Tata Cara Bacaan Surah Al-Fatihah dalam Shalat Ashar: Panduan Lengkap
Shalat merupakan rukun Islam yang kedua dan menjadi tiang agama. Kualitas iman seorang muslim seringkali diukur dari kualitas shalatnya. Di antara kelima waktu shalat fardhu, shalat Ashar memiliki kedudukan yang sangat istimewa, dengan banyak keutamaan dan peringatan bagi siapa saja yang mengabaikannya. Dalam setiap rakaat shalat, baik fardhu maupun sunnah, pembacaan Surah Al-Fatihah adalah sebuah keharusan, sebuah rukun yang tidak boleh ditinggalkan. Tanpanya, shalat seseorang dianggap tidak sah.
Artikel ini akan mengupas tuntas mengenai tata cara bacaan Surah Al-Fatihah, khususnya dalam konteks shalat Ashar. Kita akan mendalami mengapa bacaan ini memiliki urgensi yang begitu besar, bagaimana Al-Fatihah seharusnya dibaca menurut sunnah Rasulullah ﷺ, dan yang terpenting, bagaimana karakteristik bacaan Surah Al-Fatihah shalat Ashar dibaca dengan metode yang tepat, yaitu sirr (pelan). Pemahaman yang komprehensif tentang aspek ini tidak hanya akan meningkatkan kualitas shalat kita tetapi juga memperdalam koneksi spiritual kita dengan Sang Pencipta.
Keutamaan dan Kedudukan Shalat dalam Islam
Shalat adalah ibadah fundamental yang membedakan seorang muslim dengan yang lainnya. Ia adalah jembatan komunikasi antara hamba dengan Rabb-nya, sebuah kewajiban yang telah ditentukan waktunya dan tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apapun, kecuali bagi mereka yang memiliki uzur syar'i. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Al-Qur'an:
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًاInnas salata kanat 'alal mu'minina kitabam mauquta.
"Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (QS. An-Nisa: 103)
Shalat adalah tiang agama, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: "Pokok dari segala perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad fi sabilillah." (HR. Tirmidzi). Ini menunjukkan betapa sentralnya peran shalat dalam kehidupan seorang muslim. Ia adalah amal pertama yang akan dihisab di Hari Kiamat. Jika shalatnya baik, maka baik pula seluruh amalnya, dan jika shalatnya rusak, maka rusak pula seluruh amalnya.
Melalui shalat, seorang hamba mengingat Allah, mensucikan jiwanya dari dosa dan maksiat. Shalat memiliki kekuatan untuk mencegah perbuatan keji dan mungkar, asalkan dilakukan dengan khusyuk dan penuh penghayatan. Allah berfirman:
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَUtlu ma uhiya ilaika minal-kitab wa aqimis-salat, innas-salata tanha 'anil-fahsha'i wal-munkar. Waladzikrullahi akbar. Wallahu ya'lamu ma tasna'un.
"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al-Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Ankabut: 45)
Kewajiban shalat ini sangat ditekankan sehingga Rasulullah ﷺ bahkan bersabda, "Perjanjian antara kami dengan mereka (orang-orang kafir) adalah shalat, barangsiapa yang meninggalkannya maka sungguh ia telah kafir." (HR. Ahmad, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah). Hadis ini menunjukkan betapa seriusnya meninggalkan shalat dalam pandangan syariat Islam.
Selain sebagai kewajiban, shalat juga merupakan kebutuhan spiritual. Ia memberikan ketenangan hati, kedamaian jiwa, dan kekuatan dalam menghadapi cobaan hidup. Ketika seseorang sujud kepada Allah, ia merasakan kedekatan yang luar biasa dengan Sang Pencipta, melepaskan segala beban dunia dan mencari perlindungan serta pertolongan hanya kepada-Nya. Ini adalah momen untuk introspeksi, refleksi, dan pengisian ulang energi spiritual yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Shalat yang dilakukan dengan kesadaran penuh akan membersihkan dosa-dosa kecil, seperti sabda Nabi ﷺ, "Shalat lima waktu, Jum'at ke Jum'at, dan Ramadhan ke Ramadhan, menghapus dosa-dosa yang terjadi di antara keduanya, selama tidak melakukan dosa-dosa besar." (HR. Muslim). Ini adalah anugerah besar yang menunjukkan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.
Lebih jauh, shalat mengajarkan disiplin waktu, kesabaran, dan ketundukan. Setiap hari, lima kali seorang muslim diingatkan untuk menghentikan segala aktivitas duniawi dan menghadap penciptanya. Ini membentuk karakter yang kuat, yang mampu memprioritaskan akhirat di atas dunia, dan ketaatan di atas hawa nafsu. Shalat juga mempererat tali persaudaraan sesama muslim ketika dilaksanakan secara berjamaah, menumbuhkan rasa kebersamaan dan kesetaraan di hadapan Allah tanpa memandang status sosial.
Mengenal Shalat Ashar dan Keistimewaannya
Shalat Ashar adalah salah satu dari lima shalat fardhu yang memiliki kedudukan istimewa. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَHafizu 'alas-salawati was-salatil-wusta wa qumu lillahi qanitin.
"Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk." (QS. Al-Baqarah: 238)
Mayoritas ulama menafsirkan bahwa "shalat wustha" yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah shalat Ashar. Ini menunjukkan pentingnya shalat ini di antara shalat-shalat lainnya, bahkan ditekankan secara khusus. Waktu shalat Ashar adalah di antara habisnya waktu Zuhur hingga terbenam matahari. Ini adalah waktu di mana banyak orang sedang sibuk dengan aktivitas dunia mereka, baik bekerja, berdagang, atau belajar. Oleh karena itu, bagi mereka yang mampu meninggalkan kesibukannya untuk menunaikan shalat Ashar, pahalanya akan berlipat ganda karena memerlukan perjuangan yang lebih untuk menghentikan kesibukan duniawi. Waktu Ashar juga merupakan akhir dari aktivitas siang dan permulaan untuk menyongsong malam, menjadikannya waktu transisi yang penuh makna.
Keutamaan Shalat Ashar
Rasulullah ﷺ bersabda: "Barangsiapa shalat dua dingin (Subuh dan Ashar), maka ia akan masuk surga." (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menekankan betapa besarnya pahala bagi mereka yang menjaga shalat Subuh dan Ashar. Dua waktu ini disebut "dua dingin" karena shalat Subuh dilakukan sebelum matahari terbit yang udaranya masih sejuk, dan shalat Ashar dilakukan saat matahari mulai condong dan udara mulai mereda panasnya, atau karena waktu tersebut seringkali bertepatan dengan masa istirahat setelah bekerja keras di siang hari, sehingga memerlukan perjuangan ekstra untuk melaksanakannya. Penamaan 'dua dingin' ini juga menunjukkan bahwa kedua shalat ini seringkali menjadi ujian bagi kesungguhan iman seseorang, karena membutuhkan pengorbanan kenyamanan atau istirahat.
