masa awal dakwah Nabi Muhammad SAW, ketika kaum Quraisy merasakan bahwa dakwah Islam semakin mengancam posisi dan kepercayaan tradisional mereka.
Kisah yang paling masyhur mengenai Asbabun Nuzul surah ini diriwayatkan oleh beberapa ulama tafsir, di antaranya Ibnu Katsir, bersumber dari Ibnu Abbas dan lainnya. Kaum musyrikin Quraisy, setelah berbagai upaya intimidasi dan siksaan tidak berhasil menghentikan dakwah Nabi, mencoba pendekatan lain: kompromi.
Mereka datang kepada Nabi Muhammad SAW dan mengajukan usulan: "Wahai Muhammad, marilah kita saling menyembah tuhan satu sama lain. Kami akan menyembah Tuhanmu selama satu tahun, dan kamu akan menyembah tuhan-tuhan kami selama satu tahun. Dengan demikian, kita bisa berdamai dan kita semua mendapatkan kebaikan." Dalam riwayat lain disebutkan, mereka berkata, "Kami akan menyembah Tuhanmu dan kamu akan menyembah tuhan-tuhan kami, dan kami akan menjadikanmu bagian dari urusan kami, sehingga kamu bisa menjadi pemimpin kami."
Tawaran ini adalah sebuah ujian besar bagi Nabi Muhammad SAW. Secara kasat mata, tawaran ini mungkin terlihat menarik sebagai jalan tengah untuk meredakan konflik. Namun, secara prinsip akidah, tawaran ini adalah jebakan syirik yang fatal. Ia akan mencampuradukkan tauhid murni dengan penyembahan berhala.
Maka, sebagai respons langsung terhadap tawaran kompromi ini, Allah SWT menurunkan Surah Al-Kafirun. Surah ini secara tegas memerintahkan Nabi untuk menolak mentah-mentah tawaran tersebut, dan mendeklarasikan pemisahan yang mutlak antara Islam dan kekafiran.
Dalam konteks inilah, bunyi ayat ke 3 surat al kafirun adalah sebuah respons langsung yang menegaskan bahwa tidak ada ruang bagi tawar-menawar dalam akidah. Pernyataan "dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah" adalah penegasan bahwa identitas keyakinan kaum musyrikin itu sendiri sudah sangat berbeda, sehingga tidak mungkin ada titik temu dalam ibadah. Bahkan jika mereka menawarkan untuk menyembah Allah untuk sementara waktu, esensi penyembahan mereka tetap tidak murni dan berbeda dari penyembahan Nabi.
Salah satu kesalahpahaman umum mengenai Surah Al-Kafirun adalah bahwa ia mengajarkan intoleransi atau kebencian terhadap non-Muslim. Padahal, surah ini justru mengajarkan toleransi dalam makna yang paling benar, yaitu mengakui dan menghormati perbedaan tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip agama sendiri.
Penting untuk membedakan antara toleransi dalam interaksi sosial (muamalah) dan kompromi dalam akidah (ibadah). Islam dengan tegas mengajarkan toleransi dalam bermuamalah dengan non-Muslim: berlaku adil, berbuat baik, tidak memaksakan agama, dan hidup berdampingan secara damai. Banyak ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi yang mendukung prinsip ini, seperti firman Allah dalam Surah Al-Mumtahanah ayat 8: "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu."
Namun, dalam urusan akidah dan penyembahan, Islam sangatlah tegas. Tidak ada celah sedikit pun untuk mencampuradukkan atau mengkompromikan prinsip-prinsip tauhid. Di sinilah Surah Al-Kafirun, dan khususnya bunyi ayat ke 3 surat al kafirun adalah pernyataan yang menegaskan batas tersebut, berperan vital.
Ayat ketiga, "Wa lā antum ‘ābidūna mā a‘bud" (dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah), secara jelas menyatakan bahwa objek penyembahan kaum kafir bukanlah objek penyembahan Nabi. Ini adalah sebuah fakta objektif tentang perbedaan kepercayaan. Tidak ada tawar-menawar tentang siapa Tuhan yang disembah atau bagaimana Dia disembah. Tuhan yang Maha Esa, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya (sebagaimana ditegaskan dalam Surah Al-Ikhlas), tidak dapat disamakan atau dicampuradukkan dengan berhala atau tuhan-tuhan lain yang disembah oleh kaum musyrikin.
Oleh karena itu, jika ada ajakan untuk "menyembah bersama," "bertukar tuhan," atau "mencari titik temu dalam ibadah," maka seorang Muslim harus menolak dengan tegas, sebagaimana Nabi Muhammad SAW menolak tawaran kaum Quraisy. Penolakan ini bukan karena kebencian, melainkan karena menjaga kemurnian tauhid dan keesaan Allah SWT. Mencampuradukkan akidah adalah bentuk syirik, dosa terbesar dalam Islam.
