Gambar di atas adalah ilustrasi motif Islami geometris yang melambangkan kesempurnaan dan keselarasan ajaran Al-Qur'an.
Surat Al-Fatihah, yang juga dikenal sebagai Ummul Kitab (Induk Kitab), adalah permulaan dari Kitab Suci Al-Qur'an yang agung. Ia merupakan surat yang paling sering dibaca oleh umat Islam di seluruh dunia, setidaknya 17 kali dalam sehari saat menjalankan shalat wajib lima waktu. Keagungan surat ini tidak hanya terletak pada posisinya sebagai pembuka Al-Qur'an, tetapi juga pada kandungan maknanya yang sarat akan hikmah, tauhid, pujian kepada Allah, permohonan petunjuk, dan penegasan janji serta ancaman Allah SWT.
Perbincangan mengenai ayat pertama Surat Al-Fatihah adalah topik yang menarik dan sering menimbulkan diskusi di kalangan ulama dan umat Islam. Secara umum, kebanyakan mushaf Al-Qur'an dan mazhab fikih menganggap "Bismillahirrahmanirrahim" sebagai ayat pertama dari setiap surat (kecuali At-Taubah), termasuk Al-Fatihah. Namun, ada juga pandangan yang menyatakan bahwa Basmalah adalah pembuka surat dan bukan bagian dari ayat surat itu sendiri, kecuali dalam kasus Surat An-Naml. Untuk Surat Al-Fatihah, ini menjadi sedikit berbeda karena keistimewaannya. Mari kita selami lebih dalam perdebatan dan makna di balik ayat yang penuh berkah ini.
Ketika berbicara tentang ayat pertama Surat Al-Fatihah adalah kalimat apa, kita akan menemukan beberapa pandangan ulama yang berbeda, meskipun mayoritas mengikuti satu pandangan tertentu. Perbedaan ini terutama berpusat pada status Basmalah (Bismillahirrahmanirrahim).
Mayoritas ulama dari mazhab Syafi'i dan sebagian ulama dari mazhab lainnya, termasuk beberapa sahabat Nabi ﷺ dan tabi'in, meyakini bahwa "Bismillahirrahmanirrahim" adalah ayat pertama dari Surat Al-Fatihah. Dalil yang mereka gunakan antara lain adalah:
Dengan demikian, bagi mereka yang menganut pandangan ini, ayat pertama Surat Al-Fatihah adalah "Bismillahirrahmanirrahim", dan Surat Al-Fatihah memiliki tujuh ayat secara keseluruhan.
Di sisi lain, ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, serta sebagian ulama lainnya, berpendapat bahwa Basmalah bukanlah ayat dari Surat Al-Fatihah, melainkan hanya sebagai permulaan untuk mengambil berkah dan pemisah antara satu surat dengan surat berikutnya. Dalil mereka antara lain:
Meskipun ada perbedaan pandangan, yang terpenting adalah keyakinan dan pemahaman yang tulus terhadap makna yang terkandung di dalamnya. Untuk keperluan artikel ini, kita akan mengikuti pandangan mayoritas yang menganggap ayat pertama Surat Al-Fatihah adalah "Bismillahirrahmanirrahim", dan kemudian membahas tafsir dari setiap ayat secara berurutan.
Jika kita menerima bahwa ayat pertama Surat Al-Fatihah adalah "Bismillahirrahmanirrahim", maka kita akan memulai perjalanan tafsir kita dari kalimat yang sangat agung ini. Kalimat ini bukan hanya pembuka Surat Al-Fatihah, tetapi juga pembuka hampir seluruh surat dalam Al-Qur'an, dan dianjurkan untuk diucapkan di awal setiap tindakan penting seorang Muslim. Ia adalah kunci keberkahan dan pengakuan akan kekuasaan serta kasih sayang Allah SWT.
