Representasi visual proses industri yang melibatkan material keras seperti batu kokas.
Di jantung industri berat dunia, terdapat material yang sering kali terabaikan namun memiliki peran krusial: batu kokas. Dikenal juga sebagai kokas metalurgi, material padat, berpori, dan kaya karbon ini adalah hasil dari pemanasan batubara khusus (bituminous coal) tanpa adanya oksigen dalam proses yang disebut karbonisasi atau koking. Proses ini menghilangkan komponen volatil, meninggalkan karbon hampir murni yang sangat dibutuhkan untuk reaksi kimia dan penyediaan energi dalam skala besar.
Produksi batu kokas adalah serangkaian operasi teknik yang presisi. Batubara yang dipilih harus memiliki kualitas tertentu, terutama kandungan abu dan belerang yang rendah. Batubara ini dimasukkan ke dalam baterai oven kokas yang dipanaskan hingga suhu mencapai sekitar 1000 hingga 1200 derajat Celsius. Dalam kondisi anaerobik (tanpa oksigen), batubara bertransformasi. Gas dan cairan yang dilepaskan selama pemanasan ini biasanya dikumpulkan dan diolah lebih lanjut untuk menghasilkan produk sampingan seperti tar batubara dan amonia.
Setelah proses koking selesai, hasil yang tersisa adalah blok kokas yang kemudian didinginkan. Hasil akhir ini memiliki beberapa karakteristik penting yang menjadikannya tak tergantikan di beberapa sektor. Karakteristik tersebut antara lain memiliki kekuatan tekan yang tinggi (sehingga tidak mudah hancur di bawah beban berat), porositas yang memadai untuk memungkinkan aliran gas, serta kandungan karbon yang sangat tinggi. Kekuatan inilah yang membedakan batu kokas dari batubara biasa.
Penggunaan paling dominan dan paling penting dari batu kokas adalah sebagai bahan bakar dan agen pereduksi dalam tanur tinggi (blast furnace) untuk produksi besi mentah (pig iron). Dalam tanur tinggi, kokas berfungsi ganda. Pertama, ia bertindak sebagai sumber panas yang luar biasa, melepaskan energi termal yang diperlukan untuk melebur bijih besi dan fluks. Kedua, dan yang lebih penting, kokas adalah agen pereduksi utama.
Reaksi kimia utama melibatkan karbon dari kokas yang bereaksi dengan oksigen dari udara panas yang ditiupkan ke dalam tanur, menghasilkan karbon monoksida (CO). Karbon monoksida inilah yang kemudian mereduksi oksida besi dalam bijih besi (Fe2O3) menjadi besi cair (Fe). Tanpa pasokan karbon yang stabil dan kuat seperti yang disediakan oleh batu kokas, proses reduksi skala industri menjadi tidak efisien atau bahkan mustahil dilakukan dengan metode konvensional. Kualitas kokas secara langsung mempengaruhi efisiensi energi dan kualitas besi yang dihasilkan.
Meskipun dominasi industri baja sangat besar, batu kokas juga menemukan aplikasinya di sektor lain. Dalam industri peleburan non-ferrous (bukan besi), kokas dapat digunakan dalam pembuatan karbida kalsium (calcium carbide) yang merupakan prekursor asetilena. Selain itu, kokas juga digunakan dalam produksi ferosilisium dan beberapa paduan logam khusus di mana sifat reduktor karbon murni sangat dibutuhkan.
Bahkan, kokas petroleum (bukan dari batubara, tetapi memiliki fungsi serupa) digunakan secara luas dalam industri aluminium sebagai elektroda. Namun, fokus utama ketika membahas batu kokas tetap pada perannya dalam metalurgi besi dan baja, di mana ia menjadi penentu utama keberlangsungan rantai pasok material dasar bangunan modern.
Penggunaan batu kokas membawa serta tantangan lingkungan yang signifikan. Proses koking menghasilkan emisi gas rumah kaca yang tinggi, terutama karena sifatnya yang berbasis fosil. Selain itu, abu dan ter batubara yang merupakan produk sampingan juga memerlukan penanganan limbah yang ketat. Oleh karena itu, industri saat ini sedang gencar mencari solusi untuk mengurangi jejak karbonnya.
Inovasi difokuskan pada peningkatan efisiensi tanur tinggi agar kebutuhan kokas per ton besi menurun. Selain itu, penelitian mengenai penggunaan hidrogen sebagai agen pereduksi pengganti karbon (teknologi Direct Reduced Iron berbasis hidrogen) sedang menjadi fokus utama sebagai alternatif jangka panjang. Namun, mengingat skala dan keandalan batu kokas saat ini, transisi penuh diperkirakan akan memakan waktu yang cukup panjang, menegaskan bahwa material ini akan tetap menjadi tulang punggung industri berat untuk dekade mendatang, meski dengan upaya mitigasi lingkungan yang semakin ketat.