Ayat terakhir Surah Al-Kafirun, "Lakum dīnukum wa liya dīn" (Untukmu agamamu, dan untukku agamaku), seringkali disalahartikan. Sebagian menganggapnya sebagai bentuk permisifisme total yang membuka pintu untuk kompromi akidah. Padahal, justru sebaliknya. Ayat ini adalah puncak dari deklarasi pemisahan akidah yang telah ditegaskan dalam ayat-ayat sebelumnya, termasuk bunyi ayat ke 3 surat al kafirun adalah.
Setelah menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada kesamaan dalam objek penyembahan dan cara ibadah, ayat keenam ini menyimpulkan bahwa konsekuensinya adalah masing-masing pihak memiliki agama sendiri-sendiri. Ini adalah bentuk toleransi yang hakiki: mengakui bahwa setiap kelompok berhak atas kepercayaannya sendiri, dan tidak ada pemaksaan. Namun, pengakuan ini tidak berarti penggabungan atau penyatuan. Itu berarti "biarkanlah kamu dengan apa yang kamu yakini, dan biarkanlah aku dengan apa yang aku yakini." Ini adalah toleransi dalam bentuk menghormati perbedaan tanpa mencampuradukkan esensi keimanan.
Dengan demikian, Surah Al-Kafirun, dengan ayat ketiganya sebagai salah satu fondasi utamanya, mengajarkan bahwa seorang Muslim harus teguh dalam akidahnya, menolak segala bentuk kompromi yang bisa merusak tauhid, namun pada saat yang sama, ia juga harus bersikap toleran dalam interaksi sosial, menghormati hak orang lain untuk menjalankan agamanya tanpa paksaan.
Kandungan Surah Al-Kafirun, terutama setelah memahami makna bunyi ayat ke 3 surat al kafirun adalah sebuah deklarasi penolakan, memberikan banyak hikmah dan pelajaran berharga bagi umat Islam:
Pelajaran paling fundamental dari surah ini adalah pentingnya ketegasan dalam memegang teguh prinsip tauhid. Tidak ada tawar-menawar, tidak ada kompromi, dan tidak ada pencampuradukan antara menyembah Allah Yang Maha Esa dengan menyembah selain-Nya. Keyakinan akan keesaan Allah adalah pondasi utama Islam yang tidak boleh digoyahkan oleh bujukan atau tekanan apa pun.
Surah ini berfungsi sebagai pengingat konstan bagi setiap Muslim untuk selalu menjaga kemurnian akidahnya. Di dunia yang semakin plural dan interkoneksi budaya yang intens, godaan untuk mencampuradukkan nilai-nilai atau bahkan praktik keagamaan mungkin muncul. Surah Al-Kafirun mengingatkan bahwa dalam urusan ibadah, tidak ada toleransi yang berarti mengorbankan tauhid.
Ayat-ayat dalam surah ini membantu membentuk identitas seorang Muslim yang jelas. Ia tahu siapa Tuhannya, apa yang disembahnya, dan apa yang tidak disembahnya. Kejelasan ini penting untuk menghindari kebingungan dan memperkuat iman. Bunyi ayat ke 3 surat al kafirun adalah bagian integral dari deklarasi identitas ini.
Asbabun Nuzul surah ini menunjukkan bagaimana Nabi Muhammad SAW, sebagai teladan umat, menolak godaan duniawi demi mempertahankan akidah. Ini mengajarkan kita untuk mengikuti jejak beliau dalam menghadapi tantangan keimanan, mengutamakan perintah Allah di atas segala tawaran dunia.
Surah Al-Kafirun adalah pelajaran terbaik dalam membedakan antara toleransi yang terpuji (menghormati perbedaan agama orang lain dalam interaksi sosial) dan sinkretisme yang tercela (mencampuradukkan ajaran dan praktik agama). Seorang Muslim bisa hidup berdampingan secara damai dengan penganut agama lain, namun tidak bisa menyatukan ibadah atau keyakinan mereka.
Di tengah tekanan dan perbedaan, surah ini memberikan kekuatan mental dan spiritual bagi Muslim. Mengetahui bahwa Allah SWT telah memberikan panduan yang jelas dalam menghadapi situasi semacam itu akan menguatkan hati dan keyakinan. Ini adalah benteng dari keraguan dan kekhawatiran.