Kata "Bismi" (بِاسْمِ) terdiri dari huruf "Ba" (بِ) yang berarti "dengan" atau "atas nama", dan kata "Ism" (اسْمِ) yang berarti "nama". Ini menunjukkan bahwa setiap tindakan yang dimulai dengan Basmalah dilakukan dengan menyebut dan memohon pertolongan dari nama Allah. Ini adalah deklarasi penyerahan diri dan pengakuan bahwa kekuatan sejati hanya milik Allah. Ketika seseorang memulai sesuatu dengan "Bismi Allah", ia seolah berkata: "Aku memulai ini dengan memohon pertolongan Allah, mencari berkah-Nya, dan menjadikan-Nya sebagai tujuan." Ini juga berarti bahwa perbuatan tersebut harus selaras dengan syariat Allah, dilakukan untuk ridha-Nya, dan bukan untuk tujuan yang bertentangan dengan ajaran-Nya.
Penggunaan "Bismi" di awal setiap aktivitas mengajarkan kita tentang adab dan etika seorang Muslim. Ia mengingatkan kita untuk selalu melibatkan Allah dalam setiap aspek kehidupan, mulai dari hal-hal kecil seperti makan, minum, tidur, hingga hal-hal besar seperti belajar, bekerja, dan berdakwah. Ini menumbuhkan kesadaran ilahiah (muraqabah) dalam diri, bahwa Allah selalu melihat dan mengetahui setiap gerak-gerik kita.
Kata "Allah" (اللَّهِ) adalah nama Dzat Tuhan Yang Maha Esa. Ini adalah nama diri (Ism Dzat) Allah yang unik, tidak memiliki bentuk jamak, dan tidak berasal dari kata lain. Semua nama-nama Allah yang lain (Asmaul Husna) adalah sifat-sifat-Nya yang merujuk kembali kepada nama "Allah". Misalnya, Ar-Rahman (Maha Pengasih), Ar-Rahim (Maha Penyayang), Al-Malik (Maha Merajai), semuanya adalah sifat dari Dzat yang bernama Allah.
Nama "Allah" mengandung makna seluruh sifat kesempurnaan dan keagungan. Ia adalah Dzat yang wajib disembah, yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dan yang memiliki segala puji. Dengan menyebut nama Allah, kita menegaskan tauhid (keesaan Allah) dalam rububiyah (kepengaturan), uluhiyah (peribadatan), dan asma wa sifat (nama dan sifat-sifat-Nya). Ini adalah pondasi utama iman seorang Muslim.
Ketika ayat pertama Surat Al-Fatihah adalah "Bismillahirrahmanirrahim", penempatan nama "Allah" di posisi sentral setelah "Bismi" menegaskan otoritas ilahiah yang mutlak. Ini adalah pengakuan bahwa semua keberhasilan, kekuatan, dan keberkahan berasal dari-Nya semata.
Kata "Ar-Rahman" (الرَّحْمَٰنِ) berasal dari akar kata "rahmah" (kasih sayang). Ar-Rahman adalah salah satu dari Asmaul Husna yang menunjukkan sifat kasih sayang Allah yang sangat luas dan meliputi seluruh alam semesta, baik kepada orang mukmin maupun kafir. Kasih sayang ini bersifat umum (rahmah ammah) yang diberikan kepada seluruh makhluk tanpa terkecuali, seperti rezeki, kesehatan, udara, air, dan nikmat kehidupan lainnya.
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa "Ar-Rahman" adalah Dia yang melimpahkan nikmat-nikmat besar yang tidak dapat ditanggung oleh kebanyakan manusia. Kasih sayang-Nya bersifat menyeluruh dan universal. Dialah yang menciptakan segala sesuatu dengan rahmat-Nya, memberikan kehidupan, dan menyediakan segala kebutuhan makhluk-Nya sebelum mereka meminta, bahkan sebelum mereka diciptakan.
Kehadiran "Ar-Rahman" dalam ayat pertama Surat Al-Fatihah adalah pengingat akan kebaikan Allah yang tak terbatas, yang menjadi dasar bagi keberadaan dan kelangsungan hidup kita. Ini menginspirasi harapan dan keyakinan akan kemurahan hati Ilahi.
