Al-Quran adalah pedoman hidup bagi umat Muslim, berisi petunjuk, hukum, kisah, dan hikmah yang tak terhingga. Di antara kekayaan isinya, terdapat surat-surat pendek yang meskipun ringkas, sarat dengan makna dan pelajaran mendalam. Dua di antaranya adalah Surat Asy-Syam dan Surat Al-Lail. Keduanya termasuk dalam kategori surat Makkiyah, yang diturunkan di Mekah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah, pada masa-masa awal dakwah Islam. Surat-surat Makkiyah ini umumnya berfokus pada penguatan tauhid (keesaan Allah), hari akhir, dan akhlak mulia, serta seringkali menggunakan sumpah-sumpah alam untuk menarik perhatian dan meyakinkan manusia akan kebenaran risalah Nabi.
Memahami dan merenungkan kedua surat ini adalah pintu gerbang menuju pemahaman yang lebih dalam tentang ciptaan Allah, fitrah manusia, dan konsekuensi dari pilihan hidup yang diambil. Artikel ini akan membahas secara tuntas bacaan, terjemahan, tafsir, serta hikmah yang terkandung dalam Surat Asy-Syam dan Surat Al-Lail, memberikan panduan lengkap bagi setiap Muslim yang ingin mendekatkan diri kepada kalamullah.
Surat Asy-Syam, yang berarti "Matahari", adalah surat ke-91 dalam Al-Quran, terdiri dari 15 ayat. Surat ini diturunkan di Mekah dan dikenal dengan gaya bahasanya yang penuh sumpah (قسم, qasam) terhadap fenomena alam semesta yang menakjubkan, yang berfungsi sebagai bukti atas kekuasaan Allah dan kebenaran ajaran-Nya. Inti dari surat ini adalah penekanan pada konsep tazkiyatun-nafs (penyucian jiwa) dan peringatan akan azab bagi mereka yang mengotorinya.
Nama Asy-Syam diambil dari ayat pertamanya, "وَالشَّمْسِ" (Wash-shamsi) yang berarti "Demi Matahari". Penamaan ini tidak sekadar menyebut Matahari sebagai benda langit, tetapi mengisyaratkan kedudukannya sebagai salah satu tanda kebesaran Allah yang paling jelas dan terang benderang. Sebagai surat Makkiyah, Asy-Syam memiliki karakteristik umum surat-surat Mekah, yaitu fokus pada:
Ayat pertama ini dimulai dengan sumpah Allah, "Demi Matahari," yang merupakan sumber cahaya dan energi utama bagi kehidupan di bumi. Kata "ضُحٰىهَا" (dhuhāhā) merujuk pada waktu dhuha, yaitu pagi hari saat matahari bersinar paling terang dan penuh kekuatan. Sumpah ini mengisyaratkan keagungan penciptaan Allah dan bagaimana Matahari menjadi simbol kehidupan, kekuatan, dan keteraturan yang sempurna. Allah bersumpah dengan ciptaan-Nya yang agung untuk menarik perhatian manusia pada kebenaran yang akan disampaikan.
Sumpah kedua adalah "Demi bulan apabila mengiringinya (matahari)." Ini merujuk pada bulan purnama atau saat bulan muncul setelah matahari terbenam dan memantulkan cahayanya. Fenomena ini menunjukkan keteraturan sempurna dalam sistem tata surya, di mana bulan mengelilingi bumi dan memantulkan cahaya matahari, tidak pernah bertabrakan atau menyimpang dari orbitnya. Keteraturan ini adalah bukti nyata dari keesaan dan kekuasaan Allah Yang Maha Pengatur alam semesta.
Sumpah ketiga adalah "Demi siang apabila menampakkannya (matahari)." Siang hari yang terang benderang menyingkapkan segala sesuatu yang ada di bumi. Siang membawa aktivitas, kehidupan, dan kesempatan untuk mencari rezeki. Kehadiran siang setelah malam adalah siklus yang tak pernah putus, menegaskan bahwa ada Pencipta yang mengatur segala sesuatu dengan hikmah dan tujuan.