Selain itu, shalat Ashar juga disaksikan oleh para malaikat yang bergantian tugas. Rasulullah ﷺ bersabda: "Malaikat (yang ditugaskan) di malam hari bergantian dengan malaikat (yang ditugaskan) di siang hari pada waktu shalat Subuh dan shalat Ashar. Kemudian mereka (para malaikat yang tadinya) bermalam naik (ke langit), lalu Rabb mereka bertanya kepada mereka (dan Dia lebih mengetahui tentang keadaan hamba-hamba-Nya): 'Bagaimana kalian meninggalkan hamba-hamba-Ku?' Mereka menjawab: 'Kami meninggalkan mereka sedang mereka mengerjakan shalat, dan kami mendatangi mereka sedang mereka mengerjakan shalat'." (HR. Bukhari dan Muslim). Ini adalah sebuah kemuliaan yang agung, di mana Allah secara langsung menanyakan tentang keadaan hamba-hamba-Nya yang sedang shalat. Bayangkan, para malaikat melaporkan secara langsung kepada Allah bahwa kita sedang menunaikan shalat. Ini adalah motivasi besar untuk senantiasa menjaga shalat Ashar.
Keutamaan lain dari shalat Ashar adalah perlindungan dari api neraka. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menyebutkan: "Tidak akan masuk neraka orang yang shalat sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam matahari." Maksudnya adalah shalat Subuh dan Ashar. Ini merupakan janji Allah bagi hamba-Nya yang istiqamah dalam menjaga dua shalat krusial ini. Ini menunjukkan bahwa meskipun semua shalat fardhu itu penting, shalat Ashar memiliki tingkatan keutamaan yang sangat tinggi di sisi Allah, sehingga menjaganya dapat menjadi sebab masuk surga dan terhindar dari neraka.
Ancaman Meninggalkan Shalat Ashar
Di balik keutamaannya yang besar, terdapat juga peringatan keras bagi mereka yang melalaikan shalat Ashar. Rasulullah ﷺ bersabda: "Barangsiapa meninggalkan shalat Ashar, maka hapuslah amalnya." (HR. Bukhari). Hadis ini mengindikasikan betapa seriusnya dosa meninggalkan shalat Ashar hingga bisa menghapus amal kebaikan lainnya. Meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai penafsiran 'hapuslah amalnya' (apakah semua amal atau amal pada hari itu saja), namun intinya adalah peringatan yang sangat kuat untuk tidak meremehkan shalat ini. Kehilangan pahala amal merupakan kerugian yang sangat besar, apalagi jika itu berarti menghapuskan semua kebaikan yang telah dilakukan. Ini menunjukkan bahwa melalaikan shalat Ashar adalah perbuatan yang sangat dimurkai oleh Allah dan Rasul-Nya.
Dengan jumlah empat rakaat, shalat Ashar dilaksanakan di pertengahan hari kerja kebanyakan orang. Oleh karena itu, dibutuhkan komitmen dan disiplin yang tinggi untuk menghentikan aktivitas duniawi dan menghadap Allah. Menjaga shalat Ashar berarti mengutamakan perintah Allah di atas segala kesibukan dunia, sebuah tanda keimanan yang kokoh dan bukti ketaatan sejati. Melalaikan shalat ini di tengah kesibukan dapat menjadi indikator bahwa dunia lebih diutamakan daripada akhirat, sebuah sikap yang sangat berbahaya bagi iman seseorang.
Surah Al-Fatihah: Ummul Kitab dan Rukun Shalat
Surah Al-Fatihah, yang berarti "Pembukaan", adalah surah pertama dalam Al-Qur'an dan merupakan surah yang paling agung. Ia juga dikenal dengan banyak nama lain yang menunjukkan keagungan dan kedudukannya yang mulia, antara lain:
- Ummul Kitab (Induk Al-Kitab) atau Ummul Qur'an (Induk Al-Qur'an): Karena ia merupakan inti sari ajaran Al-Qur'an dan menjadi pembuka bagi kitab suci ini. Semua makna besar Al-Qur'an terkumpul di dalamnya.
- As-Sab'ul Matsani (Tujuh Ayat yang Diulang-ulang): Karena tujuh ayatnya senantiasa diulang dalam setiap rakaat shalat fardhu maupun sunnah, menunjukkan kekekalan dan urgensinya.
- Asy-Syifa (Penyembuh): Karena kemampuannya sebagai penawar penyakit jasmani dan rohani, baik penyakit fisik maupun penyakit hati seperti keraguan, kesyirikan, dan kemunafikan.
- Ar-Ruqyah (Pengobatan): Sering digunakan untuk meruqyah orang sakit dan mengusir gangguan jin.
- As-Shalah (Shalat): Karena merupakan rukun inti dalam shalat, bahkan shalat tidak sah tanpanya.
- Al-Hamdu (Pujian): Karena dimulai dengan pujian kepada Allah, menegaskan bahwa segala bentuk puji hanya layak bagi-Nya.
- Al-Wafiyah (Yang Sempurna): Karena mencakup seluruh makna dan tujuan Al-Qur'an.
- Al-Kanz (Harta Karun): Karena merupakan perbendaharaan ilmu dan hikmah yang tak ternilai.
Keutamaan dan Kedudukan Al-Fatihah
Tidak ada surah lain yang memiliki keutamaan sebanding dengan Al-Fatihah. Rasulullah ﷺ bersabda kepada salah seorang sahabat, Ubay bin Ka'ab, "Maukah aku ajarkan kepadamu sebuah surah yang paling agung dalam Al-Qur'an?" Kemudian beliau membaca: "Alhamdulillahi Rabbil 'alamin..." (HR. Muslim). Ini menunjukkan bahwa Al-Fatihah adalah surah teragung dalam kitab Allah. Keagungan ini tidak hanya pada jumlah ayatnya yang sedikit, melainkan pada kedalaman makna dan fungsinya yang fundamental.
Al-Fatihah adalah inti dari setiap shalat. Tanpanya, shalat seorang hamba tidak sah. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah ﷺ:
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِLa shalata liman lam yaqra' bi Fatihatil Kitab.
"Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihah." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini secara tegas menyatakan bahwa membaca Al-Fatihah adalah rukun shalat. Artinya, jika seorang muslim sengaja atau tidak sengaja tidak membaca Al-Fatihah dalam salah satu rakaat shalatnya, maka rakaat tersebut tidak sah dan harus diulang, atau shalatnya batal jika tidak diperbaiki. Bahkan bagi makmum sekalipun, kewajiban membaca Al-Fatihah tetap berlaku menurut pendapat mayoritas ulama (Mazhab Syafi'i), meskipun ada perbedaan pendapat apakah dibaca setelah imam atau bersamaan dengan imam. Dalam Mazhab Hanafi, bacaan imam sudah cukup bagi makmum, namun tetap disunnahkan bagi makmum untuk membaca tasbih atau zikir lain di saat imam membaca surah. Namun, pendapat yang lebih kuat dan hati-hati adalah makmum tetap wajib membaca Al-Fatihah.