Kata "Ar-Rahim" (الرَّحِيمِ) juga berasal dari akar kata "rahmah", namun sifat kasih sayang ini lebih spesifik dan tertuju kepada orang-orang mukmin di akhirat. Ini adalah kasih sayang yang bersifat khusus (rahmah khassah) yang akan diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh, berupa ampunan dosa, petunjuk, hidayah, dan balasan surga yang kekal.
Perbedaan antara Ar-Rahman dan Ar-Rahim sering dijelaskan bahwa Ar-Rahman adalah pemberi nikmat di dunia untuk semua makhluk, sedangkan Ar-Rahim adalah pemberi nikmat di akhirat khusus untuk orang-orang beriman. Meskipun keduanya berasal dari akar kata yang sama dan menunjukkan sifat kasih sayang, penempatannya secara bersamaan dalam Basmalah menunjukkan dimensi kasih sayang Allah yang komprehensif, mencakup dunia dan akhirat, umum dan khusus.
Dalam konteks ayat pertama Surat Al-Fatihah adalah "Bismillahirrahmanirrahim", penyebutan "Ar-Rahim" setelah "Ar-Rahman" melengkapi gambaran tentang kasih sayang Allah yang sempurna. Ia menunjukkan bahwa Allah tidak hanya memberi kemudahan di dunia, tetapi juga menjanjikan kebahagiaan abadi bagi mereka yang menaati-Nya.
Mengucapkan Basmalah sebagai ayat pertama Surat Al-Fatihah adalah sebuah pondasi yang mendalam bagi seorang Muslim. Hikmah dan keutamaan Basmalah antara lain:
Surat Al-Fatihah, yang berarti "Pembukaan", adalah gerbang menuju Al-Qur'an. Ia adalah ringkasan inti dari seluruh ajaran Islam dan mencakup pokok-pokok akidah, ibadah, syariat, janji, dan ancaman. Ia diturunkan di Mekkah (Makkiyah) dan memiliki keutamaan yang luar biasa.
Selain Al-Fatihah, surat ini memiliki banyak nama lain, yang masing-masing menunjukkan keutamaan dan maknanya:
Setelah memahami ayat pertama Surat Al-Fatihah adalah Basmalah, mari kita lanjutkan dengan tafsir ayat-ayat berikutnya.
Setelah Basmalah, ayat kedua dari Surat Al-Fatihah adalah pujian yang agung kepada Allah SWT.
Kata "Alhamdulillah" (الْحَمْدُ لِلَّهِ) adalah ekspresi rasa syukur dan pujian yang paling sempurna. "Alif Lam" (ال) pada "Al-Hamdu" menunjukkan keumuman dan kesempurnaan. Artinya, "segala jenis pujian yang sempurna" hanya milik Allah. Pujian ini mencakup:
"Alhamdulillah" berbeda dengan "Syukran" (terima kasih). Syukur adalah respons terhadap kebaikan yang diterima, sedangkan Hamd (puji) adalah pengakuan atas keagungan dan kesempurnaan Dzat yang dipuji, terlepas dari apakah kita menerima kebaikan darinya atau tidak. Kita memuji Allah karena Dia adalah Allah, Dzat yang Maha Sempurna.
Penempatan "Alhamdulillahi" setelah ayat pertama Surat Al-Fatihah adalah "Bismillahirrahmanirrahim" menunjukkan bahwa segala keberkahan dan rahmat yang kita terima datang dari Dzat yang Maha Terpuji ini. Ia juga mengajarkan bahwa setelah memohon pertolongan dengan nama Allah, langkah selanjutnya adalah memuji-Nya atas segala nikmat dan keagungan-Nya.
Kata "Rabb" (رَبِّ) memiliki makna yang sangat kaya dalam bahasa Arab. Ia berarti "Penguasa", "Pemilik", "Pencipta", "Pemberi Rezeki", "Pengatur", "Pendidik", dan "Pemelihara". Semua makna ini melekat pada Allah SWT. Dialah yang menciptakan alam semesta, memilikinya, mengaturnya, memberi rezeki kepada seluruh makhluk, serta mendidik dan memelihara mereka.