Sumpah keempat, "Demi malam apabila menutupinya (siang)," mengacu pada kegelapan malam yang menyelimuti bumi setelah terbenamnya matahari. Malam membawa ketenangan, istirahat, dan kesempatan untuk merenung. Pergantian siang dan malam adalah tanda kebesaran Allah yang mengatur waktu dan ruang, menciptakan keseimbangan yang sempurna untuk kehidupan manusia dan makhluk lainnya. Kontras antara terang dan gelap, aktif dan pasif, memberikan bukti akan kekuasaan-Nya yang tak terbatas.
Sumpah kelima adalah "Demi langit serta pembinaannya." Langit, dengan segala keagungan dan luasnya, adalah salah satu ciptaan Allah yang paling menakjubkan. Allah membangunnya tanpa tiang yang terlihat, dengan sistem bintang, galaksi, dan planet yang tak terhitung jumlahnya. Frasa "وَمَا بَنٰىهَا" (wa mā banāhā) menegaskan kemahabesaran Allah dalam menciptakan dan menjaga keseimbangan kosmos yang luar biasa kompleks dan sempurna. Ini adalah ajakan untuk merenungkan kebesaran Sang Pencipta yang Maha Kuasa.
Sumpah keenam adalah "Demi bumi serta penghamparannya." Bumi dihamparkan oleh Allah sedemikian rupa sehingga memungkinkan kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan. Di atasnya terdapat gunung-gunung, lembah, sungai, dan lautan yang semuanya diatur untuk menopang kehidupan. Frasa "وَمَا طَحٰىهَا" (wa mā ṭaḥāhā) menekankan kemudahan dan kenyamanan yang Allah berikan di bumi ini agar manusia dapat hidup, beraktivitas, dan mengambil manfaat darinya. Ini juga bukti kekuasaan Allah yang menyediakan segala kebutuhan makhluk-Nya.
Setelah bersumpah dengan tujuh ciptaan alam semesta yang megah, Allah kini bersumpah dengan "Demi jiwa serta penyempurnaannya." Ini adalah sumpah yang paling dekat dengan manusia itu sendiri. Allah menciptakan jiwa manusia dengan sempurna, memberikan kepadanya kemampuan berpikir, merasa, berkehendak, dan memilih. Kesempurnaan penciptaan jiwa adalah mukjizat tersendiri, karena jiwa adalah inti dari keberadaan manusia, membedakannya dari makhluk lain.
Ayat ini adalah inti dari sumpah-sumpah sebelumnya. Allah telah menciptakan jiwa dengan sempurna dan kemudian "mengilhamkan kepadanya jalan kejahatan dan ketakwaannya." Ini berarti bahwa Allah memberikan manusia akal dan kebebasan untuk memilih antara jalan kebaikan (ketakwaan) dan jalan keburukan (fujur). Manusia dibekali dengan fitrah yang cenderung kepada kebaikan, namun juga memiliki potensi untuk berbuat dosa. Pilihan ada di tangan manusia, dan atas pilihan itulah ia akan mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Ayat ini menyatakan dengan tegas bahwa "Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu)." Penyucian jiwa (tazkiyatun-nafs) berarti membersihkan diri dari sifat-sifat buruk seperti kesyirikan, kekufuran, kemunafikan, kesombongan, iri hati, dan dengki, serta menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji seperti keimanan, ketakwaan, kerendahan hati, kejujuran, dan keikhlasan. Keberuntungan yang dimaksud bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat, yaitu meraih surga dan keridaan Allah.
Sebagai kebalikan dari ayat sebelumnya, ayat ini menegaskan bahwa "sungguh rugi orang yang mengotorinya." Mengotori jiwa (tadsiyatun-nafs) berarti membiarkan diri terjerumus dalam kemaksiatan, dosa, dan kekufuran. Orang yang mengabaikan panggilan untuk menyucikan jiwanya, justru sibuk menumpuk dosa dan keburukan, akan menghadapi kerugian yang besar di dunia dan akhirat. Kerugian ini mencakup hilangnya keberkahan hidup, ketenangan jiwa, dan yang paling parah, azab di neraka.
Untuk memberikan contoh konkret tentang kerugian akibat mengotori jiwa, Allah kemudian menceritakan kisah kaum Tsamud. "Kaum Tsamud telah mendustakan (rasulnya) karena kedurhakaannya." Kaum Tsamud adalah kaum Nabi Saleh AS yang hidup di sebuah daerah bernama Al-Hijr (saat ini dikenal sebagai Mada'in Saleh). Mereka dikenal memiliki peradaban maju dan keahlian dalam memahat gunung untuk dijadikan tempat tinggal. Namun, kekayaan dan kekuatan ini justru membuat mereka sombong dan durhaka kepada Allah serta mendustakan Nabi Saleh yang diutus kepada mereka.