Ayat terakhir surah ini sering disalahpahami. Namun, dengan memahami ayat-ayat sebelumnya, termasuk ayat ketiga, kita mengerti bahwa frasa "Lakum dīnukum wa liya dīn" bukanlah ajakan untuk mengabaikan dakwah atau untuk bersikap apatis terhadap agama lain. Sebaliknya, ini adalah pengakuan atas otonomi keyakinan dan prinsip bahwa tidak ada paksaan dalam agama, namun tanpa mengkompromikan prinsip-prinsip dasar tauhid. Ini adalah bentuk toleransi tertinggi, yaitu menerima adanya perbedaan yang tak dapat dipertemukan dalam ranah akidah, sambil tetap menjaga hubungan kemanusiaan.
Pada setiap zaman, akan selalu ada godaan untuk melonggarkan prinsip-prinsip agama demi keuntungan sesaat, popularitas, atau perdamaian yang semu. Surah Al-Kafirun, dengan tegasnya ayat ketiga, menjadi peringatan abadi bahwa iman sejati menuntut keteguhan dan kejelasan.
Seringkali Surah Al-Kafirun disebutkan bersamaan dengan Surah Al-Ikhlas. Kedua surah ini, meskipun pendek, dianggap sebagai dua pilar utama dalam akidah Islam, terutama dalam konteks tauhid dan penolakan syirik. Keduanya bahkan dianjurkan untuk dibaca bersama dalam shalat sunah, seperti shalat witir, shalat fajar, atau shalat dua rakaat setelah tawaf.
Surah Al-Ikhlas (Qul Huwallahu Ahad) adalah surah yang secara positif menegaskan keesaan Allah SWT. Ia menjelaskan sifat-sifat Allah yang Maha Esa: "Katakanlah (Muhammad), Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia." Surah ini adalah deklarasi murni tentang siapa Allah itu.
Di sisi lain, Surah Al-Kafirun, dengan bunyi ayat ke 3 surat al kafirun adalah sebagai salah satu inti, berfungsi sebagai deklarasi negatif: ia menolak segala bentuk penyembahan selain Allah. Ini adalah pernyataan tentang siapa yang tidak disembah oleh seorang Muslim, dan apa yang bukan Tuhan. Dengan kata lain:
Kedua surah ini saling melengkapi. Tauhid yang sempurna adalah yang memadukan antara penegasan bahwa hanya Allah yang berhak disembah, dan penolakan terhadap segala bentuk sesembahan selain-Nya. Membaca keduanya secara bersamaan dalam ibadah adalah cara untuk menginternalisasi kedua aspek fundamental akidah ini.
Al-Qur'an dikenal dengan keindahan bahasa dan kedalaman retorikanya. Ayat ketiga Surah Al-Kafirun, meskipun singkat, juga sarat dengan kekuatan linguistik:
Dengan kekuatan retorikanya, ayat ketiga ini tidak hanya menyampaikan pesan, tetapi juga menanamkan keyakinan dan keteguhan di hati pendengarnya.
Pelajaran dari Surah Al-Kafirun, dan secara khusus pemahaman akan bunyi ayat ke 3 surat al kafirun adalah sebuah prinsip, sangat relevan untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari seorang Muslim:
Dalam era globalisasi dan pluralisme, seorang Muslim akan dihadapkan pada berbagai pemikiran dan kepercayaan. Memahami surah ini dapat membentuk semacam "kekebalan akidah" yang mencegah diri dari terpengaruh oleh upaya pencampuradukan agama atau ideologi yang bertentangan dengan tauhid.
Surah ini memberikan kerangka yang jelas tentang bagaimana berinteraksi dengan non-Muslim. Kita bergaul, berdagang, dan hidup bertetangga dengan baik, saling menghormati sebagai sesama manusia. Namun, ketika menyangkut ibadah dan keyakinan, kita mempertahankan batas yang tegas. Ini mencegah konflik yang timbul dari upaya paksaan atau kebingungan dalam identitas.
Tidak hanya dengan agama lain, prinsip surah ini juga dapat diterapkan dalam menjaga kemurnian ajaran Islam dari inovasi (bid'ah) atau pemikiran yang menyimpang dari akidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah. Jika suatu praktik atau keyakinan tidak sesuai dengan apa yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya, seorang Muslim harus memiliki ketegasan untuk menolaknya.
Meskipun ada pemisahan akidah yang jelas, Surah Al-Kafirun tidak berarti menghentikan dakwah. Justru, ketegasan dalam akidah inilah yang menjadi dasar kekuatan untuk menyampaikan kebenaran Islam kepada orang lain, tanpa mencampuradukkan atau menipu. Dakwah dilakukan dengan hikmah dan cara yang baik, namun prinsip dasar tauhid tidak boleh dikompromikan.