Dalam Al-Fatihah terkandung seluruh pokok-pokok ajaran Islam: tauhid (keesaan Allah), pengagungan terhadap Allah, penegasan hanya kepada-Nya kita beribadah dan memohon pertolongan, permohonan petunjuk jalan yang lurus, serta peringatan terhadap jalan orang-orang yang sesat dan dimurkai Allah. Setiap muslim mengulang bacaan ini minimal 17 kali dalam sehari semalam pada shalat fardhu (empat rakaat Zuhur, empat rakaat Ashar, tiga rakaat Maghrib, empat rakaat Isya, dan dua rakaat Subuh), belum termasuk shalat sunnah. Ini menunjukkan betapa pentingnya pemahaman dan penghayatan terhadap maknanya. Pengulangan ini bukan tanpa hikmah, melainkan untuk menegaskan ulang janji kepada Allah, memohon hidayah, dan menguatkan tauhid dalam jiwa setiap hamba.
Kedudukan Al-Fatihah juga digambarkan sebagai pembagian antara Allah dan hamba-Nya. Rasulullah ﷺ bersabda, "Allah Ta'ala berfirman: Aku membagi shalat (maksudnya Al-Fatihah) antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian, dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta. Apabila hamba mengucapkan: 'Alhamdulillahi Rabbil 'alamin', Allah berfirman: 'Hamba-Ku telah memuji-Ku.' Apabila hamba mengucapkan: 'Ar-Rahmanir Rahim', Allah berfirman: 'Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.' Apabila hamba mengucapkan: 'Maliki Yaumiddin', Allah berfirman: 'Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku.' Apabila hamba mengucapkan: 'Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in', Allah berfirman: 'Ini adalah antara Aku dan hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta.' Apabila hamba mengucapkan: 'Ihdinas siratal mustaqim, siratal ladzina an'amta 'alaihim ghairil maghdubi 'alaihim walad dallin', Allah berfirman: 'Ini untuk hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta'." (HR. Muslim). Hadis Qudsi ini secara jelas menggambarkan dialog spiritual yang terjadi setiap kali kita membaca Al-Fatihah, menyoroti betapa Al-Fatihah adalah inti dari munajat seorang hamba kepada Rabb-nya.
Makna Mendalam Setiap Ayat Surah Al-Fatihah
Untuk dapat menghayati bacaan Surah Al-Fatihah, penting bagi kita untuk memahami makna setiap ayatnya. Dengan memahami, khusyuk dalam shalat akan lebih mudah tercapai, dan shalat kita tidak hanya menjadi gerakan fisik, tetapi juga perenungan batin yang mendalam.
1. Basmalah: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
Bismillahirrahmanirrahim
"Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."
Ayat ini adalah pembukaan universal dalam setiap aktivitas muslim yang baik, sebuah deklarasi niat dan penyerahan diri. Dengan menyebut nama Allah, kita mengakui bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan, termasuk shalat, adalah semata-mata karena dan untuk Allah. Ini adalah gerbang masuk menuju ibadah, memohon keberkahan dan pertolongan-Nya sejak awal. Pengenalan sifat "Ar-Rahman" (Maha Pengasih) dan "Ar-Rahim" (Maha Penyayang) mengingatkan kita akan luasnya rahmat dan kasih sayang Allah yang meliputi segala sesuatu, memberikan harapan dan ketenangan bagi hamba-hamba-Nya. Ar-Rahman adalah kasih sayang Allah yang umum bagi seluruh makhluk di dunia, sedangkan Ar-Rahim adalah kasih sayang khusus bagi orang-orang beriman di akhirat. Kedua nama ini menegaskan bahwa segala bentuk kebaikan berasal dari-Nya.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai apakah Basmalah termasuk ayat pertama Al-Fatihah atau bukan. Menurut Mazhab Syafi'i, Basmalah adalah ayat pertama Al-Fatihah dan wajib dibaca dengan jahr (keras) pada shalat yang jahr, dan sirr (pelan) pada shalat yang sirr. Ini berdasarkan riwayat yang kuat dari sebagian sahabat dan tabi'in yang menganggap Basmalah sebagai bagian integral dari setiap surah, khususnya Al-Fatihah. Sementara Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali memiliki pandangan yang berbeda, menganggap Basmalah sebagai bagian dari Al-Qur'an tetapi bukan ayat dari Al-Fatihah secara khusus, atau dibaca sirr secara mutlak. Meskipun demikian, membaca Basmalah di awal Al-Fatihah dalam shalat, bahkan secara sirr, adalah hal yang dianjurkan dan lebih berhati-hati.
2. Ayat 1 (atau 2 jika Basmalah dihitung): الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Alhamdulillahi Rabbil 'alamin
"Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam."
Ayat ini adalah inti dari segala pujian. "Alhamdulillah" bukan hanya berarti "terima kasih", tetapi mencakup segala bentuk pujian, syukur, dan pengakuan atas kesempurnaan Allah dalam Dzat, Sifat, dan perbuatan-Nya. Hanya Dialah yang berhak dipuji dengan pujian yang sempurna dan mutlak. Dia adalah "Rabbil 'alamin", Penguasa, Pemelihara, Pendidik, Pencipta, dan Pemberi rezeki bagi seluruh alam semesta, baik alam manusia, jin, malaikat, hewan, tumbuhan, dan seluruh jagat raya yang tak terhingga. Ayat ini menanamkan kesadaran bahwa segala nikmat, kekuatan, dan kesempurnaan hanya berasal dari-Nya, dan Dialah yang mengatur segala urusan. Mengucapkan ayat ini dengan penuh penghayatan akan menumbuhkan rasa syukur yang mendalam atas segala karunia-Nya.
3. Ayat 2 (atau 3): الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
Ar-Rahmanir Rahim
"Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."
Pengulangan kedua sifat ini setelah pujian kepada Allah sebagai Rabbul 'Alamin menunjukkan penekanan dan luasnya rahmat Allah. Ini adalah penegasan kembali atas sifat-sifat kasih sayang Allah yang telah disebutkan dalam Basmalah. Ar-Rahman adalah kasih sayang Allah yang bersifat umum, meliputi seluruh makhluk-Nya di dunia tanpa memandang iman atau kufur, bahkan kepada hewan dan tumbuhan. Sementara Ar-Rahim adalah kasih sayang Allah yang khusus, hanya diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman di akhirat. Ini adalah pengingat bahwa meskipun kita sering berbuat salah dan dosa, rahmat Allah senantiasa lebih luas dari murka-Nya, memberikan harapan akan ampunan dan bimbingan-Nya bagi mereka yang bertaubat dan berusaha beriman.
4. Ayat 3 (atau 4): مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Maliki Yaumiddin
"Pemilik hari pembalasan."