Ayat ini menceritakan titik balik kedurhakaan kaum Tsamud. "Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka." Orang yang paling celaka ini adalah Qudar bin Salif, yang berani menyembelih unta betina mukjizat yang Allah kirimkan melalui Nabi Saleh sebagai bukti kebenaran risalahnya. Unta itu merupakan tanda kekuasaan Allah, keluar dari batu, dan memiliki kekhususan minum air yang bergantian dengan kaum Tsamud. Pembunuhan unta ini adalah puncak dari penolakan dan kesombongan mereka.
Sebelum peristiwa penyembelihan, Nabi Saleh AS telah memperingatkan mereka dengan sungguh-sungguh. "Lalu Rasul Allah (Saleh) berkata kepada mereka, '(Biarkanlah) unta betina Allah dan minumannya.'" Ini adalah peringatan terakhir agar mereka tidak menyakiti unta tersebut dan membiarkannya mendapatkan giliran minum air dari sumber mata air. Unta itu bukan sekadar hewan, tetapi "Naqah Allah" (Unta Allah), sebuah tanda yang suci dan harus dihormati. Namun, mereka mengabaikan peringatan ini.
Ayat ini mengisahkan konsekuensi langsung dari kedurhakaan kaum Tsamud. "Namun, mereka mendustakannya (Saleh), lalu menyembelihnya." Setelah membunuh unta mukjizat itu, azab Allah datang. "Maka Tuhan membinasakan mereka karena dosa-dosa mereka, lalu diratakan-Nyalah (dengan tanah)." Mereka dibinasakan dengan suara gemuruh yang dahsyat dan gempa bumi yang menghancurkan tempat tinggal mereka, meratakan mereka dengan tanah seolah-olah mereka tidak pernah ada. Ini adalah balasan atas kesombongan, kekafiran, dan penolakan mereka terhadap kebenaran.
Ayat terakhir ini menegaskan kemahakuasaan dan keadilan Allah. "Dan Dia (Allah) tidak takut terhadap akibatnya." Maksudnya, Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu dan tidak ada yang dapat menghalangi-Nya atau meminta pertanggungjawaban atas keputusan-Nya. Ketika Allah memutuskan untuk membinasakan suatu kaum karena dosa-dosa mereka, itu adalah keadilan-Nya yang mutlak, dan tidak ada konsekuensi yang akan menimpa-Nya. Ini adalah peringatan keras bagi siapa pun yang berani mendurhakai perintah Allah.
Surat Asy-Syam mengandung banyak pelajaran berharga bagi kehidupan manusia:
Surat Asy-Syam mengajak kita untuk selalu introspeksi, membersihkan hati, dan menjaga diri dari godaan dosa, demi meraih keberuntungan abadi di sisi Allah.
Surat Al-Lail, yang berarti "Malam", adalah surat ke-92 dalam Al-Quran, terdiri dari 21 ayat. Surat ini juga diturunkan di Mekah dan mirip dengan Asy-Syam, ia diawali dengan sumpah-sumpah Allah terhadap fenomena alam. Namun, fokus utama Al-Lail adalah perbandingan antara dua golongan manusia dan dua jalan hidup yang mereka pilih, serta balasan yang akan mereka terima di akhirat.
Nama Al-Lail diambil dari ayat pertamanya, "وَالَّيْلِ" (Wal-laili) yang berarti "Demi malam". Malam adalah waktu yang penuh misteri, ketenangan, dan refleksi. Seperti halnya siang, malam juga merupakan tanda kebesaran Allah. Sebagai surat Makkiyah, Al-Lail menekankan:
Surat ini dimulai dengan sumpah Allah, "Demi malam apabila menutupi (cahaya siang)." Malam yang datang setelah siang menutupi segala sesuatu dengan kegelapan, memberikan waktu untuk istirahat dan ketenangan. Sumpah ini mengisyaratkan kebesaran Allah yang mengatur pergantian siang dan malam, menciptakan keseimbangan dalam kehidupan. Malam juga menjadi simbol penyingkapan rahasia dan introspeksi.