Kata "Al-'alamin" (الْعَالَمِينَ) adalah bentuk jamak dari "alam" (عَالَمٌ) yang berarti "dunia" atau "alam". Ini mencakup segala sesuatu selain Allah SWT, yaitu seluruh ciptaan, baik yang kita ketahui maupun yang tidak kita ketahui, baik manusia, jin, malaikat, hewan, tumbuhan, benda mati, maupun alam semesta dengan segala galaksi dan dimensinya. Penyebutan "seluruh alam" menunjukkan keuniversalan kekuasaan Allah yang tidak terbatas pada satu bangsa, waktu, atau tempat tertentu.
Dengan demikian, "Rabbil 'alamin" menegaskan bahwa Allah adalah Penguasa, Pencipta, dan Pemelihara tunggal bagi seluruh eksistensi. Ini adalah penegasan tauhid rububiyah, yaitu keyakinan bahwa hanya Allah satu-satunya Pengatur alam semesta. Ini adalah pernyataan yang menolak segala bentuk syirik (menyekutukan Allah) dalam hal kekuasaan dan kepengaturan.
Ayat ini, yang datang setelah ayat pertama Surat Al-Fatihah adalah "Bismillahirrahmanirrahim", mengajak kita untuk merenungkan keagungan Allah sebagai Penguasa mutlak. Pujian kita kepada-Nya bukan sekadar basa-basi, melainkan pengakuan tulus atas kedaulatan-Nya yang tak terbatas atas segala sesuatu.
Setelah memuji Allah sebagai Tuhan seluruh alam, Al-Fatihah kembali menegaskan sifat kasih sayang-Nya.
Ayat ini adalah pengulangan dari sebagian ayat pertama Surat Al-Fatihah adalah "Bismillahirrahmanirrahim", yaitu "Ar-Rahmanir-Rahim". Pengulangan ini memiliki makna dan tujuan yang mendalam:
Jadi, meskipun secara harfiah sama dengan bagian dari ayat pertama Surat Al-Fatihah adalah Basmalah, pengulangannya di ayat ketiga Al-Fatihah memberikan dimensi makna yang lebih kaya dalam konteks keseluruhan surat. Ini menunjukkan bahwa meskipun kita memuji Allah sebagai Penguasa mutlak, kita juga harus senantiasa ingat bahwa kekuasaan-Nya diiringi oleh kasih sayang yang tak terbatas.
Setelah penegasan tentang kasih sayang Allah, ayat keempat memperkenalkan konsep hari pertanggungjawaban.
Kata "Maliki" (مَالِكِ) atau "Maaliki" (مَالِكِ) memiliki dua variasi qira'at yang keduanya memiliki makna mendalam. "Maliki" berarti "Raja" atau "Penguasa", sedangkan "Maaliki" berarti "Pemilik". Kedua makna ini saling melengkapi dan sama-sama benar ketika diterapkan pada Allah SWT. Allah adalah Raja dan Pemilik segala sesuatu. Namun, penekanannya di sini adalah pada "Yawmid-Din" (Hari Pembalasan).
Allah adalah Raja dan Pemilik mutlak di hari kiamat. Di dunia, mungkin ada raja dan pemilik harta, tetapi di akhirat, tidak ada seorang pun yang memiliki kekuasaan atau kepemilikan kecuali Allah semata. Pada hari itu, segala bentuk kekuasaan dan kepemilikan manusia akan sirna. Hanya Dia yang berhak memutuskan, menghakimi, dan memberi balasan.
Kata "Yawm" (يَوْمِ) berarti "hari". Sedangkan "Ad-Din" (الدِّينِ) di sini berarti "pembalasan" atau "penghitungan amal". Ini merujuk kepada Hari Kiamat, hari di mana seluruh manusia akan dibangkitkan, dihisab amal perbuatan mereka, dan menerima balasan yang setimpal, baik surga maupun neraka. Ini adalah hari di mana keadilan Allah ditegakkan secara sempurna.