Seorang Muslim yang memahami dan mengamalkan surah ini akan tumbuh menjadi pribadi yang berprinsip, tidak mudah goyah oleh desakan lingkungan, dan memiliki keyakinan yang kuat. Keteguhan ini adalah salah satu karakter mulia yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Ada beberapa kesalahpahaman yang sering muncul terkait Surah Al-Kafirun, dan pemahaman yang tepat tentang bunyi ayat ke 3 surat al kafirun adalah akan membantu meluruskannya:
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, surah ini bukan ajakan untuk membenci non-Muslim atau bersikap intoleran dalam arti negatif. Ia adalah deklarasi tentang perbedaan akidah yang mendasar. Perbedaan akidah tidak sama dengan permusuhan sosial. Islam mengajarkan perdamaian, keadilan, dan kasih sayang terhadap sesama manusia, terlepas dari agama mereka, selama mereka tidak memusuhi Islam. Surah ini hanya menetapkan batasan dalam keyakinan dan ibadah, bukan dalam interaksi kemanusiaan.
Beberapa orang mungkin merasa Surah Al-Kafirun bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur'an lain yang menyerukan toleransi, seperti "Tidak ada paksaan dalam agama" (Al-Baqarah: 256). Padahal, tidak ada pertentangan. Ayat-ayat tersebut berbicara tentang kebebasan memilih agama dan tidak bolehnya pemaksaan. Surah Al-Kafirun mendukung ini dengan mengatakan "untukmu agamamu, dan untukku agamaku." Artinya, masing-masing pihak memiliki kebebasan untuk memegang keyakinannya tanpa paksaan dari pihak lain. Namun, kebebasan ini tidak berarti mengkompromikan prinsip-prinsip akidah di antara agama-agama.
Justru sebaliknya, Surah Al-Kafirun sangat relevan di zaman modern yang serba majemuk ini. Di mana upaya-upaya sinkretisme agama atau pencampuradukan ajaran sering terjadi atas nama "persatuan" atau "toleransi." Surah ini mengingatkan Muslim untuk tetap teguh pada prinsip-prinsip tauhid, sambil tetap bisa hidup rukun dengan komunitas beragama lainnya.
Beberapa mungkin melihat pengulangan ayat kedua/ketiga dengan ayat keempat/kelima sebagai redudansi. Namun, dalam retorika Arab dan Al-Qur'an, pengulangan seringkali berfungsi sebagai penekanan (taukid) yang kuat. Pengulangan ini memperkuat pesan penolakan mutlak dan menunjukkan bahwa perbedaan ini bersifat permanen, tidak hanya pada saat itu tetapi juga sepanjang waktu dan di setiap kondisi. Ini adalah gaya bahasa Al-Qur'an yang khas untuk mempertegas makna dan menghilangkan keraguan.
Memahami poin-poin ini akan membantu seorang Muslim menempatkan Surah Al-Kafirun pada konteks yang tepat dan mengambil pelajaran yang benar darinya, tanpa terjerumus pada ekstremisme atau kelonggaran akidah.
Surah Al-Kafirun adalah sebuah surah yang ringkas namun memiliki bobot makna yang sangat besar dalam akidah Islam. Ia merupakan deklarasi tegas tentang pemisahan yang mutlak antara tauhid dan syirik, serta antara Islam dan kekafiran.
Inti dari surah ini terletak pada penolakan tegas terhadap segala bentuk kompromi dalam masalah penyembahan dan keyakinan. Dalam artikel ini, kita telah mengupas tuntas bahwa bunyi ayat ke 3 surat al kafirun adalah "Wa lā antum ‘ābidūna mā a‘bud" (dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah). Ayat ini bukan sekadar penolakan sementara, melainkan sebuah pernyataan mendalam yang menegaskan bahwa objek penyembahan kaum kafir secara fundamental berbeda dari objek penyembahan seorang Muslim, yaitu Allah SWT semata. Perbedaan ini bersifat esensial dan tidak dapat disatukan.
Melalui analisis teks, konteks Asbabun Nuzul, serta kaitan dengan prinsip toleransi dalam Islam, kita dapat memahami bahwa Surah Al-Kafirun mengajarkan ketegasan dalam memegang teguh akidah tauhid, menjaga kemurnian iman dari segala bentuk sinkretisme, namun tetap menjunjung tinggi toleransi dalam interaksi sosial. Ini adalah peta jalan bagi seorang Muslim untuk mempertahankan identitas keislamannya di tengah keragaman dunia, tanpa harus terjebak dalam godaan pencampuradukan agama.
Sebagai penutup, marilah kita jadikan Surah Al-Kafirun sebagai pengingat abadi akan pentingnya kejelasan dan keteguhan dalam akidah. Semoga kita senantiasa dikaruniai kekuatan untuk menjaga iman kita agar tetap murni, hanya menyembah Allah SWT semata, dan menjauhi segala bentuk syirik, sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW melalui wahyu Ilahi ini.