Ayat ini mengingatkan kita tentang Hari Kiamat, hari di mana semua makhluk akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya. Allah adalah satu-satunya Pemilik dan Penguasa mutlak pada hari itu. Tidak ada lagi raja atau penguasa selain Dia. Pemahaman ini menumbuhkan rasa takut sekaligus harapan; takut akan azab-Nya bagi yang durhaka dan melampaui batas, dan harapan akan ampunan serta pahala bagi yang taat dan beramal saleh. Ini adalah penyeimbang antara rasa cinta (mahabbah) dan takut (khauf) kepada Allah, yang merupakan dua pilar penting dalam ibadah. Mengingat hari pembalasan akan mendorong kita untuk selalu berhati-hati dalam setiap tindakan dan ucapan kita di dunia.
5. Ayat 4 (atau 5): إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in
"Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan."
Ayat ini adalah intisari tauhid uluhiyah (keesaan dalam peribadatan) dan tauhid rububiyah (keesaan dalam penciptaan dan pengaturan). "Iyyaka na'budu" (hanya kepada Engkau kami menyembah) menegaskan bahwa segala bentuk ibadah, baik lahir maupun batin, seperti shalat, puasa, zakat, haji, doa, tawakal, takut, harap, dan cinta, hanya ditujukan kepada Allah semata. Ini menolak segala bentuk syirik, baik syirik besar maupun syirik kecil. "Wa iyyaka nasta'in" (dan hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan) menegaskan bahwa segala bentuk pertolongan dan sandaran hidup hanya kepada Allah. Ini mengajarkan kita untuk tidak bersandar kepada selain Allah dalam segala urusan, melainkan selalu berikhtiar dengan sungguh-sungguh dan bertawakal sepenuhnya kepada-Nya. Ayat ini merupakan janji seorang hamba untuk tunduk dan bergantung hanya kepada Allah, serta merupakan pengakuan akan kelemahan dan keterbatasan diri.
6. Ayat 5 (atau 6): اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Ihdinas siratal mustaqim
"Tunjukilah kami jalan yang lurus."
Setelah menyatakan janji untuk menyembah dan memohon pertolongan hanya kepada Allah, kita memohon petunjuk ke jalan yang lurus. "As-Shiratal Mustaqim" adalah jalan yang jelas, terang, dan tidak berliku, yaitu Islam. Ini adalah jalan yang mengantarkan kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, jalan yang diridhai Allah. Permohonan ini diulang dalam setiap rakaat shalat, menunjukkan betapa pentingnya hidayah dan betapa mudahnya manusia tergelincir jika tidak senantiasa memohon petunjuk dari Allah. Permohonan ini juga mencakup permohonan agar tetap istiqamah (konsisten) di atas jalan lurus tersebut, hingga akhir hayat. Tanpa hidayah dari Allah, manusia akan tersesat dalam kegelapan dan kebingungan, tidak mampu membedakan yang haq dan yang batil.
7. Ayat 6 (atau 7): صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
Siratal ladzina an'amta 'alaihim
"(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka."
Ayat ini menjelaskan lebih lanjut tentang siapa "orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka." Mereka adalah para Nabi, shiddiqin (orang-orang yang sangat benar dan jujur dalam iman), syuhada (orang-orang yang mati syahid di jalan Allah), dan shalihin (orang-orang saleh), sebagaimana dijelaskan dalam QS. An-Nisa: 69: "Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (Nya), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya." Ini adalah jalan para pendahulu yang saleh, para teladan yang telah berhasil meniti jalan kebenaran dan mendapatkan keridhaan Allah. Kita memohon untuk mengikuti jejak mereka, meneladani akhlak dan amal perbuatan mereka, serta menjauhkan diri dari jalan yang menyimpang.
8. Ayat 7 (atau 8): غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
Ghairil maghdubi 'alaihim walad dallin
"Bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat."
Ayat penutup ini adalah penegasan dan penolakan terhadap dua golongan yang menyimpang dari jalan yang lurus: "Al-Maghdubi 'alaihim" (orang-orang yang dimurkai), yaitu mereka yang mengetahui kebenaran namun enggan mengikutinya atau bahkan menolaknya karena kesombongan, kedengkian, dan keras kepala, seperti kaum Yahudi yang banyak diutus nabi kepada mereka namun mereka mendustakannya. Dan "Adh-Dhāllīn" (orang-orang yang sesat), yaitu mereka yang beribadah atau beramal tanpa ilmu, tersesat dari jalan yang benar karena kebodohan atau salah paham, seperti kaum Nasrani yang tersesat dalam keyakinan mereka tentang ketuhanan Isa Al-Masih. Dengan membaca ayat ini, kita memohon agar dijauhkan dari kedua penyimpangan tersebut dan tetap istiqamah di atas kebenaran, dengan ilmu dan amal yang selaras, serta tidak tersesat karena kebodohan atau kesombongan. Ini adalah permohonan perlindungan yang sangat penting dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Setelah membaca Al-Fatihah, disunnahkan untuk mengucapkan "Aamiin", yang berarti "Kabulkanlah doa kami, ya Allah". Ini adalah penutup yang indah dari sebuah dialog spiritual antara hamba dan Rabb-nya, sebuah penegasan permohonan yang tulus dari hati.
Hukum Bacaan Surah Al-Fatihah dalam Shalat
Sebagaimana telah disebutkan, membaca Surah Al-Fatihah dalam setiap rakaat shalat adalah rukun shalat yang tidak boleh ditinggalkan. Ini adalah kesepakatan (ijma') para ulama berdasarkan hadis Nabi ﷺ: "Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihah." (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh karena itu, jika seseorang meninggalkan Al-Fatihah, baik karena lupa atau sengaja, shalatnya tidak sah dan harus diulang. Jika ia menyadarinya saat shalat, ia wajib mengulang rakaat yang ditinggalkan Al-Fatihah-nya, atau shalatnya batal jika ia tidak memperbaiki kekurangannya hingga salam.
Pentingnya Tajwid dalam Membaca Al-Fatihah
Selain wajib membaca seluruh ayat Al-Fatihah, penting juga untuk membacanya dengan tartil dan tajwid yang benar. Tartil adalah membaca Al-Qur'an secara perlahan, jelas, dan benar sesuai kaidah tajwid. Kesalahan dalam tajwid, terutama pada huruf-huruf atau harakat tertentu, dapat mengubah makna ayat dan berpotensi membatalkan shalat. Misalnya, mengubah huruf 'Ha' (ح) yang keluar dari tengah tenggorokan menjadi 'Kha' (خ) yang keluar dari pangkal tenggorokan pada kata "Alhamdu" (الحمد) menjadi "Al-Khamdu" (الخمد) dapat mengubah makna dari "segala puji" menjadi "api yang padam". Begitu pula mengubah huruf 'Ain' (ع) menjadi 'Hamzah' (ء) pada "'Alamin" (العالمين) menjadi "Al-A'lamin" (الآلمين) mengubah makna dari "semesta alam" menjadi "orang-orang yang sakit", sebuah perubahan makna yang fatal. Kesalahan pada harakat juga sama pentingnya, seperti mengubah "Iyyaka na'budu" (إِيَّاكَ نَعْبُدُ - hanya kepada Engkau kami menyembah) menjadi "Iyyaki na'budu" (إِيَّاكَ نَعْبُدُ - hanya kepada Engkau (perempuan) kami menyembah) atau "Iyyaki na'budu" (إِيَّاكَ نَعبدُ - hanya kepada matahari kami menyembah) mengubah arah ibadah. Oleh karena itu, mempelajari dan mempraktikkan tajwid Al-Fatihah adalah kewajiban bagi setiap muslim yang mampu.