Penyebutan "Maliki Yawmid-Din" setelah ayat pertama Surat Al-Fatihah adalah Basmalah dan ayat-ayat pujian lainnya sangat penting. Ini memberikan dimensi lain dari keagungan Allah: Dia tidak hanya Maha Pengasih dan Penyayang, tetapi juga Maha Adil yang akan menghakimi setiap perbuatan. Ini menumbuhkan rasa takut (khawf) kepada Allah dan dorongan untuk berbuat kebaikan serta menjauhi kemaksiatan.
Ayat ini adalah salah satu tiang akidah Islam, yaitu keyakinan pada Hari Akhir. Tanpa keyakinan ini, makna ibadah dan kehidupan akan kehilangan tujuannya. Mengetahui bahwa Allah adalah Penguasa mutlak Hari Pembalasan mengingatkan kita akan tanggung jawab kita di dunia ini dan memotivasi kita untuk hidup sesuai dengan ajaran-Nya.
Ayat ini adalah inti dari Surat Al-Fatihah, sebuah deklarasi tauhid yang jelas dan permohonan yang tulus.
Ayat ini adalah titik balik dalam Al-Fatihah, dari pujian dan pengagungan Allah, beralih kepada dialog langsung dan ikrar dari hamba.
Kata "Iyyaka" (إِيَّاكَ) adalah kata ganti tunggal kedua yang ditempatkan di awal kalimat untuk menunjukkan pengkhususan dan penegasan. Artinya, "hanya kepada-Mu saja". "Na'budu" (نَعْبُدُ) berarti "kami menyembah" atau "kami beribadah".
Dengan demikian, "Iyyaka na'budu" adalah deklarasi tauhid uluhiyah yang tegas: hanya Allah satu-satunya Dzat yang berhak disembah. Ibadah dalam Islam tidak hanya terbatas pada shalat, puasa, zakat, dan haji, tetapi mencakup segala perbuatan, perkataan, dan keyakinan yang dicintai dan diridhai Allah. Ini termasuk ketaatan, cinta, takut, harap, tawakal, dan segala bentuk ketundukan hati.
Pernyataan ini adalah penolakan terhadap segala bentuk syirik, baik syirik akbar (menyekutukan Allah secara terang-terangan) maupun syirik asghar (syirik kecil, seperti riya' atau sum'ah). Ia mengajarkan keikhlasan dalam beribadah, bahwa semua ibadah harus murni ditujukan hanya kepada Allah SWT.
Mengingat kembali ayat pertama Surat Al-Fatihah adalah Basmalah, kemudian pujian dan pengakuan kekuasaan, ayat ini adalah manifestasi praktis dari semua pengakuan tersebut. Jika Allah adalah Rabbul 'alamin, Ar-Rahman, Ar-Rahim, dan Maliki Yawmid-Din, maka konsekuensinya adalah hanya Dia yang layak disembah.
Kata "Wa" (وَ) berarti "dan". Lagi-lagi, "Iyyaka" ditempatkan di awal untuk menegaskan pengkhususan. "Nasta'in" (نَسْتَعِينُ) berarti "kami memohon pertolongan".
"Wa iyyaka nasta'in" berarti hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dalam segala urusan, baik urusan dunia maupun akhirat, baik dalam ketaatan maupun menghadapi kesulitan. Ini adalah manifestasi tawakal (berserah diri) kepada Allah setelah berusaha sekuat tenaga. Kita tidak boleh bergantung pada selain Allah, meskipun kita diperbolehkan meminta bantuan dari manusia dalam hal-hal yang mereka mampu.
Penyebutan "Iyyaka na'budu" sebelum "Wa iyyaka nasta'in" sangat signifikan. Ini menunjukkan bahwa ibadah (ketaatan dan penyerahan diri) harus mendahului permohonan pertolongan. Artinya, agar permohonan kita dikabulkan, kita harus terlebih dahulu menunaikan hak-hak Allah atas kita, yaitu menyembah-Nya dengan tulus. Tidak mungkin seseorang beribadah kepada selain Allah namun berharap pertolongan hanya dari-Nya.
