Ilustrasi butiran halus yang menjadi ciri khas batuan lanau.
Batuan lanau, atau yang dalam literatur geologi dikenal sebagai siltstone, merupakan jenis batuan sedimen klastik yang terbentuk dari pengendapan butiran mineral yang ukurannya berada di antara pasir (sand) dan lempung (clay). Secara definisi tekstural, ukuran butiran lanau berkisar antara 1/256 mm hingga 1/16 mm (atau sekitar 0,0039 mm hingga 0,0625 mm). Batuan ini sering kali tampak lebih halus daripada batupasir tetapi tidak sehalus batulumpur (mudstone).
Keunikan batuan lanau terletak pada teksturnya yang terasa sedikit kasar namun lembut saat disentuh, berbeda dengan batupasir yang terasa kasar jelas, atau lempung yang terasa sangat licin. Batuan ini sering kali menunjukkan struktur perlapisan (bedding) yang sangat halus, yang mencerminkan kondisi pengendapan yang tenang di lingkungan perairan.
Pembentukan batuan lanau adalah hasil dari siklus geologi yang panjang. Proses ini dimulai dari pelapukan batuan induk (seperti batuan beku atau metamorf) yang menghasilkan fragmen-fragmen mineral. Transportasi butiran ini kemudian dilakukan oleh agen-agen seperti air sungai, angin, atau es. Karena ukurannya yang relatif kecil, butiran lanau mampu terbawa jauh dari sumbernya.
Pengendapan (deposisi) terjadi ketika energi agen pembawa energi tersebut menurun drastis. Lingkungan pengendapan tipikal untuk batuan lanau meliputi dasar danau yang tenang, dataran banjir (floodplains), delta sungai, atau lingkungan laut dangkal dengan arus yang lemah. Ketika sedimen lanau terkumpul dalam lapisan tebal selama ribuan hingga jutaan tahun, lapisan tersebut akan mengalami proses diagenesis.
Diagenesis meliputi pemadatan (kompaksi) akibat beban sedimen di atasnya, yang mengeluarkan air dari pori-pori, diikuti oleh sementasi (cementation), di mana mineral terlarut seperti silika atau kalsit mengendap dan mengikat butiran-butiran lanau menjadi massa batuan yang padat dan koheren. Hasil akhirnya adalah batuan lanau yang keras.
Secara visual, batuan lanau seringkali berwarna abu-abu, cokelat, atau kemerahan, tergantung pada mineral oksida besi yang terkandung di dalamnya. Salah satu ciri utama yang membedakannya adalah kekerasannya. Jika batupasir umumnya keras, batuan lanau bisa bervariasi; beberapa sangat keras jika tersimen dengan silika kuat, sementara yang lain mudah lapuk jika semennya adalah kalsit atau hanya bergantung pada pemadatan.
Batuan lanau juga dikenal memiliki sifat permeabilitas yang relatif rendah dibandingkan batupasir, namun lebih tinggi daripada batulumpur. Sifat ini membuatnya penting dalam studi hidrogeologi. Selain itu, batuan lanau seringkali menjadi media penyimpanan fosil yang sangat baik, karena butiran halusnya mampu mengawetkan sisa-sisa organisme kecil dengan detail yang cukup baik.
Meskipun mungkin tidak sepopuler granit atau batu marmer, batuan lanau memiliki peran penting dalam berbagai aplikasi. Dalam konstruksi, batuan lanau yang padat dapat digunakan sebagai material agregat atau bahan baku pembuatan batu bata dan keramik. Dalam konteks industri semen, keberadaan material lempung dan lanau dalam batuan sering dipertimbangkan karena mempengaruhi sifat plastisitas dan kekuatan akhir.
Dari sudut pandang geologi minyak dan gas, batuan lanau sering ditemukan berselang-seling dengan serpih (shale) dan batupasir. Mereka dapat berperan sebagai batuan penutup (cap rock) yang kedap, membantu menjebak hidrokarbon di bawahnya. Selain itu, batuan lanau adalah indikator lingkungan pengendapan purba; keberadaannya memberi petunjuk tentang kecepatan aliran air dan jarak dari garis pantai di masa lampau.
Memahami sifat batuan lanau sangat krusial bagi para insinyur geoteknik ketika merencanakan pembangunan struktur di atas endapan sedimen. Stabilitas lereng yang mengandung batuan lanau sering menjadi perhatian karena kemampuannya menyerap air yang dapat memicu ketidakstabilan tanah dan potensi longsor.