Batubara telah lama menjadi tulang punggung energi dunia, khususnya dalam sektor pembangkit listrik. Sebagai bahan bakar fosil padat, ketersediaannya yang melimpah di banyak wilayah menjadikannya pilihan utama untuk memenuhi kebutuhan energi yang terus meningkat. Secara geologis, batubara terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan purba yang mengalami proses karbonisasi selama jutaan tahun di bawah tekanan dan suhu tinggi.
Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, ketergantungan pada batubara masih sangat tinggi karena efektivitas biaya dan infrastruktur yang sudah mapan. Energi yang dihasilkan dari pembakaran batubara memungkinkan industri beroperasi tanpa henti. Namun, sisi gelap dari pemanfaatan batubara adalah dampaknya terhadap lingkungan. Pembakaran batubara melepaskan emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar, terutama karbon dioksida, yang menjadi kontributor utama perubahan iklim global. Selain itu, polusi udara lokal akibat partikulat dan sulfur dioksida juga menjadi isu kesehatan masyarakat yang signifikan.
Berbeda dengan batubara yang merupakan bahan bakar padat terkonsentrasi, gambut adalah material organik hasil akumulasi sisa tumbuhan yang terendam air dalam jangka waktu sangat lama di lingkungan anaerobik (rendah oksigen). Gambut berfungsi sebagai penyimpan karbon alami yang sangat efisien. Lahan gambut di seluruh dunia menahan volume karbon yang jauh lebih besar dibandingkan biomassa hutan di atasnya.
Di kawasan tropis, lahan gambut memainkan peran vital dalam siklus hidrologi dan keanekaragaman hayati. Meskipun nilai energinya lebih rendah dibandingkan batubara, gambut juga dieksploitasi sebagai bahan bakar di beberapa daerah karena kemudahannya ditemukan di permukaan. Tantangan terbesar muncul ketika lahan gambut mengalami drainase, baik untuk perkebunan atau pembangunan infrastruktur.
Ketika gambut dikeringkan, proses dekomposisi oleh mikroorganisme dipercepat. Dalam kondisi kering dan terpapar oksigen, karbon yang tersimpan selama ribuan tahun dilepaskan ke atmosfer dalam bentuk karbon dioksida dalam waktu yang relatif singkat. Inilah mengapa pembukaan lahan gambut seringkali jauh lebih merusak lingkungan dalam jangka pendek dibandingkan dengan penambangan batubara.
Kebakaran lahan gambut adalah bencana ekologis yang sering terjadi di Asia Tenggara. Kebakaran ini sulit dipadamkan karena api menjalar di bawah permukaan tanah. Dampaknya menciptakan kabut asap (haze) lintas batas yang mengganggu kesehatan jutaan orang, mengancam ekosistem, dan melepaskan sejumlah besar gas rumah kaca dalam sekejap. Oleh karena itu, pengelolaan dan pelestarian lahan gambut menjadi prioritas mendesak dalam strategi mitigasi iklim.
Dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh kedua sumber daya ini memaksa dunia untuk mencari alternatif energi yang lebih bersih. Meskipun transisi dari batubara memerlukan waktu panjang karena kendala ekonomi dan ketersediaan teknologi, investasi besar-besaran diarahkan pada energi terbarukan seperti surya, angin, dan panas bumi.
Sementara itu, pelestarian gambut bukan hanya tentang energi, tetapi tentang ketahanan iklim dan air. Perlindungan lahan gambut dari kebakaran dan pengeringan adalah langkah krusial untuk memastikan bahwa penyimpan karbon alami ini tetap berfungsi sebagaimana mestinya, sekaligus menjaga keseimbangan ekosistem lokal. Masa depan energi berkelanjutan bergantung pada bagaimana kita menyeimbangkan kebutuhan energi saat ini dengan tanggung jawab menjaga aset alam seperti lahan gambut dan membatasi emisi dari bahan bakar fosil seperti batubara.