Ayat ini adalah pilar bagi setiap Muslim, mengajarkan keseimbangan antara kewajiban beribadah dan kebutuhan akan pertolongan Ilahi. Ini adalah inti dari "hablum minallah" (hubungan dengan Allah) dan fondasi kekuatan seorang hamba.
Setelah deklarasi tauhid, datanglah permohonan yang paling vital bagi setiap Muslim.
Kata "Ihdina" (اهْدِنَا) adalah bentuk perintah dari kata "hidayah" (petunjuk). Ini adalah doa dan permohonan kepada Allah agar diberikan petunjuk. Petunjuk (hidayah) ada beberapa tingkatan:
Kita memohon kepada Allah agar senantiasa diberikan hidayah taufiq, yaitu kemampuan untuk memahami kebenaran, mengamalkannya, istiqamah di atasnya, dan tidak menyimpang. Meskipun kita sudah berislam, permohonan hidayah ini tetap penting karena manusia bisa saja goyah, lupa, atau tergelincir dari jalan yang benar.
Kata "Ash-Shirath" (الصِّرَاطَ) berarti "jalan" atau "jembatan". "Al-Mustaqim" (الْمُسْتَقِيمَ) berarti "lurus", "benar", "tidak bengkok", dan "tidak menyimpang".
Jadi, "Ash-Shirathal Mustaqim" adalah jalan yang lurus dan benar, yaitu jalan Islam yang tidak ada kebengkokan di dalamnya. Para ulama menafsirkan "Shirathal Mustaqim" sebagai:
Permohonan "Ihdinas-siratal-mustaqim" adalah puncak dari apa yang telah diikrarkan sebelumnya. Setelah menyatakan bahwa ayat pertama Surat Al-Fatihah adalah Basmalah, memuji Allah sebagai Rabbul 'alamin, mengakui kasih sayang-Nya, dan bersaksi hanya kepada-Nya kita menyembah dan memohon pertolongan, maka permohonan terbesar kita adalah agar Allah membimbing kita di atas jalan yang telah Dia ridhai. Ini menunjukkan kebutuhan mutlak kita akan bimbingan Allah dalam setiap langkah kehidupan.
Tanpa petunjuk-Nya, manusia akan tersesat dalam kegelapan dan kesesatan. Oleh karena itu, permohonan ini diulang-ulang dalam setiap rakaat shalat, menegaskan betapa sentralnya hidayah dalam kehidupan seorang Muslim.
Ayat terakhir dari Al-Fatihah menjelaskan lebih lanjut tentang siapa saja yang menempuh jalan yang lurus dan siapa saja yang menyimpang.
Ayat ini adalah penjelasan (tafsir) dari "Shirathal Mustaqim" yang disebutkan di ayat sebelumnya.
Ini adalah bagian pertama dari penjelasan tentang Jalan yang Lurus. Siapakah "orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka"? Allah SWT sendiri yang menjelaskan dalam Surat An-Nisa ayat 69:
Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.
Empat golongan inilah yang menjadi contoh dan teladan bagi kita. Mereka adalah orang-orang yang diberikan nikmat berupa hidayah, taufiq, dan keistiqamahan di atas kebenaran. Mereka adalah model untuk diteladani dalam menempuh "Shirathal Mustaqim".
Maka, memohon "Shirathalladzina an'amta 'alaihim" adalah memohon agar kita dibimbing untuk mengikuti jejak para Nabi dalam keimanan dan risalah, para shiddiqin dalam kejujuran dan ketulusan, para syuhada dalam pengorbanan dan keberanian, serta para salihin dalam amal dan akhlak. Ini adalah cita-cita tertinggi seorang Muslim.
Setelah menjelaskan jalan yang benar, Al-Fatihah kemudian menjelaskan jalan yang harus dihindari. "Al-Maghdhubi 'alaihim" (الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ) berarti "mereka yang dimurkai". Para ulama tafsir, berdasarkan hadis dan riwayat sahabat, sepakat bahwa yang dimaksud dengan "Al-Maghdhubi 'alaihim" adalah orang-orang Yahudi.