Sumpah kedua adalah "Demi siang apabila terang benderang." Siang yang terang benderang menyingkapkan segala sesuatu, membawa aktivitas dan kesempatan untuk bekerja. Kontras antara malam yang gelap dan siang yang terang menunjukkan kesempurnaan ciptaan Allah. Kedua sumpah ini, seperti dalam Asy-Syam, bertujuan untuk menarik perhatian manusia pada kebenaran yang akan disampaikan selanjutnya.
Sumpah ketiga adalah "Demi penciptaan laki-laki dan perempuan." Allah bersumpah dengan penciptaan dua jenis kelamin yang merupakan dasar keberlangsungan hidup manusia. Ini adalah tanda kekuasaan Allah yang menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan dan dengan hikmah yang luar biasa. Penciptaan ini juga menunjukkan kesempurnaan pengaturan Allah dalam kehidupan.
Setelah tiga sumpah agung, datanglah pernyataan utama surat ini: "Sungguh, usahamu memang beraneka ragam." Ayat ini menyatakan bahwa manusia memiliki tujuan dan usaha yang berbeda-beda dalam hidup mereka. Ada yang berjuang di jalan kebaikan dan ada pula yang memilih jalan keburukan. Pernyataan ini menjadi pendahuluan untuk menjelaskan dua golongan manusia yang akan dibahas selanjutnya.
Ayat ini mulai menjelaskan golongan pertama yang beruntung. "Maka adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa." Ciri-ciri mereka adalah:
Ciri ketiga dari golongan pertama adalah "dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga)." Mereka percaya penuh kepada janji Allah tentang adanya hari pembalasan, surga sebagai balasan kebaikan, dan neraka sebagai balasan keburukan. Keimanan yang kuat terhadap hari akhir ini mendorong mereka untuk beramal saleh dan berderma tanpa ragu.
Ini adalah balasan bagi golongan pertama: "maka Kami akan memudahkan baginya jalan kemudahan (kebahagiaan)." Allah akan memudahkan urusan mereka di dunia dan akhirat. Mereka akan merasakan ketenangan jiwa, keberkahan hidup, dan hidayah untuk selalu berada di jalan yang benar. Di akhirat, mereka akan dimudahkan melewati shirath (jembatan), dimudahkan hisabnya, dan masuk surga dengan mudah. Ini adalah janji Allah bagi mereka yang berderma dan bertakwa.
Ayat ini beralih menjelaskan golongan kedua yang celaka. "Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak perlu pertolongan Allah)." Ciri-ciri mereka adalah:
Ciri ketiga dari golongan kedua adalah "serta mendustakan (adanya pahala) yang terbaik." Mereka tidak percaya pada adanya surga, neraka, hari perhitungan, atau janji-janji Allah. Ketidakpercayaan inilah yang membuat mereka tidak memiliki motivasi untuk beramal saleh, justru tenggelam dalam dosa dan kemaksiatan. Mereka hanya percaya pada kehidupan dunia semata.
Ini adalah balasan bagi golongan kedua: "maka Kami akan memudahkan baginya jalan kesukaran (kesengsaraan)." Allah akan menyulitkan urusan mereka di dunia dan akhirat. Hidup mereka mungkin terlihat mewah di dunia, tetapi hati mereka gelisah, penuh ambisi duniawi yang tak ada habisnya. Di akhirat, mereka akan menghadapi kesulitan hisab, siksa neraka, dan semua jalan menuju kebahagiaan akan tertutup bagi mereka. Ini adalah keadilan Allah bagi mereka yang memilih jalan keburukan.
Ayat ini menegaskan bahwa harta yang mereka kumpulkan dengan kekikiran dan kesombongan tidak akan sedikit pun bermanfaat bagi mereka di hari akhirat. "Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila dia telah binasa." Ketika kematian datang dan mereka terjatuh ke dalam liang kubur atau neraka, semua harta yang mereka cintai dan kumpulkan di dunia tidak akan dapat menolong mereka dari azab Allah. Hanya amal saleh yang dibawa mati yang akan bermanfaat.
Ayat ini mengingatkan bahwa "Sesungguhnya Kamilah yang memberi petunjuk." Allah telah menurunkan kitab-kitab dan mengutus para nabi untuk menunjukkan jalan yang benar kepada manusia. Hidayah adalah milik Allah, dan Dia-lah yang menunjukkan mana jalan kebaikan dan mana jalan keburukan. Ini menguatkan kembali konsep pilihan bebas yang diberikan kepada manusia.