Membaca Al-Fatihah dengan benar melibatkan:
- Makharijul Huruf: Mengeluarkan setiap huruf dari tempat keluarnya yang tepat dari mulut dan tenggorokan. Ini adalah dasar dari bacaan yang benar.
- Sifatul Huruf: Memberikan sifat-sifat yang benar pada setiap huruf (misalnya, tebal/tipis, kuat/lemah, desisan/getaran, dll) agar setiap huruf memiliki identitas yang jelas.
- Harakat: Membaca harakat (fathah, kasrah, dhammah, sukun) dengan tepat, tidak kurang dan tidak lebih dari semestinya.
- Mad: Memanjangkan bacaan pada tempatnya dengan ukuran yang benar (2, 4, atau 6 harakat sesuai jenis mad-nya).
- Tasydid: Menekankan huruf yang bertasydid dengan benar, menunjukkan bahwa huruf tersebut seolah-olah ganda, seperti pada "Iyyaka" (إِيَّاكَ).
- Ghunnah: Dengungan yang keluar dari rongga hidung pada huruf mim dan nun yang bertasydid, atau pada hukum idgham bighunnah dan ikhfa.
Jika seseorang tidak mampu membaca Al-Fatihah dengan sempurna karena keterbatasan (misalnya baru masuk Islam, belum belajar, atau memiliki gangguan bicara yang permanen), ia wajib berusaha untuk belajar. Jika ia telah berusaha semaksimal mungkin tetapi masih belum bisa, maka ia boleh membaca ayat-ayat lain yang dihafalnya atau berzikir seperlunya (seperti tasbih, tahmid, tahlil) sebagai pengganti Al-Fatihah, sesuai kemampuan. Namun, ini adalah pengecualian bagi orang yang tidak mampu, bukan alasan untuk tidak belajar bagi mereka yang memiliki kemampuan dan kesempatan.
Fokus Utama: Cara Bacaan Surah Al-Fatihah dalam Shalat Ashar (Sirr vs. Jahr)
Ini adalah inti dari pertanyaan dan pembahasan kita, dan merupakan aspek krusial dalam memahami bacaan Surah Al-Fatihah shalat Ashar dibaca dengan metode yang benar. Bagaimana sebenarnya bacaan Surah Al-Fatihah dalam shalat Ashar dibaca? Apakah dengan suara keras (jahr) atau pelan (sirr)?
Pengertian Jahr dan Sirr dalam Shalat
Dalam syariat Islam, terdapat dua cara utama dalam membaca Al-Qur'an dan zikir-zikir dalam shalat, yaitu jahr dan sirr:
- Jahr (الجَهْر): Secara bahasa berarti terang, jelas, atau nyata. Dalam konteks shalat, jahr berarti membaca dengan suara keras atau nyaring, sehingga terdengar oleh orang lain di sekitarnya. Ini adalah cara bacaan pada shalat Subuh (dua rakaat), dua rakaat pertama shalat Maghrib, dan dua rakaat pertama shalat Isya. Hukum jahr pada shalat-shalat ini adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat ditekankan).
- Sirr (السِّرّ): Secara bahasa berarti rahasia, tersembunyi, atau pelan. Dalam konteks shalat, sirr berarti membaca dengan suara pelan atau lirih, cukup didengar oleh diri sendiri. Bahkan sekadar menggerakkan bibir dan lisan tanpa mengeluarkan suara yang jelas pun sudah cukup menurut beberapa pendapat ulama, asalkan ada gerakan dan kesadaran dalam membaca. Ini adalah cara bacaan pada shalat Zuhur (empat rakaat), shalat Ashar (empat rakaat), serta rakaat ketiga shalat Maghrib dan rakaat ketiga-keempat shalat Isya. Hukum sirr pada shalat-shalat ini juga sunnah muakkadah.
Dalil dan Konsensus Ulama untuk Bacaan Sirr pada Shalat Ashar
Para ulama Ahlussunnah wal Jama'ah telah bersepakat (ijma') bahwa shalat Ashar, seperti halnya shalat Zuhur, dibaca secara sirr, atau pelan. Kesepakatan ini didasarkan pada sunnah Nabi Muhammad ﷺ yang telah diriwayatkan secara mutawatir (sangat banyak jalur periwayatan dari banyak sahabat pada setiap generasi, sehingga tidak mungkin bersepakat untuk berbohong) dari para sahabat. Tidak ada satu pun riwayat shahih yang menunjukkan bahwa Nabi ﷺ pernah membaca Surah Al-Fatihah atau surah lainnya dengan jahr (keras) pada shalat Ashar secara rutin.
Salah satu dalil yang paling jelas adalah hadis dari Abu Qatadah Al-Harits bin Rib'iy radhiyallahu 'anhu, yang meriwayatkan tentang cara shalat Nabi ﷺ. Beliau berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الأُولَيَيْنِ مِنْ صَلاةِ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَسُورَةٍ، وَيُسْمِعُنَا الآيَةَ أَحْيَانًا، وَيَقْرَأُ فِي الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ مِنْهُمَا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
"Nabi ﷺ biasanya membaca pada dua rakaat pertama shalat Zuhur dan Ashar dengan Al-Fatihah dan satu surah (pendek), dan kadang-kadang beliau memperdengarkan kepada kami satu atau dua ayat, dan beliau membaca pada rakaat terakhir kedua shalat tersebut dengan Al-Fatihah saja." (HR. Bukhari dan Muslim)
Pernyataan "kadang-kadang beliau memperdengarkan kepada kami satu atau dua ayat" dalam hadis ini merujuk pada momen-momen yang sangat jarang terjadi dan bukan merupakan kebiasaan, yang kemungkinan dilakukan Nabi ﷺ untuk mengajarkan atau mengingatkan para sahabat tentang bacaan yang benar, atau untuk menunjukkan bahwa bacaan itu ada. Ini tidak mengubah hukum asal bahwa shalat Zuhur dan Ashar dibaca secara sirr. Jika seandainya Nabi ﷺ rutin membaca jahr pada Zuhur dan Ashar, tentu riwayatnya akan sangat banyak dan jelas sebagaimana shalat Subuh, Maghrib, dan Isya. Fakta bahwa riwayat jahr pada Zuhur dan Ashar sangat sedikit dan bersifat pengecualian menunjukkan bahwa sirr adalah kebiasaan beliau ﷺ.