Mengapa Yahudi? Karena mereka adalah kaum yang telah diberikan ilmu dan pengetahuan yang banyak tentang kebenaran, tetapi mereka menolak untuk mengamalkannya dan mengingkari kebenaran tersebut karena kesombongan, kedengkian, dan keinginan duniawi. Mereka mengetahui tentang Nabi Muhammad ﷺ dari Taurat, tetapi menolak kenabiannya. Mereka memiliki syariat, tetapi seringkali menyimpang dan melanggar perintah-perintah Allah.
Maka, memohon untuk tidak termasuk golongan ini adalah memohon perlindungan dari sifat-sifat seperti kesombongan, penolakan terhadap kebenaran yang sudah jelas, dan pembangkangan terhadap perintah Allah meskipun sudah mengetahui. Ini adalah pelajaran penting untuk selalu rendah hati dan menerima kebenaran.
"Adh-Dhaallin" (الضَّالِّينَ) berarti "mereka yang sesat". Para ulama tafsir juga sepakat bahwa yang dimaksud dengan "Adh-Dhaallin" adalah orang-orang Nasrani (Kristen).
Mengapa Nasrani? Karena mereka adalah kaum yang beribadah kepada Allah dengan ketulusan, tetapi tersesat dari jalan yang benar karena kebodohan atau penafsiran yang salah, bukan karena kesengajaan menolak kebenaran. Mereka tidak memiliki ilmu yang cukup tentang kebenaran dan akhirnya menyimpang dalam akidah, seperti mengklaim Yesus sebagai anak Tuhan atau Tuhan itu sendiri.
Maka, memohon untuk tidak termasuk golongan ini adalah memohon perlindungan dari kebodohan agama, dari mengikuti hawa nafsu tanpa ilmu, dan dari penyimpangan akidah karena ketidaktahuan. Ini adalah pelajaran untuk senantiasa mencari ilmu yang benar dan berhati-hati dalam memahami agama.
Ayat terakhir ini, yang datang setelah ayat pertama Surat Al-Fatihah adalah Basmalah dan seluruh ayat lainnya, melengkapi permohonan hidayah dengan memberikan gambaran yang jelas tentang jalan yang benar (jalan para nabi) dan dua jalan kesesatan yang harus dihindari: jalan orang yang tahu kebenaran tetapi mengingkarinya (seperti Yahudi) dan jalan orang yang tersesat karena kebodohan atau salah tafsir (seperti Nasrani). Ini adalah peta jalan spiritual yang sempurna bagi setiap Muslim.
Kajian mendalam tentang ayat pertama Surat Al-Fatihah adalah dan ayat-ayat selanjutnya mengungkapkan bahwa Al-Fatihah bukanlah sekadar pembuka, melainkan intisari dari seluruh Al-Qur'an. Para ulama tafsir sering menyebutnya sebagai "ibu" dari Al-Qur'an karena ia memuat secara ringkas semua pokok ajaran Islam:
Karena kandungan yang begitu komprehensif, Al-Fatihah memiliki maqam (kedudukan) yang sangat tinggi dalam Islam. Ia adalah rukun dalam shalat, tidak sah shalat seseorang kecuali dengannya. Nabi Muhammad ﷺ bersabda: "Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (pembuka Kitab)." Hadis ini menegaskan keharusan membaca Al-Fatihah dalam setiap rakaat shalat. Bahkan, Al-Fatihah sering disebut sebagai "Asy-Syifa'" (penyembuh) karena keberkahannya dalam menyembuhkan penyakit rohani dan jasmani.