Ayat ini menegaskan kemahakuasaan Allah atas segala sesuatu, baik di dunia maupun di akhirat. "Dan sesungguhnya milik Kamilah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia." Allah adalah Penguasa mutlak atas kedua kehidupan ini. Segala sesuatu yang ada di dunia ini akan kembali kepada-Nya, dan Dialah yang berhak menentukan balasan di akhirat. Ini adalah peringatan bagi mereka yang hanya berfokus pada dunia dan melupakan akhirat.
Setelah menjelaskan dua golongan manusia dan kepemilikan-Nya atas dunia dan akhirat, Allah memberikan peringatan keras. "Maka Aku memperingatkan kamu dengan neraka yang menyala-nyala." Ini adalah peringatan tentang azab neraka yang sangat dahsyat, yang apinya menyala-nyala dan siap memangsa siapa saja yang durhaka. Peringatan ini ditujukan kepada seluruh manusia agar takut akan azab Allah dan memilih jalan ketakwaan.
Ayat ini menjelaskan siapa yang akan masuk ke neraka yang menyala-nyala itu. "Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka." Orang yang paling celaka adalah mereka yang secara konsisten menolak kebenaran, mendustakan Allah dan Rasul-Nya, serta berbuat kemaksiatan tanpa bertobat. Ini adalah gambaran dari golongan kedua yang dijelaskan sebelumnya.
Ayat ini semakin memperjelas ciri-ciri orang yang paling celaka. Mereka adalah "yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman)." Mereka bukan hanya mendustakan ajaran Islam, tetapi juga berpaling dari petunjuk Allah, tidak mau menerima kebenaran, dan lebih memilih mengikuti hawa nafsu dan kesenangan dunia. Ini adalah definisi dari kekafiran dan kemaksiatan yang berujung pada neraka.
Setelah menggambarkan nasib orang yang celaka, Allah kini beralih menjelaskan nasib baik orang-orang yang bertakwa. "Dan akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa." Orang yang paling bertakwa adalah golongan pertama yang dicirikan oleh kedermawanan, ketakwaan, dan pembenaran akan kebenaran. Allah akan menyelamatkan mereka dari siksa neraka dan memasukkan mereka ke dalam surga.
Ayat ini kembali mengulang ciri utama orang yang paling bertakwa. Mereka adalah "yang menginfakkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan dirinya." Infak atau sedekah yang mereka lakukan bukan karena riya' atau ingin dipuji, tetapi murni untuk mencari keridaan Allah dan membersihkan jiwa serta hartanya dari kotoran dosa dan sifat kikir. Ini adalah bentuk tazkiyatun-nafs melalui harta.
Ayat ini menjelaskan keikhlasan dari orang yang bertakwa dalam berinfak. "Dan tiada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya." Mereka berinfak bukan karena memiliki hutang budi kepada seseorang, atau mengharapkan balasan dari manusia. Infak mereka murni didasari oleh keinginan untuk mendapatkan pahala dari Allah semata, tanpa pamrih.
Ini adalah puncak dari keikhlasan seorang mukmin yang bertakwa. Infak dan segala amal kebaikan mereka "semata-mata karena mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi." Tujuan akhir mereka adalah Allah, bukan dunia. Ini adalah derajat ihsan, melakukan sesuatu seolah-olah melihat Allah, atau setidaknya menyadari bahwa Allah melihat mereka.
Ayat penutup surat ini memberikan janji yang menenangkan bagi orang yang bertakwa. "Dan sungguh, kelak dia akan puas (dengan pemberian Tuhan)." Allah akan memberikan balasan yang melimpah, jauh melebihi apa yang mereka harapkan dan impikan. Kepuasan ini adalah kepuasan abadi di surga, menikmati kenikmatan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, serta mendapatkan keridaan Allah yang merupakan puncak kebahagiaan.
Surat Al-Lail memberikan petunjuk yang jelas tentang jalan hidup yang benar dan konsekuensinya:
Surat Al-Lail mengajarkan kita untuk memilih jalan kebaikan dengan kedermawanan dan ketakwaan, serta menjauhi kekikiran dan kesombongan, demi meraih kepuasan abadi di sisi Allah.