Ijma' ini juga diperkuat dengan amalan para sahabat Nabi dan generasi setelah mereka. Tidak ada satu pun laporan yang menyebutkan bahwa mereka membaca shalat Zuhur dan Ashar dengan suara keras secara rutin. Hal ini telah menjadi praktik yang umum dan terus menerus di kalangan umat Islam sepanjang sejarah dari zaman Nabi ﷺ hingga kini, menunjukkan konsensus yang kuat atas hukum tersebut.
Mengapa Shalat Ashar Dibaca Sirr? (Hikmah di Baliknya)
Di balik setiap syariat Allah, pasti ada hikmah yang mendalam, meskipun terkadang akal manusia belum sepenuhnya mampu menangkapnya. Ada beberapa hikmah yang dapat dipetik dari perintah membaca shalat Zuhur dan Ashar secara sirr:
- Fokus dan Kekhusyukan Pribadi: Membaca secara sirr membantu seorang muslim lebih fokus pada bacaannya, merenungkan maknanya tanpa terganggu oleh suara orang lain atau potensi mengganggu orang lain yang sedang shalat di sampingnya. Ini memperdalam hubungan pribadi antara hamba dan Rabb-nya, menjadikannya munajat yang lebih intim. Ketika tidak ada tekanan untuk didengar orang lain, hati bisa lebih tenang dan khusyuk.
- Menjaga Konsentrasi: Pada shalat jahr (berjamaah), fokus bisa terbagi antara mendengarkan imam dan memperhatikan bacaan sendiri. Dalam shalat sirr, seluruh konsentrasi dapat dialihkan sepenuhnya pada bacaan pribadi dan tadabbur (perenungan makna) ayat-ayat yang dibaca. Ini memberi kesempatan lebih besar untuk memahami dan menghayati setiap kata.
- Pembeda Antar Shalat: Perbedaan cara bacaan (jahr dan sirr) juga menjadi salah satu ciri pembeda antara shalat fardhu yang satu dengan yang lainnya, menunjukkan kesempurnaan syariat Islam dan kemudahan dalam membedakan jenis shalat. Hal ini juga membantu membedakan shalat fardhu dari shalat sunnah yang terkadang memiliki bacaan jahr (misalnya shalat tarawih/witir).
- Kemudahan Bagi Imam dan Makmum: Bagi imam, membaca sirr di Zuhur dan Ashar lebih ringan dan tidak terlalu menguras energi dibandingkan jahr, terutama jika shalat berjamaah dilakukan setiap hari. Bagi makmum, ini memberikan kesempatan penuh untuk membaca Al-Fatihah dan surah lainnya dengan tenang dan khusyuk, tanpa perlu khawatir ketinggalan atau terburu-buru mengikuti imam yang membaca keras. Setiap makmum memiliki ruang untuk berinteraksi langsung dengan bacaannya.
- Melindungi dari Riya' (Pamer): Membaca sirr juga bisa menjadi upaya untuk menjauhkan diri dari riya' (pamer), karena ibadah yang dilakukan secara tersembunyi cenderung lebih murni niatnya dan hanya diperuntukkan bagi Allah semata. Meskipun riya' bisa terjadi pada ibadah sirr maupun jahr, potensi godaan riya' lebih kecil pada ibadah yang tidak diperdengarkan kepada orang lain.
- Menghormati Waktu: Waktu Ashar adalah waktu yang seringkali padat dengan aktivitas dan potensi kebisingan di lingkungan sekitar. Bacaan sirr mungkin juga merupakan bentuk penghormatan terhadap lingkungan sekitar dan untuk menghindari gangguan yang tidak perlu, memastikan shalat tetap menjadi momen damai.
Definisi "Sirr" yang Benar: Apakah Sekadar Menggerakkan Bibir?
Meskipun disebut "pelan" atau "rahasia", mayoritas ulama menjelaskan bahwa bacaan sirr bukan berarti hanya di dalam hati tanpa menggerakkan bibir dan lisan sama sekali. Bacaan sirr yang sah adalah ketika seseorang menggerakkan bibirnya dan lisannya sehingga ia dapat mendengar bacaannya sendiri, meskipun tidak terdengar oleh orang di sebelahnya. Pendapat ini dipegang oleh Mazhab Syafi'i, Hanafi, dan Hanbali.
Imam An-Nawawi rahimahullah dalam kitabnya Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab menjelaskan bahwa bacaan yang wajib dalam shalat adalah bacaan yang terdengar oleh diri sendiri, jika tidak ada penghalang seperti suara bising yang sangat keras atau seseorang yang memiliki masalah pendengaran (tuli). Beliau menegaskan bahwa menggerakkan bibir tanpa suara sama sekali atau hanya membaca dalam hati tidak dianggap bacaan oleh mayoritas fuqaha (ahli fikih) dan tidak sah. Bacaan haruslah keluar dari lisan, meskipun suaranya pelan.
Hal ini penting untuk diperhatikan, karena ada sebagian orang yang hanya membaca Al-Fatihah dan bacaan shalat lainnya di dalam hati tanpa menggerakkan lisan dan bibir. Cara seperti ini tidaklah cukup dan dapat membatalkan shalat karena tidak memenuhi syarat bacaan yang sebenarnya. Gerakan bibir dan lisan merupakan bukti adanya aktivitas membaca dan melafazkan, bukan sekadar berpikir atau membayangkan. Oleh karena itu, bagi setiap muslim, penting untuk melatih diri agar selalu menggerakkan organ-organ bicara saat shalat, bahkan ketika bacaannya harus pelan.
Bagaimana Memastikan Bacaan Sirr yang Benar?
Untuk memastikan bahwa bacaan Surah Al-Fatihah shalat Ashar dibaca dengan benar secara sirr (pelan) dan sah sesuai syariat, perhatikan hal-hal berikut:
- Gerakkan Bibir dan Lisan: Ini adalah syarat paling mendasar. Pastikan bibir dan lisan Anda bergerak saat membaca Al-Fatihah dan bacaan shalat lainnya. Jangan pernah hanya membaca di dalam hati tanpa ada gerakan fisik pada organ bicara Anda. Gerakan ini menunjukkan bahwa Anda sedang melafazkan, bukan sekadar merenung.
- Dengarkan Diri Sendiri (Jika Memungkinkan): Usahakan agar Anda bisa mendengar bacaan Anda sendiri. Ini adalah standar minimal untuk bacaan sirr yang sempurna dan dianjurkan. Sensasi mendengar suara sendiri (meski sangat pelan) menandakan bacaan yang keluar dari lisan. Namun, jika ada suara bising yang sangat kuat di sekitar Anda, atau Anda memiliki masalah pendengaran, cukup dengan menggerakkan bibir dan lisan dengan jelas dan yakin bahwa Anda telah melafazkan bacaan tersebut.