Salah satu keindahan Al-Fatihah adalah sifatnya yang merupakan dialog antara seorang hamba dengan Tuhannya. Sebuah hadis qudsi menjelaskan hal ini:
"Aku membagi shalat (Al-Fatihah) antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian. Dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta. Apabila hamba mengucapkan: 'Alhamdulillahi Rabbil 'alamin', Allah berfirman: 'Hamba-Ku telah memuji-Ku.' Apabila dia mengucapkan: 'Ar-Rahmanir-Rahim', Allah berfirman: 'Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.' Apabila dia mengucapkan: 'Maliki Yawmid-Din', Allah berfirman: 'Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku.' Apabila dia mengucapkan: 'Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in', Allah berfirman: 'Ini antara Aku dan hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta.' Apabila dia mengucapkan: 'Ihdinas-siratal-mustaqim. Shirathalladzina an'amta 'alaihim ghairil maghdhubi 'alaihim waladh-dhaallin', Allah berfirman: 'Ini bagi hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta.'"
Hadis ini menggambarkan betapa dekatnya hubungan antara hamba dan Rabb-nya saat membaca Al-Fatihah. Setiap ucapan kita adalah respons Allah. Ini meningkatkan kekhusyukan dalam shalat, karena kita tahu bahwa kita sedang berbicara langsung dengan Pencipta kita.
Melalui hadis ini, kita juga bisa melihat bahwa meskipun ayat pertama Surat Al-Fatihah adalah Basmalah (menurut sebagian besar penomoran mushaf), dialog dalam hadis qudsi ini dimulai dari "Alhamdulillahi Rabbil 'alamin", yang mendukung pandangan sebagian ulama yang tidak menganggap Basmalah sebagai bagian dari Al-Fatihah dalam penomoran shalat. Namun, sekali lagi, perbedaan ini tidak mengurangi keagungan Basmalah maupun Al-Fatihah itu sendiri.
Memahami dan merenungkan makna ayat pertama Surat Al-Fatihah adalah serta seluruh ayatnya memiliki dampak yang luar biasa dalam kehidupan seorang Muslim:
Setiap kali seorang Muslim mengucapkan Basmalah sebagai ayat pertama Surat Al-Fatihah adalah permulaan yang sempurna untuk memulai shalat atau membaca Al-Qur'an. Ini adalah gerbang untuk membuka hati dan pikiran bagi pesan-pesan ilahi yang akan menyusul. Ia adalah pengakuan akan kekuasaan Allah dan permohonan agar setiap tindakan kita diberkahi dan diridhai oleh-Nya.
Surat Al-Fatihah, dengan segala keagungan dan kedalamannya, adalah fondasi spiritual bagi setiap Muslim. Perdebatan mengenai ayat pertama Surat Al-Fatihah adalah Basmalah atau "Alhamdulillahi Rabbil 'alamin" menunjukkan kekayaan tradisi keilmuan Islam dan ketelitian para ulama dalam menjaga dan menafsirkan Al-Qur'an. Namun, terlepas dari perbedaan pandangan dalam penomoran, tidak ada keraguan tentang keagungan Basmalah dan keharusan membacanya di awal Al-Fatihah, baik sebagai ayat pertama maupun sebagai pembuka yang diberkahi.
Dari "Bismillahirrahmanirrahim" hingga "waladh-dhaallin", setiap kata dalam Al-Fatihah adalah mutiara hikmah yang mengajarkan kita tentang tauhid, sifat-sifat Allah, hari akhir, ibadah, permohonan, dan peta jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Memahaminya secara mendalam adalah kunci untuk membuka pintu keberkahan dan menjalani hidup sesuai dengan petunjuk Ilahi. Semoga kita semua selalu diberikan taufiq untuk merenungi, memahami, dan mengamalkan kandungan Surat Al-Fatihah dalam setiap aspek kehidupan kita.
Sungguh, memahami bahwa ayat pertama Surat Al-Fatihah adalah Basmalah, yang menyertakan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, memberikan kita kekuatan dan ketenangan bahwa setiap perjalanan, setiap ibadah, dan setiap permohonan kita dimulai dengan restu dan rahmat dari Dzat yang Maha Kuasa lagi Maha Mengasihi. Ini adalah landasan yang tak tergoyahkan bagi iman dan kehidupan kita.