Meskipun kedua surat ini memiliki nama dan fokus kisah yang berbeda, keduanya memiliki banyak persamaan dan keterkaitan yang erat, mencerminkan gaya dan pesan surat-surat Makkiyah.
Kedua surat ini saling melengkapi satu sama lain dalam menyampaikan pesan-pesan pokok Islam. Asy-Syam menegaskan prinsip dasar bahwa kebahagiaan sejati terletak pada penyucian jiwa, dan kegagalan dalam hal ini akan berujung pada kehancuran, sebagaimana yang terjadi pada kaum Tsamud. Al-Lail kemudian memberikan rincian lebih lanjut tentang bagaimana penyucian jiwa itu terwujud, salah satunya adalah melalui kedermawanan yang ikhlas, sebagai lawan dari kekikiran yang menghancurkan. Jadi, Al-Lail dapat dilihat sebagai penjabaran praktis dari prinsip tazkiyatun-nafs yang ditekankan dalam Asy-Syam.
Sumpah-sumpah alam di awal kedua surat ini berfungsi sebagai dasar argumen, mengarahkan perhatian manusia pada kebesaran Allah sebelum menyampaikan pesan-pesan moral dan spiritual yang krusial. Keduanya mengajak manusia untuk merenungkan keberadaan alam semesta dan keberadaan diri sendiri, kemudian membuat pilihan hidup yang benar sesuai dengan petunjuk Allah.
Membaca, memahami, dan mengamalkan isi Al-Quran, termasuk Surat Asy-Syam dan Al-Lail, memiliki banyak keutamaan. Meskipun tidak ada hadis shahih khusus yang menyebutkan keutamaan tertentu untuk membaca kedua surat ini secara terpisah seperti beberapa surat lainnya, namun secara umum, membaca Al-Quran adalah ibadah yang sangat mulia.
Beberapa keutamaan membaca dan mengamalkan kedua surat ini antara lain:
Mengamalkan artinya tidak hanya sekadar membaca atau menghafal, tetapi juga meresapi makna, mengimani pesan-pesannya, dan menerapkannya dalam perilaku sehari-hari. Dengan begitu, seseorang tidak hanya mendapatkan pahala, tetapi juga keberkahan dan hidayah dalam menjalani kehidupannya.
Surat Asy-Syam dan Surat Al-Lail adalah dua surat pendek dalam Al-Quran yang kaya akan makna dan pelajaran. Keduanya dimulai dengan sumpah-sumpah agung terhadap ciptaan alam semesta, yang menggarisbawahi kebesaran Allah dan keteraturan ciptaan-Nya. Melalui sumpah-sumpah ini, Allah menarik perhatian manusia untuk merenungkan inti pesan yang akan disampaikan: pentingnya penyucian jiwa.
Surat Asy-Syam secara langsung menekankan bahwa keberuntungan sejati adalah bagi mereka yang menyucikan jiwanya dari dosa dan menghiasinya dengan takwa, sementara kerugian besar menanti mereka yang mengotori jiwanya. Kisah tragis kaum Tsamud disajikan sebagai contoh nyata dari konsekuensi kedurhakaan dan penolakan terhadap kebenaran. Ini adalah peringatan keras bahwa Allah Maha Kuasa dan adil dalam memberikan balasan.
Adapun Surat Al-Lail melanjutkan tema penyucian jiwa dengan membandingkan dua jalan hidup: jalan kedermawanan dan ketakwaan yang akan dimudahkan menuju kebahagiaan, serta jalan kekikiran dan kesombongan yang akan disulitkan menuju kesengsaraan. Surat ini secara spesifik menyoroti pentingnya berinfak dengan ikhlas semata-mata mencari keridaan Allah, dan menjanjikan kepuasan abadi bagi mereka yang melakukannya.
Dengan merenungkan Asy-Syam dan Al-Lail, kita diajak untuk selalu mengingat bahwa kehidupan ini adalah ladang amal. Setiap pilihan yang kita ambil, apakah itu menyucikan jiwa atau mengotorinya, berderma atau kikir, akan memiliki konsekuensi abadi. Kedua surat ini adalah panggilan untuk berintrospeksi, memperbaiki diri, dan memilih jalan ketakwaan yang akan membawa kita menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat, serta keridaan Allah Yang Mahatinggi.