- Jaga Tajwid dan Makhraj: Meskipun dibaca pelan, kualitas bacaan tidak boleh menurun. Tetap perhatikan makharijul huruf (tempat keluar huruf), sifatul huruf, dan hukum-hukum tajwid lainnya seperti mad, ghunnah, dan tasydid. Jangan sampai karena dibaca pelan, bacaan menjadi asal-asalan, tidak jelas, atau bahkan mengubah makna. Bacaan sirr yang benar tetap harus fasih dan sesuai kaidah tajwid.
- Tadabbur (Merenungkan Makna): Justru karena dibaca pelan, kesempatan untuk merenungkan makna setiap ayat Al-Fatihah menjadi lebih besar tanpa gangguan eksternal. Gunakan kesempatan ini untuk menghadirkan hati, memahami apa yang Anda ucapkan, dan merasakan dialog dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dengan tadabbur, shalat sirr Anda akan lebih berkualitas dan bermakna.
- Tenang dan Tidak Terburu-buru: Shalat sirr memberikan ruang untuk ketenangan dan khusyuk yang mendalam. Hindari terburu-buru dalam membaca, berikan hak setiap huruf dan ayat, dan biarkan hati Anda merasakan kehadiran Allah. Bacaan yang tenang akan membantu menjaga konsentrasi dan pemahaman.
Sebagai contoh, ketika membaca "Alhamdulillahi Rabbil 'alamin" secara sirr, bibir Anda harus bergerak membentuk huruf-huruf tersebut (alif, lam, ha, mim, dal, lam, lam, ha, ra, ba, ba, lam, 'ain, lam, mim, ya, nun), dan suara Anda setidaknya terdengar samar oleh telinga Anda sendiri, meskipun tidak sampai mengganggu orang di sebelah Anda. Ini berbeda dengan hanya "membayangkan" bacaan di dalam pikiran tanpa ada gerakan fisik pada organ bicara. Kepatuhan terhadap kaidah ini akan menjadikan shalat Ashar Anda sah dan diterima di sisi Allah.
Kesalahan Umum dalam Membaca Al-Fatihah dan Solusinya
Mengingat pentingnya Al-Fatihah sebagai rukun shalat, ada beberapa kesalahan umum yang sering terjadi saat membacanya, yang perlu kita perbaiki agar shalat kita sempurna dan diterima Allah:
- Tidak Membaca Seluruh Ayat: Ini adalah kesalahan fatal. Terkadang karena terburu-buru, lupa, atau ketidaktahuan, seseorang tidak membaca Basmalah (bagi yang meyakininya sebagai ayat pertama) atau terlewat satu huruf/kata dari ayat lainnya.
Solusi: Hafalkan Al-Fatihah dengan benar dan pastikan membaca lengkap 7 ayat (atau 8 jika Basmalah dihitung terpisah). Berlatih membaca berulang-ulang dengan fokus.
- Kesalahan Tajwid yang Mengubah Makna: Ini adalah kesalahan yang paling serius karena dapat merusak arti ayat dan berpotensi membatalkan shalat.
- Mengubah huruf (misal: 'Ha' (ح) menjadi 'Kha' (خ) pada "Alhamdu", atau 'Ain' (ع) menjadi 'Hamzah' (ء) pada "'Alamin").
- Kesalahan harakat (misal: "Iyyaka na'budu" menjadi "Iyyaki na'budu" atau "Iyyaki na'budu").
- Kurang panjang pada bacaan mad atau terlalu panjang.
- Tidak menekan pada huruf yang bertasydid (misal: "Iyyaka" dibaca "Iyaka", padahal tasydid pada ya' sangat penting).
Solusi: Belajar tahsin (perbaikan bacaan) Al-Qur'an dari guru yang kompeten atau membaca bersama-sama dengan qari' yang baik. Hafalkan kembali Al-Fatihah dengan benar, perhatikan setiap makhraj, sifat huruf, dan hukum tajwidnya. Rekam bacaan Anda dan bandingkan dengan bacaan yang benar.
- Terlalu Cepat atau Terlalu Lambat: Membaca terlalu cepat dapat menyebabkan tajwid tidak terjaga, huruf-huruf hilang, dan makna tidak tersampaikan. Membaca terlalu lambat hingga melewati batas waktu rukun shalat juga tidak dianjurkan.
Solusi: Berlatih membaca dengan tempo yang sedang (tartil), yaitu tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat, agar setiap huruf dan harakat mendapatkan haknya. Targetkan waktu yang cukup untuk setiap rakaat.
- Tidak Merenungkan Makna (Tadabbur): Membaca Al-Fatihah tanpa memahami artinya akan mengurangi kekhusyukan dan esensi shalat, menjadikannya sekadar rutinitas tanpa ruh.
Solusi: Pelajari terjemahan dan tafsir singkat Al-Fatihah. Saat shalat, usahakan menghadirkan makna dari setiap ayat yang dibaca dan merasakan dialog dengan Allah.
- Membaca Dalam Hati Tanpa Gerakan Lisan: Seperti yang sudah dijelaskan, bacaan shalat, baik jahr maupun sirr, harus melibatkan gerakan lisan dan bibir, minimal terdengar oleh diri sendiri. Jika tidak, maka tidak dianggap bacaan.
Solusi: Sadari pentingnya menggerakkan lisan. Latih diri untuk menggerakkan bibir dan lisan secara jelas saat membaca bacaan shalat, meskipun suaranya pelan. Periksa diri Anda sendiri, apakah ada gerakan bibir atau tidak.
- Bernafas di Tengah Ayat: Idealnya, setiap ayat dibaca dalam satu tarikan napas. Namun, jika nafas tidak sampai, usahakan berhenti di tempat yang tidak merusak makna.
Solusi: Latih pernapasan saat membaca Al-Qur'an dan Al-Fatihah. Pahami tempat-tempat yang tepat untuk berhenti (waqaf) dan memulai kembali (ibtida') bacaan.
- Mengucapkan "Aamiin" Terlalu Cepat atau Terlalu Lambat: Mengucapkan "Aamiin" setelah imam selesai membaca Al-Fatihah adalah sunnah. Jangan terlalu cepat sehingga mendahului imam, dan jangan terlalu lambat.
Solusi: Tunggu sampai imam selesai membaca "walad dallin" dan Anda sendiri telah selesai membaca Al-Fatihah, lalu ucapkan "Aamiin" bersamaan dengan imam atau setelahnya sedikit.
Memperdalam Khusyuk dalam Shalat Ashar
Khusyuk adalah inti dari shalat yang diterima Allah. Tanpa khusyuk, shalat bisa jadi hanya sekadar gerakan fisik tanpa ruh dan tidak bernilai di sisi Allah, bahkan bisa mengurangi pahalanya secara drastis. Memperdalam khusyuk dalam shalat Ashar, terutama saat bacaan Surah Al-Fatihah shalat Ashar dibaca dengan metode sirr, adalah hal yang sangat mungkin dilakukan dan bahkan lebih kondusif untuk khusyuk karena tidak terganggu suara luar.
