Surat Ad-Dhuha merupakan salah satu surat pendek dalam Al-Qur'an yang sangat menghibur dan penuh makna pengharapan. Surat ini diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW ketika beliau sedang mengalami masa-masa sulit dan jeda wahyu, yang membuatnya merasa sedikit sedih dan cemas. Kehadiran surat ini menjadi penegasan dari Allah SWT bahwa Ia tidak meninggalkan Rasul-Nya.
Nama "Ad-Dhuha" sendiri berarti "Waktu Duha" atau pagi menjelang siang. Sumpah Allah SWT dengan waktu ini menunjukkan keagungan permulaan hari yang penuh berkah dan energi.
Demi waktu dhuha (ketika matahari naik tinggi)
Allah memulai surat ini dengan sumpah yang kuat menggunakan waktu dhuha. Waktu ini adalah periode di mana kesibukan dunia dimulai, namun juga waktu di mana energi penuh terpancar setelah fajar. Ini menunjukkan bahwa meskipun kesulitan datang, ada waktu untuk bangkit dan bersinar kembali.
dan demi malam apabila telah tenang.
Sumpah ini melengkapi yang pertama. Jika dhuha adalah masa kebangkitan dan cahaya, malam yang tenang adalah masa istirahat dan ketenangan batin. Allah menegaskan bahwa Dia menguasai kedua fase ekstrem kehidupan: puncak aktivitas dan kedalaman istirahat. Ini adalah jaminan bahwa Dia selalu hadir, baik saat terang maupun gelap.
Setelah bersumpah dengan dua waktu yang kontras, Allah langsung menampik kekhawatiran Nabi Muhammad SAW:
Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidak (pula) membencimu.
Inilah inti penenangan bagi Rasulullah dan juga bagi setiap mukmin yang merasa ditinggalkan atau gagal. Kata 'wada'aka' (meninggalkan) dan 'qala' (membenci) digunakan untuk menghilangkan dugaan terburuk yang mungkin terlintas. Tidak ada pengabaian atau kebencian ilahi.
Dan sungguh, kehidupan akhirat itu lebih baik bagimu daripada kehidupan dunia (sekarang).
Ayat ini memberikan perspektif jangka panjang. Kesulitan atau jeda wahyu saat ini (dunia pertama) hanyalah sementara dan nilainya jauh di bawah kemuliaan yang menanti di akhirat (dunia kedua). Ini adalah pengingat penting bahwa tujuan akhir kita bukanlah kesenangan duniawi.
Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau rida.
Janji kenikmatan yang akan diberikan Allah begitu besar hingga mencapai tingkat keridaan (ridha) tertinggi. Para ulama menafsirkan ini termasuk syafaat agung Nabi di Hari Kiamat.
Setelah memberi pengharapan besar, Allah mengingatkan Nabi akan nikmat-nikmat yang sudah dilalui, sebagai bukti bahwa Allah selalu memperhatikan:
Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?
Dan Dia mendapatimu kebingungan, lalu Dia memberimu petunjuk?
Dan Dia mendapatimu sebagai orang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan?
Tiga kenikmatan masa lalu ini (perlindungan saat yatim, petunjuk saat bingung, dan kecukupan saat fakir) berfungsi sebagai landasan logika: Jika Allah telah mengurusmu dari kesulitan paling dasar di masa lalu, mengapa engkau meragukan pemeliharaan-Nya saat ini?
Puncak dari surat Ad-Dhuha adalah perintah untuk membalas nikmat tersebut dengan kebajikan, khususnya kepada mereka yang membutuhkan. Ini menegaskan bahwa ibadah sejati diukur dari interaksi sosial kita.
Maka terhadap anak yatim, janganlah engkau berlaku sewenang-wenang.
Dan terhadap orang yang meminta-minta, janganlah engkau mengusirnya.
Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau syiarkan (ceritakan).
Ayat terakhir ini adalah penutup yang indah. Setelah menerima janji dan pengampunan dari Allah, tindakan terbaik adalah menyebarkan kebaikan itu: bersikap lembut kepada yang lemah dan menceritakan karunia Allah sebagai bentuk syukur yang nyata. Surat Ad-Dhuha mengajarkan kita bahwa di balik setiap kesulitan, ada janji kemudahan dan kemuliaan yang lebih besar, asalkan kita tetap teguh dan bersyukur.