Beberapa tips untuk meningkatkan khusyuk:
- Persiapan Sebelum Shalat yang Sempurna:
- Berwudhu dengan sempurna: Meresapi setiap gerakannya sebagai bentuk pensucian diri dari dosa-dosa kecil, mengingat sabda Nabi ﷺ bahwa dosa-dosa keluar bersama tetesan air wudhu.
- Menutup aurat dengan baik: Memakai pakaian yang bersih, rapi, dan menutupi aurat secara sempurna, sebagai bentuk penghormatan kepada Allah yang Maha Agung.
- Membersihkan tempat shalat: Pastikan tempat shalat bersih dari najis dan gangguan visual yang bisa memecah konsentrasi.
- Meluruskan niat: Perbarui niat shalat, bahwa shalat ini semata-mata karena Allah, untuk menunaikan perintah-Nya dan mengharapkan ridha-Nya.
- Berdoa sebelum shalat: Mohon kepada Allah agar diberikan kekhusyukan dan dijauhkan dari gangguan setan.
- Mengosongkan pikiran: Usahakan untuk menyelesaikan urusan duniawi yang mendesak sebelum shalat, agar pikiran tidak terbebani.
- Fokus Penuh Sejak Takbiratul Ihram:
- Ucapkan "Allahu Akbar" dengan menghadirkan kebesaran Allah di hati: Sadari bahwa Anda sedang berdiri di hadapan Raja segala raja, Yang Maha Besar.
- Pandangan mata diarahkan ke tempat sujud: Ini membantu membatasi pandangan dan menjaga fokus, sesuai sunnah Nabi ﷺ.
- Hindari gerakan yang tidak perlu: Gerakan-gerakan kecil yang tidak terkait shalat bisa mengurangi khusyuk.
- Memahami dan Merenungkan Makna Al-Fatihah (Tadabbur): Ini adalah kunci khusyuk saat membaca Al-Fatihah secara sirr.
- Saat membaca Basmalah, hadirkan rasa takut dan harap kepada Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
- Ketika mengucapkan "Alhamdulillahi Rabbil 'alamin", rasakan betapa banyak nikmat Allah yang telah diberikan kepada Anda, dan puji Dia dengan sepenuh hati.
- Pada "Maliki Yaumiddin", bayangkan Hari Kiamat, hari perhitungan, dan betapa Allah adalah satu-satunya Pemilik hari itu, menumbuhkan rasa takut dan kerendahan diri.
- "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in", tegaskan kembali janji untuk hanya beribadah dan memohon pertolongan kepada-Nya, merasakan betapa lemahnya diri tanpa-Nya.
- Pada doa "Ihdinas siratal mustaqim...", rasakan kebutuhan mendalam akan petunjuk-Nya, dan mohonlah dengan sungguh-sungguh agar tetap berada di jalan yang benar.
- Pada akhir surah, hadirkan permohonan agar dijauhkan dari jalan orang-orang yang dimurkai dan sesat.
- Menjauhkan Gangguan:
- Matikan atau senyapkan telepon genggam agar tidak ada notifikasi yang mengganggu.
- Hindari shalat di tempat yang terlalu ramai atau banyak gambar/lukisan yang bisa mengganggu konsentrasi. Pilihlah tempat yang tenang.
- Jika ada pikiran yang mengganggu, segera kembalikan fokus kepada shalat dan bacaan. Ini butuh latihan dan kesabaran. Jangan biarkan pikiran liar menguasai.
- Pastikan tidak ada kebutuhan mendesak (seperti buang air atau lapar berlebihan) yang dapat mengganggu konsentrasi.
- Merasakan Kehadiran Allah (Maqam Ihsan):
- Beribadahlah seolah-olah Anda melihat Allah, dan jika tidak mampu, yakinilah bahwa Dia melihat Anda (maqam ihsan). Ini adalah tingkatan tertinggi dalam ibadah.
- Sadari bahwa setiap kata yang Anda ucapkan, setiap gerakan Anda, sedang diawasi dan didengar oleh Allah Yang Maha Mengetahui.
- Berdoa Setelah Shalat: Setelah shalat, luangkan waktu untuk berzikir (membaca tasbih, tahmid, takbir) dan berdoa. Ini membantu mengokohkan khusyuk yang telah dibangun selama shalat dan menjadi jembatan untuk menjaga hati tetap terhubung dengan Allah setelah shalat.
Kekhusyukan bukanlah sesuatu yang datang dengan sendirinya, melainkan butuh latihan, kesungguhan, dan mujahadah (perjuangan keras) melawan godaan setan. Dengan terus memperbaiki bacaan, memahami makna, dan mengendalikan pikiran, insya Allah kualitas shalat Ashar kita akan semakin meningkat, dan kita akan meraih pahala besar yang telah dijanjikan Allah bagi hamba-Nya yang shalat dengan khusyuk. Semoga setiap shalat Ashar kita menjadi penerang hati dan sebab diampuninya dosa-dosa.
Penutup
Pembahasan yang panjang dan mendalam ini membawa kita pada pemahaman yang lebih komprehensif mengenai bacaan Surah Al-Fatihah shalat Ashar dibaca dengan cara sirr (pelan). Kita telah meninjau kembali betapa fundamentalnya shalat dalam Islam, kedudukan istimewa shalat Ashar di antara shalat fardhu lainnya, dan peran sentral Surah Al-Fatihah sebagai rukun shalat yang tak terpisahkan.
Memahami makna setiap ayat Al-Fatihah dan melafazkannya dengan tajwid yang benar adalah sebuah kewajiban bagi setiap muslim. Lebih dari itu, mengetahui dan mengamalkan bahwa shalat Ashar, serta shalat Zuhur, memiliki kekhasan dalam cara bacaannya yaitu sirr, adalah pengetahuan penting bagi setiap muslim yang ingin menyempurnakan ibadahnya sesuai sunnah Rasulullah ﷺ. Kita telah menggarisbawahi bahwa bacaan sirr bukan berarti tanpa gerakan lisan, melainkan dengan menggerakkan bibir dan lisan sehingga diri sendiri dapat mendengar, sembari tetap menjaga tartil dan tajwid yang merupakan pilar dari bacaan Al-Qur'an yang benar.
Semoga artikel ini menjadi panduan yang bermanfaat bagi kita semua untuk senantiasa memperbaiki dan menyempurnakan shalat, khususnya shalat Ashar yang memiliki keutamaan luar biasa. Mari kita jadikan setiap shalat sebagai momen perjumpaan yang khusyuk dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala, di mana hati dan lisan kita selaras dalam memuji, memohon, dan berserah diri kepada-Nya. Dengan demikian, shalat kita akan menjadi penyejuk mata, penenang jiwa, dan bekal terbaik menuju kehidupan abadi di akhirat kelak. Barakallahu fiikum.